Dian Sabrina
Dina Safira
Ridwan Tawaqal
Kelas: 5 PS 1
PEMBAHASAN
Cara membuat benda indah pun tidak bisa jika dengan teori dalam jiwa yang
kosong, karena jika tidak mempunyai jiwa dan teori yang mendalam maka sulit
untuk seseorang membuat benda itu menjadi indah. Biasanya jika pelukis,
pemusik atau sastrawan memiliki jiwa yang penuh dengan keadaan hati yang baik
akan menghasilkan karya yang memuaskan juga. Selain itu, keadaan sekitar dalam
menciptakan karya juga akan mempengaruhi karyanya.Sehingga di dalam
makalah ini kelompok kami ingin menyajikan teori tentang Konsep Estetika,
terlebih mengenai Konsep Estetika Plato.
Secara etimologis estetika berasal dari kata Yunani: Aistetika yang berarti
hal-hal yang dapat dicerap dengan panca indra, Aisthesis yang berarti pencerapan
panca indra/sense perception, (The Liang Gie, 1976:15). Namun pengertian
estetika umumnya sendiri adalah cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai
keindahan/hal yang indah, yang terdapat di alam dan seni. Estetika sebagai ilmu
tentang seni dan keindahan pertama kali diperkenalkan oleh Alexander Gottlieb
Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman. Walaupun pembahasan estetika
sebagai ilmu baru dimulai pada abad ke 17 namun pemikiran tentang keindahan
dan seni sudah ada dari sejak zaman Yunani Kuno. Estetika merupakan cabang
filsafat yang mengkaji empat hal pokok yaitu nilai estetika, pengalaman estetis,
prilaku orang yang mencipta, dan seni, Banasuru, (2014:134)
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat.
Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf
Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan dan kesatuan.
Sumber rasa keindahan menurut Plato adalah cinta kasih, karena ada
kecintaan maka kita manusia selalu ingin kembali menikmati apa yang telah
dicintainya itu. Rasa cinta pada manusia bukan hanya tertuju pada keindahan,
tetapi juga kebaikan (moral) dan kebenaran (ilmu pengetahuan). Ia menjelaskan
bahwa rasa cinta pada keindahan timbul karena manusia sendiri telah belajar hal
yang dicintainya itu. Menurut Plato keindahan itu bertingkat., untuk mencapai
keindahan yang tertinggi (keindahan yang absolut) melalui fase-fase tertentu.
Fase pertama, orang akan tertarik pada suatu benda/tubuh yang indah.
Disini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan keragaan
(indrawi) tidak dapat memberikan kepuasan pada jiwa kita. Setelahkita sadar
bahwa keindahan dalam benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat
lahiriah, maka kita tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang lahiriah.Manusia akan
meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu pada
norma-norma kesusilaan (noma moral) secara konkrit. Hal ini terlihat dalam
tingkah laku dari orang/hal-hal yang kita cintai.
Dalam fase kedua, maka kecintaan terhadap norma moral secara konkritini
berkembang menjadi kecintaan akan norma moral secara absolut yang berupa
ajaran-ajaran tentang kesusilaan/bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku
yang baik.
Dalam fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara
moral dan pengetahuan, dan orang akan berusahauntuk mencari keindahan dalam
berbagai pengetahuan. Orang Yunani dulu berbicara tentang buah pikiran yang
indah dan adat kebiasaan yang indah. Kalau manusia sudah sampai pada fase yang
ketiga ini maka akan mengantarkan manusia pada fase yang keempat yaitu
keindahan yang mutlak/absulut. Disinilah orang berhasil melihat keindahan
mutlak, yang sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tingggi. Dan
disinilah segala sesuatu berasal dan kesitu pula segala sesuatu harus kembali.
Disisi lain, Plato juga mengemukakan bahwa semua keindahan di dunia ini
merupakan imitasi, peneladanan, pembayangan, peniruan yang disebut
“Mimesis”. Mimesis bukanlah berupa peniruan biasa, akan tetapi merupakan
sebuah daya representasi yang timbul sebagai akibat kesempurnaan karya
sehingga timbulah kegairahan. Menurutnya, karya seni hanya dapat meniru
kenyataan, dengan konsekuensi logis karya seni berada di bawah kenyataan. Tapi
karya seni yang sungguh-sungguh selalu berusaha untuk mengatasi kenyataan atau
realitas.
Realitas yang ada bukanlah realitas yang sesungguhnya, akan tetapi hanya
sebagai tiruan dari yang sesungguhnya ada. Ia menyebutnya sebagai idea yang
memiliki sifat spiritual, rohaniah, kekal, absolute, dan tidak akan pernah berubah.
Maka dari itu Plato beranggapan seni adalah tiruan dari tiruan: mimesis-memeseos
karena keindahan yang sebenarnya hanya ada di dalam idea, sedangkan para
seniman dalam berkarya-misalnya membuat lukisan alam hanya “meniru” sesuatu
yang ada di dalam realitas yang sekali lagi bagi Plato hanya tiruan yang tidak
nyata, bukan yang sesungguhnya dari alam idea (teori inilah yang disebut teori
mimesis itu).
Banasuru, Aripin. 2014. Filsafat dan Filsafat Ilmu. dari Hakikat ke Tanggung
Jawab. Bandung;Alfabeta.
https://www.scribd.com/document/423520345/Estetika-Menurut-Plato
https://serupa.id/pengantar-estetika-filsafat-keindahan-rasa-dan-
selera/#.XgIPWfyIbIV