ILMU KALAM
( QADARIYAH )
Dosen Pengampu : Drs. H. Rasyid, M.Ag
Di susun
Oleh
Deska ramadanti
Mutiara kh
SEMESTER II
JAKARTA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran-aliran firqoh muncul setelah Rasulullah SAW wafat, pada zaman Nabi
Muhammad Saw umat islam dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk dibidang
aqidah. Kalau adahal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang diperselisihkan daintara
para sahabat, mereka mengembalikan persoalannya kepada nabi. Maka penjelesan
beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya. Namun setelah
Rasulullah wafat mulailah bermunculan aliran-aliran firqoh ilmu kalam, terutama pada
masa pemerintahan kholifah Usman bin Affan. Syi’ah merupakan firqoh pertama yang
kemudian di susul oleh firqoh-firqoh lainnya,salah satunya adalah firqoh qadariyah.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam makalah ini
penyusun hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran qadariyah.
Mencakup didalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran
ajarannya secara umum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal kemunculan Aliran Qadariyah?
2. Siapa tokoh-tokoh Aliran Qadariyah?
3. Bagaimana pemikiran Aliran Qadariyah?
4. Bagaimana pokok-pokok Ajaran Aliran Qadariyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui awal kemunculan Aliran Qadariyah
2. Mengetahui tokoh-tokoh Aliran Qadariyah
3. Memahani pemikiran Aliran Qadariyah
4. Mengetahui Pokok-pokok Ajaran Aliran Qadariyah
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
bin Marwan (689-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-juhani dan temannya
Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang kristen yang masuk islam di
irak. Ma’ad al-juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada Washil bin Atho’,
pendiri Mu’tazilah. Dia dihukummati oleh al-Hajaj, gubernur Basrah, karena ajaran-
ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang baik, tetapiia
memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur
sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-
Hajjaj Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya
seorang yang pernah bekerja pada khlaifah Ustman bin Affan. Ia datang ke Damaskus
pada masa pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga
dihukum mati karena fahm-fahmnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham qadariyahnya
di damaskus, tetapi mendapat tantangandari khlifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut
Ghailan, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak
dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini
manusia merdeka dalam tingkah lakunya.
Disini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya
bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain pengatur
faham qadariyah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah.
3
D. Tokoh-Tokoh Aliran Qadariyah
Tokoh utama Qadariyah adalah Ma’bad Al-juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi.
Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tantang qadar. Semasa
hidupnya, Ma’bad Al-juhani berguru dengan Hasan Al-Basri, sebagaimana Washilbin
Atha’, tokoh pendiri mu’tazilah. Jadi, Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua
sesudah nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di damaskus. Ia seorang ahli pidato
sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh. Ma’bad Al-juhani terbunuh dalam
pertempuran melawan Al-Hajjaj padatahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik
dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al-Asy’ats menentang kekuasaan
bani Umayyah. Sedangkan ghailan Al-Dimasyqi dihukum bunuh pada masa
pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/ 724-743 M), khalifah dinasti
Umayyah yang kesepuluh. Hukuman bunuh atas ghailan dilakukan karena ia terus
menyebar luaskan faham qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan
gigih menyiarkan faham qadariyah di damaskus sehingga mendapat tekanan dari
khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Meskipun terus mendapat tekanan,
ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga umar wafat dan diganti oleh Yazid II
(720-724 M). Baru pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M)
kegiatan ghailan berhenti dengan eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.
E. Pemikiran Qadariyah
Harun Nasuton menjelaskan pendapat Ghailan tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatn-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan mausia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan
dengan daya itu ia daoat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan denikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan ats kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun jahat. Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan disini
disamakan dengan balasan surga kelak di akhirat dan ganjaran siksa dengan
4
balasanneraka kelak di akhirat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan
oleh takdir tuhan. Karena itu, sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan
balasannya sesuai dengan alasannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang
umum yang di pakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa
nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya
bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan
demikian takdir adalah ketentuan allah yang diciptakannya bagi alam semesta beserta
seluruhnya isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-qur’an adalah
sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat
diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti
hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh tuhan tidak mempunyai sirip seperti
ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai
kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman sepertiini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan
kepada allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-qur’an
yang berbicara dan mendukung paham itu, antara lain:
1. Fush-Shilat:40
2. Ar-Ra’d:11
5
2. Melampaui di dalam menetapkan kemmapuan manusia dengan menganggap
mereka bebas berkehendak (iradah). Didalam perbuatan manusia, allah tidak
mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar).
Mereka menganggap bahwa allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu
kecuali selepas ia terjadi.
3. Mereka berpendapat bahwa allah tidakbersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Karena ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu
mereka menafikan sifat-sifat Ma’ani dari allah ta’ala.
4. Mereka berpendapat bahwa Al-qur’an itu adalah makhluk. Ini disebabkan
pengingkaran mereka terhadap sifat allah.
5. Mengenal allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), karena ini akanmembawa kepada
penyerupaan (tasybih).
7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurgadan neraka akan musnah (fana),
selepas ahli syurga mengecapa nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.
6
hidup, mendengar, dan melihat dengandzatnya sendiri. Pendapat yang menyatakan
bahwa Allah memiliki sifat qadim, menurut Qodoriah sama dengan mengatakan
bahwa Allah itu lebih dari satu dan tidak bersekutu dengan segala hal.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak
dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mapu melakukan
segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun
perbutan yang buruk tanpa campur tangan dari Allah SWT .
2. Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will,
freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak
atau kebebasan untuk berbuat.
3. Sejarah lahirnya aliran qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi menurut Ahmad Amin, ada sebagian
pakar teologi yang mengatakan bahwa qadariyah pertama kali dimunculkan oleh
Ma’bad al-jauhani dan Ghialn ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689 M
4. Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang irak yang
pada mulanya beragama kristen, kemudian masuk islam dan kembali lagi ke agama
kristen. Namanya adalah susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
5. Sementara W.Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan
bahwa bahwa paham qadariyah terdapat dalam kitab ar-risalah dan ditulis untuk
khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
8
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup Muslim Aqidah. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 1990.
http://chamshoday.blogspot.com/2012/04/makalah-aliran-qodariyah.html?m=1. Diunduh
pada tanggal 21 Agustus 2014,pkl 21.48 WIB.
https://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/01/firqoh-qadariyah-gen-firqoh-dan-akar-
bidah/. Diakses pada tanggal 25 September 2015
Sufyan Raji Abdullah. Mengenal aliran-aliran dalam islam dan ciri-ciri ajarannya.
Jakarta: Pustaka Riyadl. 2007