Anda di halaman 1dari 95

KONSEP DASAR DAN PROSES DALAM FARMAKOLOGI

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Kelas Tutor Ilmu Dasar Keperawatan Kelas Tutor C

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Salawat serta salam kami curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing kita dari zaman jahiliyah hingga saat ini.

Makalah yang berjudul Konsep Dasar dan Proses dalam Farmakologi ini ditulis untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II. Dalam makalah ini, kami
akan membahas tentang bagaimana Konsep Dasar dan Proses dalam Farmakologi.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penyusun makalah menyampaikan rasa
hormat dan ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah
memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kami, mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
makalah kami.

Jakarta, 1 maret 2019

Penulis

i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................1

1.3 Tujuan Masalah...............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Fisiologi Seluler, Struktur dan Fungsi…………………….... 2

2.2 Proses Masuk Obat dan Pergerakan Molekul Obat………………………...10


2.3 Absrobsi………………………………………………………………….....16
2.4 Distribusi…………………………………………………………………....22
2.5 Metabolisme………………………………………………………………...25
2.6 Eksresi……………………………………………………………………....32
2.7 Level Obat Dalam Serum…………………………………………………...40
2.8 Waktu Paruh Obat…………………………………………………………..44
2.9 Teori resptor Kerja Obat……………………………………………………46
2.10 Non-Reseptor Kerja Obat………………………………………………….48
2.11 Variabel Yang Berhubungan Dosis………………………………………..52
2.12 Variabel Yang Berhubungan Dengan Pasien……………………………...57
2.13 Toleransi dan Toleransi Silang…………………………………………… 62
2.14 Efek Pada System Tubuh…………………………………………..………68
2.15 Managemen Umum Dari Keracunan Obat………………………………...84
2.16 Jenis Antidot……………………………………………………………… 87
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………....93
3.2 Saran………………………………………………………………………………..93

ii
BAB
I PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang


Farmakologi berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan). Farmakologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada system
biologis.Farmakognosi adalah ilmu yang mempelajari tentang bagian-bagian tanaman atau
hewan yangdapat digunakan sebagai obat. Farmasi (English: pharmacy, Latin: pharmacon)
adalah bidang profesional kesehatan yang merupakan kombinasi dari ilmu kesehatan dan ilmu
kimia, yangmempunyai tanggung-jawab memastikan efektivitas dan keamanan penggunaan obat.
Profesional bidang farmasis disebut farmasis atau apoteker. Farmakologi Klinik adalah
ilmufarmakologi yang mempelajari pengaruh kondisi klinis pasien terhadap efikasi obat,
misalkan kondisi hamil dan menyusui, neonates dan anak, geriatric, inefisiensi ginjal dan hepar.
Farmakologi telah berkembang sejak sebelum tahun 1700 (periode kuno) yang ditandai
dengan observasi empirik penggunaan obat yang dikenalkan pertama kali oleh Claudius Galen.
Kemudian pada abad 18-19 (periode modern) mulai dilakukan penelitian eksperimental tentang
nasib obat, tempat dan cara kerja obat, pada tingkat organ dan jaringan. Sebagai seorang perawat
harus mempunyai pengetahuan tentang manfaat dan risiko akan penggunaan obat. Hal tersebut
dibutuhkan perawat agar dapat melindungi diri klien dan perawat itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja Konsep dasar fisiologi seluler?
2. Bagaimana Transportasi obat melalui membrane sel?
3. Apa itu Farmakokinetik Dan Farmakodinamik?
4. Apa saja Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja obat?
5. Bagaimana Efek samping obat?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui apa saja konsep dasar fisiologi seluler.

2. Untuk mengetahui bagaimana proses transportasi obat.

3. Untuk mengetahui apa itu farmakokinetic dan farmakodinakmik.

4. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi kerja obat.

5. Untuk mengetahui bagaimana efek samping obat.

1
REVIEW KONSEP DASAR FISIOLOGI SELULER

STRUKTUR SEL & FUNGSI

Makalah disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun Oleh :

Rensi Hepi Farenta 1810711076

UNIVERSITAS PEMBENGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

2019

2
Sel merupakan kesatuan struktural dan fungsional penyusun makhluk hidup yang dapat
memperbanyak diri. Aktivitas yang ada dalam sel terjadi dalam organel-organel yang
mendukung fungsi-fungsi tertentu.

Adapun fungsi dari bagian-bagian penyusun sel adalah sebagai berikut:


a. Dinding sel dan membrane sel

Dinding sel bersifat permeable.


Dinding sel berfungsi sebagai pelindung dan pemberi bentuk tubuh.

Membran sel merupakan bagian terluar dari sel.


Fungsinya antara lain sebagai berikut:
 Pembatas antara isi sel dengan bagian luar sel
 Sebagai pelindung sel
 Sebagai tempat pertukaran zat
 Sebagai reseptor atau penerima rangsangan dari luar.
 Pengatur pertukaran zat yang keluar masuk ke dalam sel
 Melakukan seleksi terhadap zat yang boleh keluar dan masuk dari dalam atau luar
sel (selektif permeable)

3
Membran sel tersusun atas lipid, protein, dan karbohidrat. Lipidnya terutama berupa
fospolipid yang merupakan molekul-molekul amfiilik artinya setiap molekul mengandung
"kepala" hidrofilik dan "ekor" hidrofobik. Membran sel dapat berfungsi sebagai pelindung sel
dengan membentuk lapisan ganda fosfolipid dimana kepala hidrofilik menghadap ke arah air
pada setiap sisi, sedangkan ekor hidrofobik terlindung dari sentuhan air.
Membran memiliki dua jenis protein, yaitu protein integral dan periferal. Protein integral
yang menembus di antara lapisan fosfolipid, berfungsi sebagai transpor yang membawa zat-zat
terlarut yang dibutuhkan sel. Sementara, protein poriferal menempel di lapisan fosfolipid.
Pada bagian sel yang menghadap keluar sel, terdapat karbohidrat yang melekat pada protein
atau bagian kepala fosfolipid. Karbohidrat yang berikatan dengan protein disebut glikoprotein,
sedangkan yang berikatan dengan fosfolipid disebut glikolipid. Membran sel secara aktif
menentukan zat-zat mana yang dapat dilaluinya dan sekaligus menahan zat mana yang tidak
dapat dilaluinya. Berdasarkan kenyataan ini, para ilmuwan menyebutnya sebagai membran yang
bersifat diferensial semipermeabel atau selektif permeable. Dengan cara inilah membran sel
berusaha mempertahankan bentuk dan reaksi-reaksi kimia dalam sel agar dapat berjalan terus.

Transport zat-zat melalui membran sel melalui tiga jalan yaitu :


 Proses difusi, melalui pori-pori membran atau melalui matriks membran itu sendiri
 Transport aktif, melalui membran, suatu mekanisme tempat sistem enzim dan pembawa
membawa zat-zat melaui membran.
 dengan endositosis, yaitu suatu mekanisme membran menelan cairan ekstrasel dan isinya.

b. Nukleus

4
Nukleus dibatasi oleh membran inti, mengandung benang-benang kromatin dan nukleolus (anak
inti sel). Membran inti terdiri atas dua lapis dan mempunyai pori. Benang-benang kromatin akan
memendek pada waktu proses pembelahan sel membentuk kromosom. Nukleus berfungsi
mengatur segala aktivitas yang terjadi dalam sel.

c. Sitoplasma

Terisi oleh partikel dan organel kecil dan besar yang tersebar yang berukuran berkisar dari
beberapa nanometer sampai dengan 3 mikron. Koloid dengan prosentase 75% air dan 25%
protein.

Struktur Sitoplasma sendiri dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu :

 Organel yang tidak aktif dalam metabolisme sel

5
sentriole
• digunakan waktu membelah diri
• ukuran beberapa nanometer – 3 mikron
• Koloid dengan prosentase 75% air dan 25%

 Organel yang aktif dalam metabolisme sel

Reticulum endoplasma

Berbentuk ruang yang dibatasi oleh sistem membran yang saling berhubungan membentuk suatu
anyaman. Luas bisa 30-40 kali luas membran sel.

Fungsi penting retikulum endoplasma adalah :


· Mengandung enzim-enzim yang mengatur pemecahan glikogen bila glikogen digunakan untuk
energi.

6
· Mengandung banyak enzim yang mampu mendetoksikasi zat-zat yang merusak sel seperti obat-
obatan. Ia melakukan ini dengan koagulasi, oksidasi, hidrolisis, dan konjugasi dengan asam
glukonat, serta cara-cara lain.
· Dapat mensitesis beberapa karbohidrat yang biasanya terkonjugasi dengan molekul protein
untuk membentuk glikoprotein.

Berdasarkan bentuk nya dibedakan menjadi :


· Retikulum endoplasmik kasar, pada permukaa luar dari membrannya nampak penuh dengan
ribosom yang menempelinya.
· Retikulum endoplasmik halus, permukaan luar dari membranya tidak ada ribosom yang
menempelinya.

Ribosom

Ribosom terdiri atas dua unit yang kaya akan RNA, berperan dalam sintesis protein. Ribosom
ada yang menempel pada RE kasar dan ada yang terdapat bebas dalam sitoplasma.

7
Mitokondria

Memiliki membran rangkap, membran luar dan membran dalam.

Membran dalam berlekuk-lekuk disebut krista yang berfungsi untuk memperluas bidang
permukaan agar proses penyerapan oksigen dan pembentukan energi lebih efektif.

Aparatus Golgi

berupa tumpukan kantung-kantung pipih, berfungsi sebagai tempat sintesis dari sekret (seperti
getah pencernaan, banyak ditemukan pada sel kelenjar), membentuk protein dan asam inti
(DNA/RNA), serta membentuk dinding dan membran sel.

8
lisosom

berupa butiran kecil/bundar, berisi enzim pencerna yang berfungsi dalam pencernaan intrasel.

- Hasil –hasil pencernaan adalah molekul-molekul kecil asam animo, glukosa, asam lemak, fosfat,
dan sebagainya yang kemudian dapat berdifusi melalui membran vesikel ke dalam sitoplasma.
- Peranan sangat khusus lainnya adalah pembuangan sel-sel yang rusak dari jaringan – sel rusak
karena panas, dingin, trauma, zat kimia, atau faktor-faktor lainnya.
- Lisosom juga mengandung agen bakterisidal yang dapat membunuh bakteri yang difagositosis
sebelumn mereka dapat menyebabkan kerusakan sel. Dan pada lisosom disimpan enzim-enzim
yang bila dikeluarkan dalam sitoplasma, dapat melarutkan tetesan lemak dan granula glikogen,
membuat lipid dan glikogrn siap digunakan pada semua sel dalam tubuh.

Daftar pustaka

Campbell, N.A., J.B Reece,& L. G. Mitchell. 2010. Biologi. Edisi ke-8. Terj. Dari : Biology. 8th
ed. Oleh Manulu, W. JakarTA : Erlangga.

9
Proses Masuk dan Pergerakan Molekul Obat Melalui Rute Pemberian, Metabolisme dan
Eksresi

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Della Yunita 1810711066

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

10
PROSES PERJALANAN OBAT

Proses perjalanan obat melibatkan banyak sistem transport yang merupakan sebuah sistem dari
proses farmakokinetik antara lain:

1. Sistem transpor pasif yakni tidak menggunakan energi. Misalnya perjalanan molekul-molekul
suatu obat melintasi dinding pembuluh ruang-ruang antar jaringan (interstitial) yang dapat terjadi
melalui dua cara yaitu :

a. Filtrasi : melalui pori-pori kecil dari membran, misalnya dinding kapiler. Yang difiltrasi
adalah air dan zat-zat hidrofil yang molekulnya lebih kecil daripada pori, seperti alkohol dan
urea (BM <200)

b. Difusi : zat melarut dalam lapisan lemak dari membran sel. Dengan sendirinya zat lipofil lebih
lancar penerusannya. Difusi merupakan cara transpor yang paling lazim

2. Sistem Transport aktif yakni dengan membutuhkan energi. Pengangkutannya dilakukan


dengan mengikat zat hidrofil (makromolekul atau ion) pada suatu protein pengangkut spesifik
yang umumnya berada di membran sel (carrier). Setelah membran dilintasi, obat dibebaskan
kembali. Kebanyakan zat alamiah diresorpsi dengan cara ini seperti glukosa, asam amino, asam
lemak, dan sebagainya. Bedanya dengan difusi, cepatnya penersusan pada transpor aktid tidak
tergantung konsentrasi obat. Penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui
filtrasi, difusi atau transport aktif, seperti telah di uraikan di atas. Molekul besar terutama za
lemak, diangkut dengan sistem limfe ke darah.

II. FARMAKOKINETIKA

Perjalanan obat dalam tubuh tidak lepas dari sitem farmakokinetika yang meliputi ADME
(absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi). sebagaimana diuraikan dalam uraian di bawah
ini.

1) Absorpsi dan Bioavailabilitas Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang
merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan
kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang
diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan
jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di
dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ
tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass
metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai
bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir
sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi

11
sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini
dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual
(misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.

2) Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain
tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi
obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung,
hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan
yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang
interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua
molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi
membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan
sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel.
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan
oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat
oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.

3) Biotransformasi / Metabolisme

Metabolisme Metaholisme adalah metode di mana obat-obatan tidak diaktifkan atau diubah oleh
tubuh. Kebanyakan obat aktif diubah menjadi satu atau lebih metabolit yang tidak aktifkemudian
diekskresikan. Beberapa obat aktif menghasilkan metabolit yang juga aktif dan yang terus
memberikan efeknya pada sel-sel tubuh sampai dimetabolisme lebih lanjut atau diekskresikan.
Obat-obatan lain (disebut prodrugs) pada awalnya tidak aktif dan tidak memberikan efek
farmakologis sampai mereka dimetabolisme.

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi
dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar,
artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah
diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang
metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat
(prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang
berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni
enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro
membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini

12
terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru,
epitel, saluran cerna, dan plasma.

4) Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat
daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi
yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus,
sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi
obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau
intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam
menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat,
liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak
berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik,
misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

Ekskresi mengacu pada eliminasi obat dari tubuh. Ekskresi yang efektif membutuhkan fungsi
yang memadai dari sistem sirkuit lateks dan organ-organ ekskresi (ginjal, usus. Paru-paru, dan
kulit). Sebagian besar obat diekskresikan oleh ginjal dan dihilangkan tidak berubah atau sebagai
metabolit dalam urin. Beberapa obat atau metabolit diekskresikan dalam empedu, kemudian
dihilangkan dalam tinja: yang lain diekskresikan dalam empedu, diserap kembali dari usus kecil,
dikembalikan ke hati (disebut reseptor serum enterohepatik), dimetabolisme, dan akhirnya
diekskresikan dalam urin. Beberapa obat oral tidak diserap dan diekskresikan dalam tinja. Paru-
paru umumnya menghilangkan zat yang mudah menguap, seperti gas anestesi. Sk in memiliki
fungsi ekskresi minimum. Ekskresi pasangan faktor, terutama penyakit ginjal berat,
menyebabkan akumulasi banyak obat dan dapat menyebabkan efek samping yang berat jika
dosis tidak dikurangi.

III. RUTE PEMBERIAN OBAT

Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat dan tujuan dari penggunaan obat sehingga
dapat memberikan efek terapi yang tepat. Terdapat 2 rute pemberian obat yang utama, enteral
dan parenteral.

Enteral

1. Oral : memberikan suatu obat melalui mulut adalah cara pemberian obat yang paling
umum tetapi paling bervariasi dan memerlukan jalan yang paling rumit untuk mencapai jaringan.

13
Beberapa obat diabsorbsi di lambung, namun duodenum sering merupakan jalan masuk utama ke
sirkulasi sistemik karena permukaan absorbsinya yang lebih besar. Kebanyakan obat diabsorbsi
dari saluran cerna dan masuk ke hati sebelum disebarkan ke sirkulasi. Minum obat bersamaan
dengan makanan dapat mempengaruhi absorbsi. Keberadaan makanan dalam lambung
memperlambat waktu pengosongan lambung sehingga obat yang tidak tahan asam, misalnya
penisilin menjadi rusak atau tidak diabsorbsi. Oleh karena itu, penisilin atau obat yang tidak
tahan asam lainnya dapat dibuat sebagai salut enterik yang dapat melindungi obat dari
lingkungan asam dan bisa mencegah iritasi lambung. Obat akan disekresi melalui ginjal dengan
tiga proses yaitu penyaringan glomerulus , penyerapan kembali pada tubulus ginjal , dan sekresi
pengangkutan aktif pada tubulus ginjal.

2. Sublingual : penempatan di bawah lidah memungkinkan obat tersebut berdifusi kedalam


anyaman kapiler dan karena itu secara langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pemberian
suatu obat dengan rute ini mempunyai keuntungan obat melakukan bypass melewati usus dan
hati dan obat tidak diinaktivasi oleh metabolisme.

Parenteral

Penggunaan parenteral digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk melalui saluran cerna, dan
untuk obat seperti insulin yang tidak stabil dalam saluran cerna. Pemberian parenteral juga
digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan yang memerlukan kerja
obat yang cepat.

1. Intravena (IV) : suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral yan sering
dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secara oral, sering tidak ada pilihan. Dengan
pemberian IV, obat menghindari saluran cerna dan oleh karena itu menghindari metabolisme first
pass oleh hati. Rute ini memberikan suatu efek yang cepat dan kontrol yang baik sekali atas
kadar obat dalam sirkulasi.

2. Intramuskular (IM) : obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa larutan
dalam air atau preparat depo khusus sering berupa suspensi obat dalam vehikulum non aqua
seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam larutan cepat sedangkan absorbsi preparat-preparat depo
berlangsung lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, obat tersebut mengendap pada
tempat suntikan. Kemudian obat melarut perlahan-lahan memberikan suatu dosis sedikit demi
sedikit untuk waktu yang lebih lama dengan efek terapetik yang panjang.

3. Subkutan : suntikan subkutan mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan


intravaskular.

14
Rute perjalanan obat

Obat masuk melalui rongga mulut, kemudian menuju ke esophagus melalui faring. Faring akan
melakukan suatu gerakan untuk mencegah obat masuk ke dalam saluran pernapasan dengan
menutupnya beberapa detik dan mendorong obat masuk ke esophagus. Kemudian obat dibawa
kedalam gaster menggunakan proses peristaltic. Beberapa obat diabsorbsi di gaster, namun
sebagian besar diabsorbsi di duodenum, jejunum, dan ileum. Karena usus halus memiliki
permukaan membran yang lebih luas dar ipada di gaster yang hanya memiliki luas permukaan
yang sempit. Selain itu pada usus halus, jaringan epitelnya tipis sehingga lebih mudah digunakan
untuk menyerap obat daripada menembus membran kulit yang berlapis. Obat diserap oleh sel –
sel enterocyte yang ada di mukosa usus. Kemudian zat- zat yang telah diserap akan menuju vena
segmental kemudian vena mesentrika superior dan masuk kedalam hepar melalui vena porta
untuk dimetabolisme terlebih dahulu sebelum menuju sirkulasi sistemik. Metabolisme obat
adalah proses tubuh mengubah komposisi obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut
air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Sebagian besar obat dibuang dari tubuh
oleh ginjal dan melalui urin. Obat juga dapat dibuang melalui paru- paru, eksokrin (keringat,
ludah, payudara), kulit dan traktus intestinal. Hasil dari metabolisme selanjutnya akan ikut
dibawa oleh aliran darah menuju ke jantung untuk dipompa. Darah masuk ke jantung melalui
vena hepatica kemudian masuk ke atrium kanan lalu ke ventrikel kanan selanjutnya akan dibawa
menuju paru- paru untuk dibersihkan melalui arteri pulmonalis. Disini akan terjadi proses
pertukaran gas O2 dan CO2. CO2 akan diekskesikan sementara O2 akan diikat oleh darah dan
dibawa kembali ke jantung untuk disebarkan ke seluruh tubuh. Darah masuk kembali ke jantung
melalui vena pulmonalis kemudian menuju ke atrium kiri lalu ke ventrikel kiri selanjutnya darah
keluar dari jantung melalui aorta yang merupakan arteri terbesar di tubuh. Darah yang keluar dari
aorta kemudian akan masuk ke arteri coronaria dan arteri carotis communis. Jantung akan
memperoleh darah yang mengandung O2 yang masuk melalui arteri muscularis lalu arteriol
kemudian menuju arteri cornaria. Darah yang masuk ke arteri carotis communis akan disebarkan
menuju ke beberapa organ yang lainnya dalam tubuh diantaranya arteri subclavia ke tangan,
arteri bronchialis ke paru- paru, arteri phrenicus ke dua cabang arteri yaitu arteri mesentrika
superior ke usus halus dan arteri mesentrika inferior ke usus besar, arteri truncus celiacus ke
duodenum; pancreas; gaster; hepar,arteri illiaca communis ke kaki dan arteri ranalis ke ginjal.

DAFTAR PUSTAKA : academia.edu/7579886/Bagan_perjalanan_obat7

15
ABSORBSI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah ilmu dasar keperawatn II

Dosen pengampu : Ns. Santi Herlina, M. Kep, sp.Kep.MB

Disusun oleh:
Nama: fitrianih azzahra Nim: 1810711069

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FALKUTAS ILMU KESEHATAN
PRODI KEPERAWATN
2019

16
DASAR TEORI

Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah.
Bergantungpadacarapemberiannya,tempatpemberianobatadalahsalurancerna
(mulutsampaidengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Absorbsi sebagian besarobat secara difus ipasif,
makasebagaibarierabsorbsiadalahmembranepitelsalurancerna yang seperti halnya semua
membrane sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membrane sel ditubuh kita,
merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar dapat melintasi membrane sel tersebut, moleku
lobat harus memiliki kelarutan lemak (setelahterlebihdulularutdalam air).
Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau membran
mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah.
Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke
dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah
dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:
Cara/bentuksediaan parenteral
1. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of
action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau
diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t 1/2)
pendek).
2. Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi,
kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya
partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi).
3. Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan
konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat
dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan).

17
4. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau
sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
5. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhiefekobat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang
berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah
yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut
berbeda. Hal-ha lini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya
dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi
pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
1. Tujuanterapimenghendakiefeklokalatauefeksistemik.
2. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama.
3. Stabilitasobat di dalam lambung atau usus.
4. Keamananrelatifdalampenggunaanmelaluibermacam-macamrute.
5. Rute yang tepatdanmenyenangkanbagipasiendandokter.
6. Hargaobat yang relative ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macamrute.
7. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk
sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar keseluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang
bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subkutan. Hal
initerjadikarena :
1. Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan banyak factor
penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.
2. Intraperitonial, disiniobatlangsungmasukkepembuluhdarahsehinggaefek yang
dihasilkanlebihcepatdibandingkan intramuscular dansubkutankarenaobat di
metabolismeserempaksehinggadurasinyaagakcepat.
3. Intramuscular, terdapatlapisanlemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan
lebih tahan lama.
4. Subkutan, terdapatlapisanlemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama disbanding
intramuscular.

18
Peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan dibarengi
dengan peningkatan kebutuhan akan hewan uji terutama mencit. Penggunaan mencit ini
dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya, ukurannya yang relatif kecil, harganya relatif
murah, jumlahnya peranakannya banyak yaitu sekali melahirkan bisa mencapai 16-18 ekor,
hewan itu memiliki sistem sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak
memiliki kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Sehingga banyak
digunakan untuk penelitian obat.
Perbedaan antara tikus dan manusia cukup besar. Memang suatu percobaan farmakologi
maupun toksikologi hanya dapat berartibiladilakukanpadamanusiasendiri.
Tetapipengalamantelahmembuktikanbahwahasilpercobaanfarmakologipadahewancobadapatdieks
trapolasikanpadamanusiabilabeberapaspesieshewanpengujianmenunjukkanefekfarmakologi yang
sama.
Semakinmeningkatcarapemeliharaan, semakinsempuran pula hasilpercobaan yang
dilakukan. Dengandemikian, apabilasuatupercobaandilakukandenganhewanpercobaan yang liar,
hasilnyaakanberbedabilamenggunakanhewanpercobaankonvensionalilmiahmaupunhewan yang
bebaskuman.
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelamin nya perlu pula diketahui. Cara
memegang hewandar imasing-masing jenis hewan adalah berbeda-be dadan ditentukan o leh
sifat hewan, keadaan fisik (besarataukecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam cara nyaa kan dapat
menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam
melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang
memegangnya. Berikut adalah cara pemberian sediaan uji/pemejaan pada hewan uji:

1. Pemberian oral
Masukan jarum suntik tumpul berisi larutan suspensi/emulsi senyawa uji yang sesuai
dengan ukuran hewan melalui mulut dengan cara menelusurkan searah tepi langit-langit kearah
belakang sampai esophagus, kemudian semprotkan senyawa uji pelan-pelan.
2. Pemberianintravena
Dilakukandengancaramemasukanhewanujikedalamholden/sangkar.
Selanjutnyacelupkanekornyakedalam air hangat (dilatasi vena lateralis). Setelah vena

19
mengalamidilatasi, pegangekordengankuatpadaposisi vena berada di permukaansebelahatas,
selanjutnyatusukanjarumdenganukuran yang sesuaikedalam vena sejajar dengan vena.

3. Pemberianintraperitoneal
Dilakukandengancaramemeganghewanujidengankulitpunggungdijepitsehinggadaerahperu
tterasategang. Basahi daerah peru t dengan kapas beralkoho l kemudian tusuk an jarum suntik
sejajar dengan salah satu kaki hewan pada daerah perut, lebih kurang 1 cm di atas kelamin.
Semprot kan senyawa uji. Setelah selesai pemberian,tarik pelan-pelan jarum suntik,
tekantempatsuntikandengankapasberalkohol, hati-hati jangan sampai terkena hati,
kandungkencingdanusus.
4. Pemberian intramuscular
Dilakukandenganmemeganghewanujidengankulitpunggungdijepitsehinggadaerahperutter
asategang. Usapkan daerah otot paha posterior dengankapasberalkohol. Suntikan larutan
senyawa uji pada daerah otot tersebut. Setelah selesai cabutpelan-pelan jarum suntik dan
tekandaerah suntikan.
Pethidine merupakan obat jenis analgetik opioid. Opioid adalah semua zat baik sinteti
katau natural yang dapat berikatan dengan resept ormorfin. Opioid disebu j uga sebagaian
lgetikanarkotikayangseringdalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan
nyeri pasca pembedahan. Pethidine (meperidin, demerol) adalahzatsintetik yang
formulanyasangatberbedadenganmorfin, tetapimempunyaiefekklinikdanefeksamping yang
mendekatisama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Bentuksediaaninjeksiampul 50 mg/ml.
Meperidin (pethidine) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu).
Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkanefek analgesia, sedasi, euforia,
depresinafasdanefeksentrallainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnyalebihrendah
dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasianalgesinyapadapenggunaanklinis 3-5
jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyerin europatik. Perbedaan
antara petidin (meperidin) denga n morfin sebagaiberikut:
1. Petidinlebihlarutdalamlemakdibandingkandenganmorfin yang larutdalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asammeperidinatdan
asamnormeperidinat. Normeperidinadalahmetabolit yang masihaktifmemilikisifatkonvulsidua
kali lipatpetidin, tetapiefekanalgesinyasudahberkurang 50%. Kurangdari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidinbersifatatropinmenyebabkankekeringanmulut, kekaburan pandangan dan takikardia.
4. Seperti morpinia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingteroddi lebih ringan.

20
5. Pethidine cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pascabedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipiotermidengandosis 20-25 mg i.vpadadewasa. Morfintidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 2000, IlmuMeracikObat, GadjahMada University Press, hal.


Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press,
Jakarta,hal.

Distribusi Obat Dalam Tubuh

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

21
Disusun oleh :

Dinda Noviyanti 1810711007

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

A. Definisi
Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah dan
masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel jaringan. Pengiriman obat dari
plasma ke interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler,
derajat ikatan ion obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas
dari obat tersebut.

B. Pengiriman obat dari plasma ke Interstisium tergantung pada


1. Aliran darah
2. Hidrofobisitas dari obat tersebut
3. Permeabilitas Kapiler
4. Derajat ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan

C. Fase Distribusi Obat Berdasarkan Penyebaran Dalam Tubuh


1. Fase Pertama
Obat masuk ke organ yang perfusinya sangat baik .
Yaitu : Jantung, Paru-paru,Ginjal,Hati, Otak
2. Fase Kedua
Mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebagi organ di fase pertama .
Yaitu : Jaringan lemak ,Tulang ,Otot ,Kulit, Jaringan ikat.

D. Faktor-faktor penting yang berhubungan dengan distribusi obat

1. Perfusi darah melalui jaringan


Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang
tinggi adalah pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang
perfusinya rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit
adalah sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah (sakit jantung) akan
22
mengubah perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan
eliminasi obat.
2. Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul
Penetrasi obat tergantung pada luasnya kadar gradient, bentuk yang dapat
berdifusi bebas, factor seperti pH gradient dan ikatan pada konstituen intraseluler
akan mempengaruhi akumulasi dalam jaringan.
3. Partisi ke dalam lemak
Obat yang larut dalam lipid dapat mencapai kosentrasi yang tinggi dalam jaringan
lemak. Obat akan disimpan oleh larutan fisis dalam lemak netral. Jumlah lemak
adalah 15% dari berat badan dan merupakan tempat penyimpanan untuk obat. Lemak
juga mempunyai peranan dalam membatasi efek senyawa yang kelarutannya dalam
lemak adalah tinggi dengan bekerja sebagai akseptor obat selama fase redistribusi.

4. Transfer aktif
Pemasukan ke dalam jaringan dapat juga terjadi dengan proses transport aktif.
Metadon, propanolol dan amfetamin diangkut ke dalam jaringan paru-paru oleh proses
aktif. Hal ini merupakan mekanisme yang penting untuk pemasukan obat tersebut
yang besar dalam paru-paru.
5. Sawar
Distribusi obat ke susunan syaraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus
yaitu sawar darah otak dan sawar uri. Sawar darah otak, penetrasi obat dari peredaran
darah ke dalam ruang ekstraseluler susunan saraf sentral dan cairan cerebrospinal
dibatasi atau ditentukan oleh keadaan permukaan absorbs.
6. Ikatan obat dengan protein plasma
Factor yang penting dalam distribusi obat adalah ikatannya dengan protein plasma
yang merupakan makromolekul. Banyak obat terikat dengan protein di dalam plasma
darah dan jaringan lain. Umumnya ikatannya merupakan proses reversible dan akan
berpengaruh terhadap ketersediaan obat.
Protein yang terdapat dalam plasma dan mengadakan ikatan dengan obat adalah
albumin.

E. Volume Distribusi (Vd)


Volume yang diperlukan untuk memuat jumlah obat secara homogen pada konstentrasi
yang ditemukan di dalam darah,plasma, atau air plasma.
Berguna untuk membandingkan distribusi dari suatu obat dengan volume-volume
kompartemen cairan di dalam tubuh.
Volume distribusi dibagi menjadi dua , antara lain :
1. Kompartemen ciran dalam tubuh :
a. Kompartemen plasma
b. Cairan ekstraseluler
c. Cairan tubuh total
d. Tempat-tempat lain misalnya pada saat kehamilan di area fetus
2. Volume distribusi yang nyata

23
Sebagian besar oba terdistribusi ke dalam beberapa kompartemen, sering
berkaitan dengan komponen-komponen. Misalnya lipid,protein, dan asam nukleat.

Daftar pustaka

https://www.scribd.com/document/366984041/Distribusi-Obat-Dalam-Tubuh

Metabolisme

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Mutiara Novella 1810711097

24
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019
Metabolisme

Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan
biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah obat dalam tubuh dapat
berkurang karena proses metabolisme dan ekskresi. Hati merupakan organ utama tempat
metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif mengeksresi obat yang bersifat lipofil karena mereka
akan mengalami reabsorpsi di tubulus setelah melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat
yang lipofil harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya
reabsorpsinya berkurang sehingga mudah diekskresi (Mardjono, Mahar, 2007).

Proses metabolisme terbagi menjadi beberapa fase, fase I merubah senyawa lipofil
menjadi senyawa yang mempunyai gugus fungsional seperti OH, NH2, dan COOH. Ini bertujuan
agar senyawa lebih mudah mengalami proses perubahan selanjutnya. Hasil metabolisme fase I
mungkin mempengaruhi efek farmakologinya. Metabolisme fase I kebanyakan menggunakan
enzim sitokrom P450 yang banyak terdapat di sel hepar dan GI. Enzim ini juga berperan penting
dalam memetabolisme zat endogen seperti steroid, lemak dan detoksifikasi zat eksogen. Namun
demikian, ada juga metabolisme fase I yang tidak menggunakan enzim sitokrom P450, seperti
pada oksidasi katekolamin, histamine dan etanol (Mardjono, Mahar, 2007).

Reaksi fase II atau reaksi konjugasi terjadi jika zat belumcukup polar setelah mengalami
metabolisme fase I, ini terutama terjadi pada zat yang sangat lipofil. Konjugasi ialah reaksi
penggabungan antara obat dengan zat endogen seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat
dan asam amino. Hasil reaksi konjugasi berupa zat yang sangat polar dan tidak aktif secara
farmakologi. Glukoronidasi adalah reaksi konjugasi yang paling umum dan paling penting dalam
ekskresi dan inaktifasi obat (Mardjono, Mahar, 2007).

Untuk obat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2, SH dan COOH mungkin
tidak perlu mengalami reaksi fase I untuk dimetabolisme fase II. Dengan demikian tidak semua

25
zat mengalami reaksi fase I terlebih dahulu sebelum reaksi fase II. Bahkan zat dapat mengalami
metabolisme fase II terlebih dahulu sebelum mengalami metabolisme fase I. (Mycek,2001).

Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmik retikulum


(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah dinding usus,
ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus) (Mardjono, Mahar,
2007).

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak) menjadi
polar (larut air)agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu.dengan perubahan ini obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif.Tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif(jika asalnya
prodrug),kurang aktif,atau menjadi toksik (Mardjono, Mahar, 2007).

Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytocrome P450
(cyp)yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed Fungtion Oxidase) dalam
endoplasmic reticulum (mikrosom)hati.Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau
inhibisi enzim metabolisme,terutama enzim cyp (Mardjono, Mahar, 2007).

Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga
terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan
(Mardjono, Mahar, 2007).

Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung dengan akibat
peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung.
(Mardjono,2007,hal 8)

Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis, masa kerja, dan toksisitas
obat. Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat penting dalam studi. Suatu obat
dapat menimbulkan suatu respon biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:

a. Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah,langsuns berinteraksi dengan


reseptor dan menimbulkan respon biologis.

b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme menjadi


obat aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis(bioaktivasi)
(Mardjono, Mahar, 2007).

26
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak
aktif dan tidak toksik (bioinaktivasi atau detoksifikasi),mudah larut dalam air dan kemudian
diekskresikan dari tubuh.Hasil metabolit obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa
induk(biootoksifikasi)dan ada pula hasilmetabolit obat yang mempunyai efek farmakologis
berbeda dengan senyawa induk.contoh:Iproniazid,suatu obat perangsang system syaraf
pusat,dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai antituberkolosis
(Mardjono, Mahar, 2007).

Faktor-faktor yang mempengarui metabolisme obat:

Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit.Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan
aktivitas enzim yang berperan dalam proses metabolisme.Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan masa kerja obat.Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-
beda pada masing-masing individu.Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan
intensitas dan memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas
obat.Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa
kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal (Ganiswara, dkk. 1995).

1. Faktor Genetik atau keturunan

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang


terjadi dalam system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor genetic atau
keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat
(Ganiswara, dkk. 1995).

2. Perbedaan spesies dan galur

Pada proses metabolisme obat,perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda,tetapi kadang-kadang ada perbedan
uang cukup besar pada reaksi metabolismenya (Ganiswara, dkk. 1995).

3. Perbedaan jenis kelamin

27
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat (Ganiswara, dkk. 1995).

4. Perbedaan umur

Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim
mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit
sehingga sangat peka terhadap obat (Ganiswara, dkk. 1995).

5. Penghambatan enzim metabolisme

Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu


senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan
intensitasn efek obat, memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan juga
meningkatkan efek samping dan toksisitas (Ganiswara, dkk. 1995).

6. Induksi enzim metabolisme

Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan


metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan senyawa
tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim metabolisme dan bukan
Karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi penghambatan.Peningkatan
aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi enzim
mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma
sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat.
Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan metabolit reaktif (Ganiswara, dkk. 1995).

Tempat metabolisme obat

Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan dan organ-
organ seperti hati,ginjal,paru dan saluran cerna. Hati merupakan organ tubuh tempat utama
metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain.
Metabolisme obat di hati terjadi pada membrane reticulum endoplasma sel. Retikulum
endoplasma terdiri dari dua tipe yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Tipe 1

28
mempunyai permukaan membran yang kasar,terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara
khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam aminoyang diperlukan untuk sintesis
protein.Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus tidak mengandung ribosom.Kedua
tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat. Jalur umum
metabolisme obat dan senyawa organik asing Reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic
asing ada dua tahap yaitu:

 Reaksi-reaksi yang termasuk dalam fase I antara lain:


a. Reaksi Oksidasi
Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada berbagai
molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-masing struktur kimianya, yaitu
reaksi hidroksilasi pada golongan alkil, aril, dan heterosiklik; reaksi oksidasi alkohol dan
aldehid; reaksi pembentukan N-oksida dan sulfoksida; reaksi deaminasi oksidatif;
pembukaan inti dan sebagainya (Anonim,1999). Reaksi oksidasi dibagi menjadi dua,
yaitu oksidasi yang melibatkan sitokrom P450 (enzim yang bertanggungjawab terhadap
reaksi oksidasi) dan oksidasi yang tidak melibatkan sitokrom P450.
b. Reaksi Reduksi (reduksi aldehid, azo dan nitro).
Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. Reduksi terutama berperan
pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada karbon. (Anonim,
1999). Hanya beberapa obat yang mengalami metabolisme dengan jalan reduksi, baik
dalam letak mikrosomal maupun non microsomal.
c. Reaksi Hidrolisis (deesterifikasi)
Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah hidrolisis dari
ester dan amida oleh enzim. Esterase yang terletak baik mikrosomal dan nonmikrosomal
akan menghidrolisis obat yang mengandung gugus ester. Di hepar,lebih banyak terjadi
reaksi hidrolisis dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis peptidin oleh suatu enzim. Esterase
non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa jaringan (Anief,1995).
 Reaksi Fase II (Fase sintetik)
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau metabolit
fase I nya dengan zat endogen. Konjugat yang dihasilkan hampir selalu kurang aktif dan
merupakan molekul polar yang mudah diekskresi oleh ginjal (Neal, 2005). Reaksi
konjugasi bekerja pada berbagai substrat alamnya dengan proses enzimatik terikat pada
gugus reaktif yang telah ada sebelumnya atau terbentuk pada fase I. reaksi yang terjadi

29
pada fase II ini ini meliputi konjugasi glukoronidasi, asilasi, metilasi, pembentukan asam
merkapturat, dan konjugasi sulfat (Gordon dan Skett, 1991). Reaksi fase II terdiri dari :

a. Konjugasi asam glukoronat


Konjugasi dengan asam glukoronat merupakan cara konjugasi umum dalam
proses metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi ini karena sejumlah besar
gugus fungsional obat dapat berkombinasi secara enzimatik dengan asam glukoronat dan
tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah yang cukup pada tubuh (Siswandono dan
Soekardjo,2000). Koenzim antara (UDPGA : uridine diphosphoglucorinic acid ) bereaksi
dengan obat dengan bantuan enzim UDP glukoronosil-transferase (UGT) untuk
memindahkan glukoronida ke atom O pada alkohol, fenol, atau asam karboksilat; atau
atom S pada senyawa tiol; atau atom N pada senyawa2 amina dan sulfonamida.
b. Metilasi
Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses biosintesis beberapa
senyawa endogen, seperti norepinefrin, epinefrin, dan histaminserta untuk proses
bioinaktivasi obat. Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah S-adenosil-
metionin(SAM). Reaksi ini dikatalis oleh enzim metiltransferase yang terdapat dalam
sitoplasma dan mikrosom (Siswandono dan Soekardjo,2000).
c. Konjugasi Sulfat
Terutama terjadi pada senyawa yang mengandung gugus fenol dan kadang-kadang
juga terjadi pada senyawa alkohol, amin aromatik dan senyawa N-hidroksi. Konjugasi
sulfat pada umumnya untuk meningkatkan kelarutan senyawa dalam air dan membuat
senyawa menjadi tidak toksik (Siswandono dan Soekardjo,2000).
d. Asetilasi
Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin primer,
sulfonamida, hidrasin, hidrasid, dan amina alifatik primer. Fungsi utama asetilasi adalah
membuat senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi (Siswandono dan Soekardjo,2000)

Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/18915378/METABOLISME_OBAT

30
EKSKRESI

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Gabriell Regina S.M 1810711064

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

31
2.1 Eliminasi Obat

Eliminasi adalah proses pengurangan atau pembuangan sisa metabolisme tubuh yang
tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Ekskresi merupakan proses untuk mengeliminasi bahan
yang tidak lagi dipergunakan dalam tubuh untuk dikeluarkan ke luar tubuh. Ekskresi adalah
perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju ke organ ekskresi.
Sedangkan obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan,mineral
maupun zat kimia tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit,
memperlambat proses penyakit dan atau menyembuhkan penyakit. Namun di sisi lain , obat
juga memiliki efek farmakologi yang dapat mengganggu kesehatan apabila terlalu sering
dikonsumsi. Oleh karena itu, obat juga perlu mengalami eliminasi melalui proses ekskresi
untuk keperluan detoksifikasi obat tersebut. Apabila obat tidak diekskresi maka obat akan
tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada organisme bersangkutan.
Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu,
paru, kelenjar saliva, kelenjar susu dan kelenjar keringat, Organ terpenting untuk ekskresi
obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa
menurun 1% pertahun. Ginjal melakukan fungsi penting untuk keseluruhan organisme yaitu :
1. Eksresi zat-zat penting melalui urin misalnya urea dan kreatin, serta zat fisiologik yang
berlebih.
2. Pengaturan kebutuhan air dan elektrolit serta kesetimbangan asam-basa.
3. Berperan pada pengaturan (hormonal) volume cairan ekstrasel dan tekanan daerah arteri.
4. Sintesis eritropoietin dan dengan demikian mempengaruhi pembentukan eritrosit.
Mengkonsumsi obat-obatan kimia secara berlebihan dapat merusak organ tubuh, salah
satunya pada ginjal. Penyebab lain gagal ginjal juga dapat berasal dari konsumsi obat-obatan
yang dapat mempengaruhi kerja ginjal. Obat-obatan yang dapat mengganggu kerja ginjal
disebut obat-obatan nefrotoksik, yakni paling banyak merupakan obat anti nyeri, seperti obat
nyeri kepala dan obat nyeri tulang. Sehingga bila mengkonsumsi obat ini terlalu sering dapat
menyebabkan seseorang mengalami gagal ginjal.

32
2.2 Proses Ekskresi Obat
Obat yang bersifat polar akan diekskresi melalui organ ekskresi dalam bentuk tidak
berubah dan yang bersifat non-polar dimetabolisme terlebih dahulu agar menjadi lebih polar
dan kurang larut dalam lipid sehingga mudah diekskresi. Obat-obat yang berada dalam
tubuh akan dikeluarkan melalui 3 jalan utama, yaitu ginjal, paru-paru, dan sistem empedu.
Ekskresi obat melalui paru hanya terjadi pada obat-obat yang berupa gas atau cairan yang
mudah menguap. Sebgian obat keluar dari tubuh melalui urine. Beberapa obat dikeluarkan
tubuh melalui hepar masuk kedalam empedu, tetapi kebanyakan di antaranya direabsorpsi
kembali melalui usus. Hanya beberapa macam obat saja yang dikeluarkan melalui hepar atau
empedu dalam jumlah yang berarti, yaitu rifampisin dan kromoglikat. Sebagian obat juga
disekresikan ke dalam kelenjar sekresi, seperti air susu ibu atau kelenjar keringat, tetapi
secara kuantitatif tidak begitu bila dibandingkan dengan ekskresi obat melalui ginjal, kecuali
obat-obat yang memengaruhi bayi yang sedang menyusui.
Sebelum obat diekskresikan, umumnya obat mengalami perubahan dengan
adanya metabolisme di hepar. Perubahan-perubahan molekul obat yang terjadi oleh
pengaruh enzim biasanya akan menghilangkan aktivitas farmakologis obat btersebut,
walaupun terdapat beberapa pengecualian yang akan dibicarakan belakangan, misalnya
azatioprin yang diubah oleh hepar menjadi merkaptopurin yang aktif.

2.2.1 Filtrasi Glomerolus


Filtrasi merupakan proses penyaringan darah dari zat-zat sisa metabolisme
yang dapat meracuni tubuh. Glumerolus merupakan jaringan kapiler dapat
melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui cela antara sel
endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami
filtrasi disana. Plasma darah yang mengalir akan ditekan pada glomerulus sehingga
menjadi urin primer, suatu ultra filtrat yang hampir bebas protein. Filter
sesungguhnya adalah membran basal yang terletak di bawah endotelium kapiler.
Membran ini dapat melewatkan air dan bagian plasma yang berbobot molekul
rendah melalui pori-porinya dengan bebas, sedangkan sel darah dan bagian plasma
yang besar molekulnya akan ditahan intravasal.
Zat-zat yang dapat disaring tanpa batas adalah zat dengan bobot molekul
sampai sekitar 10.000, dengan demikian komponen dengan bobot molekul rendah

33
yang ada di urin primer kurang lebih sama konsentrasinya dengan yang ada dalam
plasma darah. Untuk senyawa dengan bobot molekul di antara 10.000 sampai
50.000 daya saringnya terbatas. Karena albumin, yang merupakan protein plasma
terkecil sudah mempunyai bobot molekul sekitar 70.000, maka protein praktis tak
dapat melewati filter ginjal tersebut. Kapiler-kapiler glomeruli akan menyaring
plasma darah sedemikian rupa sehingga setiap molekul obat yang berat molekulnya
dibawah 20.000 akan melewati glomeruli sedangkan albumin plasma
dengan berat molekul 68.000 tidak dapat melewati glomeruli. Obat-obat yang
terikat pada albumin plasma tidak dapat melewati glomeruli misalnya fenibutazon.
Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi
glomerulus masuk ke tubulus. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni
minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrat
sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah. Kelarutan dan pH
tidak berpengaruh pada kecepatan filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah
ukuran partikel, bentuk partikel, dan jumlah pori glomerulus. Laju filtrasi
glomerulus meningkat pada:
a. Kenaikan tekanan darah dalam kapiler glomerulus
b. Pada peningkatan luas permukaan filtrasi pada kondisi glomerulus yang
tenang
c. Pada pengurangan protein plasma akibat berkurangnya ikatan protein dengan
bahan obat
Disamping besarnya pori, filtrasi glomerulus terutama bergantung pada
tekanan filtrasi efektif yang ada pada glomerulus serta pada banyaknya glomerulus
yang masih berfungsi. Tekanan filtrasi efektif didapat dengan mengurangi tekanan
darah dalam kapiler glomerulus (50 mmHg) denga tekanan osmotik koloid plasma
darah yaitu 25 mmHg serta tekanan dalam kapsul bowman sekitar 17 mmHg.
Syarat terjadinya filtrasi glomerulus yang merata adalah pasokan darah yang
tetap secara menyeluruh, jadi tekanan kapiler glomerulus tetap. Ini akan tercapai
oleh adanya suatu autoregulasi miogenik yang ada dalam vas afferen. Jika terjadi
peningkatan tekanan arteri otot polos vas afferen akan menciut, jika tekanan turun
otot polos akan berelaksasi dan dengan cara ini akan menahan supaya tekanan

34
kapiler tetap. Hanya pada tekanan di bawah 90 dan dibawah 190 mmHg akan
menurunkan atau menaikkan aliran darah ke ginjal.

2.2.2 Sekresi Aktif di Tubulus


Filtasi glomeruli hanya menghasilkan paling banyak 20% dari seluruh obat
yang terdapat dalam darah yang bisa mencapai ginjal. Sisanya 80% akan
dikeluarkan ke lumen tubuli oleh suatu mekanisme transpor aktif, yang bergerak
melawan gradient konsentrasi sehingga akan mengurangi jumlah obat dalam plasma
sampai nihil. Oleh karena itu, sekresi tubuli ini merupakan mekanisme eliminasi
obat yang paling cepat melalui ginjal. Tidak seperti filtrasi glomeruli, system
transportasi aktif ini dapat mencapai bersihan maksimal walaupun obat terikat pada
protein plasma. Misalnya penisilin, walaupun 80% terikat pada protein plasma dan
diekskresi sangat lambat melalui filtrasi glomeruli, kecepatan eliminasi penisilin via
ginjal sangat tinggi karena penisilin disekresikan secara aktif kedalam lumen tubuli
ginjal.
Sekresi tubulus proksimal merupakan proses transport aktif, jadi
memerlukan carrier (pembawa) dan energi. Sekresi aktif dari dalam darah ke
lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp)
dan MRP (Multidrug-Resistance Protein) yang terdapat di membran sel
epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MPR utuk anion organik dan konyugat
(mis: penisilin, ptobenesid, glukuronat, sulfat da konyugat glutation), dan P-gp
untuk kation organik dan zat netral (mis: kuinidin, digoksin).
Karena banyak obat yang disekresikan secara aktif dengan cara yang sama,
dapat terjadi kompetisi antara obat-obat tersebut. Misalnya probenesid,
dapat memperlambat ekskresi penisilin dengan jalan berkompetisi untuk transport
aktif pada sel-sel tubuli ginjal sehingga secara klinik akan diperoleh kadar penisilin
yang lebih tinggi. Selain itu, probenesid juga menghambat reabsorpsi asam urat
(yang dipengaruhi pembawa yang sama) sehingga berguna juga untuk pengobatan
penyakit gout
2.2.3 Reabsorbsi di Sepanjang Tubulus
Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi
kembali ke sirkulasi sistemik. Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk
bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada

35
pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada
keracunan suatu obat asam atau obat basa.Obat-obat yang mempunyai kelarutan
dalam lemak yang tinggi akan berdifusi secara pasif masuk kembali melewati
sel-sel epitel tubuli sehingga terjadi reabsorpsi obat secara pasif. Dengan demikian,
obat-obat yang mudah larut dalam lemak akan diekskresikan secara lambat sekali.
Sebaliknya, obat-obat yang polar akan tetap tinggal dalam filtrat sebab membran
tubuli tidak permeable untuk obat-obat yang terionisasi dan kurang larut dalam
lemak.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk non ion.
Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorbsi ini bergantung
pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasi. Bila urine lebih basa, asam
lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorbsinya berkurang, akibatnya
ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urine lebih asam, ekskresi asam
lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah.
Reabsorbsi pasif bergantung pada pH urine yang ada di ginjal. Bila pH asam
maka obat-obatan yang bersifat asam lemah akan diserap kembali
sehingga tidak dieksresikan dan bila pada suasana basa maka obat-obat asam tadi
akan terionisasi sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Begitu sebaliknya dengan
obat-obat basa yang akan dieksresi kembali pada suasana basa. Hal ini dapat
dimanfaatkan pada kasus keracunan. Pada pasien yang keracunan phenobarbital
(obat asam lemah) maka kelebihan phenobarbital yang ada di dalam darah
dapat cepat dikeluarkan dengan memberikan natrium bikarbonat yang bersifat
basa sehingga phenobarbital dapat cepat dieksresi dari tubuh melalui urin.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Ekskresi Obat

 Sifat fisikokimia: BM, pKa, kelarutan, tekanan uap.

 pH urin

 Kondisi patologi

 Aliran darah

36
 Usia

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, Anne Collins , Sandra Smith Pennington RN PhD & Carol Barnett Lammon RN
PhD.2006.Clinical Drug Therapy: Rationales for Nursing Practice (Field Guide) Eighth Edition

https://www.academia.edu/20421467/Makalah_Ekskresi_Obat_Melalui_Ginjal
Gunawan, S.G. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Mutschler, Ernst.1991.Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi.ITB.Bandung

37
Level Obat Dalam Serum

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

38
Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

CHICI SEPTI WULANDARI 1510711072

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

KADAR SERUM DALAM OBAT

Kadar serum obat (serum drug level) merupakan pengukuran laboraturium jumlah obat
dalam darah pada waktu tertentu. Kadar serum obat menggambarkan dosis, absorbsi,
bioavailabilitas, paru hidup (half life), dan kecepatan metabolisme dan ekresi obat.

Obat harus terlebih dahulu mencapai MEC (minimum effective concentration) “


kosentrasi efektif minimum” sebelum melakukan efek (kerja) farmakologi pada sel, MEC
sangat ditentukan oleh seberapa besar dosis obat dan bagaimana obat dapat diabsorbsi dengan
baik masuk kedalam aliran darah. Kosentrasi racun (toxic concentration) merupakan kelebihan
kadar yang menyebabkan keracunan terjadi. Kosentrasi racun (toxic concentration)dapat
diakibatkan dari penggunaan dosis obat tunggal dalam jumlah besar, pengulangan dosis kecil,
atau penyerapan yang lambat yang menyebabkan obat terakumulasi di dalam tubuh. Daerah
(kadar kosentasi serum obat )diantara kosentrasi rendah dan tinggi merupakan daerah
terpeutik (therapeutic range )”obat yang bermanfaat” yang menjadi tujuan terapi pemberian
obat. Dosis obat yang sesuai menjadi menguntungkan, tetapi bila dosis tidak sesuai menjadi
racun.

39
40
Untuk kebanyakan obat, tingkat serum mengindikasikan onset (waktu kerja), puncak, dan
durasi. Ketika dosis tunggal obat diberikan, onset (waktu serangan/ aksi kerja) obat di mulai
ketik obat mencapai tingkat MEC. Kadar obat terus meningkat naik bersamaan dengan lebih
banyak obat yang diabsorbsi, hingga obat mencapai kosentasi tertinggi dan puncak aksi obat
terjadi. Selanjutnya, kadar obat menurun bersamaan dengan di-eliminasinya obat dari tubuh
(misalnya metabolisme dan ekresi).

Meskipun masih ada banyak molekul obat di dalam tubuh, aksi kerja obat berhenti ketika
obat berada di bawah kadar MEC. Lamanya (waktu) aksi obat adalah waktu selama kadar
serum obat berada pada atau diatas MEC. Ketika multiple dosis (dosis ganda) diberikan misalnya
pada kondisi penyakit kronis, atau kondisi yang menetap lama, tujuan pemberian obat biasanya
untuk meberikan dosis yang cukup untuk memelihara kadar obat pada rentang terapeutik
(therapeutic range) dan menghindari sampai pada tingkat keracunan (Toxic range).

Pada praktek dilapangan, pengukuran kadar serum obat berguna untuk:

A. Ketika obat dengan indeks rentang terapeutik yang rendah atau sempit diberikan. Obat
tersebut memiliki batas aman yang sempit karena dosis terapeutik sangat dekat dengan dosis
racun. Jadi harus hati-hati dalam pemberiannya misalnya obat seperti digoxin, aminoglycoside
antibiotics, lithium, dantheophylline.

B. Bermanfaat untuk mendokumentasikan tingkat serum obat berhubungan dengan dosis obat
tertentu (dosis khusus), efek terapeutik, atau kemungkinam efek samping obat.

C. Bermanfaat untuk memonitor respon yang tidak diharapkan dari dosis obat yang diberikan.
Apakah memiliki kecenderungan efek terapeutik yang sedikit atau efek samping yang cenderung
meningkat.

D. Ketika pasien dicurigai mengalami overdosis obat.

41
Waktu Paruh Obat

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Fredrikus Wenehen 1510711064

42
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

WAKTU PARUH OBAT (t )

 Waktu paruh obat disebut juga ekskresi setengah waktu.


 Waktu paruh obat adalah waktu yang dibutuhkan agar konsentrasi serum obat turun
hingga 50%.
 Waktu paruh obat adalah interval waktu yang dibutuhkan tubuh dalam proses eliminasi
untuk mengurangi separuh konsentrasi obat di dalam tubuh.
 Fungsinya adalah untuk memperkirakan berbagai kondisi kinetic, misalnya:
 Kapan obat akan habis dari dalam tubuh
 Kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang
 Turunnya kadar obat dalam plasma dan lamanya efek tergantung pada kecepatan
metabolism dan ekskresi. Contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal waktu paruh
obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat yang dapat dimetabolisme dan
diekskresi. Jika suatu obat diberikan secara terus-menerus, maka dapat terjadi
penumpukan obat.
 Contohnya:
Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram) dan waktu paruhnya adalah
3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325mg.
Waktu paruh kedua 6jam (3jam kedua) untuk mengeliminasi 162mg berikutnya, dan
seterusnya sampai pada waktu paruh keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin
terdapat dalam tubuh.
 Waktu paruh selama 4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau lebih dianggap panjang.
Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan
beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya. Cukup diberikan
satu kali sehari.

43
TEORI RESEPTOR KERJA OBAT

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

44
Disusun oleh :

NAMA : TRI PUJI LESTARI

NIM : 1510711031

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

Teori Reseptor
Kebanyakan reseptor berstruktur protein ditemukan pada membran sel. Obat-obat yang
bekerja melalui reseptor, dengan bekerja berikatan dengan reseptor maka akan menghasilkan
(memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon. Aktivitas dari kebanyakan obat
ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik. Semakin baik suatu
obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut akan semakin aktif secara biologis.

Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada
selorganisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional,
yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen
(semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapatmengubah
kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.Terdapat
bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon,faktor pertumbuhan,
faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan
regulator(seperti dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk ob
at pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormone danneurotra
nsmitter). 2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik (hanya
mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).Obat-obatan yang berinteraksi dengan
reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti
sinyal endogen ini dinamakan agonis Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs na
mun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk
menduduki situs agonis) disebutdengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan blok
er. Obatyang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa
memperdulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-
parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena
itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial. Sebaliknya, obat yang menempel dengan
reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan denganagonis disebut agonis
negatif. Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor)

45
untukdapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-
reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis.
Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor. Ada beberapa
teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan dan teori kecepatan.

MAKALAH NON-RESEPTOR KERJA OBAT

Makalah disusun guna memenuhi tugas


Mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

46
Anasya Firmansyah 1810711024

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
S-1 KEPERAWATAN
2019

NON-RESEPTOR KERJA OBAT

Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin
mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke
komponen sel.
1. EFEK NONSPESIFIK DAN GANGGUAN PADA MEMBRAN

a. Perubahan sifat osmotik


Diuretik osmotik (urea, manitol), misalnya meningkatkan osmolaritas filtrat
glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat
terjadi efek diuretik. Demikian juga katartik osmotik (MgSO4), gliserol yang
mengurangi udem serebral, dan pengganti plasma (polivinil pirolidon = PVP)
untuk penambah volume intravaskular.

b. Perubahan sifat asam/basa


Kerja ini diperlihatkan oleh antasid dalam menetralkan asam lambung, NH4Cl
dalam mengasamkan urin, Na bikarbonat dalam membasakan urin, dan asam-
asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisid topikal
dalam saluran vagina.

c. Kerusakan non-spesifik
Zat perusak non-spesifik digunakan sebagai antiseptik dan sesinfektan, dan
kontrasepsi. Contohnya:
1. Detergen merusak integritas membran lipoprotein
2. Halogen peroksida dan oksidator lain merusak zat organik
3. Denaturan merusak integritas dan kapasitas fungsional membran sel,
partikel subseluler dan protein.

d. Gangguan fungsi membran


Anestesik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enfluran dan
metoksifluran bekerja dengan melarut alam lemak membran sel di ssp sehingga
eksabilitasnya menurun.

47
2. INTERAKSI DENGAN MOLEKUL KECIL ATAU ION
Kerja ini diperlihatkan oleh kolektor (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang
mengikat Pb²+ bebas menjadi ketat yang inaktif pada keracunan Pb. Demikian juga kerja
penisilamin yang mengikat Cu²+ bebas pada penyakit Wilson dan dimerkaprol (BAL-
British antilewisite) pada keracunan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Ketat yang
terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan melalui ginjal.

3. MASUK DALAM KOMPONEN SEL


Obat merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkorporasi ke dalam asam nukleat
sehingga mangganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut qqa misalnya 6-
merkaptopurin, 5-fluotourasil, flusitosin, dan antikanker atau antimikroba lain.

Tindakan obat non reseptor


relatif sedikit obat yang bekerja dengan mekanisme selain kombinasi dengan situs reseptor pada
sel. Ini termasuk:
a. Antasida, yang bekerja secara kimiawi untuk menetralkan asam klorida yang diproduksi
oleh sel parietal lambung dan dengan meningkatkan pH cairan lambung.
b. Diuretik osmotik (misalnya, manitol), yang meningkatkan osmolaritas plasma dan
menarik air keluar dari jaringan ke dalam aliran darah.
c. Obat-obatan yang secara struktural mirip dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel-sel
tubuh (misalnya, purin, pirimidin) dan yang dapat dimasukkan ke dalam konstituen
seluler seperti asam nukleat. Ini mengganggu fungsi sel normal. Beberapa obat
antikanker bertindak dengan mekanisme ini.
d. Zat pengkhelat logam, yang bergabung dengan logam (misalnya, timbal) untuk
membentuk kompleks yang dapat lebih mudah diekskresikan.

48
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.


Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.

49
VARIABLE YANG BERHUBUNGAN: DOSIS, RUTE PEMBERIAN, INTERAKSI OBAT
DAN DIET, DAN INTERAKSI OBAT DAN OBAT

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu: Ns. Santi Herlina, M.Kep., Sp.Kep.MB

Disusun oleh:

Lutfi Riskyta Istiomah 1810711014


Rizcha Aristiara 1810711049

50
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

51
VARIABEL YANG MEMPENGARUHI TINDAKAN OBAT

Respons yang diharapkan terhadap obat sebagian besar didasarkan pada yang terjadi
ketika obat tertentu diberikan kepada pria dewasa yang sehat (18 hingga 65 tahun) dengan
berat rata-rata (150 lb [70 kg]). Namun, kelompok orang lain (misalnya, wanita, anak-anak,
orang dewasa yang lebih tua, kelompok etnis atau ras yang berbeda, dan klien dengan
penyakit atau gejala yang dirancang untuk diobati oleh obat) menerima obat dan merespons
secara berbeda daripada pria dewasa yang sehat. Oleh karena itu, uji klinis saat ini termasuk
lebih banyak perwakilan dari kelompok-kelompok ini. Namun, pada setiap klien, respons
dapat diubah oleh variabel terkait obat dan klien, beberapa di antaranya dijelaskan dalam
bagian berikut.

Variabel Terkait Obat


Dosis
Meskipun istilah dosis dan dosis sering digunakan secara bergantian, dosis
menunjukkan jumlah yang harus diberikan pada satu waktu dan dosis mengacu pada
frekuensi, ukuran, dan jumlah dosis. Dosis adalah penentu utama dari tindakan dan
respons obat baik terapi dan efek samping. Jika jumlahnya terlalu kecil atau jarang, tidak
ada tindakan farmakologis yang terjadi karena obat tidak mencapai konsentrasi yang
memadai pada sel target. Jika jumlahnya terlalu besar atau terlalu sering diberikan,
keracunan (keracunan) dapat terjadi. Karena dosis termasuk jumlah obat dan frekuensi
pemberian, overdosis dapat terjadi dengan dosis tunggal yang besar atau dengan
konsumsi kronis dalam jumlah yang lebih kecil. Dosis yang menghasilkan tanda dan
gejala toksisitas disebut dosis toksik. Dosis yang menyebabkan kematian disebut dosis
mematikan.
Dosis yang direkomendasikan dalam literatur obat biasanya yang menghasilkan
tanggapan khusus pada 50% orang yang dites. Dosis ini biasanya menghasilkan
campuran efek terapi dan efek samping. Dosis obat tertentu tergantung pada banyak
karakteristik obat (alasan penggunaan, potensi, farmakokinetik, rute pemberian, bentuk
sediaan, dan lain-lain) dan dari penerima (usia, berat, keadaan kesehatan, dan fungsi
kardiovaskular, sistem ginjal, dan hati). Dengan demikian, dosis yang direkomendasikan
hanya dimaksudkan sebagai pedoman untuk dosis individual.
Jalur administrasi
Rute pemberian mempengaruhi tindakan dan tanggapan obat-obatan sebagian
besar dengan mempengaruhi penyerapan dan distribusi. Untuk tindakan dan respons obat
yang cepat, rute IV paling efektif karena obat disuntikkan langsung ke aliran darah.
Untuk beberapa obat, rute IM juga menghasilkan aksi obat dalam beberapa menit karena
otot memiliki suplai darah yang besar. Rute oral biasanya menghasilkan aksi obat yang
lebih lambat daripada rute parenteral. Penyerapan dan aksi obat topikal bervariasi sesuai
dengan formulasi obat, apakah obat tersebut diterapkan pada kulit atau selaput lendir, dan
faktor lain

52
Interaksi Obat dan Diet (Makanan)
Dalam banyak kasus, makanan memperlambat penyerapan dengan memperlambat
waktu pengosongan lambung dan mengubah sekresi dan motilitas GI. Ketika tablet atau
kapsul diminum dengan atau segera setelah makan, mereka larut lebih lambat. Oleh
karena itu, molekul obat dikirim ke tempat serap di usus kecil lebih lambat. Makanan
juga dapat mengurangi penyerapan dengan menggabungkan dengan obat untuk
membentuk kompleks obat-makanan yang tidak larut. Dalam kasus lain, bagaimanapun,
obat-obatan tertentu atau bentuk sediaan lebih baik diserap dengan jenis makanan
tertentu. Misalnya, makanan berlemak meningkatkan penyerapan beberapa bentuk
teofilin yang dilepaskan secara berkelanjutan. Interaksi yang mengubah penyerapan obat
dapat diminimalisir dengan memberi jarak pada makanan dan obat-obatan.
Selain itu, beberapa makanan mengandung zat yang bereaksi dengan obat-obatan
tertentu. Salah satu interaksi tersebut terjadi antara makanan yang mengandung tyramin
dan obat penghambat monoamine oksidase (MAO). Tyramine menyebabkan pelepasan
norepinefrin, agen vasokonstriktif yang kuat, dari medula adrenal dan neuron simpatis.
Normalnya, norepinefrin aktif hanya beberapa milidetik sebelum diinaktivasi oleh MAO.
Namun, karena obat inhibitor MAO mencegah inaktivasi norepinefrin, menelan makanan
yang mengandung tyramine dengan inhibitor MAO dapat menghasilkan hipertensi berat
atau perdarahan intrakranial. Inhibitor MAO termasuk antidepresan isocarboxazid dan
phenelzine dan procarbazine antineoplastik. Obat ini jarang digunakan saat ini, sebagian
karena interaksi yang berpotensi serius ini dan sebagian karena obat lain yang efektif
tersedia. Makanan kaya tyramine yang harus dihindari oleh klien yang menggunakan
inhibitor MAO termasuk bir, anggur, keju tua, produk ragi, kehidupan ayam, dan acar
herring.
Interaksi dapat terjadi antara warfarin, antikoagulan oral yang sering digunakan, dan
makanan yang mengandung vitamin K. Karena vitamin K memusuhi aksi warfarin,
bayam dalam jumlah besar dan sayuran berdaun hijau lainnya dapat mematikan efek
antikoagulan dan mempengaruhi orang tersebut untuk mengkonsumsi.
gangguan tromboemboli.
Interaksi ketiga terjadi antara tetrasiklin, antibiotik, dan produk susu, seperti susu dan
keju. Obat ini bergabung dengan kalsium dalam produk susu untuk membentuk senyawa
yang tidak larut dan tidak terserap yang diekskresikan dalam tinja.

Interaksi Obat Dan Obat


Tindakan suatu obat dapat ditingkatkan atau dikurangi dengan diaksi dengan
obat lain dalam tubuh. Sebagian besar interaksi terjadi setiap kali obat yang
berinteraksi hadir dalam tubuh; beberapa, terutama yang mempengaruhi penyerapan
obat oral, terjadi ketika obat yang berinteraksi diberikan pada atau dekat waktu yang
sama. Penyebab dasar dari banyak interaksi obat-obat adalah perubahan metabolisme
obat. Sebagai contoh, obat yang dimetabolisme oleh enzim yang sama dapat bersaing

53
untuk situs pengikatan enzim dan mungkin tidak ada situs pengikatan yang cukup
untuk dua atau lebih obat. Juga, beberapa obat menginduksi atau menghambat
metabolisme obat lain. Pengikatan protein juga merupakan dasar untuk beberapa
interaksi obat-obat yang penting. Obat dengan ketertarikan yang kuat pada tempat
pengikatan protein dapat menggantikan obat yang tidak terlalu terikat. Obat yang
dipindahkan kemudian menjadi aktif secara farmakologis, dan efek keseluruhannya
sama dengan mengambil dosis yang lebih besar dari obat yang dipindahkan.

54
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, A., Lammon, Carol Barnett, & Pennington, Sandra Smith. (2009). Clinical drug
therapy: Rationales for nursing practise (9th ed.), Philadelphia: Lippimcott Williams & Wilkins.

55
VARIABEL YANG BERHUBUNGAN DENGAN PASIEN: USIA, BERAT
BADAN, GENETIK DAN KARAKTERISTIKETNIS, GENDER,
KONDISI PATOLOGIS DAN PERTIMBANGAN PSIKOLOGIS

Makalah disusun guna memenuhi tugas

mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Siti Nurhasanah 1810711047

Dinar Aufia Fadilla Hakim 1810711051

Devira Gite Pratiwi 1810711070

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

56
Variabel yang Berhubungan dengan Pasien; Usia, Berat Badan, Genetik dan
Karakteristiketnis, Gender, Kondisi Patologis, Pertimbangan Psikologis.
1. Usia
Efek usia pada aksi narkoba paling jelas pada neonatus, bayi, dan orang dewasa
yang lebih tua. Pada anak-anak, aksi narkoba sangat tergantung pada usia dan tahap
perkembangan. Selama kehamilan, obat-obatan melewati plasenta dan dapat
membahayakan janin. Janin tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk
memetabolisme atau menghilangkan obat karena fungsi ginjal dan hidup mereka belum
matang. Bayi baru lahir (lahir sampai 1 bulan) juga menangani obat-obatan yang tidak
aman. Distribusi obat, metabolisme, dan eksresi berbeda nyata pada neonatus, terutama
bayi prematur, karena sistem organ mereka tidak sepenuhnya berkembang. Bayi yang
lebih tua (1 bulan hingga 1 tahun) mencapai sekitar tingkat ikatan protein dan fungsi
ginjal dewasa. Tetapi fungsi hati dan sawar darah-otak masih belum matang.
Anak-anak (1 hingga 12 tahun) mengalami periode peningkatan aktivitas enzim
yang memetabolisme obat sehingga beberapa obat dengan cepat dimetabolisme dan
dihilangkan. Walaupun onset dan lamanya periode ini tidak jelas, beberapa penelitian
telah dilakukan dengan obat-obatan tertentu. Teofilin, misalnya, dibersihkan jauh lebih
cepat pada anak berusia 7 tahun daripada pada neonatus atau orang dewasa (18 hingga 65
tahun). Setelah kira-kira berusia 12 tahun, anak-anak yang sehat menangani narkoba
secara serupa untuk orang dewasa yang sehat.
Pada orang dewasa yang lebih tua (65 tahun ke atas), perubahan fisiologis dapat
mengubah semua proses farmakokinetik. Perubahan pada saluran GI (Gastrointestinal)
meliputi penurunan keasaman lambung, penurunan aliran darah, dan penurunan motilitas.
Meskipun ada perubahan ini, namun, ada sedikit perbedaan dalam penyerapan.
Perubahan dalam sistem kardiovaskular menyebabkan penurunan curah jantung dan
karenanya memperlambat distribusi molekul obat ke tempat aksi, metabolisme, dan
eksresi. Di hati, aliran darah dan metabolisme enzim menurun. Sejauh ini, banyak obat
dimetabolisme lebih lambat, memiliki aksi lebih lama, dan lebih cenderung menumpuk
dengan pemberian kronis. Di ginjal, terdapat penurunan aliran darah, penurunan laju
filtrasi glomerulus, dan penurunan sekresi obat tubular. Semua perubahan ini cenderung
memperlambat eksresi dan meningkatkan akumulasi obat dalam tubuh. Gangguan fungsi
ginjal dan hati sangat meningkatkan risiko efek samping obat. Selain itu, orang dewasa
yang lebih tua lebih cenderung memiliki penyakit akut dan kronis yang memerlukan
banyak obat atau terapi obat jangka panjang. Dengan demikian, kemungkinan untuk
interaksi antara obat-obatan dan antara obat-obatan adalah organ-organ yang sangat
berlipat ganda.

2. Berat Badan
Berat badan mempengaruhi tindakan obat terutama terkait dengan dosis. Rasio
antara jumlah obat yang diberikan dan berat badan mempengaruhi distribusi dan
konsentrasi obat di lokasi kerja. Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi

57
distribusi obat secara bermakna, misalnya pada pasien lansia. Semakin kecil berat badan
klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam jaringan tubuhnya, dan efek obat yang
dihasilkanmakinkuat.

Dosis obat diberikan sesuai dengan berat badannya. Terdapat hubungan langsung
antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan.
Secara umum, orang yang lebih berat dari rata-rata membutuhkan dosis besar, diberikan
bahwa fungsi ginjal, hati, dan kardiovaskular mereka memadai. Dosis yang
direkomendasikan untuk banyak obat tercantum dalam satuan gram atau miligram per
kilogram berat badan.
3. Genetik dan Karakteristiketnis
Obat diberikan untuk memperoleh respons tertentu yang relatif dapat diprediksi untuk
penerima obat wajib. Ketika memberikan obat yang sama dalam dosis yang sama, beberapa
orang mengalami efek yang tidak biasa atau berlebihan, termasuk peningkatan toksisitas.
Variasi antarindividu dalam respons obat ini sering dikaitkan dengan perbedaan genetik atau
etnis dalam farmakokinetik obat atau farmakodinamik. Akibatnya, terdapat peningkatan
kesadaran bahwa karakteristik genetik dan etnis merupakan faktor penting dan bahwa
beragam kelompok harus dimasukkan dalam uji klinis.
Genetik
Karakteristik genetik seseorang dapat mempengaruhi aksi obat dalam beberapa cara.
misalnya, gen menentukan jenis dan jumlah protein yang diproduksi dalam tubuh. Ketika
sebagian besar obat masuk ke dalam tubuh, mereka berinteraksi dengan protein (mis., dalam
plasma, tissnes, membran sel, dan situs reseptor obat) untuk mencapai situs aksi mereka, dan
dengan protein lain (mis., enzim yang memetabolisme obat di hati dan organ lain)untuk
biotransformasi dan dihilangkan dari tubuh. Karakteristik genetik yang mengubah protein ini
dapat mengubah farmakokinetik obat atau farmakodinamik.
Salah satu variasi genetik paling awal yang harus diidentifikasi berasal dari pengamatan
bahwa beberapa orang menggunakan dosis biasa isoniazid (obat antituberkular), hidralazin
(agen antihipertensi), atau procainamide (antidisritmia) tidak menunjukkan efek terapi,
sedangkan toksisitas dikembangkan di lain orang-orang. Penelitian menetapkan bahwa obat-
obatan ini biasanya dimetabolisme oleh asetilasi, suatu proses konjugasi kimia di mana
molekul obat bergabung dengan kelompok asetil dari koenzim asetil A. Reaksi dikatalisis
oleh enzim pemetabolisme obat hati bernama acetylntransferase. Lebih lanjut ditetapkan
bahwa manusia dapat mengasetasi obat dengan cepat atau lambat, sebagian besar tergantung
pada perbedaan yang dikontrol secara genetik dalam aktivitas asetiltransferase. Secara klinis,
asetilator cepat mungkin memerlukan dosis yang lebih besar dari biasanya untuk mencapai
efek terapeutik, dan asetilator lambat mungkin membutuhkan dosis yang lebih kecil dari
biasanya untuk menghindari efek toksik. Selain itu, beberapa variasi genetik dari sistem
metabolisme obat sitokrom P450 telah diidentifikasi. Variasi spesifik dapat memengaruhi
proses kimia apa pun yang digunakan untuk memetabolisme obat.
Sebagai contoh lain dari variasi genetik dalam metabolisme obat, beberapa orang tidak
memiliki enzim pseudocholinesterase plasma yang biasanya tidak aktif sebagai suksinilkolin,

58
pelemas otot ampuh yang digunakan dalam beberapa prosedur bedah. Orang-orang ini
mungkin mengalami kelumpuhan dan apnea yang berkepanjangan jika diberikan
suksinilkolin.

Orang lain kekurangan dehidrogenase glukosa-6-fosfat, enzim yang biasanya ditemukan


dalam sel darah merah dan jaringan tubuh lainnya. Orang-orang mungkin mengalami anemia
hemolitik ketika diberikan obat antimalaria, sulfonamid, analgesik, antipiretik, dan obat-
obatan lainnya.
Etnisitas
Sebagian besar informasi obat telah diperoleh dari uji coba obat klinis dengan
menggunakan pria kulit putih, beberapa subjek dari kelompok etnis lain dimasukkan. Variasi
antaretnis menjadi jelas ketika obat dan dosis dikembangkan untuk orang kulit putih
menghasilkan respons yang tidak terduga, termasuk toksisitas, ketika diberikan kepada
kelompok etnis lain.
Satu variasi interetnis yang umum adalah bahwa orang Amerika Afrika kurang responsif
terhadap beberapa obat antihipertensi dibandingkan orang kulit putih. misalnya, inhibitor
angiotensin-conecting-enzyme (ACE) dan obat penghambat beta-adrenergik kurang efektif
sebagai terapi obat tunggal. Secara umum, klien hipertensi Amerika Afrika lebih baik
merespons diuretik atau penghambat saluran kalsium daripada penghambat ACE dan beta
membutuhkan dosis kecil dari beberapa obat yang biasa digunakan, termasuk penghambat
beta dan beberapa obat psikotropika (mis., alprazolam, agen anti ansietas, dan haloperidol
suatu antipsikotik).
4. Jenis Kelamin
Kecuali selama kehamilan dan menyusui, jenis kelamin telah dianggap sebagai pengaruh
kecil pada aksi obat. Sebagian besar studi penelitian yang berkaitan dengan obat melibatkan
laki-laki, dan dokter telah mengekstrapolasi temuan tersebut kepada perempuan. Beberapa
alasan telah dikemukakan untuk mengecualikan wanita dari uji coba obat klinis, termasuk
risiko terhadap janin jika seorang wanita menjadi hamil dan kompleksitas yang lebih besar
dalam ukuran sampel dan analisis data. Namun, karena perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam respon terhadap terapi obat sedang diidentifikasi, kebutuhan untuk
memasukkan perempuan dalam studi obat adalah jelas.
Beberapa perbedaan terkait gender dalam respon terhadap obat dapat berasal dari
fluktuasi hormon pada wanita selama siklus menstruasi. Meskipun area ini telah menerima
sedikit perhatian dalam studi penelitian dan praktik klinis, respon yang berubah telah
didemosntrasikan pada beberapa wanita yang menggunakan clonidine, suatu antihipertensi;
litium, zat penstabil suasana hati, fenitoin, antikonvulsan, propanolol, obat penghambat beta-
adregenik yang digunakan dalam pengelolaan hipertensi, angina pektoris, dan migrain, serta
antidepresan. Di samping itu, persentase yang signifikan dari wanita dengan artritis, asma,
depresi, diabetes mellitus, epilepsi, dan migrain mengalami peningkatan syptom
pramenstruasi. Peningkatan gejala dapat mengindikasikan perlunya penyesuaian pada
rejimen terapi obat mereka. Wanita dengan depresi klinis. Misalnya, mungkin memerlukan
dosis obat antidepresan yang lebih tinggi sebelum menstruasi, Jika gejalanya memburuk, dan

59
dosis yang lebih rendah selama sisa siklus menstruasi.

Contoh lain adalah bahwa wanita dengan skizofenia memerlukan dosis obat antipsikotik
yang lebih rendah daripada pria. Jika diberikan dosis yang lebih tinggi yang diperlukan oleh
pria, wanita cenderung memiliki reaksi obat yang merugikan.
5. Kondisi Patologis

Kondisi patologis dapat mengubah proses farmakokinetik. Secara umum, semua proses
farmakokinetik menurun pada gangguan kardiovaskular yang ditandai dengan penurunan
aliran darah ke jaringan, seperti gagal jantung. Selain itu, penyerapan obat oral menurun
dengan berbagai gangguan Gastrointestinal. Distribusi diubah pada penyakit hati atau ginjal
dan kondisi lain yang mengubah protein plasma. Metabolisme menurun pada malnutrisi
(misalnya, protein yang tidak memadai untuk mensintesis enzim pemetabolisme obat) dan
penyakit hati yang parah; mungkin meningkat dalam kondisi yang umumnya meningkatkan
metabolisme tubuh, seperti hipertiroidisme dan demam. Ekskresi menurun pada penyakit
ginjal.

6. Pertimbangan Psikologis

Pertimbangan psikologis memengaruhi respons individu terhadap pemberian obat,


meskipun mekanisme spesifik tidak diketahui. Contohnya adalah respons plasebo. Plasebo
adalah zat yang tidak aktif secara farmakologis. Placebo digunakan dalam uji coba obat klinis
untuk membandingkan obat yang sedang diuji dengan obat "dummy". Menariknya, penerima
sering melaporkan efek terapi dan efek samping dari plasebo. Sikap dan harapan yang terkait
dengan obat pada umumnya, obat tertentu, atau respons klien yang plasebo. Mereka juga
memengaruhi kepatuhan atau kemauan untuk menjalankan rejimen obat yang ditentukan,
terutama dengan terapi obat jangka panjang.

Daftar Pustaka

Abrams, A. Lammon, Carol, Barnett, & Pennington, Sandra Smith. (2009). Clinical Drug
Therapy: Rationales for Nursing Practice (9th ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Setyawati, Nur Falah. (2015). Dasar-Dasar Farmakologi Keperawatan. Jakarta: Nafsi Publisher.

60
TOLERANSI dan TOLERANSI SILANG

Makalah disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Ilmu Dasar Keperawatan Dasar II

Dosen pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp. Kep.MB

Disusun oleh:
Alda Amatus Syahidah 1810711028

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

61
TOLERANSI dan TOLERANSI SILANG
Toleransi obat terjadi ketika tubuh menjadi terbiasa dengan obat tertentu dari waktu ke
waktu sehingga dosis yang lebih besar harus diberikan untuk menghasilkan efek yang sama.
Toleransi dapat terjadi pada tindakan farmakologis dari banyak obat, terutama analgesik opioid,
alkohol, dan depresan SSP lainnya. Toleransi terhadap obat-obatan yang terkait secara
farmakologis disebut toleransi silang. Contohnya seseorang yang secara teratur minum alkohol
dalam jumlah besar dapat menelan lebih banyak lagi sebelum diminum  ini adalah toleransi
terhadap alkohol. Jika orang tersebut kemudian diberikan obat penenang atau anestesi umum,
dosis yang lebih besar dari biasanya diperlukan untuk menghasilkan farmakologi  ini adalah
toleransi silang. Toleransi silang dan toleransi silang biasanya dikaitkan dengan aktivitas enzim
pemetabolisme obat di hati, yang mempercepat metabolisme dan ekskresi obat. Mereka juga
dikaitkan dengan penuruanan sensitivitas atau jumlah situs reseptor.
Toleransi bisa bersifat jangka Panjang dan jangka pendek. Pada pengguna jangka pendek
biasanya membuat pengguna obat akan melakukan peningkatan dosis obat dalam waktu yang
singkat. Misalnya, kokain. Pada saat penggunaan pertama kali, pengguna merasakan efek euforia
dan peningkatan denyut jantung. Kadang pengguna menaikkan dosis pada penggunaan kedua
dengan harapan ada peningkatan efek secara positif, anamun terkadang mereka tidak
mendapatkan efek postif.
Berbeda pada toleransi jangka Panjang, dimana pengguna akan melakukan adaptasi
terhadap dosis awal untuk jangka waktu yang panjang, sebelum akhirnya mengalami penurunan
respon pada obat tersebut dan kemudian melakukan peningkatan dosis. Hal ini sering terjadi
pada para pengguna opiate. Setelah beberapa lama menggunakan opiate, pengguna obat ini akan
melakukan peningkatan dosis atau mencari cara lain yang bisa memberi efek lebih cepat dengan
cara menghirupnya atau menyuntiknya yang berujung pada penyalahgunaan.
Semua obat berpotensi menyebabkan toleransi . namun toleransi tidak selalu terjadi pada
semua efek obat. Misalnya pengguna opiatakan merasakan penurunan respon obat sehingga efek
euphoria yang diharapkan berkurang. Tapi efek samping opiat yang mempengaruhi system
pernafasan tidak mengalami penurunan. Sehingga jika opiate diberikan dalam dosis besar maka,
efek sampingnya meningkat sehingga menyebabkan efek yang serius. Dan tidak jarang orang-
orang mengalami gagal nafas.
TOLERANSI; Pada Obat Sedatif-Hipnotik
Sedatif adalah zat-zat yang dalam dosis terapi yang rendah dapat menekan aktivitas
mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Hipnotik
adalah zat-zat dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan untuk tidur dan
mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotik dan sedative merupakan golongan obat
pendepresi susuanan syaraf pusat (SSP). Efeknya bergantung pada dosis, mulai dari yang ringan

62
yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesia, koma dan mati.
Tolerans  menurunnya respon tubuh terhadap suatu obat akibat pemaparan berulang
kali  adalah gambaran yang umum dari penggunaan sedative-hipnotika. Ini bisa menyebabkan
meningkatnya dosis yang diperlukan untuk mempertahankan perbaikan simtomatis atau
mempercepat tidur. Penting untuk diketahui bahwa tolerans silang parsial dapat terjadi antara
sedative-hipnotika  suatu gambaran dari beberapa kepentingan klinis, seperti yang diterangkan
berikut ini. Mekanisme yang berhubungan dengan tolerans terhadap sedatif-hipnotika belum
diketahui. Perubahan dalam hal inaktivasi metabolis dengan pemakaian kronis sebagai
bertanggung jawab (tolerans metabolis) dalam hal ini barbiturate, tetapi perubahan dari resposns
system saraf pusat (tolerans farmakodinamika) adalah sangat penting untuk sebagian besar
sedative-hipnotika. Dalam hal benzodiazepine, perkembangan tolerans pada hewan berhubungan
dengan down regulation dari resptor benzodiazepine di dalam kotak.
Sifat yang diharapkan untuk menghadapi rasa cemas, euphoria, dan disinhibisi. Serta
untuk mempercepat tidur telah mengarah kepada penyalahgunaan hampir pada semua sedatif-
hipnotika. Untuk alasan ini, sebagian besar obat sedatif-hipnotika diklasifikasikan sebagai obat-
obat yang termasuk dalam daftar III atau daftar IV guna keperluan pemberian resep.
Konsekuensi dari penyalahgunaan bahan ini dapat dijelaskan baik secara psikologis maupun
fisiologis. Komponen psikologinya pada awalnya bisa berupa perilaku neurotik sederhana yang
sukar dibedakan dari kebiasaan para pecandu berat kopi atau rokok. Bila pola penggunaan
sedatif-hipnotika menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan, komplikasi yang lebih berbahaya
akan terjadi, termasuk ketergantungan fissologis dan tolerans.
Kebergantungan fisiologis dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan fissologi yang berubah
yang memerlukan pemberian obat-obat terus menerus untuk mencegah terjadinya sindroma putus
obat (sindroma absitensi).seperti yang dijelaskan lebih lengkap kemudian, dalam hal sedative-
hipnotika, gejala ini ditandai oleh meningkatnya keadaan kecemasan, insomnia, dan eksatibilitas
system saraf pusat yang dapat berkembang menuju konvulsi. Sebagian besar sedative-hipnotika
termasuk benzodiazepine dapat menyebabkan kebergantungan fisiologis apabila digunakan
secara kronis. Namun, keparahan gejala putus obat bergantung pada tiap obat dan juga
bergantung pada besarnya dosis yang dipakai sebelum penghentian pemakaian. Jika digunakan
dosis sedative-hipnotik yang lebih tinggi, penghentian mendadak bisa mengarah kepada tanda-
tanda penghentian mendadak yang lebih serius (tanda-tanda putus obat). Perbedaan keparahan
antarsedatif-hipnotika sebagian berhubungan dengan waktu paruh, karena obat-obat dengan
waktu paruh yang Panjang dieliminasi cukup lambat untuk melakukan penghentian bertahap
dengan sedikit gejala fisik. Penggunaan obat dengan waktu paruh sangat pendek untuk
mendapatkan efek hipnotik dapat mengarah kepada tanda-tanda putus obat dengan waktu paruh
sekitar empat jam, telah dilaporkan menyebabkan terjadinya rasa cemas pada siang hari bila
dipakai untuk mengatasi gangguan tidur,

63
TOLERANSI; Pada Obat Analgesik Opioid
Meskipun perkembangan toleransi dimulai dari pemeberian dosis pertama opioid,
toleransi secara umum tidak secara langsung bermanifestasi klinis, hingga setelah 2-3 minggu
pemberian yang berkali-kali pada dosis terapi baisa. Toleransi berkembang paling baik pada saat
dosis besar diberikan dengan interval waktu yang pendek dan efek yang minimal bila diberikan
dengan obat dosis kecil dengan interval panjang.
Tergantung pada senyawa dan efek yang diukur, tingkat toleransi mungkin sebesar 35
kali. Toleransi yang nyata mungkin dapat berkembang pada analgesik, sedasi, dan efek depresi
napas. Mungkin menghasilkan henti napas pada seorang yang tidak toleran terhadap dosis 60 mg
morphine, dimana pada ketergantungan secara maksimal menoleransi opioid sesbesar 200 mg
morphine yang diberikan pada periode lebih dari dua atau tiga jam yang mungkin tidak akan
menimbulkan depresi napas yang signifikan. Toleransi juga berkembang kepada arah
antidiuretic, muntah dan efek hipotensi, tetapi tidak pada miosis, konvulsi, dan konstipasi.
Toleransi pada efek sedasi dan efek peenafasan pada pemberian opioid hilang dalam
beberapa hari setelah obat tidak lagi diberikan. Toleransi pada efek-efek muntah akan tetap ada
sampai beberapa bulan setelah penghentian obat. Tingkatan-tingkatan dimana toleransi tampak
dan menghilang, dan derajat toleransi mungkin juga berbeda antara macam-macam analgesic
opioid yang berbeda dan antara individu pengguna obat yang sama. Misalnya, toleransi
methiadone berkembang lebih lambat dan dengan tingkatan yang lebih rendah dari morphine.
Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang sangat penting, contohnya, pasien
yang tolerans pada morphine juga tolerans pada agonis opioid rphine juga tolerans pada agonis
opioid yang lain. Hal lain yang sama terjadi pada agen tertentu dengan aktivitas agonis mu
primer. Morphine, methadone, dan kongener nya menunjukkan toleransi silang tidak hanya
mengenai kerja anlagesik tetapi juga pada efek auforia, sedasi, dan respirasi.
Toleransi juga berkembang kea rah analgesic dengan efek reseptor campuran tetapi
perkembangnnya lebih kecil, dan dibandingkan dengan agonis. Efek-efek seperti halusinasi,
sedasi, hipotermia, dan depresi napas berkurang setelah pemberian ulang dari obat-obat dengan
reseptor campuran. Bagaimanapun juga, toleransi pada agen berikutnya tidak secara umum
termasuk dalam toleransi silang pada agonis opioid. Ha; ini juga penting untuk dicatta bahwa
toleransi tidak berkembang pada kerja antagonis dari agen campuran maupun pada antagonis
murni.
TOLERANS; Pada Alkohol
Konsumsi alkohol dalam dosis tinggi selama waktu yang lama menyebabkan terjadinya
toleransi dan kebergantungan fisik atau psikis. Toleransi terhadap berbagai efek intoksisasi
alkohol adalah merupakan proses kompleks yang meliputi perubahan-perubahan yang sulit
dimengerti dengan baik didalam system saraf dan juga perubahan metabolic seperti yang telah
dijelaskan sevelumnya. Meskipun toleransi metabolisme tingkat rendah setelah pemakian

64
alkohol yang kronis telah menunjukkan abhwa kapasitas subjek untuk melakukan metabolisme
alkohol tersebut tidak cukup untuk menjadi penyebab besarnya toleransi klinis yang terjadi.
Begitu jyga halnya dengan obat-obat sedative-hipnotik lainnya, ada Batasan untuk terjadinya
toleransi denagn demikian hanya peningkatan yang realtif kecil dari dosis yang mematikan yang
terjadi dengan peningkatan penggunaan alkohol.
Peminum alkohol kronis, bila dipaksa untuk mengurangi atau menghentikan meminum
alkohol, akan mengalami sindroma putus obat, yang menunjukkan adanya ketergantungan fisik.
Gejala-gejala putus alkohol secara klasik terdiri dari hiperekstabilitas dalam kasu-kasus yang
ringan dan konvulsi, psikosis toksik, dan delirium tremens dalam kasus -kasus yang parah. Dosis,
frekuensi, dan lamanya konsumsi alkohol menentukan istensitas sindroma putus obat. Bila
konsumsi sudah sangat tinggi, hanya dengan mengurangi tingkat konsumsi saja dapat menuju
tanda-tanda putus obat.
Kebergantungan psikologis terhadap alkohol ditandai oleh keinginan berulang yang harus
dilaksanakan untuk memperoleh efek-efek yang menyenangkan dari alkohol dan, untuk
peminum pemula, keinginan untuk menghindari akibat-akibat negative dari reaksi putus oba.
Detoksifikasi, periode keinginan yang amat sangat dari para pecandu alkohol terhadap alkohol
dapat dialihkan dengan menghindari hal-hal yang menyangkut lingkungan yang berhubungan
dengan kebiasaan minum-minum di masa lalu, misalnya, tempat-tempat yang dikenal,
sekelompok orang atau berbagai kejadian.
Dasar molokuler dari toleransi alkohol dan kebergantungan alkohol ini tidak diketahui.
Paparan kronis pada binatang atau sel-sel yang dibiakkan terhadap alkohol menyebabkan
terjadinya respons adaptasi yang meliputi neurotransmitter dan reseptornya, kanal ion, dan enzim
yang berperan dalam jalur transduksi sinyal. Regulasi peingkatan dari subtype NMDA dari
resptor glutamate dan kanal ion kalisum yang peka terhadap perubahan voltase telah dikaitkan
dengan terjadinya seizure yang menyertai sindroma putus alkohol. Berdarkan pada kemampuan
obat-obat sedative-hopnotik yang meningkatkan neurotransmisi GABAergik untuk
menggantikan alkohol selama berlangsungnya reaksi putus alkohol dan adanya bukti terjadinya
regulasi penurunan dari respons yang berkaitan dengan GABA, selama pparan alkohol kronis,
neurotransmisi GABA nampaknya memegang peran utama dalam perkembangan terjadinya
toleransi dan reaksi putus obat.
Peristiwa neurotransmisi yang terlibat dalam proses sensation of reward juga penting.
Alkohol mneyebabkan peningkatan akut konsentrasi local dari serotonine, opioid, dan
dopamine-neirotransmitter yang terlibat dalam brain reward circuit di otak sedangkan pemakian
kronis akan menurunkan kadar basal dari senyawa kimia ini. Keinginan yang kuat terhadap
alkohol menggambarkan usaha otak untuk mengembalikan neurotransmitter tersebut kembali
menuju normal.

65
DAFTAR PUSTAKA
Abrams , A.,Lammon, Canol Barnett, & Pennington, Sandra Smith. (2009). Clinical Drug
Therapy: Rationales For Nursing Practice (9th ed.). Philadelphna: Lippinicott Qilliams &
Wilkins.
Katzung, Bertram G. (2002).Farmakologi: Dasar dan Klinik (8th ed). Jakarta: Salemba Medika.
https://www.academia.edu/35812809/MAKALAH_FARMAKOLOGI_SEDATIV-HIPNOTIK

66
EFEK PADA SYSTEM TUBUH, NEFROTOKSIS, HIPERSENSITIFITAS, DRUG
FEVER, IDIOSINKRASI, KETERGANTUNGAN OBAT, CARCINOGENICITY,
TERATOGENICITY

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Dini Sholihatunnisa 1810711030

JumiatiLestari 1810711039

Rahmawati Eka Yulistyani 1810711020

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

67
Efek Kondisi Patologis Pada Farmakokinetik Obat

1. Gangguan sistem saraf pusat yang mengubah respirasi atau sirkulasi (misalnya, trauma
atau cedera otak, iskemia otak dari aliran darah otak yang memadai, obat yang menekan
atau merangsang fungsi otak)

Kerusakan CNS dapat mengubah farmakokinetik secara tidak langsung dengan


menyebabkan hipo atau hiperventilasi dan ketidakseimbangan asam basa. juga, iritasi
serebral dapat terjadi dengan cedera kepala yang menyebabkan aliran darah dapat
mempercepat semua proses farmakokinetik. dengan penyerapan dan distribusi yang lebih
cepat, aksi obat mungkin lebih cepat, tetapi metabolisme dan pengeluaran yang lebih
cepat dapat mempersingkat durasi aksi

2. Gangguan pencernaan yang mengganggu fungsi pencernaan atau aliran darah (misalnya,
trauma otak atau pembedahan saluran pencernaan, infeksi perut, ileus paralitik,
pankreatitis

gejala gangguan fungsi pencernaan umumnya terjadi dengan gangguan pencernaan dan
non-gastrointestinal. akibatnya, banyak pasien tidak dapat minum obat oral. mereka yang
dapat minum obat oral dapat mengalami gangguan penyerapan karena:
muntah atau diare.
pemberian obat bersamaan yang meningkatkan pH cairan lambung (misalnya, antasida,
penghambat histamin-2, penghambat pompa proton).
pemberian makanan atau larutan tabung secara bersamaan yang mengurangi penyerapan
obat. tablet krusing atau kapsul pembuka untuk memberikan obat melalui saluran
pencernaan

68
beberapa efek samping terjadi dengan dosis terapi obat biasa (sering disebut efek samping); yang
lain lebih mungkin terjadi dan lebih parah dengan dosis tinggi. efek samping yang umum atau
serius termasuk yang berikut ini

1. Efek SSP dapat timbul dari stimulasi SSP (misalnya, agitasi, kebingungan, delirium,
disorientasi, halusinasi, psikosis, kejang) atau depresi SSP (pusing, kantuk, gangguan
tingkat kesadaran, sedasi, koma, gangguan pernapasan, dan sirkulasi). Efek SSP dapat
terjadi dengan banyak obat, termasuk sebagian besar kelompok terapi, zat pelecehan, dan
persiapan tanpa resep
2. Efek gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare) adalah reaksi samping
yang paling umum terhadap obat. mual dan muntah terjadi dengan banyak obat dari iritasi
lokal saluran pencernaan atau simulasi pusat muntah di otak. Diare terjadi dengan obat-
obatan yang menyebabkan lokal termasuk perdarahan atau ulserasi (paling sering dengan
aspirin dan agen nsaid) dan diare / kolitis parah (paling tidak dengan antibiotik).

3. Efek hematologis (kelainan pembekuan darah, kelainan perdarahan, depresi tulang mati
tulang, anemia, eukopenia, agranulositosis, trombositopenia) relatif umum dan berpotensi
mengancam jiwa. Perdarahan berlebihan paling sering dikaitkan dengan antikoagulan dan
trombolitik; depresi sumsum tulang biasanya dikaitkan dengan obat-obatan
antineoplastik.

4. Efek hepatic. Hepatotoksisitas (hepatitis, disfungsi atau gagal hati, radang atau obstruksi
saluran empedu) berpotensi mengancam jiwa. Karena sebagian besar obat dimetabolisme
di hati, hati sangan rentan terhadap cedera yang diinduksi oleh obat. Obat-batan yang
bersifat hepatotoksik meliputi acetaminophen (tylenol), isoniazid (INII), methotrexate
(mexate), fenitoin (dilatin), dan aspirin serta salisilat lainnya. Kerusakan hati akibat obat
atau penyakit metabolisme banyak obat terganggu. Akibatnya, obat-obatan yang
dimetabolisme di hati cenderung menumpuk didalam tubuh dan menyebabkan efek
samping.

69
Nefrotoksis

Nefrotoksisitas (nefritis, insufisiensi atau kegagalan ginjal) terjadi dengan beberapa


agen antimikroba (misalnya, gentamisin dan aminoglikosida lainnya), agen anti-inflamasi
nonsteroid (misalnya, ibuprofen dan obat terkait), dan lain-lain. ini berpotensi serius karena
dapat mengganggu ekskresi obat, sehingga menyebabkan akumulasi obat dan meningkatkan efek
samping.
Nefrotoksisitas = efek toksik atau merusak suatu zat pada ginjal; berpotensi serius
karena kerusakan ginjal mengganggu ekskresi obat, menyebabkan akumulasi obat dan
meningkatkan efek samping.
Nefrotoksis adalah zat-zat yang beracun untuk nefron (ginjal) , sedangkan nefropati
adalah kerusakan pada ginjal. Penyebab nefrotoksisistas antar lain oksigen (CCL4, merkuri,
siklosporin, bahan kontras), endogen(misalnya hemoglobin, mioglobin, asam urat, protein
bencejones). Selain itu penyebab dari hipoperfusi ginjal, mekanisme patogenik antar lain
vasokontriksi intrarenal khususnya ateriol aferen, kebocoran tubular melewati dasar membrane,
obstruksi tubulus oleh silinder dan umpan balik tubuluglomerular.

Gangguan Ginjal

Gagal ginjal atau juga disebut insufisiensi ginjal adalah kondisi ketka ginjal tidak dapat lagi
berfungsi cukup untuk mempertahankan keadaan normalnya.

a. Gagal ginjal akut


Gagal Ginjal Akut (GGK, Acute Renal Failure, ARF) Ditandai oleh penurunan
cepat laju filtrasi glomerulus dalam hitunngan jam sampai hari. Retensi zat-zat buangan
nitrogen, oligouria (curah urin < 400 ml/hari), serta kelainan eektrolit dan asam basa
merupakan gambaran klinis yang sering dijumpai pada GGA.
Gambaran klinis gagal ginjal akut meliputi perubahan volume urin (oliguria,
poliuria), kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental), gangguan pada kulit
(gatal-gatal, pigmentasi), tanda pada kardiopulmoner (sesak, perikarditis), dan gejala
pada saluran cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah)

b. Gagal ginjal kronik

70
Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease, CKD) Adalah penurunan fungsi
ginjal yang bersifat peristen dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan
laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat.
Penyebab gagal ginjal kronis Gagal ginjal kronis disebabkan oleh glomerulonefritis
kronis, diabetes nefropati, hipertensi, penyakit renovaskuler, interstitial nefritis kronis,
penyakit ginjal keturunan, dan penyempitan saluran kemih berkepanjangan.

Obat-obat yang menyebabkan gangguan ginjal

Kenward & Tan (2003) mengatakan bahwa obat dapat menyebabkan gangguan fungsi
ginjal melalui:

(a). Perubahan fungsi ginjal secara langsung, antara lain aminoglikosida, amfoterisin B,
cisplatin, bentuk garam dari emas, logam berat, penisilamin, metotreksat, dan
radiokontras media (Kenward & Tan, 2003).

(b). Perubahan fungsi ginjal secara tidak langsung melalui efeknya pada pasokan darah,
antara lain litium dan demeklosiklin yang dapat menyebabkan diabetes insipidus melalui
penghambatan kerja hormon antidiuretika. Obat yang dapat menyebabkan vaskulitis
dapat mempengaruhi ginjal, misalnya amfoterisin B, allopurinol, golongan penisilin,
fenitoin, sulfonamida, dan tiazid (Kenward & Tan, 2003).

Obat Penginduksi Nefrotoksisitas

1. Antibiotika
Beberapa obat antibiotika yang sering menimbulkan gangguan fungsi ginjal antrara lain:
golongan aminoglikosida, betalaktam,dan vancomisisn, gologan sulfanilamid, golongan
acyclovir, golongan rifampisin, golongan amfoterisin B, serta golongan tetrasiklin.
Berdasarkan aktivitas antibiotika terhadap kuman gram positif dan gram negative, maka
aktivitas antibiotika terhadap gram negative relatif lebih bersfat nefrotoksis.
2. NSAID (Non-Steroid Anti Inflammatory)
Neprotoksisitas diakibatkan keterlambatan respon hipersensitivitas dengan
menyingkirkan metabolis asam arasidonat ke jalur lypoxygenase. Leukotrin
menyebabkan kemotaksis dari sel darah putih yang berakhir dengan infiltasi sel T dsn
eusinofil. Selain itu penghambatan vasodilatasi prostaglandin pada arteriola afferen
ginjal, menyebabkan kontriksi dari arteriola affren dan teradi penurunan tekanan dan laju
71
filtrasi glomerulus. Pemberian NSAID> 3 gram /24 jam menyebaban interstisial nefritis
akut. Hal ini terjadi jika penggunaan NSAID dilakukan selama 18 bulan.
3. Cisplatin
Menyebabkan nekrosis tubular dengan peningkatan BUN (Bood Urea Nitrogen), serum
kreatinin, dan penurunan serum Na+,K+,Mg++,Ca++ dan terjadi kerusakan tubular
proksimal.
4. Cyclosporine (CS-A)
5. Captropil
6. Carbon tetra chloride (CCI4)
CCI4 adalah suatu racun protoplasma yang mana direabsorpsi dengan cept dari bagian
gastrointestinal ke portal circulation yang menagandung lipid dan diekskresikan oleh par-
paru. CCI4 menyebabkan nekrosis nefron tubulus pada lengkung henle dan nekrosis sel
hati.
7. Ethylene glycol
8. Potassium dichromate

Hipersensitivitas

Hipersensitivitas yaitu reaksi yang dimediasi imun terhadap suatu obat. Hipersensitivitas
atau alergi dapat terjadi dengan hampir semua obat pada klien yang mudah menguap. Sebagian
besar tidak dapat diprediksi dan tidak terkait dengan dosis. itu terjadi pada mereka yang
sebelumnya telah terpapar obat atau zat serupa (antigen) dan yang telah mengembangkan
antibodi. Ketika diberikan kembali, obat bereaksi dengan antibodi untuk menyebabkan
kerusakan sel dan pelepasan histamin dan zat intraseluler lainnya. Zat-zat ini menghasilkan
reaksi mulai dari ruam kulit ringan hingga syok anfilaksis. syok anafilaksis adalah reaksi
hipersensitifitas yang mengancam jiwa yang ditandai dengan gangguan pernapasan dan kolaps
kardiovaskular. Itu terjadi dalam beberapa menit setelah pemberian obat dan memerlukan
perawatan darurat dengan epinefrin. Beberapa reaksi alergi (mis., penyakit serum) terjadi 1
sampai 2 minggu setelah obat diberikan.

72
Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun
yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi empat tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.

1. Imun dan non-imun reaksi hipersensitivitas terhadap obat

Alergi obat merupakan reaksi yang tidak diinginkan dimana antibody dan atau sel T aktif
secara langsung melawan obat atau salah satu metabolit. Jumlah reaksi dengan gejala alergi
sering keliru dianggap sebagai alergi obat yang sebenarnya. Patologis mekanisme reaksi
termasuk:

1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media radiokontras, dan
vankomisin),

2. Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors),

3. Aktivasi komplemen (protamine),

4. Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal antiinflammatory drugs) dan,

5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan bronkospasme (β-bloker, sulfur
dioksida).

2. Reaksi cepat hipersensitivitas obat

Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh spesifik
antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan reseptor afinitas tinggi
pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan ikatan multivalen terhadap antigen obat.
Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen kompleks protein hapten berikatan silang
dengan IgE, menstimulasi pelepasan preformed mediators (histamin, triptase, beberapa
sitokin seperti TNF-α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin, kinin,
sitokin lainnya). Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit, lalu
komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan
untuk sintesis protein dan pengerahan sel imun.

73
3. Reaksi lambat hipersensitivitas obat

Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja limfosit T. Kulit
menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang responsif terhadap sel T,
tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya
(obat anti inflamasi nonsteroid), dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem imun,
dimana dijelaskan dengan metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar. Penting
untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda klinis yang
berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut diadministrasikan pada
dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses
pertama antigen obat. Antigen lalu masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional.

Manajemen terhadap beberapa obat yang dapat menyebabkan alergi yaitu sebagai
berikut:
a) Penisilin, Merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi. Untuk pasien dengan
alergi penisilin, pengobatan yang terbaik terbatas pada agen non-penisilin.
b) Sulfonamid, Merupakan salah satu antibiotik lainnya yang dapat menyebabkan reaksi
alergi dan sering berhubungan dengan erupsi makulopapular kutaneus yang tertunda, SJS
dan TEN. Pasien yang terinfeksi HIV mengalami peningkatan risiko untuk
berkembangnya reaksi kutaneus terhadap sulfonamid, dimana berkaitan dengan faktor
imunologis dan frekuensi paparan terhadap antibiotik.
c) Cephalosporin, Pada penderita alergi terhadap cephalosporin, terdapat reaktivitas silang
terbatas pada tes imunologikal antara cephalosporin generasi kedua dan ketiga dan
penisilin, terutama amino-penisilin, tetapi hal ini belum tentu menunjukkan reaktivitas
klinis.
d) Reaksi asam asetilsalisilat/NSAIDs, Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat
menyebabkan reaksi alergi yang sebenarnya dan reaksi pseudoalergi, termasuk
eksaserbasi dari penyakit respirasi yang mendasari, urtikaria, angioedema dan anafilaksis.

Drug fever

I. Definisi

74
Demam karena obat adalah suatu diagnosa yang ditandai dengan respon demam yang
bertepatan dengan pemerian obat tanpa adanya kondisi lainnya yang dapat bertanggung
jawab untuk terjadinya demam pada kondisi seperti tersebut seperti infeksi dan
keganasan. Jika tidak, itu dianggap sebagai demam obat saat pasien mengalami reaksi
alergi (dengan ruam atau tanparuam kulit) yang dikondisikan dengan salah satu kondisi
sebagai berikut :

a. Untuk pasien dengan infeksi. Suhu akan berkurang saat antibiotik digunakan tapi naik
lagi dalam melanjutkan pengobatan selanjutnya.

b. Setelah pengobatan antibiotik, suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan tidak bisa dijelaskan
penyebabnya baik infeksi dan alasan lainnya yang berada dalam kondisi normal.

c. Pasien dengan penyakit non demam lalu menderita demam setelah peningkatan dosis obat
yang diberikan yang tidak bisa dijelaskan oleh infeksi sekunder.

Ciri utama yang membedakan demam karena obat dengan penyebab demam lainnya
adalah bahwa demam ini menghilang setelah obat yang dicurigai sebagai penyebab
demam dihentikan pemberiannya.

II. Penyebab

Banyak obat yang berperan sebagai penyebab demam obat, termasuk sebagian
obat antimikroba, beberapa jenis agen faskular (misalnya penghambat beta, haralazin,
metildopa, procainamide, quinidine) obat dengan sifat antikolinergik (misalnya atropin,
beberapa antihistamin, phcnothiazinc, agen antipsikotik, dan antidepresantrisiklik) dan
beberapa antikonvulsan. Berikut tabel obat-obatan yang dicurigai menjadi penyebab
demam.

75
Demam dapat terjadi sendiri atau dengan manifestasi lainnya (misalnya ruam
kulit, gatal gatal, nyeri sendi dan otot , pembesaran kelenjar getah bening, osinofila) dan
polanya mungkin tingkat rendah dan terus menerus atau spike dan intermiten. Ini
mungkin mulai dalam beberapa jam mengubah dosis pertama, klien telah minum obat
sebelumnya, atau dalam waktu sekitar 10 hari pemberian lanjutan jika obat tersebut baru
bagi klien. Jika obat penyebab dihentikan, demam biasanya mereda dalam waktu 48
hingga 72 jam kecuali ekskresi obat tertunda atau kerusakan jaringan yang signifikan
telah terjadi (misalnya, hepatitis)

III. Patofisiologi

Pusat temoregulasi berada di daerah preoptic dari hipotalamus anterior bertanggung


jawab untuk mempertahankan set titik suhu pada manusia. Selama demam, ada

76
pergeseran ke atas titik set temoregulasi. Selain itu, berbagai pirogen eksogen memicu
aktivitas leukosit dan sel fagosit untuk menghasilkan pirogen endrogen, terutama
interleukin-1. Interleukin- mengakibatkan neuron di hipotalamus anterior tereksitasi dan
menyebabkan peningkatan produksi prostadglandin, adenosin monofosfat siklik, dan
monoamina di sistem saraf. Semua itu mengakibatkan naiknya titik set temoregulasi.
Tubuh memberikan respon dengan meminimalkan kehilangan panas
denganmeningkatkan produksi panas hingga titik set temoregulasi

IV. Pengobatan

Demam ini menghilang setelah obat yang dicurigai sebagai penyebab demam
dihentikan pemberiannya, baik itu yang ditambahkan baru-baru ini maupun semua obat
yang tidak penting. Setelah penghentian, resolusi demam terjadi dalam 48-72 jam dan
dapat bertahan selama beberapa hari hingga beberapa minggu jika disertai manifestasi
lainnya seperti ruam makulopapular, atau waktu eliminasi agen dari tubuh membutuhkan
waktu lebih lama.

Idiosyncrasy

Reaksi idiosinkratik adalah suatu reaktifitas yang abnormal yang ditentukan secara
genetik terhadap suatu zat kimia. Respon yang diamati secara kuatitatif adalah serupa dengan
yang diamati dalam semua individu, tetapi bisa mengambil bentuk kerentanan yang sangat ke
dosis rendah atau sangat tidak rentan ke dosis tinggi dari zat kimia tersebut.

Idiosyncrasy mengacu pada reaksi tak terduga terhadap obat yang terjadi pertama kali
diberikan. Reaksi ini biasanya dikaitkan dengan karakteristik genetik yang mengubah enzim
pemetabolisme obat orang tersebut. Contohnya pasien yang menggunakanobat neuroleptik yang
efeknyamenenangkan menjadi berlawanan pasien menjadi gelisah dan cemas.

Idiosinkrasi ini masih belum diketahui penyebabnya. Sering terjadi pada individu dengan
paparan obat baru dan pasien dengan intoleransi obat.

77
Ketergantungan obat

Ketergantungan obat dapat diartikan sebagai sebagai proses konsumsi obat yang
dilakukan berulang-ulang di luar aturan penggunaannya atau tidak sesuai dengan resep dokter
meski tujuannya untuk meredakan nyeri, mengatasi gejala atau fungsi tubuh. Ketergantungan
muncul ketika tubuh telah menyesuaikan diri dengan kehadiran obat tersebut, sehingga lama-
lama kebal terhadap efek obat. Reaksi kebal inilah yang membuat beberapa orang seenaknya
menaikan obat agar mendapatkan efek obat yang diinginkan. ketika memutuskan untuk berhenti
dari mengkonsumsi obat atau mengurangi dosis obat tubuh akan memberontak dan menimbulkan
gejala putus obat.

Sedangkan kecanduan obat adalah kondisi ketika dorongan yang terjadi ketika tubuh
tidak bisa lagi mengendalikan dorongan atau keinginan yang tak tertahankan untuk
menggunakan suatu obat. Kecanduan membuat orang benar benar kehilangan kontrol sehingga
tidak mampu menghentikan perilaku tersebut.

Ketergantungan obat dapat terjadi dengan obat yang mengubah pikiran seperti analgesik
opioid, agen penenang, agen anti ansietas, dan stimulan SSP. Ketergantungan mungkin bersifat
fisiologis atau bersifat psikologis. Ketergantungan fisiologis menghasilkan gejala fisik yang tidak
menyenangkan ketika obat tersebut dikurangi dosisnya atau dihentikan penggunaannya.
Sedangkan ketergantungan psikologis mengarah pada kesibukan berlebihan dengan obat-obatan
dan perilaku mencari obat.

Gejala ketergantungan obat diantara sakit perut, mual, muntah, diare, halusinasi, kejang,
tremor dan hilang kesadaran.adapun beberapa jenis obat yang beresiko menyebabkan
ketergantungan obat :

1. Antibiotik. Jika antibiotik digunakan sembarangan selain efektifitasnya tidak sesuai efek
lain akan menimbulkan terjadinya retensi, akhirnya saat terjadi infeksi di kemudian hari
efek antibiotik tidak terjadi seperti yang diharapkan.

2. Obat pelangsing. obat pelangsing bisa menimbulkan ketergantungan fisik adalah obat
pelangsing yang mekanisme kerjanya disusun saraf pusat yaitu menekan nafsu makan.

78
3. Obat depresan. Pengulangan tanpa resep dr menimbulkan proses toleransi sehingga
dosisnya harus dinaikan.

Definisi Carcinogenicity

Karsinogenik adalah sunstansi yang menyebabkan kanker atau meninggalkan risiko timbulnya
kanker. Kanker sendiri terjadi akibat perubahan (mutasi) gen (DNA) dari sel-sel tubuh sehingga
berkembang menjadi sel abnormal yang tidak akan mati dan tumbuh tanpa bisa dikendalikan

Bagaimana Karsinogenik Menimbulkan Kanker?

Karsinogenik menimbulkan kanker bisa secara langsung, yaitu substansi tersebut menyebabkan
perubahan atau mutasi pada DNA sel tubuh dan secara tidak langsung dengan cara memicu
pembelahan sel secara cepat sehingga akibat terlalu cepat tersebut terjadi kegagalan menciptakan
sel yang sempurna dan sel kanker pun timbul

Sumber Karsinogenik

1. Obat-obatan
Beberapa macam obat seperti obat penenang, obat penurun panas, antibiotik, obat anti
nyeri dll memiliki kandungan kimia yang bila menumpuk bisa meningkatkan risiko
terkena kanker. Karena itu penting untuk mengonsumsi obat sesuai dengan indikasinya
dan dosis yang tepat pula. Begitu pula dengan berbagai produk yang digunakan dalam
proses pertanian seperti pupuk, pestisida dll. Penting juga untuk menggunakan bahan
berbahaya tersebut secara bijaksana.
2. Polusi Lingkungan
Polusi yang dihasilkan oleh pabrik, kendaraan, maupun sumber pembangkit tenaga listrik
memiliki potensi besar menimbulkan kanker pada paparan terus menerus
3. Virus
Berbagai macam virus telah diakui berhubungan dengan timbulnya kanker.seperti
hepatitis virus, Epstein-barr virus, human papiloma virus dll. Virus-virus ini
menimbulkan perubahan pada tingkat seluler sehingga terjadi mutasi gen.
4. Gaya Hidup
Berbagai gaya hidup tak sehat menuntun anda pada paparan karsinogenik seperti
merokok, meminum alkohol, obesitas, kurang olahraga dll.
5. Makanan

79
Tidak hanya makanan kaleng atau buatan pabrik yang mengandung karsinogenik tapi
juga pada makanan alamiah misalnya aflatoksin pada kacang tanah.
6. Sinar matahari
Dengan adanya fenomena rumah kaca dan bolongnya ozon, tubuh kita terpapar dengan
sinar ultraviolet yang dapat memicu timbulnya kanker.

Definisi Teratogenik (teratogenesis)

Teratogenik adalah istilah medis yang berasal dari bahasa yunani yang berarti
monster. Dalam istilah medis, teratogenik berarti terjadinya perkembangan tidak normal
dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio sehingga
pembentukan organ-organ berlangsung tidak sempurna (terjadi cacat lahir). Di dalam
keputusan menteri pertanian nomer 434.1 (2001), teratogenik adalah sifat bahan kimia
yang dapat menghasilkan kecacatan tubuh pada kelahiran.
Cacat lahir diketahui terjadi pada 3-5% dari semua kelahiran. Kondisi ini menjadi
penyebab dari 20% kasus kematian bayi di Amerika Serikat. Sekitar 65% dari kasus cacat
lahir tidak diketahui penyebabnya.
Pada awalnya diyakini bahwa embrio mamalia berkembang di dalam uterus induk
yang sifatnya kedap air, dan terlindung dari semua faktor ekstrinsik. Tetapi setelah
bencana thalidomide pada tahun 1960-an, diketahui bahwa perkembangan embrio
menjadi sangat rentan terhadap beberapa faktor lingkungan tertentu yang tidak bersifat
toksik pada orang dewasa.
Dengan adanya kesadaran baru mengenai rentannya embrio mamalia terhadap
serangan lingkungan eksternal selama di dalam uterus, berkembang enam prinsip
teratology yang dikembangkan oleh Jim Wilson padatahun 1959. Prinsip ini menjadi
pemandu studi dan pemahaman dari senyawa teratogenik dan efeknya terhadap
perkembangan organisme.
 Sifat rentan terhadap teratogenesis tergantung pada genotipdari conceptus
dan caranya berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan yang bersifat
merugikan
 Ketahanan terhadap teratogenesis bervariasi dengan tahap perkembangan
embrio pada saat kontak dengan faktor yang bersifat merugikan.

80
 Komponen teratogenik bekerja secara spesifik pada perkembangan sel dan
jaringan untuk menginisiasi sekuen dan perkembangan abnormal
 Jalan masuk dari komponen terhadap perkembangan jaringan tergantung
pada kondisi komponen itu sendiri. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kemampuan suatu teratogen untuk kontak dengan conceptus yang sedang
tumbuh antara lain sifat komponen itu sendiri , jalur dan tingkat kontak
dengan induk, sistem absorpsi dan kecepatan transfer plasenta, dan
komposisi genotip dari induk dan embrio/janin.

Ada sejumlah bahan yang/diduga bersifat teratogenik pada manusia dan


hewan, antara lain:

 Radiasi ion (senajata atom, radioidine, dan terapi radiasi).


 Infeksi Cytomegalovirus, virus herpes, parpovirus B-19, virus rubella,
syphilis dan toksoplasmosis.
 Ketidakseimbangan metabolisme, misalnya karena konsumsi alkohol
selama kehamilan, kretinisme endemic, diabetes, defisiensi asam folat,
hipertermia, fenilketonuria, reumatik dan penyakit jantung bawaan.
 Komponen kimia obat lingkungan seperti 13-cis-retinoic acid,
isotretionin, hormone androgenic, busulfan, kaptoril, enalapril, dan
sebagainya.

Kontak dengan komponen teratogenik bisa menyebabkan abnormalitas


struktural yangsangat bergam pada janin, seperti bibir sumbing, langit-
langis mulut terbelah, dysmelia, anencephaly dan penyimpangan pada
ventricular septal

Daftar Pustaka

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/54e6d8be1664c070fd038a109f74
b098.pdf.

Abrams, Anne Collins, Sandra Smith Penington RN PhD & Carol Barnett Lammon RN
PhD. (2006).Clinical Drug Therapy: Rationales for Nursing Practice (eight ed.)
https://id.scribd.com/document/358539792/Referat-Drug-Fever

81
mansyur. 2004. Toxicologi efek efek yang tidak diinginkan. Fakultas kedokteran.
Universitas sumatra utara.

82
DEFINISI DAN MANAJEMEN KERACUNAN OBAT

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Santi Herlina, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun oleh :
Nurul Aliyyah Rahmah 1810711003

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

Definisi Keracunan Obat


Keracunan obat adalah suatu efek obat yang timbul pada pasien karena beberapa faktor
seperti miss use (salah penggunaan), miss dose (salah dosis), salah pemberian obat,dan lain –
lain yang sifatnya tidak di sengaja atau disengaja. Sedangkan alergi obat adalah suatu reaksi
yang ditimbulkan olah tubuh akibat pemberian senyawa asing.

Cara menghindarinya:
1. Kenali tubuh, Jika mempunyai alergi pada suatu senyawa (baik obat maupun makanan)
maka ingatlah atau bahkan catat agar hal itu tidak terjadi.

2. Kenali obat dan makanan

83
Tanyakan pada dokter saat memberikan resep atau apoteker saat menebus obat tentang
bagaimana cara penggunaan yang tepat, efek apa yang akan ditimbulkan, dapatkah
menimbulkan alergi bagi kebanyakan orang, dan yang paling penting bagaimana cara
penangannya saat terjadi alergi.

Penetalaksanaan kedaruratan terhadap reaksi obat akut :


1. Kaji keadekuatan pernafasan. Dapatkan control jalan nafas ventilasi dan oksigenasi
a. gunakan selang endotrakeal dan berikan bantuan ventilasi pada pasien dengan
depresi berat yang tidak ada reflek batuk
b. dapatkan analisis gas darah untuk hipoksia karena hipoventilasi dan abnormalitas asam
basa.
c. Berikan oksigen.

2. Stabilkan system kardiovaskuler ( ini dilakukan simultan dengan penatalaksanaan jalan nafas)
a. mulai kompresi jantung eksternal dan ventilasi pada tidak adanya denyut jantung
b. memulai monitor EGC
c. dapatkan gambaran sample darah untuk tes glukosa, elektrolit, BUN, kreatinin, dan skrin
toksikologi yang tepat
d. mulai cairan IV

3. Berikan antagonis obat khusus sesuai ketentuan jika obat diketahui. Nalakso hidroklorida
(narcan) sering digunakan, dekstrosa 50% dalam air juga digunakan (untuk hipoglikemia)

4. Singkirkan obat dari lambung sesegera mungkin


a. rangsang muntah jika setelah pasien ditemukan dini setelah mencerna.(Simpan muntahan
untuk pemeriksaan toksikologi).
b. Gunakan bilas lambung jika pasien tuidak sadar atau jika tidak ada jalan untuk menentukan
kapan obat diminum. (jika pasioen tidak mempunyai rerflek menelan atau batuk, lakukan
prosedur ini hanya setelah inkubasi dengan selang endotrakea dikembungkan untuk
mencegah aspirasi isi lambung)
c. Karbon teraktivasimungkin dapat digunakan pada terapi, digunakan setelah
muntah atau bilas.
d. Simpan aspirasi lambung untuk analisis toksikologik.

Daftar Pustaka
https://www.academia.edu/19863075/KERACUNAN_OBAT

84
JENIS ANTIDOTUM

85
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu: Ns. Santi Herlina, M.Kep., Sp.Kep.MB

Disusun oleh:
Amalia Tiara Kusuma 1810711032

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019

JENIS ANTIDOT/ANTIDOTUM

Antidotum adalah sebuah substansi yang dapat melawan reaksi percaunan. Secara jauh, kata ini
berasal dari bahasa Yunani, antididonai yang berarti “memberikan perlawanan”.

Dalam arti sempit, antidotum adalah senyawa yang mengurangi atau menghilangkan toksisitas
senyawa yang diabrsopsi. Antidotum lebih difokuskan terhadap over dosis atau dosis toksik dari
suatu obat. Kondisi suatu obat dapat menimbulkan keracunan bila digunakan melebihi dosis
amannya. Selain itu, perbedaan metabolisme tubuh setiap orang terhadap dosis obat juga
mempengaruhi. Obat dapat menjadi racun bila dikonsumsi dalam dosis berlebihan. Dalam hal
ini, obat tidak akan menyembuhkan melainkan berbahaya.

Pada keracunan yang parah dibutuhkan antidotum yang memang terbukti menolong terhadap
efek keracunan obat tertentu, misal asam Folinat untuk keracunan metotrexat. Nalokson, atropin,
chelating agent, natrium tiosulfat, metilen biru merupakan antidotum spesifik yang sangat ampuh
dan sering menimbulkan reaksi pengobatan yang dramatis. Namun, sebagian terbesar kasus
keracunan harus dipuaskan dengan pengobatan gejalanya saja, dan inipun hanya untuk menjaga

86
fungsi vital tubuh, yaitu pernafasan dan sirkulasi darah. Racun akan didetoksikasi oleh hepar
secara alamiah dan racun atau metabolitnya akan diekskresi melalui ginjal dan hati. Selama
keracunan hanya perlu dipertahankan pernapasan dan sistem kardiovaskuler (fungsi vital).

 Klasifikasi Antidotum

 Antidotum kimia : agen yang mengubah sifat kimia dari racun

Contohnya, sodium thiosulphate yang mengubah toxic cyanide menjadi non-toxic thiocyanate;
sodium calcium edetate chelates digunakan untuk keracunan logam berat.

 Antidotum fisiologik : berperan dengan menghasilkan efek yang berkebalikan dengan


racun

Contohnya, sodium nitrit mengkonversi hemoglobin ke methemoglobin untuk mengikat cyanide.

 Antidotum mekanis : mencegah absorpsi racun oleh tubuh.

Contohnya, charcoal mengabsorpsi racun lebih dahulu dibandingkan dinding usus. Copper
sulphate, magnesium sulphate, dan sodium monohydrogen phosphate menonaktifkan dan
mengendapkan material toksik menjadi garam tidak larut.

ANTIDOTUM SPESIFIK

(Jenis, indikasi, cara kerja, dan dosis)

NO. ANTIDOTUM INDIKASI CARA KERJA DOSIS

1. Aluminium Keracunan paraquat, Memblok absorpsi 250 ml suspensi 30% tiap


silikat bentonit diquat lewat usus jam untuk 24-48 jam (selalu
diberikan bersama MgS)

2. Atropin Keracunan Memblok reseptor 1,2-2,4 mg ulangi tiap 5-10


obat/bahan dengan muskarinik menit sampai tampak tanda
efek muskarinik atropinisasi (mulut kering,
pulsus >70x/menit)

3. Kalsium Keracunan fluorida Mengikat ion Fe 2,5% gel untuk luka bakar
glukonat 50% yang timbul kulit, 10% injeksi pelan 10
i.v ml

87
NO. ANTIDOTUM INDIKASI CARA KERJA DOSIS

hiperkalemia Mengurangi 10-20 g dalam 25 ml air


paralisis otot lurik diikuti 10 ml larutan 10%
karena K+ naik

hipermagnesemia Idem idem

Keracunan oksalat Menghilangkan idem


hipokalsemia

4. Dekstrosa Keracunan insulin, Meningkatkan 50 ml larut


OAD ladar gula darah

5. Dicobalt Keracunan sianida Mengikat sianida 600 mg i.v kemudian 300 mg


edetate atau derivatnya menjadi lagi jika respon belum
cobaltisoanid atau tampak
cobaltosianid

6. Dimercaprol Keracunan As, Cu, Kelasi logam 2,5-5 mg/kg i.v tiap 4 jam
Pb, atau Hg untuk 2 hari kemudian 2,5
mg 2x/hari dan diteruskan
1x/hari

7. Etanol Keracunan Inhibisi 50 mg oral atau i.v kemudian


etilenglikol dan metabolisme 10-12 g/jam lewat infuse
methanol methanol menjadi
(derivatnya) formaldehid dan
asa format yang
toksik

8. Asam folanat Keracunan antagonis Menerobos Keracunan metotreksat 60


asam folat (missal blockade mg 2x/hari i.v diikuti 15
trimetoprim, metabolisme asam mg/6 jam per oral sampai 5
metotreksat, dan folat hari
pirimetamin)
Keracunan trimetoprim 3-6
mg i.v kemudian 15 mg/hari
per oral sampai 5-7 hari

88
NO. ANTIDOTUM INDIKASI CARA KERJA DOSIS

9. Metionin Keracunan Mengembalikan 2,5 mg per oral kemudian


parasetamol cadangan glutation, diikuti 2,5 mg tiap 4 jam
mencegah untuk 3 dosis (10 g dalam 12
kerusakan hati dan jam)
ginjal

10. Methylen blue Keracunan bahan- Memacu konversi 1-2 mg/kg atau 0,1 ml larutan
bahan penyebab metHb menjadi Hb 1%/kg i.v pelan infuse pada
methemoglobinemia penderita kekurangan G6PD,
(cresol, dapson, tambahkan vit C 1 g i.v pelan
nitrat, femol, atau 200 mg oral 3x/hari
primakuin) untuk mencegah hemolisis
karena methylen blue

11. Nalokson Meracunan narkotika Inhibisi kompetitif 0,4-2,4 mg i.v ulangi tiap 2-3
(opioid) pada reseptor menit sehingga total menjadi
10 mg, diberikan bersama
infuse

12. Natrium Membuat urin lebih Meningkatkan Tergantung pada pH urin


bikarbonat (Bic alkalis untuk ekskresi ion yang harus terus dimonitor
Nat) mencegah presipitasi karbonat
Kristal sulfonamide
dalam tubulus renalis
dan mengoreksi
asidosis metabolic

13. NaK-edetate Keracunan Pb Kelasi 50-75 mg/kg i.v infuse tiap 5


(CaEDTA) jam untuk 5 hari (tiap 2 g
EDTA diencerkan dalam 200
ml RL)

14. Na-Nitrit Keracunan sianida Membentuk metHb 10 ml larutan 3% i.v dalam 3


dan derivatnya atau yang mempunyai menit kemudian diberi 25 ml
hydrogen sulfide afinitas tinggi larutan 50% Na-tiosulfat
terhadap ion CN- dalam 10 menit
dan HS- sehingga
terbentuk
sianometHb dan
sulfurmetHb

15. Na-tiosulfat Keracunan sianida Meningkatkan 25 ml larutan 50% i.v dalam

89
NO. ANTIDOTUM INDIKASI CARA KERJA DOSIS

dan derivatnya cadangan tiosulfat 10 menit kemudian 10 ml


tubuh yang penting larutan 3% Na-nitrit i.v
untuk mengubah selama 3 menit
CN- menjadi
tiosianat

DAFTAR PUSTAKA

Priyanto.2014. Toksikologi, Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko.


Jakarta:Leskonfi

90
PENUTUP

3.1 Simpulan

Farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi obat dengan


konstituen (unsur pokok) tubuh untuk menghasilkan efek terapi (therapeutic). farmakologi
mencakup semua ilmu pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat-sifat fisik dan kimia,
komposisi, efek-efek biokimia dan fisiologi, mekanisme kerja, absorpsi, biotransformasi, ekresi,
penggunaan terapi, dan penggunaan lainnya dari obat. Beraneka ragam obat-obatan yang telah
ada sejak zaman dahulu.

Obat yang diberikan pada seorang pasien dan penggunaannya dalam pengobatan sesuai
dengan penyakit, digambarkan dengan dua bidang khusus farmakologi yaitu: farmakokinetik dan

91
farmakodinamik. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi distribusi
metabolisme dan ekskresi.

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan.

92

Anda mungkin juga menyukai