Anda di halaman 1dari 20

Kelompok 1

RIBA, BUNGA, DAN BAGI HASIL


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Moneter Islam
Dosen Pengampu: Nurse Fatimah MZ, S.E.Sy, M.E

Disusun Oleh:
Dwi Putri Aryahiyati
NIRM. 1209.18.08.571
Semester/Lokal: IV/B

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (ESY)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AULIAURRASYIDDIN
TA. 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini. Shalawat dan
salam juga penulis haturkan buat Nabi Muhammad SAW yeng telah membawa kita
dari alam kegelapan menuju cahaya islam rahmatan Lil-‘Alamin.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nurse Fatimah MZ, S.E.Sy, M.E
selaku dosen pembimbing mata kuliah Ekonomi Moneter Islam yang telah
memberikan tugas pembuatan makalah ini kepada penulis. Ucapan terima kasih juga
penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan
makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang
ditentukan.
Penulis sangat berharap makalah ini bisa menjadi bahan acuan dalam
pebelajaran mata kuliah Ekonomi Moneter Islam tentang Riba, Bunga, dan Bagi
Hasil.

Tembilahan, 20 Februari 2020

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................. i

i
Daftar Isi...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1. Latar Belakang............................................................................... 1
2. Tujuan............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
1. Riba................................................................................................ 3
A. Pengertian Riba......................................................................... 3
B. Dasar Hukum Riba.................................................................... 5
C. Fase Riba................................................................................... 7
D. Macam-Macam Riba................................................................. 9
2. Bunga............................................................................................. 12
A. Pengertian Bunga...................................................................... 12
B. Aplikasi Bunga di Lembaga Keuangan..................................... 14
3. Bagi Hasil...................................................................................... 16
A. Pengertian Bagi Hasil................................................................ 16
B. Aplikasi Bagi Hasil di Lembaga Keuangan.............................. 16
BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Masalah riba adalah salah satu topik menarik yang terus menjadi bahan kajian dan
diskusi diantara para ahli fiqh karena masalah riba ini, sehingga muncul berbagai
pendapat mengenai hal ini.
Riba merupakan salah satu aktivitas pemindahan harta kekayaan yang tidak
dilandasi kerelaan satu pihak, sehingga riba ini termasuk perbuatan yang tercela
dalam Islam. Para ulama sepakat bahwa hukum riba ini adalah haram tapi yang masih
banyak dipermasalahkan dan diperdebatkan yang mana yang termasuk kategori riba.
Meskipun perbuatan ini secara syara’ telah diharamkan, namun praktik riba terus
berlangsung dan bahkan dikemas dengan gaya-gaya jual beli supaya tidak mencolok
praktik ribawinya.
bunga adalah biaya yang dikenakan kepada peminjam uang atau imbalan yang
diberikan kepada penyimpanan uang yang besarnya telah ditetapkan dimuka,
biasanya ditentukan dalam bentuk persentase(%) dan terus dikenakan selama masih
ada sisa simpanan/pinjaman sehingga tidak hanya terbatas pada jangka waktu
kontrak.Oleh karena itu pantas para ahli dikalangan dunia Islam termasuk ulama di
Indonesia berpendapat bahwa bunga sama dengan riba.
Bagi hasil dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi
diartikan pembagian laba. Dengan demikian bagi hasil merupakan sistem yang
meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemilik dana dan pengelolaan
dana. Pembagian usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana,
maupun antara bank dengan nasabah.
Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan
dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah,
dan al-musaqah.

2. Tujuan
a. Mengetahui pengertian Riba
b. Mengetahui Dasar Hukum Riba
c. Mengetahui Fase-fase riba
d. Mengetahui Macsm-macam riba
e. Mengetahui Pengertian Bunga
f. Mengetahui Aplikasi Bunga dalam Lembaga Keuangan

1
g. Mengetahui Pengetian Bagi Hasil
h. Mengetahui Aplikasi Bagi Hasil dalam Lembaga Keuangan.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Riba
A. Pengertian Riba
Kata riba =ziyadah , berarti:bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-Riba atau
ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dna subur. Adapun pengertian
tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan
cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun
berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.1
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:

1
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, Yogyakarta : UII Press,2018, hal. 127

2
1) Bertambah ( ), karena salah satu perbuatan riba adalah meminta
tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2) Berkembang, berbunga ( ), karena salah satu perbuatan riba adalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang
lain.
3) Berlebihan atau menggelembung, kata kata ini berasal dari firman Allah:

Bumi jadi subur dan gembur (Al-Haj:5)


Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali ialah:
“akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui
pertimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang
terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama ata tidak menurut aturan
syara’ atau terlambat salah satunya.
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya
(uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang
telah ditentukan.2
Secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namin secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batik
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan:
“pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam
ayat Qur’an yaitu setiap penambhan yang diambil tanpa adanya satu transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”.

2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2016., hal. 57-58

3
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejaran islam dari
berbagai mazhahib fiqhiyah, diantaranya sebagai berikut:
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
3. Raghib al-Asfahani
Riba adalah penambahan atas harta pokok.
4. Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’i
Riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta
pokok karena unsur waktu.
5. Qatadah
Riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga
waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak
mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.
6. Zaid bin Aslam
Yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan
dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya, pada saat
jatuh tempo, ia berkata, ‘bayar sekarang atau tambah’.
7. Mujahid
Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan
(tisak mampu bayar), si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.
8. Ja’far ash-Shadiq dari Kalangan Syi’ah
Ja’far ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan
riba, “supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan, hal ini karena ketika
diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat
makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.
9. Imam Ahamd bin Hanbal, pendiri Mazhan Hanbali
Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan
kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu
melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas
penambahan waktu yang diberikan.3

3
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,Depok : Gema Insani, 2001, hal. 37-
41

4
B. Dasar Hukum Riba
1. Qs. Al-Baqarah:275

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba


2. Qs. Ali-Imran:130

Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu meakan harta riba secara
berlipat ganda dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kamu menang.
3. Qs. An-Nisa: 161

“dan disebabkan mereka emakan riba, kami haramkan kepada mereka untuk
mengambil, memakan, dan memanfatkan barang riba”
4. Qs. Ar-Rum: 39

“dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan, agar dia menambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah di sisi Allah”
5. Riwayat Ibnu Jarir

“riba memiliki enam puluh pintu dosa, dosa yang paling ringan dari riba ialah
seperti dosa yang berzina dengan ibunya”

6. Riwayat Nasai

5
“Rasulullah Saw, melaknat pemakaman riba, dua saksinya, dua penulisnya,
jika mereka tahu yang demikian, mereka dilaknat lidah Muhammad Saw, pada
hari kiamat”
7. Riwayat Ahmad

Ibnu Abbas berkata: tak ada riba sesuatu yang dibayar tunai”4

C. Fase Riba
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus
melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya
seolah-olah menolong mereka yng memerlukan sebagai suatu perbuatan yang
mendekati atau taqarub kepada Allah SWT.
“dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada
harta manusia, maka riba itu ttidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya)”. (ar-Ruum: 39)
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk, Allah SWT
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba.
“maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagimereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih”. (an-Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada
masa tersebut. Allah berfirman,
4
Hendi suhendi, op. cit. hal. 58-60

6
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kau memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah upaya kamu mendapat
keberuntungan”. (Ali Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami
bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba
(jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi
merupakan sifat umum dari praktik pembangunan uang pada saat itu. Demian juga
ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-
Baqarah yang turun pada tahun ke9 Hijriah.
tahap keempat.Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba.
“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya.” (al-Baqarah: 278-279)
D. Macam-Macam Riba
Ulama fikih sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’I Abdul Hadi (1993)
membagi riba menjadi dua macam, yaitu:
1. Riba fadl, adalah riba riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh
para ulama fiqh dengan “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang
diperjualbelikan dengan ukuran syarak”. Yang dimaksud ukuran syarak adalah
timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya, 1 kg beras dijual dengan 1 ¼ kg.
kelebihan ¼ kg tersebut disebut riba fadl. Jual beli semacam ini hanya berlaku
pada dalam barter.
2. Riba an-nasi’ah, adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang
berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo.
Apabila waktu jatuh tempo sudah tiba, ternyata orang yang berutang tidak
sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya bisa diperpanjang
dan jumlah uang bertambah pula.
Akhirnya muncul berbagai pendapat tentang dua mcam jenis riba tersebut
dikalangan para ulama fikih. Menurut ulama Mazhab Hanafi dalam salah satu

7
riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, riba fadl ini hanya berlaku dalam
timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila
yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak
termasuk riba fadl.
Sementara itu mazhab Maliki dan Syafi’I berpendirian, bahwa ilat keharaman
riba fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari
sesuatu, baik emas dan perak apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan
cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain.
Berdasarkan kepada Al-Qur’an,as-Sunnah, dan ijma’ para ulama, dari dua jenis
riba yang diterapkan diatas dapat dianalisis dari akar akarnya. Istilah nasi’ah
berakar dari asal kata nasa’a yang berarti penangguhan, penundaan, tunggu,
merujuk pada waktu yang diizinkan bagi peminjam untuk membayar kembali
utang berikut ‘tambahan’ atau ; premi’. Dengan demikian, riba nasia’ah mengacu
pada bunga atas pinjaman, inilah yang dinyatakan Nabi SAW, “ tidak ada riba
kecuali dalam nasia’ah”5
Menurut Ibn al-Jauziyah dalam kitab I’lam al-Muwaqi’in “an Rab al- ‘Alamin
riba dibagi menjadi dua bagian, riba jali dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba
nasi’ah dan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali.

Al-Qur’an menyatakan:

Maka yang hak bagimu ialah sebanyak pokokmu yang semila kamu tak boleh
menganiaya dan dianiaya (Al- Baqarah: 279)
Riba fadli ialah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan.
Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang
yang ditimbang , terlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar, dan
berlebihan ukuannya pada barang-barang yang diukur.
Riba nasi’ah adalah riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat
ganda karena watunya diundurkan, sedangkan riba fadli semata-mata berlebihan
pembayarannya, baik sedikit maupun banyak . riba jali dan riba khafi yang
dujelaskan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah diatas juga dijelaskan pula bahwa
menurut beliau riba jali adalah riba yang nyata bahanya dan mudaratnya,

5
Muhammad, Op.cit. hal. 129-131

8
sedangkan riba nasi’ah dan riba khafi adalah irba yang tersembunyi bahaya dan
mudaratnya. Inilah yang disebut riba fadli yang besae kemungkinan membawa
kepada riba nasi’ah.
Selanjutnya Ibn Qayyim menyatakan dilarang berpisah dalam perkara tukar-
menukar sebelum ada timbang terima. Menurut Sulaiman Rasyid, dua orang yang
bertukar barang atau jual beli berpisah sebelum timbang terima disebut riba yad.
Menurut Ibn Qayyim perpisahan dua orang yang nelakukan jual beli sebelum
serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba.
Riba qardhi sama dengan riba fadli, hanya saja riba fadli kelebihannya terjadi
ketika qardhi berkaitan dengan waktu yang diundurkan.
Menurut sebagian para ulama riba dibagi menjadi empat macam yaitu
fadli,qardhi, yad, dan nasa’. Juga menurut sebagian ulama lagi riba dibagi menjadi
tiga bagian yaitu fadli, nasa, dan yad, riba qardhi dikategorikan pada riba nasa’.6
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah
riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba
qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi
riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih ari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbedaa.
Sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
‘riba itu terdiri atas tiga jenis, riba fadl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah. Al-
Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga

6
Hendi suhendi, Op. cit.hal. 61-61

9
menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secra ijma berdasarkan nash Al-
Qur’an dan hadits Nabi”.7

2. BUNGA
A. Pengertian Bunga
Menurut Maulana Muhammad Ali bahwa sistem bunga yang dimaksud adalah
tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. menurut Purwaatmaja, K
pengertian bunga adalah biaya yang dikenakan kepada peminjam uang atau
imbalan yang diberikan kepada penyimpanan uang yang besarnya telah ditetapkan
dimuka, biasanya ditentukan dalam bentuk persentase(%) dan terus dikenakan
selama masih ada sisa simpanan/pinjaman sehingga tidak hanya terbatas pada
jangka waktu kontrak.
Oleh karena itu pantas para ahli dikalangan dunia Islam termasuk ulama di
Indonesia berpendapat bahwa bunga sama dengan riba seperti dibawah ini:
1. Dewan Studi Islam al-Azhar, Cairo
Bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan.
2. Rabithah Alam Islamy
Bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang
diharamkan.
3. Majma Fiqh Islamy, Organisasi Konferensi Islam
Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah tidak
mampu membayanya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari
permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang diharamkan secara
syariah.
4. Pandangan Ulama Indonesia
Berbagai fatwa dari ormas-ormas Islam yang berpengaruh di Indonesia seperti
Muhammadiyah dan NU juga telah banyak membahas riba terkait dengan
bunga.
Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammdiyah mengemukakan bahwa bunga berlaku selama
ini adalah perkara Mutasyabihat (tidak jelas halal dan haramnya). Kata kata
mutasyabihat dalam pengertian bahasa adalah perkara yang tidak jelas. Dalam
pengertian Syra’ sebagai yang tersimpul dalam hadist riwayat Bukhari dan
Muslim dari Nu’man bin Basyir yang berkesimpulan sebagai berikut:
Bahwasannya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas yaitu yang dijelaskan
oleh al-Qur’am dan Hadits. Misalnya daging onta halal dimakan, daging

7
Muhammad Syafi’i Antonio , Op. cit.hal. 41-42

10
Khinzir (babi) haram dan lain-lain. Selain dari itu ada beberapa hukum yang
tidak jelas halal dan haramnya bagi seseorang maka inilah yang dinamakan
mutasyabihat. Dalam keadaan seperti ini Nabi menganjurkan kita untuk berhati-
hati dengan menghindari dan menjahinya demi menjaga kemurnian jiwa dan
pengabdian kita kepada Allah SWT.
Nahdatul Ulama
Lajnah Bahsul Masail NU juga mengemukakan tiga pendapat tentang hukum
bunga bank yaitu: haram, syubhat, halal dan, meskipun ada perbedaan pendapat
itu, Lajnah itu memutuskan untuk kehati-hatian lebih baik memilih pendapat
yang mengatakan riba itu haram
Majelis Ulama Indonesia
a. Bunga bank sama dengan riba
b. Tidak sama dengan riba
c. Subhat, MUI harus mendirikan bank alternatif.
Kalau kita perhatikan berbagai pendapat yang ada mayoritas pendapat
mengatakan bahwa bunga adalah sesuatu yang seharusnya atau mesti
dihindarkan.
Menurut Abu Saud, peneasehat Bank Negara Pakistan, bahwa segala bentuk
rente/bunga yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang asala riba.
Afif Abdul Fath Thabbarah, bahwa memungut rente haram hukumnya, karena
menurut beliau Islam telah menetapkan bahwa pemilik modal dan orang yang
mengusahakannya harus bersekutu dalam untung dan rugi. Sedang memungut
rente yang tetap bearti selalu mendapatkan keuntungan, padahal orang yang
mengusahakannya belum tentu mendapat keuntungan, bahkan kadang-kadang
ada yang bangkrut dan disita oleh bank.
B. Aplikasi Bunga Dalam Lembaga Keuangan
Dalam kehidupan sehari-hari kata suku bunga bukanlah sesuatu yang asing lagi.
Baik itu dari pinjaman ataupun tabungan, unsur suku bunga akan selalu berada di
produk-produk perbankan dan akan mempengaruhi nasabah. Jika ingin
mendapatkan pinjaman yang termurah maka nasabah akan perlu mencari kredit
dengan suku bunga rendah. Sedangkan jika ingin mencari tabungan paling
menguntungkan maka nasabah perlu mencari tabungan bunga tertinggi.
Bunga adalah imbal jasa atas pinjaman uang atau harga dari penggunaan uang.
Jadi bunga itu dapat dikatakan kompensasi yang diberikan dari sang peminjam
uang kepada pemberi pinjaman atas ketersediaannya meminjamkan uang.

11
Seperti contohnya, imbal jasa dari pengambilan uang untuk Kredit Tanpa
Agunan (KTA) adalah bunga yang ditagihkan, dimana bunga bertindak sebagai
“harga” dari mendapatkan uang dalam jumlah penuh sekarang dan membayarnya
secara cicilan. Persentase dari pokok pinjaman yang dibayar sebagai bunga dikenal
sebagai suku bunga.
Tetapi bagaimana dengan suku bunga simpanan? Apakah konsep bunga itu
berbeda di simpanan? Tidak! Sebenarnya simpanan merupakan pinjaman juga,
akan tetapi dari nasabah untuk bank. Sehingga bank harus memberikan imbalan
jasa atas pinjaman yang nasabah berikan dan imbalan tersebut berupa bunga.
Untuk pemahaman lebih lanjut, berikut penjelasan perbandingannya.
Perbandingan suku bunga kredit dan suku bunga simpanan Suku bunga
simpanan merupakan suku bunga yang diberikan kepada nasabah sebagai balas
jasa dari penyimpanan uangnya di bank. Tujuan dari suku bunga simpanan untuk
mendorong nasabah agar tertarik menempatkan dananya di bank. Suku bunga
simpanan untuk setiap produk bank akan berbeda. Sebagian produk simpanan
seperti deposito akan lebih tinggi daripada tabungan. Hal ini disebabkan karena
tabungan memiliki sifat yang sangat fleksibel, dimana nasabah dapat menarik uang
tersebut kapanpun dia inginkan sedangkan deposito tidak.
Sedangkan suku bunga kredit merupakan suku bunga yang ditagihkan dari
nasabah sebagai balas jasa atas meminjam uang dari bank. Suku bunga kredit
merupakan sumber pendapatan bagi bank, sedangkan suku bunga simpanan
merupakan beban pengeluaran untuk bank. Oleh sebab itu, bank akan menagihkan
suku bunga kredit lebih tinggi daripada suku bunga pinjaman. Dengan margin
perbedaan suku bunga pinjaman dan suku bunga simpanan tersebut maka bank
dapat memperoleh keuntungan dan mempertahankan operasionalnya sehari-hari.
Alasan lain mengapa suku bunga kredit biasanya lebih tinggi, karena bank
memerlukan kompensasi lebih untuk menanggung resiko jika nasabah tidak
mampu membayar pinjaman tersebut.
Kedua suku bunga ini berkaitan erat di sistem perbankan. Masing-masing
bunga mempengaruhi satu sama lainnya, jadi jika terjadi kenaikan pada suku
bunga simpanan maka suku bunga kredit juga akan naik.
Sebelum mengetahui cara kerja bunga, Anda perlu memahami bahwa dari
setiap pinjaman akan tersedia jumlah pokok pinjaman. Jumlah pokok pinjaman
merupakan total awal dari pinjaman yang diperoleh. Dalam hal simpanan berarti

12
jumlah awal uang yang nasabah simpan. Bunga dihitung berdasarkan dari
perkalian suku bunga dengan jumlah pokok pinjaman. Dalam hal pinjaman bunga
akan dibayarkan sepanjang periode dengan cicilan pokok pinjaman. Sedangkan
untuk simpanan maka bunga akan dibayarkan di akhir periode yang telah disetujui
antara bank dan nasabah
3. BAGI HASIL
A. Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil menurut Terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing.
Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Adapaum menurut
Muhammad dalam Ridwad, secara istilah profit sharing merupakan distribusi
beberapa bagian laba pada para pegawai dari suati perusahaan. Bentuk-bentuk
distirbusi ini dapat berupa pembagian laba akhir, bonus prestasi, dan lain-lain.
Dengan demikian bagi hasil merupakan sistem yang meliputi tata cara pembagian
hasil usaha antara pemilik dana dan pengelolaan dana. Pembagian usaha ini dapat
terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah.
Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan
dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah,
dan al-musaqah.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-
musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah di
pergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh
beberapa bank Islam.

B. Aplikasi Bagi Hasil dalam Lembaga Keuangan


1. Al-Musyarakah
Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan konstribsi dana (atau
amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
a. Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek
tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasil yang telah disepakati.
b. Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam
kepentingan perusahaan, al-musyarakah dalam skema modal ventura.

13
Penanaman mdal dilakukan untuk jagka waktu tertentu dan setelah itu bank
melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat
maupun bertahap.
Skema al-Musyarakah

Nasabah Bank Syariah


Parsial: Parsial
Asset Value Pembiayaan

PROYEK
USAHA

KEUNTUNGAN

Bagi hasil keuntungan sesuai porsi


konstribusi modal (nisbah)

2. Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara pihak dimana pihak
pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Al-mudharabh biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan
pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,
seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.( deposito biasa)

14
b. Deposito spesial (spesial investment), dimana dana yang dititipkan nasabah
khuus untuk bisnis tertentu, misalnya, murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
1) Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
2) Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyah, di mana sumber
dana khusu dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang
elah ditetapkan oleh shahibul maal.
PERJANJIAN
BAGI HASIL

KEAHLIAN/ MODAL
KETRAMPILAN 100%

Nasabah Bank
(Mudharib) (Shahibul Maal)

PROYEK/USAHA
Nisbah
PEMBAGIAN Y%
KEUNTUNGAN

Pengambilan Modal
Pokok
MODAL

3. Al-Muzara’ah
Al-muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu
(persentase) dari hasil panen.
4. Al-Musaqoh
Al-Musaqoh adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana di
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

15
BAB III
KESIMPULAN

Riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak
dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah
banyak seperti yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus
melainkan diturunkan dalam empat tahap (ar-Ruum: 39),(an-Nisa: 160-161) ,(Ali
Imran: 130), (al-Baqarah: 278-279).
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah
riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba
qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi
riba fadhl dan riba nasi’ah.
Bunga adalah imbal jasa atas pinjaman uang atau harga dari penggunaan uang.
Jadi bunga itu dapat dikatakan kompensasi yang diberikan dari sang peminjam
uang kepada pemberi pinjaman atas ketersediaannya meminjamkan uang.
profit sharing merupakan distribusi beberapa bagian laba pada para pegawai
dari suati perusahaan. Bentuk-bentuk distirbusi ini dapat berupa pembagian laba
akhir, bonus prestasi, dan lain-lain. Dengan demikian bagi hasil merupakan sistem

16
yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemilik dana dan
pengelolaan dana. Pembagian usaha ini dapat terjadi antara bank dengan
penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah.

DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi, 2016. Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers.


Muhammad, 2018. Ekonomi Moneter Islam, Yogyakarta : UII Press.
Antonio Muhammad Syafi’I, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik,Depok : Gema
Insani.

17

Anda mungkin juga menyukai