Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


(Varcarolis, 2006), Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paing sering adalah
halusinasi pendengaran (auditory-hearing voices or sounds), penglihatan (visual-sayying
persons or things), penciuman (olfactory-smelling odors), pengecapan (gustatory-
experiencing taste).
(Direja, 2011), Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal. Klien memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa
ada objek atau rangsangan yang nyata.
(Stuart, 2007), Halusinasi adalah persepsi klien melalui pancaindera terhadap lingkungan
tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran
adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara-suara orang yang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu.

A. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Pada pasien dengan halusinasi menurut (Yosep, 2007), terdapat adanya faktor
perkembangan yaitu jika klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap stress. Faktor sosio kultural
yaitu klien yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya. Faktor biokimia yang
menyebabkan terjadinya pelepasan suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetitranferase. Yang menyebabkan terjadinya gangguan
dalam proses informasi dan penurunan kemampuan menanggapi rangsangan. Faktor
psikologis, yaitu klien dengan tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab
mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju
alam khayal. Faktor genetik dan pola asuh, yaitu penelitian menunjukkan anak sehat
yang diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
B. Faktor Presipitasi
Menurut (Yosep, 2011) penyebab halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi:
Dimensi fisik, halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alcohol dan kesulitan waktu tidur dalam waktu yang lama. Dimensi
emosional, perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut sehingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut. Dimensi intelektual, merangsang bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan
usaha dari ego sendiri untuk melawan implus yang menekan, namun merupakan
suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. Dimensi social, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata itu sangatlah membhayakan,
klien asik dengan halusinasinya. Seolah-olah dia merupakan tempat akan memenuhi
kebutuhan akan interaksi social, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan system kontrol oleh individu tersebut,
sehingga jika sistem halusinasi berupa ancaman, dirinya maupun orang lain. Oleh
karena itu, aspek penting dalam melakukan intervensi keperawatan klien dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal
yang memuaskan, serta menguasakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungan dan halusinasi tidak langsung. Dimensi spiritual,
klien mulai dengan kemampuan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas
ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk mensucikan diri. Ia sering memaki
takdir tetapi lemah dalam upaya menjempu rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
C. Jenis Halusinasi
1. Halusinasi Penglihatan
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium atau penyakit organic. Biasanya
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat
gambaran-gambaran yang mengerikan atau tidak menyenangkan. Seperti orang,
binatang atau tidak berbentuk seperti sinar, kilat, bisa berwarna atau tidak
berwarna
2. Halusiansi Pendengaran
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi, mendenging atau bising yang tidak
mempunyai arti, tetapi lebih sering mendengar sebuah kata atau kalimat yang
bermakna. Biasanya suara tersebut ditunjukkan oleh penderita sehingga penderita
tidak jarang bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut. Suara tersebut
dapat dirasakan dari jauh atau dekat, bahkan mungkin datang dari tiap tubuhnya
sendiri. Halusiansi pendengaran bisa berupa suara manusia, hewan, mesin, music
atau kejadian alam lainnya
3. Halusinasi Penciuman
Halusianasi ini biasanya mencium sesuatu bau tertentu dan merasa tidak enak,
melambungkan rasa bersalah pada penderita. Bau ditambah dilambangkan sebagai
pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral. Halusinasi
penciuman bisa berupa mencium sesuatu bau khusus dimana orang lain tidak.
4. Halusinasi Pengecapan
Halusinasi ini jarang terjadi biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman
penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi pengecapan bisa berupa mengecap
atau merasakan sesuatu, ada yang enak atau tidak.
5. Halusinasi Raba
Klien merasa ada seseorang yang memegang, meraba, menyentuh, meniup atau
merasa ada sesuatu yang bergerak dibawah kulit. (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015)

D. Fase Halusinasi
Menurut (Kusumawati & Hartono, 2010), tahapan halusinasi terdiri dari 4
fase yaitu:
a) Fase I (comforting)
Comforting disebut juga fase menyenangkan, pada tahapan ini masuk dalam
golongan nonpsikotik. Karakteristik dari fase ini klien mengalami stress,
cemas, perasaan perpisahan, perasaan rasa bersalah, kesepian yang
memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Pada fase ini klien berperilaku
tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara,
pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan
halusinasinya dan suka menyendiri.
b) Fase II (conndeming)
Pengalaman sensori menjijihkan dan menakutkan termasuk dalam psikotik
ringan. Karakteristik klien pada fase ini menjadi pengalaman sensori
menjijihkan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun dan berfikir
sendiri menjadi dominan, mulai merasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien
tidak ingin orang lain tahu dan klien ingin mengontronya. Perilaku klien pada
fase ini biasanya meningkatkan tanda-tanda system syaraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, klien asik dengan
halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realita
c) Fase III (controlling)
Controlling disebut juga ansietas berat, yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Karakteristik klien meliputi bisikan, suara, bayangan, isi halusinasi
semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Tanda-tanda fisik berupa
berkeringat, tremor, dan tidak mampu memenuhi perintah.
d) Fase IV (conquering)
Conquering disebut juga fase panic yaitu klien lebur dengan halusinasinya
termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik yang muncul pada klien meliputi
halusiansi berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien.
Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol dan tidak dapat
berhubungan secara nyata dengan orang lain dan lingkungan.
E. Rentang Respon Neurobiologis
Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon yang
berhubungan dengan fungsi neurobiologis. Perilaku yang dapat diamati dan
mungkin menunjukkan adanya halusinasi disajikan dalam table berikut:
Rentang Respon Neurobiologis (Stuart, 2007)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Pikiran kadang 1. Gangguan pikiran


2. Persepsi akurat menyimpang atau waham
3. Emosi konsisten 2. Ilusi 2. Halusinasi
dengan pengalaman 3. Reaksi emosional 3. Ketidakmampuan
4. Perilaku sesuai berlebihan atau kurang untuk kontrol emosi
5. Hubungan sosial 4. Perilaku aneh atau tak 4. Ketidakteraturan
lazim perilaku
5. Menarik diri 5. Isolasi sosial
Dari bagan diatas bisa dilihat rentang-respon neurobiologis bahwa respon adaptif
sampai maladaptif yaitu:
a) Respon Adaptif
1. Pikiran logis
Pendapat atau pertimbangan yang dapat diterima akal.
2. Presepsi Akurat
Pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa secara cermat.
3. Emosi Konsisten dengan Pengalaman
Pemantapan perasaan jiwa sesuai dengan peristiwa yang pernah dialami
4. Perilaku Sesuai
Kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut
diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertenangan dengan
moral.
5. Hubungan Sosial
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam pergaulan ditengah-tengah
masyarakat.
b) Respon Transisi
1. Pikiran kadang menyimpang
Kegagalan dalam mengabstrak dan mengambil kesimpulan.
2. Ilusi
Presepsi atau respon yang salah terhadap stimulus sensori.
3. Reaksi emosi berlebihan atau berkurang
Emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.
4. Perilaku aneh atau tak lazim
Perilaku aneh yang tidak enak dipandang, membingungkan, kesukaran
mengolah dan tidak kenal orang lain.
5. Menarik Diri
Perilaku menghindar dari orang lain.
c) Respon Maladaptif
1. Gangguan pikiran atau waham
Keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walau tidak diyakini
oleh orang lain dan bertentangan dengan realita sosial.
2. Halusinasi
Persepsi yang salah terhadap rangsang.
3. Ketidakmampuan untuk kontrol emosi
Ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk mengalami
kesenangan, kebahagiaan, keakraban dan kedekatan.
4. Ketidakteraturan perilaku
Ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang ditimbulkan.
5. Isolasi sosial
Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan
sikap yang negative dan mengancam.

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan upaya yang diarahkan pada pengendalian
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan
mekanisme pertahanan lain yang digunakan melindungi diri. Mekanisme
koping yang sering dilakukan oleh klien dengan halusinasi adalah regresi
yaitu berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, klien jadi malas beraktifitas sehari-hari. Proyeksi
yaitu upaya untuk menyelesaikan kehancuran persepsi dan mencoba
menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab
kepada orang lain atau suatu benda. Denial adalah menghindari kenyataan
yang tidak diinginkan dengan mengabaikan dan mengakui adanya
kenyataan ini. (Stuart, 2007)
III. A. Pohon Masalah

Resiko Perilaku Kekerasaan

Gangguan sensori
persepsi: Halusinasi

Isolasi Sosial

B. Masalah Keperawatan dan Data yang dikaji


Gangguan sensori persepsi: Halusinasi
Data subjektif:
a. Klien mengatakan sering mendengar suara bisikan ditelinga
b. Klien mengatakan sering melihat sesuatu
Data objektif:
a. Klien tampak ketakutan
b. Klien tampak bicara sendiri
c. Klien tampak marah tanpa sebab
d. Klien kadang tertawa sendiri
e. Klien sering menyendiri
f. Klien tampak mondar-mandir

B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan sensori persepsi: Halusinasi

C. Rencana Tindakan Keperawatan


Terlampir
Standar Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

Nama:

SP:

Pertemuan:

Tanggal:

Proses keperwatan

Kondisi klien:

Petugas mengatakan klien sering menyendiri dikamar. Klien mengatakan

Anda mungkin juga menyukai