Anda di halaman 1dari 4

ASFIKSIA

I. Definisi
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah menjadi berkurang
(hipoksia) disertai peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian.
Berdasarkan etiologi, asfiksia disebabkan oleh hal berikut :
a. Penyebab alamiah, disebabkan oleh penyakit yang menyumbat saluran
pernapasan seperti laringitis difteri atau mrnimbulkan gangguan pergerakan
paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma mekanik menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas.
c. Keracunan bahan menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat,
narkotika.

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik),
misalnya :

a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas :


- Pembekapan (smothering)
- Penyumbatan (Gagging dan choking)
b. Penekanan dinding saluran pernapasan :
- Penjeratan (strangulation)
- Pencekikan (manual strangulation, throttling)
- Gantung (hanging)
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
d. Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning)

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam 4 fase, yaitu :

1) Fase dispnea : Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan
karbon dioksida dalam plasma  merangsang pusat pernapasan di medula
oblongata  amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat,
tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis (muka dan
tangan).
2) Fase konvulsi : Akibat kadar karbon dioksida yang meningkat  rangsangan
terhadap susunan saraf pusat  konvulsi (kejang), mula-mula berupa kejang
klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme
opistotonik.
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung dan tekanan darah menurun. Hal ini
berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat
kekurangan oksigen.
3) Fase apnea : Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan
melemah dan dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter
dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
4) Fase akhir : Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan
berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut eberapa saat setelah pernapasan berhenti.

II. Klasifikasi
A. Pembekapan
B. Gagging dan Choking
C. Pencekikan
D. Penjeratan
E. Gantung
F. Asfiksia traumatik
Kematian akibat asfiksia traumatik terjadi karena penekanan dari luar pada
dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi dan menimbulkan gangguan
gerak pernapasan; misalnya tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok atau
tergencet saat saling berdesakan.
Mekanisme kematian dapat diakibatkan oleh kegagalan pernapasan dan
sirkulasi. Pada mayat ditemukan sianosis dan bendungan hebat.
Perbendungan pada muka menyebabkan muka menjadi membengkak dan
penuh dengan petekie, edema konjungtiva dan perdarahan subkonjungtiva.
Petekie juga terdapat pada leher, bokong dan kaki.
G. Tenggelam

III. Pemeriksaan Jenazah pada Korban Asfiksia Mekanik


 Pada pemeriksaan luar jenazah : sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku.
 Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
 Lebam mayat :
- Warna : merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
- Distribusi lebam lebih luas akibat kadar karbon dioksida yang tinggi dan
aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan
mudah mengalir.
- Tingginya fibrinolisin berhubungan dengan cepatnya proses kematian.
 Busa halus pada hidung dan mulut :
- Terjadi akibat peningkatan pernapasan pada fase 1, disertai dengan sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas.
- Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran yang sempit akan
menimbulkan busa yang dapat bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
 Gambaran perbendungan pada mata : pelebaran pembuluh darah konjungtiva
bubi dan palpebra yang terjadi pada fase 2.
 Tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena,
venula dan kapiler.
 Tardieu’s spot merupakan bintik bintik perdaragan yang terjadi karena
keadaan hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang
terdiri dari selapis sel akan pecah.
 Pemeriksaan bedah jenazah :
- Darah berwarna lebih gelap dan encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat pasca mati.
- Busa halus di saluran pernapasan.
- Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi
lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan
darah.
- Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fissura interlobaris, kulit
kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan
daerah sub-glotis.
- Edema paru terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
- Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

A. Autopsi kasus kematian akibat pembekapan


B. Autopsi kasus kematian akibat penyumbatan
C. Autopsi kasus kematian akibat pencekikan
D. Autopsi kasus kematian akibat penjeratan
E. Autopsi kasus kematian akibat tergantung
F. Autopsi kasus kematian akibat dada tertekan (asfiksia traumatik)
 Bila terjadi desak-mendesak yang meliputi orang banyak/massa yang
sedang panik, beberapa diantaranya ada yang terjepit sedemikian rupa
sehingga dada tidak dapat mengembang.
 Korban mati menunjukkan tanda asfiksia yang jelas, disertai tanda-tanda
penekanan pada dada berupa luka memar atau luka lecet.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Idries AM, Sidhi, Hertian S, dkk. Ilmu
kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1997.
2. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Teknik autopsi forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2000.

Anda mungkin juga menyukai