Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit degeneratif salah satu penyakit yang sulit untuk diperbaiki


yang ditandai dengan degenerasi organ tubuh yang dipengaruhi gaya hidup.
Gaya hidup sehat menggambarkan pola perilaku yang berkaitan dengan upaya
atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatannya. Penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar
di dunia hingga saat ini. Menurut World Health Organization (WHO) tahun
2011, kematian akibat penyakit degeneratif diperkirakan akan terus
meningkat diseluruh dunia. Pada tahun 2030 diprediksi sebanyak 52 juta jiwa
kematian per tahun atau naik 14 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada tahun 2012.
Salah satu penyakit degeneratif yang membahayakan dan banyak terjadi
dimasyarakat adalah stroke.
Menurut WHO, stroke merupakan pembunuh nomor tiga setelah
penyakit jantung dan keganasan. Kasus baru stroke ditemukan sebanyak
650.000 kejadian di Eropa setiap tahunnya. Di Inggris sendiri, stroke
menduduki urutan ke-3 sebagai pembunuh setelah penyakit jantung dan
kanker. Di Amerika, setiap tahunnya terjadi sekitar 700.000 kasus stroke
iskemik dan 100.000 stroke perdarahan dengan kasus fatal sebanyak 175.000
(Setiati et al. 2014).
Stroke merupakan sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresif
cepat, serta berupa defisit neurologis lokal atau global yang berlangsung 24
jam atau lebih. Selain itu, juga bisa langsung menimbulkan kematian yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non-traumatik (Ariani 2012).
Stroke salah satu penyakit yang menjadi perhatian dunia, tergambar dari
adanya peringatan hari stroke dunia pada tanggal 29 Oktober. Satu dari enam
orang menderita stroke dan hampir setiap enam detik seseorang

1
2

meninggal karena stroke. Organisasi stroke dunia mencatat hampir 85%


orang yang mempunyai faktor resiko dapat terhindar dari stroke bila
menyadari dan mengatasi faktor resiko tersebut sejak dini (Nabyl 2012).
Masalah stroke di Indonesia menjadi semakin penting dan mendesak
baik stroke hemoragik maupun stroke non hemoragik. Di Indonesia sendiri,
stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung
dan kanker (Maukar et al. 2013). Di Indonesia setiap tahun diperkirakan 500
ribu orang mengalami serangan stroke. Dari jumlah tersebut, sekitar 2,5%
diantaranya meninggal dunia dan sisanya mengalami cacat ringan maupun
berat (Raharjo dan Tuti 2015).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 data stroke sebesar
12,1%. Pada tahun 2007 sebesar 8,3%. Data ini menunjukkan terjadinya
peningkatan prevalensi stroke sebesar 3,8% (Kemenkes 2013). Berdasarkan
gejala dan didiagnosis oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007, prevalensi
stroke tertinggi di Indonesia yaitu di Sulawesi Selatan sebesar 7,4%, pada
tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 17,9%, diikuti dengan DI Yogyakarta
(16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), dan Jawa Timur (16%) (Kemenkes
2013). Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
pada tahun 2007 (5,0%) dan meningkat pada tahun 2013 (7,1%) (Jayanti
2015).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2016, kasus
lama penyakit stroke dari 13 Kabupaten/Kota sebesar 1.611 dengan kejadian
tertinggi di kabupaten/kota Banggai. Kasus baru penyakit stroke sebesar
1.195 dengan kejadian tertinggi di Kabupaten/Kota Palu (Dinkes Sulteng
2017).
Survei awal yang dilakukan di rumah sakit umum Anutapura Palu, data
Rekam Medik pada tahun 2015 kasus stroke di ruang ICU sebanyak 55 kasus,
ruang kutilang sebanyak 37 kasus dengan jumlah keseluruhan 92 kasus. Pada
tahun 2016 mengalami peningkatan sebanyak 245 kasus (Rekam Medik RSU
Anutapura Palu 2016).
3

Pada pasien stroke dengan tirah baring lama akan mengalami perubahan
metabolisme yang dapat meningkatkan tekanan yang berbahaya pada kulit
sehingga berisiko terjadi dekubitus (Potter dan Perry 2012). Dekubitus
merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit
kronis, pasien yang sangat lemah, dan pasien yang lumpuh dalam waktu yang
lama, bahkan saat ini merupakan suatu penderitaan sekunder yang banyak
dialami oleh pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit (Morison 2004). Data
RSU Anutapura Palu pada bulan Oktober-Desember tahun 2016 kasus resiko
dekubitus sebanyak 720 kasus dan untuk kejadian dekubitus dari rumah
sebanyak 27 kasus. Dari pengalaman peneliti saat melakukan praktik klinik
tahun 2016, didapatkan kejadian dekubitus derajat II pada seorang pasien
yang ditandai dengan terjadinya luka lecet pada lapisan kulit terluar
(epidermis) di bagian bokong.
Pencegahan sangat penting bagi pasien berisiko dekubitus dengan cara
memiringkan badan secara teratur dan menjaga kulit tetap bersih. Tindakan
pencegahan yang dilakukan adalah alih baring atau mobilisasi. Mobilisasi
merupakan pengaturan posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan
gaya gesek pada daerah tulang yang mononjol yang dapat melukai kulit.
Mobilisasi bertujuan untuk menjaga supaya daerah yang tertekan tidak
mengalami luka. Dalam melakukan mobilisasi posisi miring pasien harus
tepat tanpa adanya gaya gesekan yang dapat merusak kulit. Pada pasien
stroke alih baring dilakukan minimal setiap 2 jam (Zulaikah et al. 2015).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bujang et al. (2013),
menyatakan pasien stroke yang mengalami hemiparesis yang dilakukan alih
baring tidak mengalami dekubitus sejumlah 15 orang (100,0%), kelompok
kontrol terjadi dekubitus 8 orang (53,3%) dan tidak terjadi 7 orang (46,7%).
Yang artinya alih baring efektif untuk mencegah kejadian dekubitus pada
pasien stroke yang mengalami hemiparesis. Menurut Huda (2015), pasien
yang dilakukan posisi miring 30 derajat sejumlah 19 orang bebas dari resiko
luka tekan, sedangkan 1 orang terjadi luka tekan. Yang artinya ada pengaruh
4

posisi miring untuk mengurangi luka tekan pada pasien dengan gangguan
persyarafan.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di lokasi
penelitian yaitu dengan cara wawancara seorang perawat, menyatakan pada
pasien yang tidak bisa miring kiri/kanan dilakukan mobilisasi tiap dua jam,
namun jika pasien tidur maka tidak dilakukan mobilisasi. Selain perawat,
peneliti juga melakukan wawancara dengan salah satu keluarga pasien,
menyatakan dalam intervensi alih baring terhadap pencegahan dekubitus,
perawat memberikan motivasi kepada keluarga pasien untuk merubah posisi
tidur tetapi tidak ada pengawasan ketat tentang teknik alih baring yang tepat
pada pasien stroke dengan imobilisasi.
Data tersebut memberikan gambaran bahwa masalah stroke perlu
mendapatkan perhatian dan penanganan yang baik mengingat prevalensi dan
akibat yang ditimbulkannya cukup tinggi, salah satu cara dengan melakukan
mobilisasi untuk mencegah terjadinya dekubitus pada pasien stroke.
Penelitian mengenai pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian
dekubitus pada pasien stroke belum ada informasi dan publikasi di ruang ICU
dan Murai RSU Anutapura Palu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap
kejadian dekubitus pada pasien stroke di ruang ICU dan Murai RSU
Anutapura Palu?”

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Diketahuinya pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian
dekubitus pada pasien stroke di ruang ICU dan Murai RSU Anutapura
Palu.
5

2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasi kejadian dekubitus pada pasien stroke sebelum diberikan
mobilisasi tiap 2 jam
b. Teridentifikasi kejadian dekubitus pada pasien stroke sesudah diberikan
mobilisasi tiap 2 jam
c. Teranalisis pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian dekubitus
pada pasien stroke di ruang ICU dan Murai RSU Anutapura Palu.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi RSU Anutapura Palu


Memberikan gambaran tentang pengaruh mobilisasi tiap 2 jam
terhadap kejadian dekubitus pada pasien stroke dan sebagai bahan
masukan dalam upaya meningkatkan pelayanan terutama mobilisasi tiap 2
jam terhadap kejadian dekubitus pada pasien stroke.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai bahan tambahan pengetahuan dan menambah wawasan
keilmuan tentang pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian
dekubitus khususnya pada pasien stroke.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang cara
merubah posisi tiap 2 jam untuk mencegah terjadinya luka dekubitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


2.1.1 Konsep Stroke

Stroke adalah kehilangan fungsi otak diakibatkan oleh berhentinya


suplai darah ke bagian otak, biasanya merupakan akumulasi penyakit
serebrovaskular selama beberapa tahun. Stroke merupakan sindrom klinis
yang timbulnya mendadak, progresif cepat, serta berupa defisit neurologis
lokal atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih. Selain itu, juga bisa
langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak non-traumatik (Ariani 2012).
Stroke adalah suatu kondisi terjadinya gangguan pada aktivitas
suplai darah ke otak. Ketika aliran darah ke otak terganggu maka oksigen
dan nutrisi tidak dapat dikirim ke otak. Kondisi ini akan mengakibatkan
kerusakan sel-sel otak hingga sel-sel otak mati. Hal ini kadang
menyebabkan pembuluh darah otak pecah sehingga mengakibatkan
pendarahan pada bagian otak (cerebral hemorrhage) (Diwanto 2009).
Stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan adanya defisit
neurologis serebral fokal atau global yang berkembang secara cepat dan
berlangsung selama minimal 24 jam atau menyebabkan kematian yang
semata-mata disebabkan oleh kejadian vaskular, baik perdarahan spontan
pada otak (stroke perdarahan) maupun suplai darah yang inadekuat pada
bagian otak (stroke iskemik) sebagai akibat aliran darah yang rendah,
thrombosis atau emboli yang berkaitan dengan penyakit pembuluh darah
(arteri dan vena), jantung, dan darah (Setiati et al. 2014).
Jadi, stroke adalah gangguan atau berkurangnya suplai darah ke otak
sehingga aliran nutrisi dan oksigen yang dibawa oleh darah tidak
terpenuhi, yang diakibatkan oleh obstruksi pembuluh darah otak.

6
7

2.1.1.1 Klasifikasi

Gangguan peredaran darah otak atau stroke dapat diklasifikasikan


menjadi dua, yaitu:
1. Stroke hemoragik
Stroke hemoragik atau stroke perdarahan disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak. Darah yang keluar akan masuk ke
dalam jaringan otak dan menyebabkan terjadinya pembengkakan otak
atau hematom yang akhirnya meningkatkan tekanan di dalam otak.
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut yang
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh pecahnya
pembuluh arteri, vena, dan kapiler. Stroke hemoragik terjadi bila
pembuluh darah di otak atau dekat otak pecah. Serangan stroke
hemoragik terjadi pada golongan usia 20-60 tahun (Jayanti 2015).
2. Stroke nonhemoragik
Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas:
Transient Ischaemic Attack (TIA) adalah defisit neurologis membaik
dalam waktu kurang dari 30 menit. Reversible Ischaemic Neurological
Deficit (RIND) adalah defisit neurologis membaik kurang dari 1
minggu (George 2009).
TIA adalah hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal secara cepat
yang berlangsung kurang dari 24 jam, dan diduga diakibatkan oleh
mekanisme vaskular emboli, thrombosis, atau hemodinamik. Beberapa
episode transien/sementara berlangsung lebih dari 24 jam, tetapi pasien
mengalami pemulihan sempurna yang disebut RIND (Ginsberg 2008).
Stroke iskemik terjadi karena aliran darah di arteri otak terganggu
dengan mekanisme yang mirip dengan gangguan aliran darah pada
arteri koroner saat serangan jantung atau angina sehingga otak menjadi
kekurangan oksigen dan nutrisi. Serangan stroke iskemik biasanya
8

terjadi pada golongan usia 50 tahun atau lebih dan serangan lebih sering
terjadi pada malam hari (Batticaca 2008).
2.1.1.2 Etiologi

Menurut Muttaqin (2011), beberapa keadaan di bawah ini dapat


menyababkan stroke:
1. Trombosis serebri
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami
oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat
menimbulkan edema dan kongesti disekitarnya. Trombosis biasanya
terjadi pada orang tua yang sedang tidur dan bangun tidur. Hal ini dapat
terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan
darah yang dapat menyebabkan iskemia serebri. Tanda dan gejala
neurologis sering kali memburuk dalam waktu 48 jam setelah terjadinya
trombosis. Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan
trombosis otak:
a. Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta
berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis aterosklerosis bermacam-macam.
b. Hiperkoagulasi pada polisitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/ hematokrit
meningkat dapat melambatkan aliran darah serebri.
c. Arteritis (radang pada arteri).
2. Emboli
Emboli serebri merupakan penyumbatan pembuluh darah otak
oleh bekuan darah, lemak, dan udara. Pada umumnya emboli berasal
dari trombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri
serebri. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang
dari 10-30 detik.
3. Hemoragik
9

Perdarahan intrakranial atau intraserebri meliputi perdarahan di


dalam ruang subarakhnoid atau di dalam jaringan otak sendiri.
Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi.
Pecahnya pembuluh darah otak meyebabkan perembesan darah ke
dalam parenkim otak yang dapat menyebabkan penekanan, pergeseran,
dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan
membengkak, jaringan otak tertekan sehingga terjadi infark otak,
edema, dan mungkin herniasi otak.
4. Hipoksia umum
Beberapa penyebab yang berkaitan dengan hipoksia umum adalah:
a. Hipertensi yang parah
b. Henti jantung paruh
c. Curah jantung turun akibat aritmia
5. Hipoksia lokal
Beberapa penyebab yang berkaitan dengan hipoksia setempat adalah:
a. Spasme arteri serebri yang disertai perdarahan subarachnoid
b. Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

2.1.1.3 Faktor Resiko Terjadinya stroke

Menurut Tarwoto et al. (2007), penentuan timbulnya manifestasi


stroke dikenal sebagai faktor resiko stroke. Adapun faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut: Usia, makin bertambah usia resiko stroke makin
tinggi, hal ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah. Hipertensi,
menyebabkan aterosklerosis pembuluh darah serebral sehingga lama-
kelamaan akan pecah menimbulkan perdarahan sehingga dapat
menyebabkan terjadinya stroke hemoragik. Diabetes mellitus, pada
penyakit DM terjadi gangguan vaskuler, sehingga terjadi hambatan dalam
aliran darah ke otak. Penyakit jantung/kardiovaskular berpotensi untuk
menimbulkan stroke, faktor resiko ini akan menimbulkan embolisme
serebral yang berasal dari jantung. Kolesterol tinggi dan obesitas, pada
obesitas kadar kolesterol darah meningkat dan terjadi hipertensi. Merokok,
10

rokok menimbulkan plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga


terjadi aterosklerosis. Konsumsi alkohol, pada alkoholik dapat mengalami
hipertensi.

Sementara itu Ariani (2012), semua faktor yang menentukan


timbulnya manifestasi stroke dikenal sebagai faktor resiko stroke. Adapun
faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko stroke yang potensial.
Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya
pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah, maka
timbullah perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak
menyempit, maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak
akan mengalami kematian.
2. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah
otak yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak
akan menyempitkan diameter pembuluh darah dan penyempitan
tersebut kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang
pada akhirnya akan menyebabkan infark sel-sel otak.
3. Penyakit jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.
Faktor resiko ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah
ke otak karena jantung melepas gumpalan darah atau sel-sel/jaringan
yang telah mati ke dalam aliran darah.
4. Gangguan aliran darah otak sepintas
Pada umunya bentuk-bentuk gejalanya adalah hemiparesis,
disartria, kelumpuhan otot-otot mulut atau pipi, kebutaan mendadak,
hemiparestesi dan afasia.
5. Hiperkolesterolemi
11

Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama Low


Density Lipoprotein (LDL), merupakan faktor resiko penting terjadinya
arterosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian
diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kadar LDL
dan penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL) merupakan
faktor resiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner.
6. Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor resiko
stroke adalah tuberkulosis, malaria, sifilis, leptospirosis dan infeksi
cacing.
7. Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung.
8. Merokok
Merokok merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya infark
jantung.
9. Kelainan pembuluh darah otak
Pembuluh darah otak yang tidak normal dimana suatu saat akan
pecah dan menimbulkan perdarahan. Faktor lain terjadinya resiko
stroke: lanjut usia, penyakit paru-paru menahun, penyakit darah, asam
urat yang berlebihan, kombinasi berbagai faktor resiko secara teori.

2.1.1.4 Patofisiologi

Otak sangat bergantung pada oksigen dan tidak mempunyai


cadangan oksigen. Bila terjadi anoksia seperti halnya yang terjadi pada
CVA (Cerebral Vascular Accident), metabolisme di otak mengalami
perubahan, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3
sampai 10 menit. Tiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi otak
akan menimbulkan hipoksia atau anoksia. Hipoksia menyebabkan iskemik
otak. Iskemik otak dalam waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan
berakibat terjadi infark otak yang disertai dengan edema otak karena pada
12

daerah yang dialiri darah terjadi penurunan perfusi dan oksigen, serta
peningkatan karbon dioksida dan asam laktat.
Gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau
cedera pada otak melalui empat mekanisme, yaitu sebagai berikut:
Pertama, penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan
penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya
ke sebagian otak tidak adekuat, serta selanjutnya akan mengakibatkan
perubahan-perubahan iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian
hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis (infark). Kedua, Pecahnya dinding
arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke jaringan (hemoragi).
Ketiga, Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang
menekan jaringan otak (misalnya: malformasi angiomatosa, aneurisma).
Keempat, Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang
intersisial jaringan otak (Ariani, 2012).

2.1.1.5 Komplikasi

Tarihoran (2010) membagi komplikasi stroke sebagai berikut:


1. Imobilitas
Pasien stroke mengalami defisit jangka panjang motorik yang
akan berpengaruh terhadap fungsi mobilisasinya. Penurunan mobilisasi
bahkan imobilisasi yang dialami pasien menyebabkan pasien harus tirah
baring diatas tempat tidur dalam waktu yang cukup lama. Tirah baring
yang terus menerus ini memungkinkan adanya penekanan pada area-
area tertentu yang dapat mencetuskan iskemik jaringan hingga akhirnya
menimbulkan luka tekan. Ulkus dekubitus, merupakan komplikasi yang
sangat rentan terjadi namun sebenarnya dapat dihindari dengan
prosedur rehabilitasi yang baik. Kontraktur dan nyeri bahu, shoulder
hand syndrometerjadi pada 27% pasien stroke. Penekanan saraf
peroneus dapat menyebabkan foot drop. Osteopenia dan osteoporosis,
hal ini dapat dilihat dari berkurangnya densitas mineral pada tulang
13

yang bisa disebabkan oleh imobilisasi dan kurangnya paparan terhadap


sinar matahari. Konstipasi juga dapat timbul akibat dari imobilitas.
2. Komplikasi muskuloskeletal
Spastisitas dan kontraktur, umumnya sesuai pola hemiplegi; nyeri
bahu, umumnya di sisi yang lemah; jatuh dan fraktur.

3. Komplikasi neurologik
Kejang, umumnya lebih sering pada fase awal pada pasien dengan
stroke hemoragik; nyeri kepala, walaupun hebat, umumnya tidak
menetiap. Penatalaksanaan gejala diatas membutuhkan analgetik.
4. Komplikasi pendamping
Keterbatasan pasien sering menyebabkan pasien sangat
tergantung kepada keluarga. Keadaan ini dapat menyebabkan beban
fisik dan psikologis bagi keluarga.

2.1.1.6 Pencegahan

Upaya mencegah terjadinya stroke dapat dibagi menjadi dua kategori


yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer,
dilakukan apabila penyakit stroke belum terjadi. Pada pencegahan primer,
langkah pertama dalam mencegah stroke adalah dengan memodifikasi
gaya hidup dalam segala hal, memodifikasi faktor resiko, dan kemudian
bila dianggap perlu baru dilakukan terapi dengan obat untuk mengatasi
penyakit dasarnya. Menjalani gaya hidup sehat dengan pola makan sehat,
istirahat cukup, mengelola stress, mengurangi kebiasaan yang dapat
merusak tubuh seperti merokok, makan berlebihan, makanan yang banyak
mengandung lemak jenuh, kurang aktif berolahraga. Memperbaiki keadaan
hiperlipidemi, dengan cara: memperbaiki pola makan, seperti hindari
makanan cepat saji (fast food). Menghentikan konsumsi merokok, semakin
cepat berhenti merokok maka akan menurunkan resiko stroke, dan
menghentikan konsumsi alkohol.
14

Pencegahan sekunder dilakukan perawatan atau pengobatan terhadap


penyakit dasarnya. Pasien stroke biasanya banyak memiliki faktor resiko.
Faktor-faktor resiko yang harus diobati, seperti: tekanan darah tinggi,
kencing manis, penyakit jantung koroner, kadar kolesterol LDL (Low
Density Lipoprotein) darah yang tinggi, kadar asam urat darah tinggi.
Sebaliknya pasien harus berhenti merokok, berhenti minum alkohol,
menghindari stress, dan rajin berolahraga. Jika mempunyai penyakit
diabetes, harus mengkonsumsi obat-obat diabetes teratur dan menjaga pola
makan serta olahraga teratur. Jika mempunyai penyakit hipertensi, harus
mengkonsumsi obat-obat hipertensi teratur sehingga dapat menjaga
tekanan darah stabil. Teratur berolahraga dan mengkonsumsi makanan
sehat dan kaya nutrisi. Rutin memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan
dan cegah kondisi stress. Stroke merupakan suatu hasil akhir yang dari
suatu proses faktor resiko, oleh Karena itu dalam pencegahan sebaiknya
kita menitik beratkan pada menjaga, mencegah, dan mengatasi faktor
resiko seperti yang telah disebutkan (Raharjo dan Tuti 2015).

2.1.2 Konsep Dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan di


bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat
adanya penekanan pada suatu area secara terus-menerus sehingga
mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat (Maryunani 2016).
Dekubitus adalah suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi,
baik akibat tekanan langsung pada kulit, sehingga menyebabkan “iskemia
tekanan”, maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stress
mekanik terhadap jaringan (Maryunani 2016).
Dekubitus adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang
disebabkan karena adanya kompresi jaringan yang lunak di atas tulang
yang menonjol (bony prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam
jangka waktu yang lama. Kompresi jaringan akan menyebabkan gangguan
pada suplai darah pada daerah yang tertekan. Apabila ini berlangsung
15

lama, hal ini dapat menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau
iskemi jaringan dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel. Menurut
Nursalam (2011), area yang paling sering terjadi dekubitus adalah yang
sering mengalami tekanan, yaitu: Pada posisi terlentang, daerah belakang
kepala, sakrum dan tumit; Pada posisi duduk, yaitu daerah ischium; Posisi
lateral, yaitu pada daerah trochanter.
Luka tekan adalah cedera yang terlokalisasi pada kulit dan atau
jaringan di bawahnya biasanya diatas tonjolan tulang, akibat adanya
tekanan, atau kombinasi dari tekanan dan robekan (NPUAP-EPUAP
2009). Kondisi ini dapat digambarkan sebagaimana adanya tekanan atau
desakan pada kulit yang terus menerus, sehingga menyebabkan suplai
darah yang menuju kulit terputus dan jaringan menjadi mati (Tarihoran
2010).
Menurut Subandar (2008) dalam Irawan et al. (2013), dekubitus
dapat terjadi antara hari ke 1-6 pasien di rawat. Suheri (2009) dalam
Irawan et al. (2013), dekubitus dapat terjadi pada hari ke 3-5 pasien di
rawat.

2.1.2.1 Etiologi

a. Ulkus tekan/dekubitus disebabkan oleh iskemia yang terjadi bila


tekanan pada jaringan lebih besar daripada tekanan dalam kapiler,
sehingga menghambat aliran darah ke daerah tersebut.
b. Jaringan otot yang membutuhkan lebih banyak oksigen dan nutrien
dibandingkan kulit, menunjukkan akibat terburuk dari tekanan yang
lama.
c. Seperti pada ulkus kronik lainnya, re-perfusi luka merusak jaringan
(Maryunani, 2016).

2.1.2.2 Faktor Risiko

Menurut Nursalam (2011), ada dua hal utama yang berhubungan


dengan risiko terjadinya dekubitus, yaitu faktor tekanan dan toleransi
16

jaringan. Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan di atas


tulang yang menonjol adalah imobilisasi, inaktifitas, dan penurunan
sensori persepsi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi toleransi jaringan
dibedakan menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor
intrinsik yaitu faktor yang berasal dari pasien. Sedangkan yang dimaksud
dengan faktor ekstrinsik yaitu faktor-faktor dari luar yang mempunyai efek
deteriorasi pada lapisan eksternal dari kulit. Di bawah ini adalah
penjelasan dari masing-masing faktor di atas.
a. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol
posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah.
Pasien yang berbaring terus-menerus di tempat tidur tanpa mampu
untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena dekubitus.
Imobilisasi adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian
dekubitus.
b. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami
penurunan kemampuan untuk merasakan sensasi nyeri akibat tekanan di
atas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama,
pasien akan mudah terkena dekubitus.
c. Kelembaban
Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat
mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang
mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu
kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan
(friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih
signifikan dalam perkembangan dekubitus daripada inkontinensia urin
karena adanya bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan
kulit.
d. Tenaga yang merobek (shear)
17

Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek


jaringan, pembuluh darah, serta struktur jaringan yang lebih dalam yang
berdekatan dengan tulang yang menonjol. Contoh yang paling sering
dari tenaga yang merobek ini adalah ketika pasien diposisikan dalam
posisi semi fowler yang melebihi 30 derajat. Pada posisi ini pasien bisa
merosot ke bawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak ke
bawah namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan
impitan pada pembuluh darah kulit, serta kerusakan pada jaringan
bagian dalam seperti otot namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan
pada permukaan kulit.
e. Pergeseran (friction)
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah
yang berlawanan. Pergeseran dapat mengakibatkan abrasi dan merusak
permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat
penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati.
f. Nutrisi
Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi
umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya
dekubitus.
g. Usia
Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena
dekubitus karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan
penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar
serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan elastisitas
kulit, serta penurunn kohesi antara epidermis dan dermis. Perubahan ini
beserta faktor penuaan lain akan membuat toleransi kulit terhadap
tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek menjadi berkurang.
h. Tekanan arteriolar yang rendah
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit
terhadap tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah
mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia.
18

i. Stress emosional
Depresi dan stress emosional kronik, misalnya pada pasien
psikiatrik, juga merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari
dekubitus.
j. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah
dan memiliki efek toksik terhadap endothelium pembuluh darah.
k. Temperatur kulit
Peningkatan temperature merupakan faktor yang signifikan
dengan risiko terjadinya dekubitus.

2.1.2.3 Patofisiologi

Luka dekubitus merupakan dampak dari tekanan yang terlalu lama


pada area permukaan tulang yang menonjol dan mengakibatkan
berkurangnya sirkulasi darah pada area yang tertekan dan lama kelamaan
jaringan setempat mengalami iskemik, hipoksia dan berkembang menjadi
nekrosis. Tekanan yang normal pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila
tekanan kapiler melebihi dari tekanan darah dan struktur pembuluh darah
pada kulit, maka akan terjadi kolaps. Dengan terjadi kolaps akan
menghalangi oksigenasi dan nutrisi ke jaringan, selain itu area yang
tertekan menyebabkan terhambatnya aliran darah. Dengan adanya
peningkatan tekanan arteri kapiler terjadi perpindahan cairan ke kapiler, ini
juga menyokong untuk terjadi edema dan konsekuensinya terjadi autolisis.
Hal lain juga bahwa aliran limpatik menurun, ini juga menyokong terjadi
edema dan mengkontribusi untuk terjadi nekrosis pada jaringan (Suriadi
2007).

2.1.2.4 Stadium Dekubitus

Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP),


dekubitus dibagi menjadi empat stadium.
a. Stadium Satu (Derajat I)
19

Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila


dibandingkan dengan kulit normal, akan tampak salah satu tanda. Tanda
yang muncul adalah perubahan temperature kulit (lebih dingin atau
lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak),
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih,
luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sementara
itu, pada orang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah
yang menetap, biru, atau ungu.
b. Stadium Dua (Derajat II)
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis, demis, atau
keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial, abrasi, lecet, melepuh,
atau membentuk lubang yang dangkal.
c. Stadium Tiga (Derajat III)
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau
nekrosis dari jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada
fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam.
d. Stadium Empat (Derajat IV)
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang
luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon.
Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam
stadium IV dari dekubitus.

Menurut stadium dekubitus di atas, dekubitus berkembang dari


permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top-down). Namun menurut hasil
penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian
dalam seperti fascia dan otot walaupun tanpa adanya kerusakan pada
permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah cedara jaringan bagian dalam
(deep tissue injury - DTI). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan
jaringan subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan
kulit. Kejadian DTI sering disebabkan karena imobilisasi dalam jangka
waktu yang lama, misalnya karena periode operasi yang panjang.
20

Penyebab lainnya adalah seringnya pasien mangalami tenaga yang


merobek (shear) (Nursalam 2011).

2.1.2.5 Tempat Terjadinya Luka Tekan

Semua bagian tubuh beresiko mengalami luka tekan karena tekanan


berlebihan, pergesekan dan pergeseran. Menurut Maryunani (2016)
Tempat-tempat umum terjadinya luka tekan/dekubitus adalah bagian tubuh
dimana terdapat tulang-tulng yang menonjol yaitu kepala, siku, sakrum,
tronkhanter, bokong, mata kaki dan tumit.
Maryunani (2016), daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus
adalah:
1. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,
daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
2. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama
daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki
dan bagian atas jari-jari kaki.
3. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga,
dan lutut.

2.1.2.6 Pencegahan

Intervensi keperawatan yang digunakan untuk mencegah terjadinya


dekubitus terdiri dari 3 kategori yaitu:
1. Penanganan diri dan perawatan kulit meliputi :
a. Pengkajian dan pengamatan resiko tinggi pasien dan area terkena
dekubitus
b. Perbaikan keadaan umum penderita
c. Pemeliharaan dan perawatan kulit
21

d. Pencegahan terjadinya luka


e. Pengaturan posisi (posisikan tidur miring kiri/kanan kemudian
terlentang dan miring kiri/kanan lagi secara bergantian setiap 2 jam
sekali)
f. Melakukan masase pada kulit
2. Berikan papan atau alas tempat tidur yang baik
3. Memberikan edukasi kepada klien atau keluarga

Tingkat pencegahan primer meliputi peningkatan kesehatan dan


tindakan preventif khusus yang dirancang untuk menjaga pasien bebas dari
penyakit dan cedera. Peningkatan kesehatan merupakan suatu proses yang
positif, dinamis, yang berfokus untuk memperbaiki kualitas hidup dan
kesejahteraan (Rustina 2016).

2.1.2.7 Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,
walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Maryunani
(2016), komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
1. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun
anaerobik.
2. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis,
osteomielitis, dan arthritis septik.
3. Septikimia.
4. Kematian.

2.1.2.8 Perangkat Penilaian Resiko Dekubitus

Untuk menilai risiko terjadinya luka dekubitus dapat menggunakan


skala penilaian risiko luka dekubitus seperti skala braden. Ada beberapa
skala yang telah digunakan yaitu Norton, Gosnel dan Waterlow
(Maryunani 2016).
22

EPUAP-NPUAP (The European Pressure Ulcer Advisory Panels-


National Pressure Ulcer Advisory Panels) merekomendasikan skala
Braden sebagai alat pengkajian resiko terjadinya luka tekan yang paling
baik digunakan dalam memprediksi luka tekan (EPUAP-NPUAP 2009).
Resiko luka tekan diukur menggunakan skala braden yang terdiri
atas 6 sub skala: persepsi sensori, kelembaban, tingkat aktifitas, mobilitas,
status nutrisi, gesekan dan robekan. Subskala (sensori persepsi, mobilitas,
aktifitas, status nutrisi dan kelembaban) akan mendapatkan skor dari 1-4,
dimana 4 menggambarkan kondisi yang terbaik. Sedangkan pada subskala
yang terakhir (gesekan) akan mendapat skore 1-3, dengan 3
menggambarkan kondisi terbaik. Skor braden yang diperoleh berikut ini:
Total skor itu akan dibagi dalam 5 kategori yaitu : >18 tidak berisiko, 15-
18 mempunyai risiko rendah, 13-14 mempunyai risiko sedang, 10-12
mempunyai risiko tinggi dan < 9 mempunyai risiko sangat tinggi (Setiani
2014).
Braden (2001) melalui “Protocols by level of risk”
merekomendasikan intervensi keperawatan sesuai dengan skor braden
yang diperoleh berikut ini:
1. Skala Braden 15-18 (resiko rendah)
a. Rubah posisi pasien dengan teratur
b. Dukung pasien untuk melakukan mobilisasi seaktif mungkin
c. Lindungi tumit kaki pasien
d. Gunakan alat penyanggah untuk distribusi tekanan
e. Atur kelembaban, nutrisi, cegah gesekan
f. Kelompokkan ke tingkat resiko yang lebih tinggi bila ada faktor
resiko
2. Skala Braden 13-14 (resiko sedang)
Intervensi pada skala Braden “resiko” ditambah dengan pengaturan
posisi miring 30 derajat menggunakan bantal busa.
3. Skala Braden 10-12 (resiko tinggi)
23

Intervensi pada skala Braden “resiko sedang” ditambah dengan rubah


posisi pasien setiap 1 jam sekali.
4. Skala Braden <9 (resiko sangat tinggi)
Intervensi pada skala Braden “resiko sedang” ditambah dengan
penggunaan matras khusus. Perhatian khusus pada pasien dengan nyeri
hebat, malnutrisi, dan lain-lain.

2.1.3 Konsep Mobilisasi

Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak


dengan bebas (Perry dan Potter 2012). Aktivitas (mobilisasi) didefinisikan
sebagai suatu aksi energetik atau keadaan bergerak. Orang sakit
memerlukan waktu yang lama di tempat tidur sehingga mereka
mempunyai masalah dalam menjaga aktivitas/gerakan. Perawat perlu
membantu pasien untuk menjaga kemampuan bergerak serta untuk
mencegah penyulit-penyulit yang dapat timbul akibat keadaan kurang
bergerak (imobilisasi). Mempertahankan kesejajaran tubuh merupakan hal
penting khususnya pada klien yang mengalami keterbatasan mobilisasi
aktual maupun potensial. Mobilisasi ditempat tidur meliputi perubahan
posisi (posisi miring ke kiri maupun ke kanan, duduk ditempat tidur,
duduk berjuntai) gerakan pasif dan aktif (Prastya 2013).
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi
supaya dekubitus tidak terjadi adalah dengan melakukan alih
baring/perubahan posisi/mobilisasi. Mobilisasi merupakan pengaturan
posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek yang
dapat melukai kulit. Alih baring bertujuan untuk menjaga supaya daerah
yang tertekan tidak mengalami luka. Dalam melakukan alih baring posisi
miring pasien harus tepat tanpa adanya gaya gesekan yang dapat merusak
kulit. Pada pasien bedrest alih baring dilakukan minimal setiap 2 jam. Jika
24

aliran darah, nutrisi, dan oksigenasi terhambat lebih dari 2-3 jam, maka
jaringan kulit akan mati yang dimulai pada kulit paling atas. Interval yang
tepat untuk melakukan alih baring diberikan dengan mengurangi waktu
merubah posisi dengan waktu hipoksia. Adanya tekanan dapat
mempengaruhi sirkulasi ke jaringan terganggu sehingga menyebabkan
iskemik yang berpotensi terhadap kerusakan jaringan. Setelah periode
iskemik kulit akan mengalami hiperemia reaktif. Hiperemia reaktif akan
efektif apabila tekanan dihilangkan sebelum terjadi kerusakan yaitu
dengan interval 1-2 jam (Zulaikah et al. 2015).

2.1.3.1 Teknik Mengubah Posisi

Pasien yang mengalami gangguan fungsi sistem skeletal, saraf dan


peningkatan kelemahan serta kekakuan biasanya membutuhkan bantuan
perawat untuk memperoleh kesejajaran tubuh yang tepat ketika selama
berada di tempat tidur (Prastya 2013).
1. Posisi terlentang
Posisi terlentang dengan pasien menyandarkan punggungnya
disebut posisi dorsal rekumben. Pada posisi terlentang hubungan antar
bagian tubuh pada dasarnya sama dengan kesejajaran berdiri yang baik
kecuali tubuh berada pada potongan horizontal.
2. Posisi miring
Pada posisi miring (lateral) pasien bersandar disamping, dengan
sebagian besar berat tubuh berada pada pinggul dan bahu. Kesejajaran
tubuh harus sama ketika berdiri. Contohnya struktur tulang belakang
harus diperhatikan, kepala harus di sokong pada garis tengah tubuh, dan
rotasi tulang belakang harus dihindari.
3. Mengatur posisi pasien
Tujuan mengatur posisi pasien adalah memberikan rasa nyaman
pada pasien, mempertahankan atau menjaga postur tubuh tetap baik,
menghindari komplikasi yang mungkin muncul akibat tirah baring.
25

Posisi pasien sebaiknya dirubah setiap 2 jam bila tidak ada kontra
indikasi.
4. Posisi berbaring ke samping
Posisi diatur berbaring ke samping kanan/kiri. Lengan yang
dibawah tubuh diatur fleksi di depan kepala atau diatas bantal. Sebuah
bantal dapat diletakkan dibawah kepala dan bahu. Untuk menyokong
otot sternokleidomartoid dapat dipasang bantal dibawah tangan. Untuk
mencegah lengan aduksi dan bahu berotasi ke dalam, sebuah bantal
dapat diletakkan dibawahnya. Untuk mencegah paha beraduksi dan
berotasi ke dalam, sebuah bantal dapat diletakkan di bawah kaki atas,
sambil kaki atas diatur sedikit menekuk kedepan.
5. Posisi sim
Pasien diatur posisi miring ke kiri / kanan dengan tangan yang
dibawah di letakkan dibelakang punggung dan tangan yang atas
difleksikan di depan bahu. Kaki atas sedikit fleksi dan disokong sebuah
bantal. Untuk mencegah leher fleksi dan hiperektensi, sebuah bantal
dapat diletakkan di bawah kepala.

2.1.3.2 Pengaruh Mobilisasi Terhadap Dekubitus

Pasien dengan diagnosa stroke akan mengalami defisit neurologis


yang bisa berupa kehilangan fungsi motorik, gangguan persepsi sensori,
gangguan fungsi intelektualitas, gangguan komunikasi, gangguan eliminasi
dan kerusakan afek. Salah satu manifestasi tersebut yakni adanya
gangguan mobilitas fisik akibat kehilangan fungsi motorik yang
menyebabkan pasien menjadi imobilisasi dan harus tirah baring di atas
tempat tidur. Tirah baring yang lama dan tidak adanya kemampuan tubuh
untuk dapat bergerak menimbulkan adanya daya gravitasi yang akan
memberikan tekanan pada area yang dibawahnya. Faktor tekanan ini dapat
bervariasi pada setiap orang dan bisa dipengaruhi oleh proporsi tubuh yang
akan berdistribusi pada saat berbaring.
26

Tekanan yang dibiarkan terus menerus akan menyebabkan toleransi


jaringan terhadap tekanan menjadi buruk. Tekanan yang tidak dapat
ditoleransi tersebut akhirnya menyebabkan terhambatnya pembuluh darah
dan akhirnya menyebabkan hipoksia jaringan. Akibatnya terjadi kebocoran
kapiler disebabkan permeabilitas yang meningkat. Lama-kelamaan
jaringan yang mengalami hipoksia tersebut bila dibiarkan terus menerus
akan menyebabkan jaringan menjadi iskemik. Metabolisme anaerob pun
berlangsung sehingga akumulasi sampah metabolik menumpuk dan
menyebabkan akumulasi protein di ruang intersisial dan mendukung
terjadinya edema jaringan.
Edema jaringan akan menghalangi perfusi, sehingga perfusi yang
ada sangat buruk. Perfusi yang buruk tersebutlah yang mencetuskan
terjadinya luka tekan. Sebagai salah satu intervensi keperawatan,
pemberian mobilisasi bertujuan untuk membebaskan adanya tekanan
sebelum terjadi iskemia jaringan, sehingga terjadi reaktif hiperemia, dan
mengatasi hipoksia jaringan. Sehingga iskemik jaringan tidak sempat
terjadi dan luka tekan/dekubitus pun tidak akan terjadi (Tarihoran 2010)

2.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat


dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan
keterkaitan antar variabel (variabel yang diteliti maupun yang tidak
diteliti) (Nursalam 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi


Stroke
1.dekubitus:
Kehilangan fungsi motorik
a. Tekanan persepsi
2. Gangguan diatas tulang menonjol
dan sensori
1. Mobilisasi dan aktivitas
Defisit Neurologi 2. Penurunan persepsi sensori
b. Toleransi jaringan
1. Faktor ekstrinsik
Imobilisasi/tirah baring a. Kebersihan tempat tidur
b. Pergesekan
c. Perubahan posisi yang
Dekubitus kurang
2. Faktor intrinsic
a. Nutrisi
b. Usia
c. Tekanan
27

Penanganan dekubitus:
1. Mobilisasi/alih baring
tiap 2 jam

2. Pemberian kasur anti


dekubitus
3. Pemberian minyak
4. Bantal penyangga

Gambar 2.1 Kerangka teori


Sumber: Tarihoran (2010), Bujang et al. (2013)

Keterangan :
: Tidak diteliti
: Diteliti

Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka kerangka variabel dalam


penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut:

Variabel independen variabel dependen

Kejadian dekubitus pada


Mobilisasi tiap 2 jam
pasien stroke

Gambar 2.2 Kerangka Variabel

Keterangan :
: Variabel Bebas/Independen
: Variabel Terikat/Dependen
: Penghubung Variabel
28

2.3 Hipotesis

Ada pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian dekubitus pada


pasien stroke di ruang ICU dan Murai RSU Anutapura Palu.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai adalah jenis penelitian kuantitatif dengan


desain penelitian yaitu pra-eksperimen (pre eksperimental design).
Rancangan yang digunakan adalah one group pre test-post test design. Pre
test-post test design adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
memberikan pengamatan awal (pre test) terlebih dahulu sebelum diberikan
intervensi, setelah diberikan intervensi kemudian dilakukan pengamatan akhir
(post test), bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh mobilisasi tiap 2
jam terhadap kejadian dekubitus pada pasien stroke (Hidayat 2014).

O1 X O2

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Keterangan:
O1 : Observasi pasien stroke sebelum mobilisasi tiap 2 jam
O2 : Observasi pasien stroke sesudah mobilisasi tiap 2 jam
X : Perlakuan/Eksperimen

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat
Tempat penelitian ini dilakukan di ruang ICU dan Murai RSU
Anutapura Palu. Peneliti memilih tempat penelitian di ruang ICU dan
Murai, karena kedua ruangan tersebut merupakan tempat ditemukannya
perawatan pasien stroke. sehingga mempermudah peneliti untuk
memperoleh responden pasien stroke.

29
30

2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 29 Mei sampai 8 Juli 2017 di
ruang ICU dan Murai RSU Anutapura Palu.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas obyek atau
subyek yang mempunyai karakteristik dan kuantitas tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Sujarweni 2014). Populasi dapat besifat terbatas dan tidak terbatas.
Dikatakan terbatas apabila jumlah individu atau objek dalam populasi
tersebut terbatas dalam arti dapat dihitung. Sementara bersifat tidak
terbatas dalam arti tidak dapat ditentukan jumlah individu atau objek
dalam populasi tersebut (Hidayat 2014). Populasi pada penelitian ini
adalah pasien yang menderita penyakit Stroke di ruang ICU dan Murai
RSU Anutapura Palu pada bulan Oktober sampai dengan Desember tahun
2016, dengan besar populasi yaitu sebanyak 61 orang.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh
populasi yang digunakan untuk penelitian (Sujarweni 2014). Dalam
penelitian keperawatan, kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi dimana kriteria tersebut menentukan dapat atau tidaknya
sampel tersebut digunakan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini adalah nonprobability sampling dengan pendekatan accidental
sampling, sehingga diperoleh jumlah sampel sebanyak 6 responden.
Accidental sampling adalah cara pengambilan sampel yang dilakukan
dengan kebetulan bertemu. Maksudnya, dalam menentukan sampel apabila
dijumpai ada, maka sampel tersebut diambil dan langsung dijadikan
sebagai sampel utama.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria
inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
31

1. Kriteria inklusi
a. Pasien yang bersedia dijadikan responden
b. Pasien stroke dengan imobilisasi (tidak mampu miring kiri dan
miring kanan secara mandiri)
c. Tidak dengan komplikasi DM
d. Pasien yang telah terjadi dekubitus dari rumah
2. Kriteria eksklusi
a. Pasien dalam kondisi gelisah atau tidak kooperatif
b. Pasien tidak mengalami tirah baring dan yang mampu melakukan
mobilisasi secara mandiri

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah sebuah konsep yang dapat dibedakan menjadi dua,


yakni yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Sebagai contoh, variabel
kuantitatif adalah variabel berat badan, umur, tinggi badan. Sementara
variabel kualitatif diantaranya persepsi, respons, sikap, dan lain-lain (Hidayat
2014). Terdapat beberapa jenis variabel dalam penelitian, yaitu: variabel
independen, variabel dependen, variabel moderator, variabel control, dan
interventing. Dalam penelitian ini digunakan variabel independen dan
variabel dependen.
1. Variabel independen (bebas)
Variabel independen ini merupakan variabel yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini juga
dikenal dengan nama variabel bebas artinya bebas dalam memengaruhi
variabel lain. Dalam penelitian ini variabel independennya adalah
mobilisasi tiap 2 jam.
2. Variabel dependen (terikat)
Variabel dependen ini merupakan variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini bergantung pada
variabel bebas terhadap perubahan. Dalam penelitian ini variabel
dependennya adalah kejadian dekubitus pada pasien stroke.
32

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional


berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek
atau fenomena. Definisi operasional memudahkan dalam mencari hubungan
satu variabel dengan variabel yang lain dan paling penting hasilnya dapat
diukur. Definisi operasional tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No Variabel Definisi Alat Ukur Skala Hasil Ukur
Operasional
1 Variabel Perubahan Menggunakan
independen posisi dari SPO
mobilisasi terlentang ke Mobilisasi
tiap 2 jam miring, dari
miring ke
terlentang
yang
dilakukan pada
pasien stroke
untuk
mencegah
kejadian
dekubitus yang
dilakukan
setiap 2 jam di
ruang ICU dan
Murai RSU
Anutapura
Palu.
2 Variabel Keadaan Lembar Ordinal 1. Tidak
dependen: kerusakan observasi terjadi luka
dekubitus struktur berdasarkan dekubitus
pada pasien anatomis dan NPUAP- 2. Dekubitus
33

stroke fungsi kulit EPUAP derajat I


normal akibat 3. Dekubitus
dari tekanan derajat II
secara terus 4. Dekubitus
menerus di derajat III
area tertentu 5. Dekubitus
yang derajat IV
mengakibatka
n
terganggunya
sirkulasi darah
setempat pada
pasien stroke.

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk


pengumpulan data. Instrumen penelitian dapat berupa kuisioner, lembar
observasi, formulir lain yang berkaitan dengan pencacatan data, dan
sebagainya. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan:
1. Data Indentitas Responden dan Standar Prosedur Operasional Mobilisasi
Pada data identitas responden, responden yang dijadikan sampel
adalah responden yang telah terjadi dekubitus dari rumah. Data
karakteristik yang dikumpulkan yaitu: nomor rekam medik, nama (inisial),
umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, derajat dekubitus dan area
dekubitus yang diperoleh dari cacatan rekam medis pasien di ruangan yang
diteliti maupun yang dilihat secara langsung. Standar Prosedur
Operasional (SPO) mobilisasi merupakan standar acuan peneliti dalam
melakukan prosedur tindakan.
2. Lembar Observasi Dekubitus
Lembar observasi untuk menilai kejadian dekubitus menggunakan
derajat luka tekan menurut sistem klasifikasi yang ditetapkan oleh
NPUAP-EPUAP 2009. Derajat I: adanya perubahan dari kulit yang dapat
34

diobservasi. Temperatur kulit lebih dingin atau hangat, perubahan


konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), gatal atau nyeri, warna kulit
merah, biru atau ungu. Derajat II: hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu
epidermis, dermis atau keduanya. cirinya lecet, melepuh, lubang dangkal.
Derajat III: hilangnya lapisan kulit meliputi kerusakan atau nekrosis dari
jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Derajat
IV: hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas,
nekrosis jaringan, kerusakan otot, tulang atau tendon.

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada


subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam
penelitian.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subjek
penelitian dengan menggunakan lembar observasi atau atau alat
pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang
akurat.
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari
rekam medik, ruang bidang keperawatan, dan ruang ICU dan Murai RSU
Anutapura Palu.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan informasi


mengenai mobilisasi miring kanan miring kiri tiap 2 jam. Kemudian
mengobservasi awal sebelum dilakukan mobilisasi. Setelah itu peneliti
melakukan mobilisasi tiap 2 jam pada responden. Setelah dilakukan
mobilisasi peneliti melakukan observasi dekubitus secara berkala dan
mencatat hasil pengukuran resiko dekubitus dilembar observasi.

3.8 Analisa Data


35

1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk melihat persentase dari distribusi
frekuensi dan nilai statistik deskriptif tiap variabel yang diteliti. Variabel
yang dianalisis adalah pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian
dekubitus pada pasien stroke yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi kejadian dekubitus, dengan menggunakan rumus:
f
P= ×100 %
n
Keterangan:
P = Persentase yang dicari
f = Frekuensi yang didapat
n = Total seluruh responden
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh variabel bebas
dengan terikat. Setelah data diolah dan ditabulasi kemudian dilakukan
analisa data dengan menggunakan uji statistik. Analisa data yang
dimaksud adalah pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian
dekubitus pada pasien stroke. Uji statistik yang digunakan yaitu uji
nonparametris yaitu uji Wilcoxon dengan menggunakan komputerisasi,
dengan tingkat kemaknaan α=0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%.
Kaidah keputusan analisa datanya yaitu apabila p-value >0,05 maka Ha
diterima artinya tidak ada pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap
kejadian dekubitus pada pasien stroke dan sebaliknya ≤0,05 maka Ho
ditolak artinya ada pengaruh mobilisasi tiap 2 jam terhadap kejadian
dekubitus pada pasien stroke.

3.9 Etika Penelitian


36

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat


penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan
langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan
(Hidayat 2014).
1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed Consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan menjadi responden.
2. Tanpa Nama
Masalah etika keperawatan adalah masalah yang memberikan
jaminan dalam menggunakan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur
dan hanya menuliskan kode atau inisial nama lembar pengumpulan data
atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada
hasil riset.

Anda mungkin juga menyukai