KATA PENGANTAR
Bandung, 1997
Nana Syaodih Sukmadinata
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB 1 Konsep Kurikulum
A. Kedudukan kurikulum dalam pendidikan
B. Konsep kurikulum
C. Kurikulum dan teori-teori pendidikan
BAB 2 Teori Kurikulum 1
A. Apakah teori itu?
B. Teori pendidikan
C. Teori kurikulum
BAB 3 Landasan Filosofis dan Psikologis Pengembangan
Kurikulum
A. Landasan filosofis
B. Landasan psikologis
BAB 4 Landasan Sosial-Budaya, Perkembangan Ilmu dan
Teknologi dalam Pengembangan Kurikulum
A. Pendidikan dan masyarakat
B. Perkembangan masyarakat
C. Perkembangan ilmu pengetahuan
D. Perkembangan teknologi
E. Pengaruh perkembangan ilmu dan teknologi
BAB 5 Macam-Macam Model Konsep Kurikulum
A. Kurikulum subjek akademis
B. Kurikulum humanistik
C. Kurikulum rekonstruksi sosial
D. Teknologi dan kurikulum
BAB 6 Anatomi dan Desain Kurikulum
A. Komponen-komponen kurikulum
B. Desain kurikulum
BAB 7 Proses Pengajaran
A. Keseimbangan antara isi dan proses
B. Isi dan kurikulum
C. Proses belajar
D. Kesiapan belajar
E. Minat dan motif belajar
BAB 8 Pengembangan Kurikulum
A. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
B. Pengembangan kurikulum
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi
D. Artikulasi dan hambatan
E. Model-model pengembangan kurikulum
BAB 9 Evaluasi Kurikulum
A. Evaluasi dan kurikulum
B. Konsep kurikulum
C. Implementasi dan evaluasi kurikulum
D. Peranan evaluasi kurikulum
E. Ujian sebagai evaluasi sosial
F. Model-model evaluasi kurikulum
BAB 10 Guru dan Pengembangan Kurikulum
A. Guru sebagai pendidik profesional
B. Guru sebagai pembimbing belajar
C. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum
D. Pendidikan guru
Daftar Rujukan
BAB 1
KONSEP KURIKULUM
B. Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan
praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan
yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-
mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan
ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu
pandangan ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai "... a
racecourse of subject matters to be mastered" (Robert S. Zais, 1976, hlm. 7).
Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan
memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus
mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi pelajaran.
Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari
menekankan pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman
belajar. Menurut Caswel dan Campbell dalam buku mereka yang terkenal
Curriculum Development (1935), kurikulum ... to be composed of all the experi-
ences children have under the guidance of teachers. Perubahan penekanan pada
pengalaman ini lebih jelas ditegaskan oleh Ronald C. Doll (1974, hlm. 22):
The commonly accepted definition of the curriculum has changed from
content of courses of study and list of subjects and courses to all the
experiences which are offered to learners under the auspices or direction
of the school..
Definisi Doll tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari
isi kepada proses, tetapi juga menunjukkan adanya perubahan lingkup, dari
konsep yang sangat sempit kepada yang lebih luas. Apa yang di maksud dengan
pengalaman siswa yang diarahkan atau menjadi tanggung jawab sekolah
mengandung makna yang cukup luas. Pengalaman tersebut berlangsung di
sekolah, di rumah ataupun di masyarakat, bersama guru tanpa guru, berkenaan
langsung dengan pelajaran ataupun tidak. Definisi tersebut juga mencakup
berbagai upaya guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta
berbagai fasilitas yang mendukungnya.
Mauritz Johnson (1967, hlm. 130) mengajukan keberatan terhadap konsep
kurikulum yang sangat luas seperti yang dikemukakan oleh Ronald Doll. Menurut
Johnson, pengalaman hanya akan muncul apabila terjadi interaksi antara siswa
dengan lingkungannya. Interaksi seperti itu bukan kurikulum, tetapi pengajaran.
Kurikulum hanya menggambarkan atau mengantisipasi hasil dari pengajaran.
Johnson membedakan dengan tegas antara kurikulum dengan pengajaran. Semua
yang berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan, seperti perencanaan isi,
kegiatan belajarmengajar, evaluasi, termasuk pengajaran, sedangkan kurikulum
hanya berkenaan dengan hasil-hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa.
Menurut Johnson kurikulum adalah ... a structured series of intended learning
outcomes (Johnson, 1967, him. 130).
Terlepas dari pro dan kontra terhadap pendapat Mauritz Johnson, beberapa
ahli memanciang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Salah
seorang di antara mereka adalah Mac Donald (1965, hlm.
Menurut dia, sistem persekolahan terbentuk atas empat subsistem, yaitu
mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan
kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru. belajar (learning)
merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan siswa. Sebagai respons terhadap
kegiatan mengajar yang diberikan oleh guru. Keluruhan pertautan kegiatan yang
memungkinkan dan berkenaan (lengan terjadinya interaksi belajar-mengajar
disebut pembelajaran (instruction). Kurikulum,(curriculum) merupakan suatu
rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar-
mengajar.
Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana
(curriculum plan) dengan kurikulum yang fungional (functioning curricu- lum).
Menurut Beauchamp (1968, him. 6) "A curriculum is a written document which
may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils
during their enrollment in given school". Beauchamp lebih memberikan tekanan
bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran. Pelaksanaan
rencana itu sudah masuk pengajaran. Selanjutnya, Zais menjelaskan bahwa
kebaikan suatu kurikulum tidak dapat dinilai dari dokumen tertulisnya saja,
melainkan harus dinilai dalam proses pelaksanaan fungsinya di dalam kelas.
Kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan
sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan
mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana
tertulis merupakan dokumen kurikulum (curriculum document or inert
curriculum), sedangkan kurikulum yang dioperasikan di kelas merupakan
kurikulum fungsional (functioning, live or operative curriculum).
Hilda Taba (1962) mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat-
pendapat itu. Perbedaan antara kurikulum dan pengajaran menurut dia bukan
terletak pada implementasinya, tetapi pada keluasan cakupannya. Kurikulum
berkenaan dengan cakupan tujuan isi dan metode yang lebih luas atau lebih
umum, sedangkan yang lebih sempit lebih khusus menjadi tugas pengajaran.
Menurut Taba keduanya membentuk satu kontinum, kurikulum terletak pada
ujung tujuan umum atau tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran pada ujung
lainnya yaitu yang lebih khusus atau tujuan dekat.
BAGAN 1.2 Kontinum kurikulum dan pengajaran
1. Pendidikan klasik
Pendidikan klasik atau classical education dapat dipandang sebagai konsep
pendidikan tertua. Konsep pendidikan ini bertolak dari asumsi seluruh warisan
budaya, yaitu pengetahuan, ide-ide, atau nilai-nilai telah ditemukan oleh para
pemikir terdahulu. Pendidikan berfungsi memelihara, mengawetkan, dan
meneruskan semua warisan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Guru
atau para pendidik tidak perlu susah-susah mencari dan menciptakan pengetahuan,
konsep, dan nilai-nilai baru, sebab sentuanya telah tersedia, tinggal menguasai dan
mengajarkannya kepada anak. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi
pendidikan daripada proses atau bagaimana mengajarkannya. Isi pendidikan atau
materi ilmu tersebut diambil dari khazanah ilmu pengetahuan, berupa disiplin-
disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli tempo dulu.
Materi ilmu pengetahuan yang diambil dari disiplindisiplin ilmu tersebut telah
tersusun secara logis dan sistematis.
Tugas guru dan para pengembang kurikulum adalah memilih dan
menyajikan materi ilmu tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan
kemampuan peserta didik. Sebelum dapat menyampaikan materi ilmu
pengetahuan tersebut secara sempurna, para pendidik atau talon pendidik terlebih
dahulu harus mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Tugas para pendidik atau
guru bukan hanya mengajarkan materi pengetahuan, tetapi juga melatih
keterampilan dan menanamkan nilai. Mendidikkan nilainilai tidak sama dengan
mengajarkan pengetahuan yang berbentuk penyampaian informasi, tetapi perlu
dimanifestasikan dalam perilaku seharihari. Menurut konsep pendidikan klasik,
guru atau pendidik adalah ahli dalam bidang ilmu dan juga contoh atau model
nyata dan pribadi yang ideal. Siswa merupakan penerima pengajaran yang baik,
tetapi sebagai penerima informasi sesungguhnya mereka pasif. Meskipun
demikian dalam pendidikan klasik siswa bekerja keras menguasai apa-apa yang
diajarkan dan ditugaskan oleh guru. Pendidikan lebih menekankan perkembangan
segi-segi intelektual daripada segi emosional dan psikomotor.
Ada dua model konsep pendidikan klasik, perenialisme dan esensialisme.
Walaupun didasari dengan konsep-konsep yang sama, keduanya memiliki
pandangan yang berbeda. Parenialisme maupun esensialisme mempunyai
pandangan yang sama tentang masyarakat, bahwa masyarakat bersifat statis.
Pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan pengetahuan, konsep-konsep
dan nilai-nilai yang telah ada. Pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diajarkan
diambil dari materi disiplin ilmu yang telah disusun dan dikembangkan oleh para
ahli. Dalam penyusunan kurikulum, matamata pelajaran dipilih dan ditentukan
oleh sekelompok orang ahli, disusun secara sistematis dan logis, dan diarahkan
pada perkembangan kemampuan berpikir.
Parenialisme berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokralisagraris.
Mereka lebih berorientasi ke masa lampau dan kurang hivmen tingkan tuntutan-
tuntutan masyarakat yang berkembang saat sekarang pendidikan lebih
menekankan pada humanitas, pembentukan pribadi, dan sifat-sifat mental.
Konsep-konsep filosofis lebih banyak mewarnai pendidikan ini. Isi pendidikan
lebih banyak bersifat pendidikan umum (general education atau liberal art) dengan
model mengajar yang bersifat ekspositori, sedangkan model belajarnya adalah
asimilasi. Pendidikan menurut pandangan mereka adalah bebas nilai (value free)
dan bebas dari kebudayaan (culture free) artinya tidak terikat atau diwarnai oleh
nilai-nilai dan karakteristik masyarakat sekitar.
Esensialisme berkembang di Amerika Serikat dalam masyarakat industri.
Pendidikan ini lebih mengutamakan sains daripada humanitas. Mereka lebih
pragmatis, pendidikan diarahkan dalam mempersiapkan generasi muda untuk
terjun ke dunia kerja. Konsep ini lebih berorientasi pada masa sekarang dan yang
akan datang. Isi pengajaran lebih diarahkan kepada pembentukan keterampilan
dan pengembangan kemampuan vocational. Mengenai persamaan dan perbedaan
pendidikan perenial dengan esensial, Dianna Lapp, dkk. menjelaskan:
Like perennial education, essentialism is conservative, seeking to maintain
and pass on to the new generation the convictions of the older generation.
But unlike perennialism, essentialism is nonreflective, nonphilosophical. It
is far more prone to activity-to doing-than to wasting time on extensive
philosophical speculation. Looking to the present rather than the past, and
to science rather than to the humanities, it is primarily practical and
pragmatic. (Lapp, Dianna, et. al., 1975, hlm. 32).
Para esensialis bersifat praktis, mengutamakan kerja dan kompetisi di
tramping kerja sama. Mereka menghargai seni, keindahan, dan humanitas
sepanjang hal itu mendukung kehidupan sehari-hari, kehidupan produktif. Tujuan
utama pendidikan, menurut para esensialis, adalah (1) memperoleh pekerjaan
yang lebih baik, (2) dapat bekerja sama lebih baik dengan orang dari berbagai
tingkatan/lapisan masyarakat, (3) memperoleh penghasilan lehih banyak. Mereka
berpikiran praktis bahwa pendidikan adalah suatu Han untuk mencapai sukses
dalam kehidupan, terutama sukses secara ekonomis.
Kurikulum pendidikan klasik lebih menekankan isi pendidikan, yang
diambil dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan
guru-guru, apalagi siswa. Isi disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur,
dengan berpusatkan pada segi intelektual, sedikit sekali memperhatikan segi-segi
sosial atau psikologis peserta didik. Guru mempunyai peranan yang sangat besar
dan lebih dominan. Dalam pengajaran, ia menentukan isi, metode, dan evaluasi.
Dialah yang aktif dan bertanggung jawab dalam segala aspek pengajaran. Siswa
mempunyai peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari
guru.
2. Pendidikan pribadi
Pendidikan pribadi (personalized education) lebih mengutamakan peranan
siswa. Konsep pendidikan ini bertolak dari anggapan dasar bahwa, sejak
dilahirkan, anak telah memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk berpikir,
berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan berkembang sendiri.
Pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi menciptakan lingkungan yang
menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas guru, seperti halnya seorang
petani adalah mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara, dan sinar
matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan tanaman (peserta
didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik
menjadi subjek pendidikan, dialah yang menduduki tempat utama dalam
pendidikan. Pendidik menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai
informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu. Ia lebih berfungsi
sebagai psikolog yang mengerti segala kebutuhan dan masalah peserta didik. la
juga berperan sebagai bidan yang membantu siswa melahirkan ide-idenya. Guru
adalah pembimbing, pendorong (motivator), fasilitator, dan pelayan bagi siswa.
Teori ini juga memiliki dua aliran, yaitu pendidikan progresif dan
pendidikan romantik. Tokoh pendahulu pendidikan progresif adalah Francis
Parker yang membawa aliran ini dari Eropa ke Amerika. Aliran ini menjadi lebih
terkenal di Amerika berkat percobaan-percobaan yang dilakukan John Dewey
dengan sekolah-sekolah laboratoriumnya. John Dewey menerapkan prinsip belajar
sambil berbuat (learning by doing). Dalam pendidikan progresif, siswa merupakan
satu kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan
perkembangan intelektual. Isi pengajaran berasal dari pengalaman sisvva sendiri
yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-
masalah yang muncul dalam kehidupanhya. Berkat refleksinya itu is memahami
dan dapat menggunakannya bagi kehidupan. Guru lebih merupakan ahli dalam
metodologi daripada dalam bahan ajar. Guru membantu perkembangan siswa
sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing.
Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran Jean Jacques
Rousseau. Menurut Rousseau, semua ciptaan Tuhan termasuk anak adalah baik
dan menjadi kurang baik atau sering rusak di tangan manusia. Ia ingin
mengembalikan pendidikan kepada pendidikan alam, sebab secara alamiah
manusia baik, merdeka, dan gentle. Setiap orang mempunyai nurani yang berisi
kejujuran, kebenaran, dan ketulusan. Inilah yang hams ditemukan, didengarkan,
dan diikuti. Rousseau menolak pendidikan yang mengutamakan intelektual.
Pendidikan adalah proses individual yang berisi rentetan pengembangan
kemampuan-kemampuan anak, berkat interaksi dengan berbagai aspek dalam
lingkungan maka terjadi rentetan pengembangan kemampuan-kemampuan anak.
Rousseau memandang pendidikan sebagai a lifelong personal growth process
rather than an information and skill gathering process that exists only during the
school years (Diane Lapp, et. al., 1975, hlm. 154).
Pengalaman merupakan isi sekaligus guru alamiah bagi anak. Anak tidak
diajari, tetapi didorong untuk belajar. Guru menyediakan lingkungan belajar,
memberikan kebebasan agar anak belajar dan berkembang sendiri, dan
mewujudkan rasa ingin tahunya. Ia dibiarkan untuk mengalami sendiri,
mewujudkan dorongan-dorongannya, dan tumbuh sesuai dengan polanya. Guru
juga berperan sebagai sumber lingkungan belajar, yang selalu siap memberikan
bantuan kepada siswa. Ia berusaha mencegah hal- hal yang mungkin mengganggu
perkembangan siswa.
Kurikulum pendidikan pribadi lebih menekankan pada proses
pengembangan kemampuan siswa. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa. Pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru- guru dengan
melibatkan siswa. Tidak ada suatu kurikulum standar, yang ada adalah kurikulum
minimal yang dalam implementasinya dikem- bangkan bersama siswa. Isi dan
proses pembelajarannya selalu berubah sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.
3. TeknOlogi pendidikan
Teknologi pendidikan mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik
tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Keduanya juga
mempunyai perbedaan, sebab yang diutamakan dalam teknologi pendidikan
adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi bukan pengawetan dan
pemeliharaan budaya lama. Mereka lebih berorientasi ke masa sekarang dan yang
akan datang, tidak seperti pendidikan klasik yang lebih melihat ke masa lalu.
Perkembangan teknologi pendidikari dipengaruhi clan sangat diwarnai
oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Hal itu memang sangat masuk akal, sebab
teknologi pendidikan bertolak dari dan merupakan penerapan prinsip-prinsip ilmu
dan teknologi dalam pendidikan. Teknologi telah masuk ke semua segi kehidupan,
termasuk dalam pendidikan.
Our technologies to day are so powerful, so prevalent, so deliberately
foster, and so prominent in the awareness of people, that they not only
bring about changes in the physical world which tecnologies have always
done but also in our insti- tutions, attitudes, and expectations, values,
goals, and in our very conceptions of the meaning of existence (Holtzman,
1970, hlm. 237).
Gambaran manusia tentang dunia dan makna kehidupan merupakan
sintesis dari pengalaman-pengalaman dasarnya. Menurut pandangan klasik,
pengalaman ini bersifat menetap, sama dari tahun ke tahun, berbeda dengan
pandangan teknologi pendidikan. Menurut mereka, pengalaman tersebut selalu
berubah, hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik daripada hari Mi.
Kehidupan dan perkembangan itu selalu baru.
Karena sifat ilmiahnya, konsep pendidikan ini mengutamakan segi-segi
empiris, informasi objektif yang dapat diamati dan diukur serta dihitung secara
statistik. Mereka kurang menghargai hal-hal yang bersifat kualitatif dan spiritual.
Bagi mereka, dunia ini adalah dunia material, dunia empiris. Meskipun lebih
kompleks, manusia pada dasarnya tidak berbeda dengan binatang, ia mereaksi
terhadap perangsang-perangsang dari lingkungannya, perilakunya dapat dibentuk
dengan teknologi perilaku, seperti yang dinyatakan Skinner.
Man totally determined by his environment. Therefore, if we wish to relate
to him for better to educate him, we need only learn scientifically, how to
control his environment in such away as to reshape his behavior. What we
need is a technology of behavior (Skinner, 1972).
Menurut teori ini, pendidikan adalah ilmu dan bukan seni, pendidikan
adalah cabang dari teknologi ilmiah. Dengan pengembangan desain program,
pendidikan menjadi sangat efisien. Efisiensi merupakan salah satu ciri utama
teknologi pendidikan. Dalam pengembangan desain program, mereka juga
melibatkan penggunaan perangkat keras, alat-alat pandangdengar (audio-visual)
dan media elektronika. Pengembangan model-model pengajaran yang bersifat
individual serta menekankan penguasaan kemampuan, seperti computer assisted
instruction (CAI), individually prescribed instruction (IPI), competency based
instruction, dan behavior modification merupakan model-model pengajaran baru,
melengkapi model yang telah ada yaitu pengajaran berprogram, mesin pengajaran,
dan pengajaran modul.
Dalam konsep teknologi pendidikan, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli
bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data objektif dan keterampilan-
keterampilan yang mengarah kepada kemampuan vocational. Isi disusun dalam
bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan
menggunakan bantuan media elektronika (kaset audio, video, film, atau komputer)
dan para siswa belajar secara individual. Siswa berusaha untuk menguasai
sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi.
Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru
berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak melakukan tugas-tugas
pengelolaan daripada penyampaian dan pendalaman bahan. Apabila digunakan
media elektronika, ierbehas dari tugas pengembangan segi-segi nonintelektual.
Kurikulum pendidikan teknologi menekankan kompetensi atau
kemampuan- kemampuan praktis. Materi disiplin ilmu dipelajari termasuk dalam
kurikulum, apabila hal itu mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan
tersebut. Dalam kurikulum, materi disiplin ilmu tersebut disusun terjalin dalam
kemampuan. Penyusunan kurikulum dilakukan para ahli dan atau guru-guru yang
mempunyai kemampuan mengembangkan kurikulum. Perangkat kurikulum cukup
lengkap mulai dari struktur dan sebaran mata pelajaran sampai dengan rincian
bahan ajar yang dipelajari oleh siswa, yang tersusun dalam satuan-satuan bahan
ajar dalam bentuk satuan pelajaran, paket belajar, modul, paket program audio,
video ataupun komputer. Dalam satuan-satuan bahan ajar tersebut tercakup pula
kegiatan pembelajaran dan bentuk-bentuk serta alat penilaiannya.
4. Pendidikan interaksional
Konsep pendidikan ini bertolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk
sosial. Dalam kehidupannya, manusia selalu membutuhkan manusia lain, selalu
hidup bersama, berinteraksi, dan bekerja sama. Karena kehidupan bersama dan
kerja sama ini, mereka dapat hidup, berkembang, dan mampu inemenuhi
kebutuhan hidup dan memecahkan berbagai masalah yang (iihadapi. Dapat
dibayangkan, apa yang akan dihadapi seseorang, bila ia hidup sendiri di sebuah
pulau terpencil. Bila lingkungannya mendukung, mungkin ia dapat bertahan
hidup, tetapi apabila tidak, mungkin tidak liapat hidup atau tidak dapat mencapai
kemajuan seperti yang dialami oleh I wang-orang yang hidup bersama dengan
orang lain.
Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja ama
dan interaksi. Dalam pendidikan klasik dan teknologi interaksi terjadi sepiliak dari
guru kepada siswa, sedangkan dalam pendidikan romantik don progresif terjadi
sebaliknya dari siswa kepada guru. Pendidikan lideraksional menekankan
interaksi dua pihak, dari guru kepada siswa dan lari siswa kepada guru. Lebih
luas, interaksi ini juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar dan dengan
lingkungan, antara pemikiran siswa dengan kehidupannya. Interaksi ini terjadi
melalui berbagai bentuk dialog.
Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih dari sekadar mempelajari
fakta-fakta. Siswa mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta
tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya
dalam konteks kehidupannya. Setiap siswa, begitu juga guru, mempunyai rentetan
pengalaman dan persepsi sendiri. Dalam proses belajar, persepsi-persepsi yang
berbeda tersebut digunakan untuk menyoroti masalah bersama yang muncul
dalam kehidupannya. Dalam proses seperti itu dialog berlangsung, setiap siswa
dan guru saling mendengarkan, memberikan pendapat, sal ing mengajar dan
belajar. Pemahaman yang muncul dari situasi demikian melebihi jumlah seluruh
sumbangan para peserta. Siswa tidak hanya berperan sebagai siswa, tetapi juga
sebagai guru, dan guru juga pada suatu saat berperan sebagai siswa yang turut
belajar bersama para siswanya.
Interaksi juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar. Interaksi ini bukan
hanya pada tingkat apa dan bagaimana, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat
mengapa, tingkat mencari makna baik makna sosial (socially conscious) maupun
makna pribadi (self conscious). Isi atau bahan ajar ini berkenaan dengan
lingkungan sosial-budaya yang mereka hadapi saat ini. Setelah mengetahui makna
dari fakta-fakta dan nilai-nilai sosial budaya, mereka mengadakan evaluasi, kritik
dari sudut kepentingannya bagi kesejahteraan umat manusia.
Siswa sebagai individu selalu berinteraksi dengan lingkungannya, selalu
terjadi hubungan timbal balik antara keduanya. Pandangan-pandangannya
mempengaruhi bentuk dan pola lingkungan, di lain pihak kekuatan dan
keterbatasan lingkungan mempengaruhi individu siswa. Lingkungan merupakan
bagian dari kehidupan siswa. Interaksi juga terjadi antara pemikiran siswa dengan
kehidupannya. Suatu kebenaran tidak akan diyakininya apabila tidak dicobakan
dan dihayati dalam kehidupannya sehari-hari.
Sekolah berbeda dengan pendidikan, tetapi mempunyai peranan penting
dalam sistem masyarakat. Sekolah merupakan pintu untuk memasuki masyarakat,
menentukan stratifikasi sosial, dan memberikan kesiapan untuk melakukan
berbagai pekerjaan. Sekolah menyiapkan anak dengan berbagai keterampilan
sosial juga keterampilan bekerja. Lebih jauh, sekolah juga berperan dalam
membina sikap positif terhadap dunia kerja, disiplin kerja, dan sebagainya.
Pendidikan berperan dalam mengembangkan identitas pribadi, memperbaiki
modus dari kehidupan.
Proses belajar dalam model interaksional terjadi melalui dialog dengan
orang lain apakah dengan guru, teman, atau yang•lainnya. Belajar adalah kerja
sama dan saling kebergantungan dengan orang lain. Siswa belajar memperhatikan,
menerima, menilai pendapat orang lain, dan belajar menyatakan pendapat dan
sikapnya sendiri. Melalui interaksi tersebut muncul pengetahuan, pendapat, sikap,
dan keterampilan-keterampilan baru. Guru berperan dalam menciptakan situasi
dialog dengan dasar saling mempercayai dan saling membantu. Bahan ajar
diambil dari lingkungan sosial-budaya yang dihadapi para siswa sekarang. Mereka
diajak untuk menghayati nilai-nilai sosial-budaya yang ada di masyarakat,
memberikan penilaian yang kritis, kemudian mereka mengembangkan
persepsinya sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Kurikulum pendidikan interaksional menekankan baik pada isi maupun
proses pendidikan sekaligus. Isi pendidikan terdiri atas problem- problem nyata
yang aktual yang dihadapi dalam kehidupan di masyarakat. Proses pendidikannya
berbentuk kegiatan-kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan kerja sama,
baik antarsiswa, siswa dan guru, maupun antara siswa dan guru dengan sumber-
sumber belajar yang lain. Kegiatan penilaian dilakukan untuk hasil maupun proses
belajar. Guru-guru melakukan kegiatan penilaian sepanjang kegiatan belajar.
D. Buku Acuan
Schubert, William H. 1986. Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility.
New York: Macmillan Publishing Co.
Dilatarbelakangi oleh minat pribadi yang sangat mendalam terhadap
pendidikan, khsusunya kurikulum, penulis memandang bahwa kurikulum
merupakan bidang yang sangat penting. Kurikulum menentukan jenis dan kualitas
pengetahuan dan pengalaman yang memungkinkan orang atau seseorang
mencapai kehidupan dan penghidupan yang baik. Dilengkapi dengan
pengalamannya yang begitu banyak dalam bidang pendidikan, penulis menyajikan
suatu tulisan yang komprehensif mendasar, dalam arti bertolak dari teori yang
kuat, dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat praktis. Buku ini merupakan
buku teks pada bidang kurikulum baik untuk tingkat S1 maupun S2 sebab isinya
menyangkut hal-hal yang sangat prinsip. Secara sistematis dan logis, seluruh isi
buku ini terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama menguraikan perspektif
kurikulum, baik dari segi konsep atau teori, sejarah maupun perkembangannya.
Bagian kedua membahas paradigma, yang berisi tujuan, misi, proses, organisasi,
dan ovaluasi, serta pelaksanaan. Bagian ketiga membahas problema-problema
kurikulum, profesionalisasi, dan pengembangan kurikulum.
Beane, James A. et. al., 1986. Curriculum Planning and Development. Boston:
Allyn and Bacon, Inc.
Isi buku ini hampir sama dengan buku-buku lain dalam tema yang sama.
Salah satu kelebihannya terletak pada isinya yang sangat komprehensif. Hampir
semua hal yang berkenaan dengan permasalahan kurikulum tercakup dalam buku
mi. Oleh karena itu, buku ini baik sekali bagi para pengajar kurikulum dan guru-
guru yang melaksanakan kurikulum..Secara sistematik diuraikan masalah apa
dalam kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai apa yang harus
disajikan dalam kurikulum, sampai sejauh mana dan untuk apa hal itu diberikan.
Juga diuraikan masalah mengapa, yaitu.landasan-landasan apa yang mendasari
penyusunan kurikulum. Selanjutnya, bagaimana proses penyampaian kurikulum
serta proses pengelolaan kurikulum, dan diakhiri dengan proses evaluasi
kurikulum.
Johnson, Mauritz. 1977. Intensionality in Education. Albany, New York: Center
for Curriculum Research and Services.
Judul buku ini adalah intensionality in Education, suatu judul yang
bertemakan pendidikan, dan isinya lebih banyak menyangkut kurikulum. Isi buku
ini sangat berharga bagi para pakar pendidikan, pakar kurikulum, para perencana
pengajaran, dan juga guru-guru. Dalam buku ini disajikan suatu model konseptual
kurikulum dan rencana pengajaran, serta evaluasinya. Dipisahkan dengan tegas
oleh penulis antara kurikulum dan pengajaran. Kurikulum berkenaan dengan apa
yang akan diajarkan, sedangkan pengajaran berkenaan dengan bagaimana cara
mengajarkannya. Dengan konsep scperti itu penulis mengemukakan suatu model
kurikulum yang disebutnya sebagai model P-I-E, dan dijelaskan pula bagaimana
pengembangannya. Dalam pengembangan tersebut diuraikan secara rinci
bagaimana merumuskan tujuan, isi, struktur kurikulum, serta sumbersumber
kurikulum. Selanjutnya diuraikan juga rencana pengajaran, evaluasi, serta
pengelolaannya.
Goodlad, John I. (Ed). 1979. Curriculum Inquiry, The Study of Curriculum
Practice. New York: McGraw Hill Book, Co.
B. Teori Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu ilmu terapan (applied science), yaitu terapan
dari ilmu atau disiplin lain terutama filsafat, psikologi, sosiologi, dan humanitas.
Sebagai ilmu terapan, perkembangan teori pendidikan berasal dari pemikiran-
pemikiran filosofis-teoretis, penelitian empiris dalam praktik pendidikan. Dengan
latar belakang seperti itu, beberapa ahli menyatakan bahwa ilmu pendidikan
merupakan ilmu yang "belum jelas". Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa
cukup sulit untuk dapat merumuskan teori pendidikan. Teori-teori pendidikan
yang ada lebih menggambarkan pandangan filosofis, seperti teori pendidikan
Langeveld, Kohnstam, dan sebagainya, atau lebih menekankan pada pengajaran
seperti teori Gagne, Skinner, dan sebagainya.
Boyles (1959) menyatakan bahwa teori pendidikan di Amerika Serikat
berada dalam a state of suspended animation, penggambarannya masih
tertangguhkan. Masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menampilkan
dengan jelas teori pendidikan ini. Menurut Beauchamp (1975, hlm. 34), teori
pendidikan akan atau dapat berkembang, tetapi perkembangannya pertama-tama
dimulai pada sub-subteorinya. Yang menjadi subteori dari teori pendidikan adalah
teori-teori dalam kurikulum, pengajaran, evaluasi, bimbingan-konseling, dan
administrasi pendidikan.
Susunan hierarki teori pendidikan dengan subteori dan teori yang
memayunginya dapat dilihat pada Bagan 2.2.
Telah diuraikan sebelumnya bahwa ada dua kecenderungan perkembangan ilmu
pendidikan. Pertama, perkembangan yang bermilai teoretis yang merupakan
pengkajian masalah-masalah pendidikan dari sudut
BAGAN 2.2 Susunan hierarki teori pendidikan dan kurikulum
pandang ilmu lain, seperti filsafat, psikologi, dan lain-lain. Kedua, perkembangan
ilmu pendidikan dari praktik pendidikan. Keduanya dapat ding membantu,
melengkapi, dan memperkaya. Dalam kenyataan, tidak selalu terjadi hal yang
demikian. Hanya sedikit hasil-hasil pengkajian leoretis yang diterapkan para
pelaksana pendidikan. Sebagai contoh, teori IT Rousseau yang menekankan
pendidikan alam dengan peranan anak sebagai subjek yang penuh potensi, hampir
tidak ada yang melaksanakanIlya secara penuh, kecuali beberapa prinsip
utamanya, itu pun dengan keberapa modifikasi. Sebaliknya para pendidik di
lapangan melaksanakan praktik pendidikan yang lebih didasarkan atas kebutuhan-
kebutuhan prakt is, sekalipun tidak banyak dilandasi oleh teori-teori yang kuat.
Seharusnya tidak terjadi hal yang demikian, sebab seharusnya praktik
dilandasi oleh teori, tidak ada praktik yang baik tanpa teori yang mapan. Anima
teori dengan praktik memang terdapat perbedaan, tetapi keduanya ingat berkaitan
erat. Mengenai perbedaan antara teori dengan praktik, beauchamp menjelaskan:
Theory by its nature is impractical. The world of practicality is built around
clusters of specific events. The world of theory derives from generalization law a
axiomes and theorems explaining specific events and the relationships among
them (Beauchamp, 1975, him. 35).
Walaupun terdapat perbedaan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Teori
menjadi pedoman bagi praktik dan praktik memberi umpan balik bagi
pengembangan teori. Sebagai ilmu dari segala ilmu, filsafat mempunyai hubungan
yang erat dengan ilmu pendidikan dan teori pendidikan. Ada dua kategori teori
yaitu teori deskriptif dan preskriptif. Teori deskriptif terdiri atas serangkaian
proposisi yang berinterelasi secara logis. Dari proposisi-proposisi tersebut
diturunkan secara deduktif informasi- informasi baru, juga dari proposisi-
proposisi tersebut hubungan antara beberapa hal dirumuskan. Teori deskriptif
terdiri atas serangkaian rencana kegiatan atau proposisi mengenai sesuatu
kerangka masalah. Pengembangan teori deskriptif berhubungan dengan
pendekatan ilmiah (scientific approach), sedangkan pengembangan teori
preskriptif berhubungan dengan pendekatan atau teknik-teknik filosofis
(techniques of philosophy).
Filsafat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan.
Kebanyakan teori pendidikan yang ada, kalau tidak berlandaskan psikologi maka
bersumber pada filsafat. Filsafat khususnya filsafat pendidikan memberikan
pedoman bagi perumusan aspek-aspek pendidikan. Mendidik atau pendidikan
berkenaan dengan perbuatanperbuatan yang tidak lepas dari nilai, atau dengan
kata lain perbuatan mendidik selalu menyangkut nilai. Teori pendidikan selalu
menyangkut tentang teori nilai, etika, yang keduanya merupakan bahasan dari
bidang filsafat. Antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. John Dewey
seorang ahli filsafat pendidikan progresif, umpamanya menyatakan bahwa filsafat
merupakan teori umum dari pendidikan.
Beberapa aliran filsafat pendidikan menggambarkan kedudukannya, juga
sebagai teori pendidikan, seperti dalam filsafat pendidikan realisme dari Borudy,
idealisme dari Butler, pragmatisme dari Mc. Murray. Pratte menegaskan
hubungan antara filsafat dengan teori pendidikan di dalam uraiannya tentang teori
pendidikan modern yaitu pendidikan progresif (eksperimentalisme), esensialisme,
perenialisme, rekonstruksionalisme, dan eksistensialisme. Dalam semua aliran
filsafat ini, dikemukakan pandangan filosofisnya tentang peranan sekolah
(pendidikan), ten tang hakikat pengetahuan, tentang manusia, tentang nilai, dan
sumber-sumber nilai.
Hugh C. Black dalam bukunya A Four fold Classification of Educational
Theories (1966) mengemukakan empat teori pendidikan, yaitu teori tradisional,
teori progresif, teori hasil belajar, dan teori proses belajar. Teori tradisional
menekankan fungsi pendidikan sebagai pemelihara dan penerus warisan budaya,
teori progresif memandang pendidikan sebagai penggali potensi anak-anak, dalam
teori ini anak menempati kedudukan sentral dalam pendidikan. Teori hasil belajar
sesuai dengan namanya mengutamakan hasil, sedangkan teori proses belajar
mengutamakan proses belajar.
Teori pendidikan bukan saja berkembang melalui pemikiran p.mikiran
filosofis atau teori preskriptif, juga dikembangkan melalui ponglojfisn
pengkajian ilmiah (teori deskriptif). Harry S. Broudy menyatakan perlunya suatu
teori pendidikan yang utuh yang membentuk satu kesatuan. Teori pendidikan yang
demikian sangat diperlukan mengingat hal-hal sebagai berikut.
a. The present and projected kinds of knowledge and personality traits re-
quired for citizenship, vocation, and self development.
b. A unified theory must be judicious about the latest development in learn-
ing theory and teaching technology.
c. A unified theory has to provide for general and special education, for dif-
ferences in ability and bent (Broudy, 1960, hlm. 24).
Brouner mengidentifikasi enam teori pendidikan yang berkembang di
merika Serikat pada tahun 1960-an. Keenam teori tersebut dapat dilihat pada
Bagan 2.3.
Dalam simposium di Universitas John Hopkins tahun 1961, dibahas
hvherapa makalah yang menguraikan apakah pendidikan merupakan
C. Teori Kurikulum
Telah diuraikan sebelumnya bahwa teori merupakan suatu perangkat
pernyataan yang bertalian satu sama lain, yang disusun sedemikian rupa sehingga
memberikan makna yang fungsional terhadap serangkaian kejadian. Perangkat
pernyataan tersebut dirumuskan dalam bentuk definisi deskriptif atau fungsional,
suatu konstruksi fungsional, asumsi-asunro hipotesis, generalisasi, hukum, atau
teorem-teorem. Isi rumusan-rumusan tersebut ditentukan oleh lingkup dari
rentetan kejadian yang dicakup, jumlah pengetahuan empiris yang ada, dan
tingkat keluasan_ dan kedalaman teori dan penelitian di sekitar kejadian-kejadian
tersebut.
Kalau konsep-konsep itu diterapkan dalam kurikulum, maka dapatlah
dirumuskan tentang teori kurikulum, yaitu sebagai suatu perangkat pernyataan
yang rnemberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut Irryndi
karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena allanya
petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum. Bahan kajian dari
teori kurikulum adalah hal-hal yang berkaitan dengan renentuan keputusan,
penggunaan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kurikulum, dan lain-lain.
1. Konsep kurikulum
Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori
kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum,
kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi.
Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum,
dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di
sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum
juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan,
bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga
dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama
antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan
masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu
sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem
kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem
pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup
struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara me- nyusun suatu
kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyem- purnakannya. Hasil dari
suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari
sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi
kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan
dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan
ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang
kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi
kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan
hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Seperti halnya para ahli ilmu sosial lainnya, para ahli teori kurikulum juga
dituntut untuk: (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari
istilah-istilah teknis, (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah
ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial
dan prediktif, (4) mengembangkan subsubteori kurikulum, mengembangkan dan
melaksanakan model-model kurikulum. Keempat tuntutan tersebut menjadi
kewajiban seorang ahli teori kurikulum. Melalui pencapaian keempat hal tersebut
baik sebagai subtansi, sebagai sistem, maupun bidang studi kurikulum dapat
bertahan dan dikembangkan.
D. Buku Acuan
Beauchamp, George A. 1975. Curriculum Theory. Wilmettee, Illinois: The
KAGG Press.
Sesuai dengan judulnya, yang dibahas dalam buku ini adalah suatu teori
kurikulum. Buku ini merupakan edisi ketiga, dengan berpegang atas hasil-hasil
penelitian. Edisi ini merupakan hasil penyempurnaan atas dua edisi sebelumnya.
Seluruh isi buku ini terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama membahas teori
kurikulum yang merupakan subteori dari pendidikan: teori kurikulum sebagai
masalah pendidikan, pembentukan teori, teori dalam pendidikan, teori kurikulum.
Bagian selanjutnya menguraikan suatu analisis tentang isu-isu teoretis, problema
dan alternatif pemecahan problema dalam pengembangan kurikulum. Bagian
terakhir mengemukakan teori kurikulum hasil pengembangan/pemikiran penulis
sendiri, terutama ,difokuskan pada kurikulum sebagai bidang studi dari teori
kurikulum. Karena Jebih banyak menguraikan kurikulum secara teoritis maka
sumbangan buku ini terutama dirasakan oleh para ahli kurikulum, ahli pendidikan,
dan perencana pengajaran, begitupun para praktisi juga dapat mengambil
manfaatnya.
Gordon, Peter and Lawton, Denis. 1978. Curriculum Change in the Nineteenth
and Twentieth Centuries. London: Hodder and Stoughton.
Yang dibahas dalam buku ini adalah perubahan-perubahan besar yang
terjadi dalam kurikuldm selama abad ke-19 dan ke-20, serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Perubahan kurikulum dilatarbelakangi oleh perubahan atau
perkembangan teori pendidikan yang mendasarinya. Teori pendidikan
mempengaruhi penentuan isi maupun proses pengajaran. Perubahan kurikulum
dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang dilatarbelakangi oleh
perkembangan ilmu dan teknologi, revolusi industri, perpaduan antara
pengetahuan-humanisme-agama, clan perubahan ideologi dari elitisme pada
demokrasi. Juga yang berperanan besar terhadap perubahan kurikulum adalah
pemerintah dan kelompok.
Bullough Jr. Robert, et. a!. 1984. Human Interest in Curriculum. New York,
London: Teachers College Press, Columbia University.
Buku ini menyajikan suatu hasil studi kritis terhadap pengaruh munculnya
nilai-nilai sebagai akibat perkembangan teknologi. Karena pengaruh
perkembangan teknologi pendidikan tidak lebih dari suatu latihan untuk
mempersiapkan pekerja, prosesnya menekankan efisiensi dan kontrol. Struktur
persekolahan yang ada memperkuat hal tersebut, sehingga terbentuk sikap dan
anggapan yang kurang menghargai kebebasan dan perkembangan manusia.
Pendidikan harus memiliki keterbukaan, yang memungkinkan berpikir dan
berbuat yang leluasa, agar memungkinkan pertumbuhan segi kognitif, etestis,
maupun moral dengan sempurna. Akibat terlalu berjiwa teknologis maka
mempersempit arti pendidikan dan membatasi perkembangan lingkungan
pendidikan yang kreatif. Pendidikan harus memperluas emansipasi manusia,
bukan membatasinya. Hal itu tercapai melalui interaksi komunikatif. Penulis
menentang technocratic mindedness dan menganjurkan critical atau philosophical
mindedness. Buku ini sangat berharga bagi para ahli pendidikan, ahli kurikulum,
dan juga bagi guru-guru atau calon guru, baik di dalam merencanakan rnaupun
melaksanakan pendidikan dan pengajaran.
Olson, David R, 1970, Cognitive Development, Academic Press Publishing Co.,
New York.
Apa yang dikemukakan dalam karangan ini adalah suatu teori tentang
perkembangan intelektual anak. Buku ini membahas tiga masalah teoretis utama,
yaitu peranan bahasa dalam perkembangan intelektual, hubungan antara informasi
perseptual dengan tingkah laku nyata, dan pengaruh pengajaran terhadap
pembentukkan dan perkembangan konsep. Ketiga hal itu didukung oleh hasil
penelitian dari delapan eksperimen tentang perkembangan konsep diagonal anak
usia 3 sampai dengan 6 tahun. Eksperimen menunjukkan bahwa pengaruh media
gambar dan bahasa
sangat besar terhadap tingginya perkembangan keterampilan konseptual. I ebih
jauh dibuktikan besarnya pengaruh kebudayaan terhadap porkembangan
intelektual anak. Apa yang dibahas dalam buku ini sangat herguna bagi para
peneliti di bidang pendidikan, para ahli kurikulum dan pengajaran serta ahli
bimbingan dan penyuluhan sebagai pegangan atau kihan perbandingan dalam
melakukan tugas-tugasnya.
BAB 3
LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS
PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antarmanusia, terutama antara pendidik
dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut
terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut
berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan
terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut,
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar,
yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti "cinta akan kebijakan" (love of
wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan
berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia
harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses
berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran
demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir
sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Berfilsafat diartikan pula berpikir
secara radikal, berpikir sampai ke akar. Secara akademik, filsafat berarti upaya
untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan
komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalamnya.
Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpang siur
dalam penga- laman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji satu
bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas. Filsafat mencakup
keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada irti sebagai
satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di
dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.
Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam
mengkaji atau memahami alam semesta mi. Ilmu menggunakan pendekatan
analitik, berusaha menguraikan keTeluruhan dalam bagian- bagian yang kecil dan
lebih kecil. Filsafat berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian ke
dalam satu'kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkenaan dengan
fakta-fakta sebagaimana adanya (Das Sem), berusaha melihat segala sesuatu
spcara objektif, menghilangkan hal-hal yang bersifat subjektif. Filsafat melihat
segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das So/len), faktor-faktor
subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh. Filsafat dan ilmu mempunyai
hubungan yang saling mengisi dan melengkapi (komplementer). Filsafat
memberikan landasan- landasan dasar bagi ilmu. Keduanya dapat memberikan
bahan-bahan bagi manusia untuk membantu memecahkan berbagai masalah
dalam kehidupannya.
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitti metafisika yang membahas segala
yang ada dalam alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran dan aksiologi
yang membahas nilai. Aliran-aliran filsafat yang kita kenal bertolak dari
pandangan yang berbeda dalam ketiga hal itu.
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia
termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pen- didikan.
Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari
pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan,
tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat
hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan
metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan
memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya
sangat berkaitan erat, malah menurut Butler menjadi satu.
1) Philosphy is primary and basic to an educational philosophy, 2) philosophy is
the flower not root of education, 3) educational philosophy is an independent
discipline which might benefit from contact with general philosophy, but this
contact is not essential, 4) philosophy and the theory of education is one (Butler,
1957: 12).
Pendapat para filsuf umumnya memandang filsafat umum sebagai dasar
dari filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya mempunyai pandangan
yang hampir sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan
adalah sama, sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama dengan
kehidupan. Seperti halnya dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan pun
dikenal banyak pandangan atau aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan
metafisika, epistemilogi, dan aksiologi tentang masalah pendidikan yang berbeda.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu pandangan tentang filsafat
pendidikan, yaitu pandangan dari John Dewey. Hal itu tidak berarti bahwa
pandangan tersebut paling sesuai untuk masyarakat kita atau paling disetujui oleh
penulis.
1. Dasar-dasar filsafat Dewey
Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu
berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membavva konsekuensi yang
cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah.
Ciri lain filsafat Dewey adalah anti dualistik. Pandangannya tentang dunia adalah
monistik dan tidak lebih dari sebuah hipotesis.
Filsafat Dewey lebih berkenaan dengan epistemologi dan tekanannya
kepada proses berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang
bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses
berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadiankejadian nyata. Dalam
filsafat Dewey kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the making,
yaitu adanya persesuaian antara hipotesis dengan kenyataan.
Dewey sangat menghargai peranan pengalaman, merupakan dasar bagi
pengetahuan dan kebijakan. Experience is the only basis for knowledge and
wisdom (Dewey, 1964, hlm. 101). Pengalaman itu mencakup kegiatan manusia,
baik yang berbentuk aktif maupu pasif.
Mengetahui tanpa mengalami adalah omong kosong. Dewey menolak
sesuatu yang bersifat spekulatif.
Pengertian pengalaman Dewey berbeda dengan kaum empiris lainnya,
yang mengartikannya sebagai pengalaman melalui pengindraan. Instrumentalisme
Dewey menganggap bahwa rohani itu adalah interelasi yang kreatif antara
organisme dengan lingkungannya, dengan waktu dan tempat.
Pengalaman selain merupakan sumber dari pengetahuan, juga sumber
nilai. Karena pengalaman selalu berubah maka nilai pun berubah. Nilai-nilai
adalah relatif, subjektif, dan hanya dirasakan oleh manusia. Sesuatu itu bernilai
karena diberi nilai oleh manusia, sesuatu dibutuhkan karena manusia
membutuhkannya, selalu dalam hubungannya dengan pengalaman. Nilai-nilai itu
tidak dapat diukur dan tidak ada hierarki nilai.
All values are thus subjective and either intrinsic or instrumental Values being
finally intrinsic, and feeling, it is held, being immeasurable, no scale of values,
and of any two things felt as intrinsically valuable it is than another. To be felt as
worthwhile in itself is thus the ultimate orientation of value. (Dewey dalam Joe
Park, (Ed). 1958, hlm. 185).
Tujuan perkembangan manusia adalah self realization. Pengertian self
hagi Dewey adalah sesuatu yang konkret bersifat empiris tidak dapat dipisahkan
dari pengalaman dan lingkungan. Self realization hanya dapat diperoleh melalui
pengalaman dan interaksi dengan yang lain.
B. Landasan Psikologis
Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu manusia, yaitu
antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang-
orang yang lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, karena kondisi
psikologisnya. Manusia berbeda dengan benda atau tonaman, karena benda atau
tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Manusia juga lain dari binatang,
karena kondisi psikologis manusia jauh tinggi tarafnya dan lebih kompleks
dibandingkan dengan binatang. Iterkat kemampuan-kemampuan psikologis yang
lebih tinggi dan kompleks inilah sesungguhnya manusia menjadi lebih maju, lebih
banyak menii liki kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan dibandingkan
dengan binatang.
Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis
merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang din yatakan
dalani berbagai bentuk perilaku dalani interaksi den gan lingkungannya. Perilaku-
perilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik. yang
tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kondisi psikologis setiap‘individu berbeda, karena perbedaan tahap
perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-
faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung
pada konteks, peranan, dan status individu di antara individu- individu yang
lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan
kondisi psikologis para peserta didik rnaupun kondisi pendidiknya. Interaksi
pendidikan di rumah berbeda dengan di sekolah, interaksi antara anak dan guru
pada jenjang sekolah dasar berbeda dengan jenjang sekolah lanjutan pertarna dan
sekolah lanjutan atas.
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah
membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai
menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan,
perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak
tetap berkembang, tetapi dengan pendidikan di sekolah tahap perkembangannya
menjadi lebih tinggi dan lebih luas. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara
mendidiknya, perlu disesuaikan dengan pola-poly perkembangan anak.
Karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan, serta pola-pola
perkembangan individu menjadi kajian Psikologi Perkembangan.
Perkembangan atau kemajuan-kemajuan yang dialami anak sebagian
besar terjadi karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan,
pengingatan, pembiasaan, pemahaman, penerapan, maupun pemecahan masalah.
Pendidik atau guru melakukan berbagai upaya, dan menciptakan berbagai
kegiatan dengan dukungan berbagai alat bantu pengajaran agar anak-anak belajar.
Cara belajar-mengajar mana yang dapat memberikan hasil secara optimal serta
bagaimana proses pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistematik dan
mendalam. Studi yang demikian merupakan bidang pengkajian dari Psikologi
Belajar.
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan
kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar. Keduanya
sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun
bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik
penilaian.
1. Psikologi perkembangan
Psikologi Perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa
konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan
dewasa.
2. Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu
belajar. Banyak sekali definisi tentang belajar. Secara sederhana, belajar dapat
diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala
perubahan tingkah laku balk yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor
dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku
belajar. Peruhahan-perubahan perilaku yang terjadi karena instink atau karena
kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk belajar.
Menurut Gagne (1965, hlm. 5) perubahan tersebut berkenaan dengan disposisi
atau kapabilitas individu, "Learning is a change in human disposition or
capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the pro-
cess of growth. Hilgard dan Bower menambahkan bahwa peruhahan itu terjadi
karena individu berinteraksi dengan lingkungannya, sebagai reaksi terhadap
situasi yang diliadapinya. Menurut mereka belajar adalah :
The process by which an activity originates or is changed throught reacting to an
encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity
cannot be explaned on the basis of native response tendecies, maturation, or
temporary states of the organism (e.g. fatigue, drug etc.) (Iiilgard dan Bower,
1966, hlm. 2).
Masih banyak definisi tentang belajar dan definisi-definisi tersebut
bersumber pada teori-teori belajar tententu. Menurut Morris L. Bigge dan Maurice
P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu
teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.
Menurut rumpun teori disiplin mental dari kelahirannya atau secara
herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya
untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Ada beberapa teori yang
termasuk rumpun disiplin mental yaitu: disiplin mental theistik, disiplin mental
humanistik, naturalisme, dan apersepsi.
Teori disiplin mental theistik berasal dari Psikologi Daya. Menurut teori
ini individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental seperti daya untuk
mengamati, menanggap, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, clan
sebagainya. Belajar merupakan proses melatih daya-daya tersebut. Kalau daya-
daya tersebut terlatih maka dengan mudah dapat digunakan untuk menghadapi
atau memecahkan berbagai masalah.
Teori disiplin mental humanistik bersumber pada psikologi humanisme
klasik dari Plato dan Aristoteles. Teori ini hampir sama dengan teori pertama
bahwa anak memiliki potensi-potensi. Potentsi-potensi perlu d ilatih agar
berkembang. Perbedaannya dengan teori disiplin mental IIu teori tersebut
menekankan bagian-bagian, latihan bagian, atau aspek tertentu. Teori disiplin
mental humanistik lebih menekankan keseluruhan, keutuhan. Pendidikannya
menekankan pendidikan umum (Neneml education). Kalau seseorang menguasai
hal-hal yang bersifat umum okan mudah ditransfer atau diaplikasikan kepada hal-
hal lain yang bersifat khusus.
Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization. Teori ini
berpangkal dari Psikologi Naturalisme Romantik dengan tokoh utamanya Jean
Jacques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya bahwa anak mempunyai
sejumlah potensi atau kemampuan. Kelebihan dari teori ini adalah mereka
berasumsi bahwa individu bukan saja mempunyai potensi atau kemampuan untuk
berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan
kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang
dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya pendidik atau guru perlu
menciptakan situasi yang permisif yang jelas. Melalui situasi demikian, ia dapat
belajar sendiri dan mencapai perkembangan secara optimal.
Teori belajar yang keempat adalah teori apersepsi, disebut juga
Herbartisme, bersumber pada Psikologi Strukturalisme dengan tokoh utamanya
Herbart. Menurut aliran ini belajar adalah membentuk massa apersepsi. Anak
mempunyai kemampuan untuk mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan
belajar disimpan dan membentuk suatu massa apersepsi, dan massa apersepsi ini
digunakan untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian
seterusnya semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula massa
apersepsinya.
Rumpun atau kelompok teori belajar yang kedua adalah Behaviorisme
yang biasa juga disebut S-R Stimulus-Respons. Kelompok ini mencakup tiga teori
yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berangkat
dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/ membawa potensi apa-apa
dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal
dari lingkungan. Lingkunganlah, apakah lingkungan keluarga, sekolah, atau
masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya.
Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan
anak menyangkut nyata yang dapat dilihat, diamati.
Teori S-R Bond (Stimulus-Responce) bersumber dari Psikologi Koneksio-
nisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme.
Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-respons
atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspons
oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat
merupakan stimulus yang mengakibatkan terespons memetik bunga tersebut.
Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus respons.
Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak-
banyaknya. Tokoh utama teori ini adalah Edward L. Thorndike. Ada tiga hukum
belajar yang sangat terkenal dari Thorndike, yaitu Law of readness, law of
exercise or repetition dan law of effect (Bigge dan Thurst, 1980, hlm. 273).
Menurut hukum kesiapan, hubungan antara stimulus dan respons akan
terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada sistem syaraf
individu. Selanjutnya, hukum latihan atau pengulangan, hubungan antara stimulus
dan respons akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. Menurut
hukum akibat (law of effect), hubungan stimulus dan respons akan terjadi apabila
ada akibat yang menyenangkan.
Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulus-
responce with conditioning. Tokoh utama teori ini adalah Watson, terkenal
dengan percobaan conditioning pada anjing. Belajar atau pembentukan hubungan
antara stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Sebelum anak-
anak masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari dan setiap saat
pertukaran jam pelajaran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda
memulai pelajaran di sekolah. demikian juga dengan waktu makan pagi, siang,
dan makan malam.
Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Teori
ini berkembang dari teori psikologi, reinforcement, merupakan perkembangan
lebih lanjut dari teori S-R Bond dan conditioning. Kalau pada teori conditioning,
kondisi diberikan pada stimulus, maka pada reinforcement kondisi diberikan pada
respons. Karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain is menguasai apa
yang dipelajarinya (respons) maka guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin
juga hadiah. Angka tinggi, pujian dan hadiah merupakan reinforcement, supaya
pada kegiatan belajarnya akan Iebih giat dan sungguh-sungguh.
Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali contoh reinforcement kita
temukan seperti pemberian pujian, hadiah, bonus, insentif, piala, medali, piagam
penghargaan, kalpataru, adipura, serta lencana sampai dengan parasamya, dan
bintang mahaputra. Di samping reinforcement positif seperti itu dikenal pula
reinforcement negatif untuk mencegah atau menghilangkan suatu perbuatan yang
kurang baik atau tidak disetujui masyarakat. Contoh reinforcement negatif adalah:
peringatan, teguran, ancaman, sanksi, litikuman, pemotongan gaji, penundaan
kenaikan pangkat, dan sebagainya.
Rumpun ketiga adalah Cognitive Gestalt Field. Teori belajar pertama dari
rumpun ini adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari Psikologi Gestalt Held.
Menurut mereka belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman
baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi .ipabila individu
menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur .1ng ada dalam
lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa
belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, riksploratif, imajinatif, dan
kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra 11.1ri atau perasaan tentang
pola-pola atau hubungan.
To state it differently, insight is the sensed way through or solution of a prob-
lematic situation. We might say that an insight is a kind of intelligent feel we get
about a situation that permits us to continue to strive actively to serve our
purposes. (Bigge dan Hunt, 1980, hlm. 293).
Teori belajar Goal Insight berkembang dari psikologi configurationlism.
Menurut mereka, individu selalu berinteraksi dengan lingkungan. Perbuatan
individu selalu bertujuan, diarahkan kepada pembentukan hubungan dengan
lingkungan. Belajar merupakan usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat
tinggi. Pemahaman yang bermutu tinggi (tingkat tinggi) adalah pemahaman yang
telah teruji, yang berisi kecakapan menggunakan suatu objek, fakta, proses,
ataupun ide dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi memungkinkan
seseorang bertindak inteligen, berwawasan luas, mampu memecahkan berbagai
masalah.
Teori belajar cognitive field bersumber pada psikologi lapangan (field
psikology), dengan tokoh utamanya Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam
suatu lapangan psikologis yang oleh Lewin disebut life space. Dalam lapangan ini
selalu ada tujuan yang ingin dicapai, ada motif yang ilit•iidorong pencapaian
tujuan dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu
terarah kepada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan
perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah berhasil mencapai sesuatu
tujuan maka timbul tujuan lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space
baru. Setiap orang berusaha mencapai tingkat perkembangan dan pemahaman
yang terbaik, di dalam lapangan psikologisnya masing-masing. Lapangan
psikologis terbentuk oleh interelasi yang simultan dari orang-orang dan
lingkungan psikologisnya di dalam suatu situasi. Tingkah laku seseorang pada
suatu saat merupakan fungsi dari semua faktor yang ada yang saling bergantung
pada yang lain.
Istilah congnitive berasal dari bahasa Latin "cognoscre" yang berarti
'mengetahui (to know)'. Aspek ini dalam teori belajar cognitive field berkenaan
dengan bagaimana individu memahami dirinya dan lingkungannya, bagaimana ia
menggunakan pengetahuan dan pengenalannya serta berbuat terhadap
lingkungannya. Bagi penganut cognitive field, belajar merupakan suatu proses
interaksi, dalam proses interaksi tersebut ia mendapatkan pemahaman baru atau
menemukan struktur kognitif lama. Dalam membimbing proses belajar, guru
harus mengerti akan dirinya dan orang lain, sebab dirinya dan orang lain serta
lingkungannya merupakan suatu kesatuan.
C. Buku Acuan
Have, Micahel J.A. (1972). Understanding School Learning, New York:
Harper & Row Pub.
Buku ini menguraikan dasar-dasar pemahaman tentang belajar dan
bagaimana memperbaiki proses belajar. Pada bagian pertama buku ini diuraikan
tentang konsep dan kebutuhan untuk memahami proses belajar, macam-macam
belajar dan peranan siswa dalam belajar. Pada bagian berikutnya dijelaskan
struktur dan transfer dalam belajar clan perkembangan, fungsi inteligensi dan
bahasa dalam perkembangan belajal Selanjutnya diuraikan pula hal-hal yang harus
diperhatikan dalam belajar seperti motivasi belajar, relevansi apa yang dipelajari
dengan kebutuhaii siswa, cara bertanya dan menjawab serta cara-cara
meningkatkan ingatan Pada bagian akhir buku ini, dijelaskan pengajaran
berprogram, peranali teknologi dalam belajar serta berbagai upaya guru untuk
meningkatkol, hasil belajar.
Hodgkin, R.A. (1976). Bom Curious, New Perspectives in Educational Psychol-
ogy. New York, London: John Wiley & Sons.
Yang dibahas dalam tulisan ini adalah suatu pendekatan dari exploration
theory, yang bertolak dari pandangan bahwa siswa atau anak adalah aktif dan suka
bertanya. Pendekatan ini menolak pandangan pendidikan bahwa anak pasif dan
statis. Teori pendidikan menurut pengarang tersumbat dalam tiga disiplin ilmu:
filsafat, sosiologi, dan psikologi. Tiga hal tersebut harus disatukan dan
kombinasikan menjadi satu. Buku ini berusaha untuk menyatukan ketiganya.
Problem dalam pengetahuan inanusia selalu ingin tahu, tetapi teori bersifat statis.
Menurut penulis, ada heberapa komponen dari suatu teori yaitu: play, toys, tools,
skill, dan simbol. Play merupakan fenomena kehidupan yang sering ditafsirkan
sebagai 1,etiadaan daripada keberadaan. Toys merupakan bagian dari kebudayaan
‘ang tetap berada pada taraf play. Play berkembang menjadi skill dan toys
I,vrkembang menjadi tools, melalui penggunaan simbol yang konkret dapat
iliabstraksi. Ada 4 model yang dapat melancarkan kegiatan belajar, yaitu:
interpersonal, enactive, iconic, dan semiotic.
Klausmeyer , Herbert J. (1980). Learning and Teaching Concept, a Strategy for
Testing Applications of Theory. New York: Academic Press.
B. Perkembangan Masyarakat
Salah satu ciri dari masyarakat adalah selalu berkembang. Mungkin pada
masyarakat tertentu perkembangannya sangat cepat, tetapi pada masyarakat
lainnya agak lambat bahkan lambat sekali. Karena adanya pengaruh dari
perkembangan teknologi, terutama teknologi industri transportasi, komunikasi,
telekomunikasi dan elektronika, masyarakat kita dewasa ini berkembang sangat
cepat menuju masyarakat terbuka, masyarakat informasi dan global.
Dalam kondisi masyarakat demikian, perubahan-perubahan terjadi dengan
cepat, mobilitas manusia dan barang sangat tinggi, komunikasi cepat, lancar, dan
akurat. Perubahan yang cepat hampir terjadi dalam semua aspek kehidupan,
sosial-budaya, ekonomi, politik, ideologi, nilainilai etik dan estetik. Perubahan-
perubahan masyarakat ini akan mempengaruhi perkembangan setiap individu
warga masyarakat, mempengaruhi pengetahuan, kecakapan, sikap, aspirasi, minat,
semangat, kebiasaan bahkan pola-pola hidup mereka.
Mobilitas yang tinggi mempercepat pertemuan antarsuku dan antarbangsa,
membuka daerah-daerah yang terisolasi, meningkatkan pemerataan pembangunan.
Komunikasi sangat cepat, lancar, dan akurat memudahkan perolehan informasi,
yang sangat berharga baik bagi kepentingan bisnis, pemerintahan, penelitian,
rekreasi, maupun hobi. Pertemuan antarsuku bangsa, antarbangsa, dan antarras
dengan berbagai kebudayaan, kemampuan masyarakat makin sering terjadi. Maka
it'rjadilah proses pembauran budaya, tradisi, nilai-nilai, pengetahuan, dan lain-lain
malah terjadi pembauran suku, bangsa, atau ras. Di samping pembauran,
pertentangan atau konflik antarsektor sosial-budaya adakalanya juga terjadi.
Melalui proses alkulturalisasi, pertentangan atau konflik-konflik ini berangsur-
angsur berkurang.
1. Perubahan pola pekerjaan
Karena pengaruh perkembangan teknologi maka terjadi perubahan yang
cukup drastis dalam pola pekerjaan. Masyarakat secara berangsur-angsur,
terutama di perkotaan sering terjadi loncatan, berubah dari kehidupan yang
berpola agraris ke pola kehidupan industri. Pola kehidupan agraris memiliki
kesamaan, hidup yang lebih santai, cara kerja yang teratur, rasa kerja sama yang
tinggi, perubahan yang lamban, dan sebagainya.
Dalam pola kehidupan masyarakat industri, sifat-sifat yang dimiliki
masyarakatnya jauh berbeda. Diversifikasi pekerjaan dan tugas-tugas dalam satu
pekerjaan melahirkan spesialisasi yang menuntut profesio- nalisme dalam setiap
spesialisasi tersebut. Hal itu mengakibatkan adanya keragaman tugas dan
pekerjaan. Tugas-tugas dalam suatu spesialisasi sering tidak dipahami oleh
spesialisasi lain. Penerapan teknologi di bidang industri relatif lebih maju
dibandingkan di bidang pertanian, dan menuntut profesionalisme yang lebih tinggi
pula. Bekerja di bidang industri tidak lagi bergantung pada musim (hujan atau
kemarau, panas, atau dingin), bisa bekerja sepanjang masa, malah bisa bekerja
siang dan malam. Oleh karena itu, hidup santai telah ditinggalkan, diganti dengan
pola kerja keras mengejar target meningkatkan produksi.
Dalam bekerja di sektor industri telah ada pembagian tugas masingmasing,
menghadapi mesin dan peralatan lain yang berbeda, yang menuntut konsentrasi
perhatian dan kegiatan. Oleh karena itu, sifat gotong royong mulai menipis,
diganti dengan kerja sama sesuai dengan alur kerja. Penggunaan peralatan
berteknologi tinggi tidak menuntut banyak orang, tetapi sedikit orang dengan
kemampuan tinggi. Pola padat karya yang dikerjakan secara gotong royong dalam
kehidupan agraris telah beralih pada padat teknologi yang dikerjakan secara
profesional. Sifat kompetitif, baik dengan sesama karyawan maupun dengan
waktu atau prestasi sebelumnya, lebih mewarnai kehidupan dalam masyarakat
industri. Dalam pola kehidupan industri perubahan sangat cepat terjadi. Perubahan
ini bukan saja karena adanya peralatan baru atau jenis pekerjaan yang baru, tetapi
karena dunia industri berorientasi pada pasar. Dengan demikian, strategi, taktik,
kebijakan baru yang melahirkan produk dan layanan baru selalu muncul.
2. Perubahan peranan wanita
Dewasa ini jumlah wanita yang berpendidikan relatif seimbang dengan
dengan pria, sebagai akibat ernansipasi yang membuka kesempatan kepada kaum
wanita untuk memperoleh pendidikan. Diperkuat dengan perubahan pandangan
tentang kedudukan wanita, wanita tidak lagi hanya bekerja di rumah, mengurus
anak dan keluarga seperti pada pola kehidupan lama. Wanita memiliki peluang
yang sama dengan pria, bekerja hampir pada seluruh sektor pekerjaan. Keadaan
ini membawa beberapa implikasi, baik bagi kehidupan sosial-pribadi para wanita,
kehidupan keluarga, maupun dalam situasi kerja.
Dengan bekerja di luar rumah, wanita lebih bebas bergerak, berkarya, dan
berkreasi dibandingkan apabila hanya bekerja di rumah tangga. Wawasan dan
pengetahuan mereka menjadi lebih luas, potensi-potensi yang dimilikinya dapat
diwujudkan dan disalurkan. Memang banyak pekerjaan-pekerjaan tertentu yang
lebih berhasil bila dikerjakan oleh wanita. Wanita yang bekerja juga dapat
menambah penghasilan keluarga, sehingga kesejahteraan ekonomi keluarga
menjadi lebih baik. Kehadiran wanita dalam lingkungan kerja juga dapat
menimbulkan suasana lain dibandingkan apabila semua karyawannya pria.
Di samping sejumlah kebaikan dari para wanita yang bekerja, sejumlah
masalah dan kesulitan juga muncul. Masalah pertama berkenaan dengan
kehidupan sosial-pribadi wanita. Wanita yang bekerja apabila telah menikah
mempunyai tugas ganda, menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan dan tugas-tugas
keluarga. Penyelesaian kedua tugas tersebut bukan masalah ringan, membutuhkan
pemikiran dan tenaga yang dengan sedikit ketidakmampuan membagi tugas dapat
membengkalaikan salah satu tugas, bahkan kedua- duanya.
Masalah kedua berkenaan dengan kehidupan keluarga. Wanita betapapun
tinggi tingkat pendidikan dan jabatan yang dipegangnya, tidak bisa dilepaskan
dari kodratnya sebagai wanita, sebagai istri dan ibu. Sampai batas tertentu masih
tetap harus melayani suami, mendidik anak, dan mengatur rumah tangga. Tugas
yang banyak menyita waktu, tenaga, dan perhatian dalam pekerjaan atau karier,
bagaimanapun akan menelantarkan pelaksanaan tugas-tugasnya dalam rumah
tangga. Hal itu bisa mengakibatkan keluarga tidak harmonis, pendidikan anak
terbengkalai, kesejahteraan rumah tangga terabaikan, dan mungkin terjadi
perpecahan keluarga (brooken home). Perpecahan keluarga ada dua macam, pecah
secara struktur yaitu cerai antara suami dan istri, atau pecah secara lungsi tidak
bercerai tetapi masing-masing pihak tidak melaksanakan lungsi yang semestinya.
Rumah hanya berfungsi sebagai tempat parkir .1tau lebih parah sebagai tempat
bertengkar.
Masalah ketiga berkenaan dengan situasi pekerjaan. Pekerjaan atau karier
bukan tempat beristirahat, tetapi tempat berkarya, berkreasi, berprestasi, dan
berkompetisi. Situasi demikian menuntut sikap, penampilan, pemikiran, dan unjuk
kerja yang optimal. Kalau karyawati itu belum berkeluarga atau melepaskan din i
dari tugas-tugas rumah tangga, mungkin tuntutan pekerjaan tersebut dapat
dipenuhi secara optimal. Bila tidak maka hambatan karier yang akan terjadi.
Situasi ini dapat menimbulkan konflik berkepanjangan. Masalah tersebut akan
bertambah lagi apabila terjadi situasi-situasi yang tidak sehat atau menyimpang.
Bagaimanapun dalam situasi kerja akan terjadi konkurensi, tidak semua pria
menerima kedudukan di bawah wanita, apalagi bila latar belakang pendidikan dan
kemampuan terasa sama. Dalam lingkungan kerja yang ada wanita dan pria, bisa
saja terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, mulai dari pelecehan sampai dengan
skandal. Hal ini tentu menimbulkan masalah, baik bagi wanita yang bersangkutan,
keluarga, maupun unit kerja.
D. Perkembangan Teknologi
Dari para ahli, kita sering mendengar pernyataan bahwa ilmu bukan hanya
untuk ilmu. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pengembangan suatu ilmu
pengetahuan tidak hanya ditujukan kepada perkembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri, melainkan juga diharapkan dapai mem herikan sumbangan kepada
bidang-bidang kehidupan atau ilmu yang lainnya. Sumbangan yang berupa
penggunaan atau penerapan suatu bidang ilmu pengetahuan terhadap bidang-
bidang lain disebut teknologi, seperti dinyatakan Kast dan Rosenweig (1962, hlm.
11) Technology is the art of utilizing scientific knowledge, sedangkan menurut
Charles Susskind (1973: 1) ... how we do things is technology. Iskandar
Alisyahbana (1980, hlm. 1) merumuskan lebih jelas dan lengkap tentang
teknologi, Teknologi ialah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan bantuan alat dan akal (hardware dan software) sehingga seakan-
akan memperpanjang, memperkuat, atau membuat lebih ampuh anggota tubuh,
pancaindera, dan otak manusia.
Sebenarnya sejak dahulu, teknologi sudah ada atau manusia sudah
menggunakan teknologi. Kalau manusia zaman dulu memecahkan kemiri dengan
batu atau memetik buah dengan galah, sesungguhnya mereka sudah menggunakan
teknologi yaitu teknologi sederhana. Mengapa manusia menggunakan teknologi,
karena manusia berakal. Dengan akalnya itu ia ingin hidup lebih baik, lebih
mudah, lebih aman, lebih sejahtera.
Penemuan teknologi pertama yang cukup penting adalah teknologi api.
Dengan teknologi ini manusia mendapatkan penerangan pada malam hari, bisa
menghangatkan badan, dan mengolah berbagai bahan makanan. Ilerkat api,
makanan menjadi lebih lunak, lebih lezat, dan lebih sehat. Ienemuan teknologi api
mendasari pengembangan teknologi lain pada masa-masa berikutnya, umpamanya
teknologi penerangan, teknologi pemadam kebakaran, teknologi pembuangan
asap, dan yang paling penting dan banyak mendasari pengembangan teknologi
lebih lanjut adalah teknologi logam. Dengan teknologi api, bijih timah, besi,
mangan, lembaga, perak, mas, dan lain-lain, dapat diolah menjadi batangan
kemudian diolah lebih lanjut menjadi berbagai alat kebutuhan manusia.
pengembangan suatu teknologi sering berdampak negatif, karena itu perlu Iemuan
teknologi lain untuk mengatasinya, seperti teknologi untuk mengatasi kebakaran,
mengurangi polusi, dan sebagainya.
Teknologi penting lain yang ditemukan selanjutnya adalah teknologi
pertanian. Dengan teknologi ini, manusia membudidayakan bermacam- macam
tanaman dan binatang yang sebelumnya tumbuh liar di alam bebas. Teknologi ini
memberikan kesejahteraan kepada manusia karena hasil pertanian lebih banyak
dan mudah didapat. Teknologi budidaya ini mampu mengubah pola hidup
berpindah-pindah menjadi menetap. Karena manusia hidup menetap, mereka
berkumpul, kemudian berkembang tambah banyak, maka terbentuklah masyarakat
dengan berbagai aturan dan sistem kehidupan sosial.
Perkembangan teknologi lain yang sangat penting dan banyak membawa
perkembangan pada teknologi lain adalah teknologi industri. Mulanya teknologi
ini berkembang secara individual dalam lingkungan kecil dan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri, kemudian berkembang menjadi kongsi ditujukan
untuk memenuhi lingkungan yang makin meluas sampai bersekala ekspor.
Penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan mempercepat pertumbuhan
teknologi industri.
Perkembangan yang begitu cepat pada beberapa dekade terakhir adalah
perkembangan teknologi transportasi, teknologi komunikasi dan informatika, serta
teknologi media cetak. Perkembangan teknologi industri transportasi berkembang
pesat, baik transportasi darat, laut, maupun udara. Berbagai jenis alat transportasi
yang bermutu tinggi dengan perlengkapan mutakhir telah tersedia, memungkinkan
orang dan barang bisa berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan mudah
dan cepat. Jarak geografis tidak menjadi hambatan lagi untuk hubungan
antarorang, antarkelompok, dan antarbangsa. Perkembangan alat transportasi
bukan hanya ditujukan untuk mobilitas orang dan barang, melainkan untuk
kepentingan penelitian dan penemuan-penemuan teknologi lebih lanjut. Alat
transportasi yang banyak mendapat perhatian dari negara-negara maju adalah
pesawat angkasa luar. Pengembangan teknologi angkasa luar ini, bukan saja
membuktikan bahwa manusia bisa ke luar dari orbit bumi, menuju planet lain,
tetapi juga bisa menempatkan berbagai satelit untuk memantau apa yang terjadi di
bumi dan memperlancar komunikasi antardaerah di bumi.
Perkembangan teknologi terbesar dalam pertengahan abad ke-20
berkenaan dengan penjelajahan angkasa luar. Peluncuran Sputnik I tahun 1958
oleh Uni Soviet (sebelum bubar - red) menarik banyak masyarakat dunia, dan
merupakan awal babak baru dalam bidang angkasa luar. Program penerbangan
angkasa luar Amerika Serikat yang dimulai dengan Mercury 1962, Gemini 1963-
1965, Apollo yang dimulai tahun 1964 berhasil mendaratkan para astronot di
bulan. Uni Soviet dengan program Soyus-nya selalu berlomba dengan Amerika
Serikat dalam menjelajahi angkasa luar.
Eropa Barat juga tak mau kalah dalam pengembangan teknologi angkasa
luar, dengan program Arian-nya yang dimotori oleh Perancis. Arian berhasil
menempatkan sejumlah satelit negara-negara Eropa dan beberapa negara lain,
termasuk Indonesia yang berhasil mengorbitkan Palapa C2 pada tahun 1996 pada
posisi yang direncanakan. Setelah berhasil dengan Apollo, Amerika Serikat
melaksanakan program Voyager. Voyager mengangkasa sejauh 680 juta kilometer
dari bumi dan berhasil mendapatkan data gambar dan bentuk lain dari planet
Yupiter. Voyager II yang akan menyusul Voyager I akan meneruskan
penerbangan ke Saturnus dan ken-Indian keluar dari tata surya kita. Pada tahun-
tahun terakhir, Amerika Serikat mengembangkan program Challenger kemudian
Discovery dengan pesawat clang-aliknya walupun pernah mengalami kegagalan,
tetapi basil hasil van); dieapainya luar biasa. Dengan kemajuan teknologi angkasa
luar ini, manusia berhasil meneliti planet- planet yang paling jauh bukan dengan
renungan atau spekulasi atau peneropongan, melainkan dengan pesawatpesawat
yang berawak manusia. Penerbangan angkasa luar bukan hanya ditujukan untuk
meneliti planet-planet luar, juga digunakan untuk meneliti dan membuat beberapa
peralatan bagi kepentingan bumi. Melalui penggunaan berbagai satelit, diadakan
berbagai pengamatan dan penelitiaan tentang bumi. Umpamanya pengamatan dan
penelitian daerahdaerah yang mengandung minyak atau bahan-bahan mineral,
masalah arus laut, cuaca, dan iklim. Satelit merupakan sarana komunikasi massa,
telekomunikasi, dan internet.
Temuan-temuan di bidang fisika, kimia, dan matematika mengembangkan
teknologi ruang angkasa dan kemiliteran. Perkembangan teknologi di bidang
kemiliteran bukan hanya menghasilkan teknologi senjatasenjata biasa, juga
teknologi senjata mutakhir, peluru kendali antarbenua, misil, born hidrogen, born
nuklir, dan lain-lain, merupakan perkembangan teknologi yang banyak
menimbulkan ancaman dan kekhawatiran manusia.
Teknologi lain yang perkembangannya sangat cepat pada beberapa dekade
terakhir adalah teknologi komunikasi dan informatika. Teknologi ini berkembang
sangat pesat berkat temuan-temuan di bidang eletronika. Perkembangan radio dan
televisi telah membuka bagian-bagian dunia yang terbelakang menjadi daerah
terbuka karena arus informasi. Apa yang terjadi di suatu daerah atau negara,
dalam waktu beberapa menit, sudah dapat diketahui oleh orang-orang di bagian
dunia lainnya.
Selain kemajuan di bidang komuniksi massa, kemajuan bidang
telekomunikasi pun mengalami kemajuan yang begitu pesat. Kemajuan di bidang
telepon, faksimil, yang dikombinasikan dengan kemajuan di bidang komputer,
menghasilkan sistem komunisikasi gaya baru, internet. Dengan komunikasi
massa, kita hanya bisa memperoleh informasi yang disiarkan, artinya sangat
bergantung pada jam siar. Tetapi dengan internet, jam siar ini hilang. Orang bisa
memperoleh hampir semua informasi dari setiap negara tanpa dibatasi waktu.
Oleh karena itu, dewasa ini dunia disebut dunia global, sebab dengan perantaraan
komunikasi massa dan komunikasi batas-batas pemisah antarnegara dan antar
daerah menjadi hilang. Melalui internet, setiap saat orang bisa masuk, tanpa
permisi, ke Library of Congres Amerika Serikat, ke Gedung Putih, bahkan ke
Pentagon.
Teknologi media cetak, walaupun jangkauan dan kecepatan sebarannya
tidak seluas dan secepat komunikasi massa dan telekomunikasi, mempunyai
keunggulan sendiri. Penemuan alat-alat cetak modern, dengan kemampuan cetak
yang sangat cepat, telah menghasilkan barang cetakan, seperti buku, majalah, dan
surat kabar, yang bermutu tinggi. Barang- barang cetakan ini bisa
didokumentasikan untuk waktu yang lama, kalau bahannya cukup baik, tahan
sampai ratusan tahun. Untuk dokumentasi- dokumentasi yang menggunakan
tempat terlalu besar, sekarang ada teknologi microfilm dan microfiche untuk
mengecilkannya.
Dalam bahasan tentang perkembangan teknologi pada awal bagian ini,
banyak dikemukakan contoh-contoh perkembangan teknologi yang berbentuk
material. Sesungguhnya teknologi tidak hanya menyangkut halhal material, tetapi
juga yang immaterial, konsep, kaidah, pendekatan, sistem kerja, dan pola
hubungan.
Santoso S. Hamijoyo (1975, hlm. 2) membedakan teknologi tersebut
menjadi teknologi jenis hardware, software, dan hubungan antarorang.
1. Transformasi teknologi
Pengembangan ilmu dan teknologi tidak berarti harus mencari dan
menemukan sendiri serta harus mulai dari awal. Apabila cara itu ditempuh, akan
banyak waktu terbuang dan kita akan semakin jauh tertinggal. Cara yang lebih
tepat dan memungkinkan untuk mengejar ketinggalan adalah dengan transformasi
teknologi. Transformasi teknologi merupakan suatu proses pengalihan, penerapan,
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara teratur (B.J. Habibie,
1983). Proses pengalihan tidak berarti mengambil dan menerapkan teknologi,
seperti keadaan aslinya di negara yang mengembangkannya, tetapi mencakup juga
penyesuaian, modifikasi, dan pengembangannya lebih lanjut.
Menurut B.J. Habibie (1983), ada lima prinsip yang menjadi pegangan
dalam transformasi teknologi (industri): 1) perlu diselenggarakan pendidikan dan
pelatihan di dalam dan luar negeri untuk menyiapkan para pelaku transformasi; 2)
perlu dikembangkan konsep yang jelas dan realistic tentang masyarakat yang akan
dibangun serta teknologi-teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya; 3)
teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan, dan dikembangkan lebih lanjut jika
benar-benar diterapkan; 4) bangsa yang ingin mengembangkan diri secara
teknologis harus berusaha sendiri memecahkan setiap masalahnya; 5) pada tahap-
tahap awal transformasi, setiap negara harus melindungi perkembangan
kemampuan nasionalnya, hingga saat tercapainya kemampuan bersaing secara
internasional.
Transformasi teknologi tidak bisa dilakukan secara serempak dan langsung
pada tahap akhir, disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan kemampuan. Ada
tiga tahap penting transformasi teknologi menurut B.J. Habibie (1983). Tahap
pertama, penggunaan teknologi yang ada digunakan untuk proses nilai tambah
produksi barang di pasaran. Teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk
mengubah bahan baku atau barang setengah jadi menjadi barang-barang yang
bernilai jual lebih tinggi. Proses ini disebut proses nilai tambah.
Tahap kedua, tahap integrasi teknologi digunakan untuk desain dan
produksi barang baru. Pada tahap ini dikembangkan desain dan cetak biru
sehingga ada elemen baru, elemen penciptaan.
Tahap ketiga, adalah tahap pengembangan teknologi itu sendiri. Dalam
tahap ini teknologi-teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut, begitupun
teknologi baru. Tahap ini merupakan tahap dilaksanakannya inovasi-inovasi,
diciptakannya teknologi untuk komponen produk-produk teknologi terbaik dalam
bidang masing-masing.
Tahap keempat, adalah tahap pelaksanaan penelitian dasar secara besar-
besaran. Tahap ini penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi
kendala keuangan, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana. Oleh karena
itu, banyak negara berkembang melakukan penelitian dasar melalui perjanjian
kerja sama dengan negara-negara maju di bidang ilmu dan teknologi.
2. Perkembangan teknologi di Indonesia
Perkembangan teknologi terjadi di mana-mana, asal manusia meng-
gunakan alat dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Sejak lama teknologi di Indonesia berkembang, tetapi yang dikembangkannya
adalah teknologi sederhana. Dalam beberapa hal mungkin dikembangkan
teknologi madya, namun jumlahnya masih terbatas. Perkembangan teknologi
tinggi yang cukup pesat terjadi pada masa pembangunan, sejak dilaksanakannya
Pelita I. Perkembangan teknologi ini diawali dengan diluncurkannya Sistem
Komunikasi Satelit Domestik Palapa Al, yang sekarang sudah mencapai generasi
C2. Pada mulanya, pemanfaatan satelit ini terbatas pada bidang komunikasi massa
dan jangkauannya terbatas pada beberapa wilayah saja. Dewasa ini pemanfaatan
satelit tersebut semakin luas, misalnya untuk kepentingan telekomunikasi dan
jaringan internet, dengan jangkauan bukan hanya negara-negara ASEAN dan
negara-negara di sekitar Indonesia.
Perkembangan teknologi yang lebih terencana dan terarah tampaknya
dimulai setelah B.J. Habibie menjabat sebagai menteri sekaligus pemikiran
pemimpin pengembangan teknologi di Indonesia. Di bawah pimpinan Habibie
pengembangan teknologi benar-benar bertolak dari kondisi dan karakteristik
wilayah dan kebutuhan pembangunan Indonesia. Pengemkmgan teknologi
diarahkan bukan hanya pada kepentingan kemajuan ekonomi, melainkan juga
pada kepentingan politik (integritas bangsa), social budaya, serta aspek-aspek lain.
Menurut B.J. Habibie (1983), ada delapan wahana transformasi yang menjadi
prioritas pengembangan teknologi terutama teknologi industri, yaitu: 1) industri
pesavvat terbang, 2) industri maritim dan perkapalan, 3) industri alat-alat
transportasi darat, laut, dan udara, 4) industri elektronika dan telekomunikasi, 5)
industri energi, 6) industri rekayasa, 7) industri alat- alat dan mesin-mesin
pertanian, dan 8) industri pertahanan dan keamanan.
Indonesia juga telah memiliki pusat-pusat pengembangan ilmu dan
teknologi. Pusat pengembangan terbesar adalah Pusat Pengembangan Penelitian
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Tanggerang, Jawa Barat. Pusat
pengembangan ini memiliki bidang dan fasilitas yang sangat lengkap. Ada
sejumlah laboratorium yang dimiliki Puspitek, antara lain: laboratorium uji
konstruksi; laboratorium aerodinamika, gas dinamika, dan getaran; laboratorium
termodinamika elan propulsi; laboratorium teknologi proses; laboratorium fisika;
laboratorium kimia; laboratorium kalibrasi dan instrumentasi; laboratorium
energi; laboratorium metalurgi; serta reaktor penelitian serba guna dengan
beberapa laboratorium penunjangnya.
Untuk pengkajian dan penerapan teknologi, Indonesia mempunyai badan
khusus, yaitu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang
kepemimpinannya dirangkap oleh Menteri Riset dan Teknologi. Lembaga lain
yang juga mengadakan pengkajian tentang ilmu pengetahuan adalah Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jauh sebelum didirikan Puspitek dan BPPT,
Indonesia juga memiliki pusat penelitian astronomi di Lembang, Bandung, lebih
dikenal dengan nama Peneropong Bintang. Di bidang tenaga atom, Indonesia
memiliki dua pusat reaktor atom, yaitu Pusat Reaktor Atom Bandung dan Pusat
Reaktor Atom Kartini di Yogyakarta.
Perguruan tinggi juga berperan dalam pengkajian dan pengembangan ilmu
dan teknologi sebagai realisasi dari salah satu tridharmanya, yaitu dharma
penelitian. Walaupun tahap pengembangannya belum sama, fungsi penelitian dan
pengembangan pada perguruan tinggi telah berjalan. Ada beberapa perguruan
tinggi yang terkemuka dan ada pula perguruan tinggi yang masih miskin dengan
penelitian dan pengembangan yang berarti. Beberapa perguruan tinggi yang cukup
maju dalam penelitian dan pengembangan adalah Universitas Indonesia untuk
bidang kedokteran dan ekonomi; Institut Pertanian Bogor untuk bidang pertanian,
kehutanan, dan peternakan; Institut Teknologi Bandung untuk bidang rekayasa
dan teknologi; Universitas Padjadjaran, Universitas Gajah Mada, dan Universitas
Airlangga untuk bidang ekonomi.
B. Kurikulum Humanistik
1. Konsep dasar
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan
humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi
(personalized education) yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J.
Rousseau (Romantic Education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama
kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang
pertama dan utama dalam pendidikan. la adalah subjek yang menjadi pusat
kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya
kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga
berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu
kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang
utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi,
sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang
lebih menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru.
Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu
upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi
tersebut anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Menurut Mc Neil
"The nezv humanists are self actualizers who see curriculum as a liberating
process that can meet the need for growth and personal integrity (John D. Mc
Neil, 1977, hlrn. 1). Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan
mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa
(mendorong siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu.
Tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang
termasuk dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan: Konfluen, Kritikisme
Radika I, dan Mistikisme modern.
Pendidikan konfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harus
merespons secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap
kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan.
Kritikisme radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme
Rousseau. Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak
menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya.
Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi yang memungkinkan
anak berkembang optimal. Pendidik adalah ibarat petani yang berusaha
menciptakan tanah yang gembur, air dan udara yang •ukup, terhindar dari
berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan berbagai potensi.
Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan
rangsangan untuk berkembang
Mistikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan
pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity
training, yoga, meditasi, dan sebagainya.
2. Kurikulurn konfluen
Kurikulum konfluen dikembangkan oleh para ahli pendidikan konfluen,
yang ingin menyatukan segi-segi afektif (sikap, perasaan, nilai) dengan segi-segi
kognitif (kemampuan intelektual). Pendidikan konfluen kurang menekankan
pengetahuan yang mengandung segi afektif). Menurut mereka kurikulum tidak
menyiapkan pendidikan tentang sikap, perasaan, dan nilai yang harus dimiliki
murid-murid. Kurikulum hendaknya mempersiapkan berbagai alternatif yang
dapat dipilih murid-murid dalam proses bersikap, berperasaan dan memberi
pertimbangan nilai. Murid-murid hendaknya diajak untuk menyatakan pilihan dan
mempertanggungjawabkan sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan pertimbangan-
pertimbangan nilai yang telah dipilihnya.
c. Organisasi Indian ajar. Bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung
penguasaan sesuatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar
dirinci menjadi bagian-bagian atau subkompetensi yang lebih kecil, yang
rnenggambarkan objektif. Urutan dari objektifobjektif ini pada dasarnya
menjadi inti organisasi bahan.
d. Evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu
pelajaran, suatu unit ataupun semester. Fungsi evaluasi ini bermacam-
macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan
suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir
suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan
balik bagi guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan
kurikulum. Evaluasi yang mereka gunakan umumnya berbentuk tes objektif.
Sesuai dengan landasan pemikiran mereka, bahwa model pengajarannya
menekankan sifat ilmiah, bentuk ini tes dipandang yang paling cocok.
Program pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan
efektivitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji coba dengan
sampel-sampel dari suatu populasi yang sesuai, direvisi beberapa kali sampai
standar yang diharapkan dapat dicapai. Dengan model pengajaran ini tingkat
penguasaan siswa dalam standar konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan model-model lain. Apalagi kalau digunakan program-program yang lebih
berstruktur seperti pengajaran berprogram, pengajaran modul atau pengajaran
dengan bantuan video dan komputer, yang dilengkapi dengan sistem umpan balik
dan bimbingan yang teratur dari dapat mempercepat dan meningkatkan
penguasaan siswa.
Meskipun memiliki kelebihan-kelebihan, kurikulum teknologis tidak
terlepas dari beberapa keterbatasan atau kelemahan. Model ini terbatas
kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan
penguasaan tingkat tinggi (analisis, sintetis, evaluasi) juga bahan-bahan ajar yang
bersifat afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk
mentransfer hasil belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar untuk dapat
melayani bakat-bakat siswa belajar dengan metode-metode khusus. Metode
mengajar mereka cenderung seragam. Keberhasilan belajar siswa juga sangat
dipengaruhi oleh sikap mereka, bila sikapnya positif maka siswa akan berhasil,
tetapi bila sikapnya negatif, tingkat penguasaannya pun relatif rendah. Masalah
kebosanan juga berpengaruh terhadap proses belajar.
2. Pengembangan kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum model lama, menurut para ahli teknologi
pendidikan, penyusunan kurikulum, penyusunan buku-buku serta perangkat
kurikulum lainnya lebih bersifat seni dan didasarkan atas kepentingan politik
daripada landasan-landasan ilmiah dan teknologis. Pengembangan kurikulum
diarahkan pada pencapaian nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah dan
keterampilan yang akan menjadi isi kurikulum disusun dengan fokus pada nilai-
nilai tadi.
Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada beberapa kriteria,
yaitu: 1) Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh
pengembang kurikulum yang lain, 2) Hasil pengembangan terutama yang
berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang, dan hendaknya memberikan
hasil yang sama.
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada
kompetensi. Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan
hanya sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan
pada penguasaan kompetensi tertentu.
Pengembangan kurikulum ini membutuhkan kerjasama dengan para
penyusun program dan penerbit media elektronik dan media cetak. Di pihak lain
harus dicegah jangan sampai pengembangan kurikulum ini menjadi objek bisnis.
Pengembangan pengajaran yang betul-betul berstruktur dan bersatu dengan alat
dan media membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Inilah hambatan utama
pengembangan kurikulum ini, terutama bagi sekolah atau daerah-daerah yang
kemampuan finansialnya masih rendah.
Pemecahan masih dapat dilakukan dengan menerapkan model kurikulum
teknologis yang lebih menekankan pada teknologi sistem dan kurang menekankan
pada teknologi alat. Dengan pendekatan ini biaya dapat lebih ditekan, di samping
memberi kesempatan kepada pelaksana pengajaran, terutama guru-guru untuk
mengembangkan sendiri program pengajarannya. Model ini di Indonesia dikenal
dengan nama Satuan Pelajaran dalam lingkungan Pendidikan Dasar dan
Menengah atau Satuan Acara Perkuliahan pada Perguruan Tinggi, sebagai
bagman dari. Sistem Instruksional atau Desain Instruksional.
Pengembangan kurikulum teknologis terutama yang menekankan
teknologi alat, perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, formulasi perlu
dirumuskan terlebih dahulu apakah pengembangan alat atau media tersebut benar-
benar diperlukan. Hal ini menyangkut pasaran. Kedua spesifikasi, diperlukan
adanya spesifikasi dari alat atau media yang akan dikembangkan, baik dilihat dari
segi kegunaannya maupun ketepatan penggunaannya.
Spesifikasi juga meliputi spesifikasi situasi lingkungan tempat belajar,
standar perilaku belajar, serta keterampilan-keterampilan untuk mencapai tujuan.
Ketiga prototipe, sekuens-sekuens pengajaran perlu diujicobakan dalam bentuk
prototipe-prototipe, demikian juga format-format media, dan organisasi. Keempat
percobaan pertama, unit-unit pengajaran diujicobakan pada sejumlah sampel
siswa untuk mengetahui keberhasilan dan kelemahannya. Data tentang kebaikan
dan kekurangan-kekurangan sangat diperlukan bagi penyempurnaan. Kelima
mencoba hasil, hasil dari pengembangan dicoba diterapkan di dalam sistem
pengajaran yang berlaku. Proses pelaksanaan, hasil dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi dicatat sebagai umpan balik bagi penyempurnaan selanjutnya.
E. Buku Acuan
Brown, George Isaac (ed). (1975). The Live Classroom. New York: The
Viking Press.
Buku ini menguraikan pendidikan dan pengajaran yang didasarkan atas
teori Gestalt, yang disebut Confluent Education. Dengan pendekatan ini mereka
ingin memperbaiki pelaksanaan yang mereka sebut sebagai kelas yang mati.
Suasana kelas dapat dihidupkan melalui pelaksanaan Confluent Education, sebab
dalam pendekatan ini faktor afektif mendapatkan tempat yang sama dengan faktor
kognitif. Dalam buku ini para penulis tidak hanya menguraikan segi-segi teoretis,
tetapi juga dilengkapi dengan ilustrasi dalam praktik. Dengan Confluent
Education bukan saja kelas menjadi lebih hidup, tetapi perkembangan yang
menyeluruh dari pribadi anak dapat tercapai, sehingga perkembangannya lebih
optimal. Buku ini sangat berfaidah bagi para pendidik, ahli kurikulum dan
pengajaran, serta para guru di sekolah. Pokok-pokok yang diuraikan dalam buku
ini meliputi, dasar-dasar teori Gestalt, konsep-konsep Confluent Education,
contoh-contoh rencana serta pelaksanaan pelajarannya.
Gilchrist, Robert S. & Roberts, Bernice B. (1974). Curriculum Development: A
Humanized System Approach. Belmont California: A Phi Delta Kappa Book.
Apa yang dikupas dalam buku ini, merupakan reaksi dan sekaligus ingin
memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan yang ada umumnya
kurang memperhatikan kebutuhan siswa dan kurang melibatkan partisipasi guru
dan siswa. Sistem pendidikan, kurikulum, buku, alat pelajaran dan lain-lain,
umumnya ditentukan oleh pihak lain, pemegang kebijaksanaan pendidikan, suatu
komisi dan sebagainya, tanpa melibatkan siswa dan guru. Pengajaran bersifat
mekanis dan satu komponen terlepas dari komponen lainnya. Melihat kelemahan-
kelemahan di atas para penulis melalui buku ini ingin memperbaikinya. Perbaikan
tersebut bertolak dari pendekatan humanisme, suatu pandangan pendidikan yang
menekankan kebutuhan perkembangan pribadi siswa seutuhnya. Segi afektif
berjalan sejajar dengan segi kognitif dan psikomotor. Dalam buku ini secara
sistematis dikemukakan; hakikat manusia, nilai dan tujuan perkembangan
manusia; bagaimana mengorganisasi pendidikan sehingga tercipta kegia tan
belajar yang efektif, bagaimana mempersiapkan dan melaksanakan pengajaran
yang efektif dan terakhir bagaimana mengembangkan sistem sekolah yang bersifat
humanistik. Buku ini sangat berguna bagi perencana dan pelaksana kurikulum dan
pengajaran.
BAB 6
ANATOMI DAN DESAIN KURIKULUM
Pada bab-bab sebelum ini telah dikemukakan bahwa terdapat variasi dalam
mendepinisikan kurikulum. Ada yang memandangnya secara sempit, yaitu
kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Ada yang
mengartikannya secara luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa
karena pengarahan-bimbingan dan tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga
diartikan sebagai dokumen tertulis dari suatu rencana atau program pendidikan
(written curriculum), dan juga sebagai pelaksanaan dari rencana di atas (actual
curriculum). Tidak semua yang ada dalam kurikulum tertulis, kemungkinan
dilaksanakan di kelas.
Kurikulum dapat mencakup lingkup yang sangat luas, yaitu sebagai
program pengajaran pada suatu jenjang pendidikan, dan dapat pula menyangkut
lingkup yang sangat sempit, seperti program pengajaran suatu mata pelajaran
untuk beberapa jam pelajaran. Apakah dalam lingkup yang luas ataupun sempit,
kurikulum membentuk desain yang menggambarkan pola organisasi dari
komponen-komponen kurikulum dengan perlengkapan penunjangnya.
A. Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun
binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-
komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau
materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat
komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini
meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan,
kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian
antarkomponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses
sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan
tujuan kurikulum.
Telah dikemukakan bahwa, dalam kurikulum atau pengajaran, tujuan
memegang peranan penting, akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan
mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum
dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan dan
kondisi masyarakat. Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada
pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara. Kita mengenal beberapa
kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum dan khusus, jangka panjang,
menengah, dan jangka pendek.
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah 1975/1976 dikenal
kategori tujuan sebagai berikut. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan
jangka panjang, tujuan ideal pendidikan bangsa Indonesia. Tujuan institusional,
merupakan sasaran pendidikan sesuatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler,
adalah tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu program studi. Tujuan instruksional
yang merupakan target yang harus dicapai oleh sesuatu mata pelajaran. Yang
terakhir ini, masih dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum dan khusus atau
disebut juga objektif, yang merupakan tujuan pokok bahasan. Tujuan pendidikan
nasional yang berjangka panjang merupakan suatu tujuan pendidikan umum,
sedangkan tujuan isntruksional yang berjangka waktu cukup pendek merupakan
tujuan yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan khusus dijabarkan dari sasaran-sasaran
pendidikan yang bersifat umum yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaran-
sasaran khusus yang lebih konkret, sempit, dan terbatas.
Dalam kegiatan belajar-mengajar di-dalam kelas, tujuan-tujuan khusus
lebih diutamakan, karena lebih jelas dan mudah pencapaiannya. Dalam
mempersiapkan pelajaran, guru menjabarkan tujuan mengajarnya dalam bentuk
tujuan-tujuan khusus atau objectives yang yang bersifat operasional. Tujuan
demikian akan menggambarkan "what will the student he able to do as a result of
the teaching that he was unable to do before" (Rowntree, 1974: 5). Mengajar
dalam kelas lebih menekankan tujuan khusus, sebab hal itu akan dapat
memberikan gambaran yang lebih konkret, dan menekankan pada perilaku siswa,
sedang perumusan tujuan umum lebih bersifat abstrak, pencapaiannya
memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sukar diukur.
Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan
perilaku yang menjadi sasarannya. Gage dan Briggs mengemukakan lima kategori
tujuan, yaitu intellectual skills, cognitive strategies, verbal information, motor
skills and attitudes (1974, hlm. 23-24). Bloom mengemukakan tiga kategori
tujuan mengajar sesuai dengan domain-domain perilaku individu, yaitu domain
kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan
kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir. Domain afektif berkenaan
dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai.
Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan pengembangan keterampilan-
keterampilan motorik.
Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang
berbeda-beda. Bloom, (1975) membagi domain kognitif atas enam tingkatan dari
yang paling rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi. Untuk domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan (1974)
membaginya atas lima tingkatan yang juga berjenjang, yaitu: menerima,
merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan karakterisasi nilai-nilai. Untuk
domain psikomotor Anita Harrow (1971) membaginya atas enam jenjang, yaitu:
gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati, kecakapan
jasmaniah, gerakan-gerakan keterampilan dan komunikasi yang
berkesinambungan.
Perumusan tujuan mengajar yang berbentuk tujuan khusus (objective),
memberikan beberapa keuntungan:
a. Tujuan khusus memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan
mengajar-belajar kepada siswa. Berdasarkan penelitian Mager dan Clark
(1963) siswa yang mengetahui tujuan-tujuan khusus suatu pokok bahasan,
diberikan referensi dan sumber yang memadai, dapat belajar sendiri dalam
waktu setengah dari waktu belajar dalam kelas biasa.
b. Tujuan khusus, membantu memudahkan guru-guru memilih dan
menyusun bahan ajar.
c. Tujuan khusus memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media
mengajar.
d. Tujuan khusus memudahkan guru mengadakan penilaian. Dengan tujuan
khusus guru lebih mudah menentukan bentuk tes, lebih mudah
merumuskan butir tes dan lebih mudah menentukan kriteria pen-
capaiannya.
Di samping keuntungan-keuntungan di atas pengembangan tujuantujuan
mengajar yang bersifat khusus menghadapi beberapa kesukaran, yaitu: 1) Sukar
menyusun tujuan-tujuan khusus untuk domain afektif, 2) Sukar menyusun tujuan-
tujuan khusus pada tingkat tinggi. Untuk mengatasi kedua kesukaran di atas
diperlukan keahlian, latihan dan pengalaman yang mencukupi dari guru-guru.
Kekurangan keahlian, latihan dan pengalaman akan membawa guru-guru pada
perumusan tujuan-tujuan yang bertaraf rendah, yang mudah diukur. Kelemahan di
atas akan menyebabkan penyusunan tujuan-tujuan khusus bersifat mekanistis,
dengan jumlah tujuan yang sangat banyak. Bagaimana perumusan sesuatu tujuan
khusus atau objective yang baik?
Beberapa ahli seperti Mager (1962), Banathy (1968), Rowntree (1974),
Gagne (1974), De Cecco (1977) dan Davies (1981) sepakat bahwa, tujuan khusus
merupakan suatu perilaku yang diperlihatkan siswa pada akhir suatu kegiatan
belajar. Ahli-ahli di atas juga memberikan beberapa spesifikasi dari tujuan-tujuan
mengajar khusus, yaitu:
a. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh siswa, dengan:
1) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang dapat
diamati, 2) menunjukkan stimulus yang membangkitkan tingkah laku siswa,
3) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan
siswa dan orang-orang yang dapat diajak bekerjasama.
b. Menunjukkan mutu tingkah laku yang diharapkan dilakukan oleh siswa,
dalam bentuk: 1) ketepatan atau ketelitian respons, 2) kecepatan, panjangnya
dan frekeunsi respons.
c. Menggambarkan kondisi atau lingkungan yang menunjang tingkah laku
siswa, berupa: 1) kondisi atau lingkungan fisik, 2) kondisi atau lingkungan
psikologis.
2. Bahan ajar
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya, lingkungan
orang-orang, alat-alat dan ide-ide. Tugas utama seorang guru adalah menciptakan
lingkungan tersebut, untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif
dan memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan. Kegiatan dan lingkungan
demikian dirancang dalam suatu rencana mengajar, yang mencakup komponen-
komponen: tujuan khusus, sekuens bahan ajaran, strategi mengajar, media dan
sumber belajar, serta evaluasi hasil mengajar. Karena perumusan tujuan khusus
strategi, dan evaluasi hasil mengajar dibahas secara tersendiri, maka dalam bagian
ini yang akan diuraikan hanya sekuens bahan ajar.
3. Strategi mengajar
Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat dengan strategi atau
metode mengajar. Pada waktu guru menyusun sekuens suatu bahan ajar, is juga
harus memikirkan strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan
ajar dengan urutan seperti itu.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree
(1974: 93-97) membagi strategi mengajar itu atas Exposition - Discovery
Learning dan Groups - Individual Learning. Ausubel and Robinson (1969 : 43-45)
membaginya atas strategi Reception Learning- Discovery Learning dan Rote
Learning- Meaningful Lerning.
a. Reception/Exposition Learning - Discovery Learning.
Reception dan exposition sesungguhnya mempunyai makna yang sama,
hanya berbeda dalam pelakunya. Reception learning dilihat dari sisi siswa
sedangkan exposition dilihat dari sisi guru. Dalam exposition atau reception
learning keseluruhan bahan ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir
atau bentuk jadi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Siswa tidak dituntut
untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya. Dalam
discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam hentuk akhir, siswa dituntut
untuk melakukan berbagai kegiatan flienghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta
membuat kesimpulankosimpulan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa akan
menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi
dirinya.
b. Rote learning - Meaningful Learning.
Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa
memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar
dengan menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian bahan
mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausubel and Robinson (1970: 52-
53) sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang
ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas fakta-fakta, data, konsep, proposisi,
dalil, hukum dan teori-teori yang telah dikuasai siswa sebelumnya, yang tersusun
membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. Lebih lanjut Ausubel and
Robinson menekankan bahwa reception-discovery learning dan rote-meaningful
learning dapat dikombinasikan satu sama lain sehingga membentuk 4 kombinasi
strategi belajar-mengajar, yaitu: a) meaningful-reception learning, b) rote-
reception learning, c) meaningful-discovery learning, dan d) rote-discovery
learning.
6. Penyempurnaan pengajaran
Hasil-hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi
pelaksanaan mengajar secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi
penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut. Komponen apa yang
disempurnakan, dan bagimana penyempurnaan tersebut dilaksanakan' Sesuai
dengan komponen-komponen yang dievaluasi, pada dasarnya semua komponen
mengajar mempunyai kemungkinan untuk disempurna kan. Suatu komponen
mendapatkan prioritas lebih dulu atau mendapatkan penyempurnaan lebih banyak,
dilihat dari peranannya dan tingkat kelemahannya (Rowntree, 1974: 150-151).
Penyempurnaan juga mungkin dilakukan secara langsung begitu didapatkan
sesuatu informasi umpan balik, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu
bergantung pada urgensinya dan kemungkinannya mengadakan penyempurnaan.
Penyempurnaan mungkin dilaksanakan sendiri oleh guru, tetapi dalam hal-hal
tertentu mungkin dibutuhkan bantuan atau saran-saran orang lain baik sesama
personalia sekolah atau ahli pendidikan dari luar sekolah. Penyempurnaan juga
mungkin bersifat menyeluruh atau hanya menyangkut bagian-bagian tertentu.
Semua hal tersebut bergantung pada kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi.
B. Desain Kurikulum
Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau
komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua
dimensi, yaitu dimensi horisontal dan vertikal. Dimensi horisontal berkenaan
dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering
diintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Dimensi vertikal
menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.
Bahan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit,
atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.
Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus pengajaran, sekurangkurangnya dikenal
tiga pola desain kurikulum, yaitu:
1. Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan
ajar.
2. Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan
peranan siswa.
3. Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-
masalah yang dihadapi dalam masyarakat.
Walaupun bertolak dari hal yang sama, dalam suatu pola desain terdapat
beberapa variasi desain kurikulum. Dalam subject centered design dikenal ada: the
subject design, the disciplines design dan the broad fields design. Pada problems
centered design dikenal pula the areas of living design dan the core design.
1. Subject centered design
Subject centred design curriculum merupakan bentuk desain yang paling
populer, paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design,
kurikulum dipusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum
tersusun atas sejumlah mata-mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut
diajarkan secara terpisah-pisah. Karena terpisahpisahnya itu maka kurikulum ini
disebut juga separated subject curriculum.
Subject centered desain berkembang dari konsep pendidikan klasik yang
menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya
untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau
bahan ajar atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini disebut juga
subject academic curriculum.
Model design curriculum ini mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan. Beberapa kelebihan dari model desain kurikulum ini adalah: 1)
mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan, 2) para pengajarnya
tidak perlu dipersiapkan khusus, asal menguasai ilmu atau bahan yang akan
diajarkan sering dipandang sudah dapat menyampaikannya. Beberapa kritik yang
juga merupakan kekurangan model desain ini, adalah: 1) karena pengetahuan
diberikan secara terpisah-pisah, hal itu bertentangan dengan kenyataan, sebab
dalam kenyataan pengetahuan itu merupakan satu kesatuan, 2) karena
mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik sangat pasif, 3) pengajaran
lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, dengan demikian
pengajaran lebih bersifat verbalistis dan kurang praktis. Atas dasar tersebut, para
pengkritik menyarankan perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis, dan
bermakna serta memberikan peran yang lebih a ktif kepada siswa.
2. Learner-centered design
Sebagai reaksi sekaligus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan
subject centered design berkembang learner centered design. Desain ini berbeda
dengan subject centered, yang bertolak dari cita-cita untuk melestarikan dan
mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan peranan isi dari
kurikulum.
Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam
pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik
sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar,
mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah suatu organisme yang punya potensi
untuk berbuat, berperilaku, belajar dan juga berkembang sendiri. Learner centered
design bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan
perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat,
kebutuhan dan tujuan peserta didik.
Ada dua ciri utama yang membedakan desain model learner centred
dengan subject centered. Pertama, learner centered design mengembangkan
kurikulum dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi. Kedua, learner
centered bersifat not-preplanned (kurikulum tidak diorganisasikan sebelumnya)
tetapi dikembangkan bersama antara guru dengan siswa dalam penyelesaian
tugas-tugas pendidikan. Organisasi kurikulum didasarkan atas masalah-masalah
atau topik-topik yang menarik perhatian dan dibutuhkan peserta didik dan
sekuensnya disesuaikan dengan tingkat perkembangan mereka.
Ada beberapa variasi model ini yaitu the activity atau experience design,
humanistic design, the open, free design, dan lain-lain. Pada tulisan ini akan
dikemukakan sebagian saja.
a. The Activity atau Experience Design
Model desain ini berawal pada abad 18, atas hasil karya dari Rousseau dan
Pestalozzi, yang berkembang pesat pada tahun 1920/1930-an pada masa kejayaan
Pendidikan Progresif.
Berikut beberapa ciri utama activity atau experience design. Pertama,
struktur kurikulum ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam
mengimplementasikan ciri ini guru hendaknya: a) Menemukan minat dan
kebutuhan peserta didik, b) Membantu para siswa memilih mana yang paling
penting dan urgen. Hal ini cukup sulit, sebab harus dapat dibedakan mana minat
dan kebutuhan yang sesungguhnya dan mana yang hanya angan-angan. Untuk itu
guru perlu menguasai benar perkembangan dan karakteristik peserta didik.
Kedua, karena struktur kurikulum didasarkan atas minat dan kebutuhan
peserta didik, maka kurikulum tidak dapat disusun jadi sebelumnya, tetapi disusun
bersama oleh guru dengan para siswa. Demikian juga tujuan yang akan dicapai,
sumber-sumber belajar, kegiatan belajar dan prosedur evaluasi, dirumuskan
bersama siswa. Istilah yang mereka gunakan adalah teacher-student planning.
Seperti dikemukakan oleh Smith, Stanley and Shores (1977: 274-1725) bahwa
tugas guru adalah:
... discovering students interest, guiding students in selection of interest, helping
groups and individuals to plan and carryout learning activi ties, and assisting
learners to appraise their experience. In short, the teacher must prepare in
advance to help learners decide what to to do, how to do it, and how to evaluate
the results.
Ketiga, desain kurikulum tersebut menekankan prosedur pemecahan
masalah. Di dalam proses menemukan minatnya peserta didik menghadapi
hambatan atau kesulitan-kesulitan tertentu yang harus diatasi. Kesulitankesulitan
tersebut menunjukkan problema nyata yang dihadapi peserta didik. Dalam
menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut, peserta didik melakukan
proses belajar yang nyata, sungguh-sungguh bermakna, hidup dan relevan dengan
kehidupannya. Berbeda dengan subject design yang menekankan isi, activity
design lebih mengutamakan proses (keterampilan memecahkan masalah).
Ada beberapa kelebihan dari desain kurikulum ini. Pertama, karena
kegiatan pendidikan didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, maka
motivasi belajar bersifat intrinsik dan tidak perlu dirangsang dari luar. Fakta-fakta,
konsep, keterampilan dan proses pemecahan dipelajari peserta didik karena hal itu
mereka perlukan. jadi belajar benar-benar relevan dan bermakna. Kedua,
pengajaran memperhatikan perbedaan individual. Mereka turut dalam kegiatan
belajar kelompok karena membutuhkannya, demikian juga kalau mereka
melakukan kegiatan individual. Ketiga, kegiatan-kegiatan pemecahan masalah
memberikan bekal kecakapan dan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan di
luar sekolah.
Beberapa kritik yang menunjukkan kelemahan dilontarkan terhadap model
desain kurikulum
Pertama, penekanan pada minat dan kebutuhan peserta didik belum tentu
cocok dan memadai untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan. Kehidupan
dunia modern sangat kompleks, peserta didik belum tentu mampu melihat dan
merasakan kebutuhan-kebutuhan esensial.
Kedua, kalau kurikulum hanya menekankan minat dan kebutuhan peserta
didik, dasar apa yang digunakan untuk menyusun struktur kurikulum. Kurikulum
tidak mempunyai pola dan struktur. Kedua kritik ini tidak semuanya benar, sebab
beberapa tokoh activity design telah mengembangkan struktur ini. Dewey dalam
sekolah laboratoriumnya menyusun struktur di sekitar kebutuhan manusia,
kebutuhan sosial, kebutuhan untuk membangun, kebutuhan untuk meneliti dan
bereksperimen dan kebutuhan untuk berekspresi dan keindahan.
Ketiga, activity design curriculum sangat lemah dalam kontinuitas dan
sekuens bahan. Dasar minat peserta didik tidak memberikan landasan yang kuat
untuk menyusun sekuens, sebab minat mudah sekali berubah karena pengaruh
perkembangan, kematangan dan faktor-faktor lingkungan. Beberapa usaha telah
dilakukan untuk mengatasi kelemahan ketiga ini: 1) usaha untuk menemukan
sekuens perkembangan kemampuan mental peserta didik, seperti perkembangan
kemampuan kognitif dari Piaget, 2) penelitian tentang pusat-pusat minat pada
berbagai tingkat usia. Penemuan tentang pusat-pusat minat yang lebih terinci
dijadikan dasar penyusunan sekuens kurikulum.
Keempat, kritik terhadap model desain kurikulum ini dikatakan tidak dapat
dilakukan oleh guru biasa. Kurikulum ini menuntut guru ahli general education
plus ahli psikologi perkembangan dan human relation. Model desain ini sulit
menemukan buku-buku sumber, karena buku yang ada disusun berdasarkan
subject atau discipline design. Kesulitan lain adalah apabila peserta didik akan
melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebab di perguruan tinggi digunakan
model subject atau discipline design.
C. Buku Acuan
Romiszowski, A.J. (1984). Producing Instructional Systems: Lesson
Planning for Individualized and Group Learning Activities. New York: Nichols
Publishing.
Sesuai dengan anak judulnya, buku ini mengupas rencana pelajaran, baik
yang bersifat individual maupun kelompok. Dalam rencana pelajaran individual
diuraikan: bagaimana menganalisis konsep-konsep yang akan diajarkan, struktur
dan sistem pengajaran individual, serta beberapa bentuk atau model sistem
pengajaran individual. Dalam rencana pengajaran kelompok dijelaskan desain
pengajaran yang bersifat makro dan mikro. Desain pengajaran yang bersifat
makro meliputi: analisis pengetahuan dan keterampilan, langkah-langkah
penyusunan desain pengajaran, serta beberapa contoh desain pengajaran dalam
bidang-bidang studi tertentu. Dalam desain pengajaran yang bersifat mikro
diuraikan: pemilihan dan penyusunan taktik-taktik pengajaran, struktur
pengetahuan dan analisisnya, struktur tingkah laku atau keterampilan, model-
model rencana pengajaran seperti simulasi, permainan, dan sebagainya serta
evaluasi pengajaran.
Knirk, Frederick G. & Gustafson, Kent L. (1986). Instructional Technology, A
Systematic Approach to Education. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Buku ini membahas dasar-dasar teori dan praktik teknologi instruksional.
Hal tersebut sangat diperlukan dalam menganalisis, merencanakan,
mengembangkan, mengevaluasi, serta mengelola pengajaran. Dalam buku ini
konsep-konsep dasar serta pengembangan dalam sistem instruksional diuraikan
dengan dengan jelas. Konsep tersebut meliputi pengajaran dan belajar, teori
belajar, pendekatan sistem, teknologi belajar, teknologi proses, serta
pengembangan dari masing-masing proses. Dalam konsep teknologi instruksional
diuraikan langkah-langkah umum pengembangan desain instruksional, yang
meliputi: tujuan instruksional, teori dan strategi belajar-mengajar. Dalam
pengelolaan pengajaran diuraikan pengembangan sarana dan prasarana belajar,
pemilihan dan penggunaan strategi belajar, evaluasi program serta penyebaran
inovasi pengajaran.
B. Isi Kurikulum
Pertanyaan yang selalu muncul pada para perencana pendidikan dan
pengembang kurikulum adalah, bahan apakah yang harus diajarkan kepada siswa,
dan apa tujuannya? Pertanyaan ini menyangkut isi kurikulum atau isi pengajaran.
Isi kurikulum atau pengajaran bukan hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan
atau kumpulan informasi, tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih
dan dibutuhkan, baik bagi pengetahuan itu sendiri maupun bagi siswa dan
lingkungannya.
Beberapa program pengembangan pendidikan, terutama pengembangan
kurikulum pada sekolah dasar dan menengah, telah dilakukan dengan
mengikutsertakan para sarjana, dosen, ahli-ahli pendidikan selain guru, dari
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka telah berusaha menyusun isi
kurikulum atau pengajaran, bukan saja didasarkan atas perkembangan ilmu
pengetahuan, tetapi juga disesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak dan
konsep-konsep modern tentang hakikat pengalaman belajar. Meskipun demikian
pertanyaan tentang karakteristik bahan yang akan diajarkan masih selalu timbul.
Ahli pendidikan, Jerome S. Bruner dari Amerika Serikat mencoba memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu dengan mengemukakan konsep struktur
bahan pengajaran. Pengembangan konsep ini tidaklah terjadi begitu saja, tetapi
dilatarbelakangi oleh keadaan dan perkembangan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah di Amerika Serikat.
Salah satu faktor yang mendorong diperlukannya pengembangan
kurikulum adalah karena perkembangan universitas di Amerika Serikat pada
pertengahan pertama abad 20 sangat menekankan pada pengembangan ilmu dan
penelitian. Hasil-hasil perkembangan ilmu dan penelitian hanya menjadi santapan
para sarjana dan cendekiawan. Anak-anak sekolah menengah, apalagi anak
sekolah dasar bahkan para mahasiswa tingkat persiapan tidak pernah memperoleh
pengetahuan tersebut. Para sarjana dan cendekiawan tidak pernah turut serta
dalam pengembangan kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah. Dengan
demikian, program sekolah kurang berbobot dan jauh ketinggalan dari
perkembangan ilmu pengetahuan tiekarang hal itu telah dapat diatasi, para sarjana
dan cendekiawan yang turut serta dalam penyusunan kurikulum dan perencanaan
program sekolah, menyiapkan buku teks serta berbagai media pendidikan.
Dewasa ini para ahli psikologi di Amerika Serikat, banyak yang mulai
beralih membahas masalah-masalah belajar di sekolah. Sayangnya perhatian para
ahli tersebut masih lebih banyak tercurah pada studi tentang bakat dan kecakapan,
serta aspek-aspek sosial dan psikologis dalam pendidikan, dan kurang
memperhatikan masalah struktur intelek dari kegiatan dalam kelas.
Dalam tujuan pendidikan di Amerika Serikat, ada dualisme yang
membutuhkan keseimbangan, yaitu antara kegunaan (useful), dengan keindahan
(ornamental). Sekolah diharapkan dapat mengajarkan semua yang berguna dan
semua yang indah. Pengertian berguna mengandung dua pengertian, pertama
dalam bentuk penguasaan keterampilan (skill), dan kedua pemahaman umum
(general understanding). Keterampilan merupakan kecakapan-kecakapan khusus
yang dikuasai seseorang. Keterampilan sangat berhubungan erat dengan profesi
seseorang. Pemahaman umum, merupakan penguasaan hal-hal yang berhubungan
erat dengan masalah kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga
masyarakat. Menyusun program pendidikan yang seimbang antara pendidikan
umum dengan pendidikan keterampilan sering cukup sukar.
Dewasa ini konsep proses belajar berangsur-angsur pindah dari
pemahaman umum pada penguasaan keterampilan khusus. Studi tentang transfer
belajar, dahulu berkenaan dengan disiplin-disiplin formal bagaimana menguasai
kemampuan analisis, sintesis, penilaian, dan sebagainya melalui berbagai bentuk
latihan, sekarang transfer lebih banyak berkenaan dengan latihan keterampilan
khusus. Akibatnya selama pertengahan pertama abad 20, sangat kurang penekanan
pada penguasaan struktur atau penguasaan pengetahuan secara menyeluruh.
Apa yang dimaksud dengan penguasaan struktur? Penguasaan struktur
merupakan pemahaman suatu bahan pelajaran secara menyeluruh dan penuh arti.
Belajar struktur adalah belajar secara keseluruhan (utuh), yakni hal-hal yang
saling berhubungan terintegrasi menjadi satu kesatuan. Penguasaan struktur dalam
penyusunan kalimat, umpamanya, memungkinkan anak dengan cepat menyusun
banyak kalimat didasarkan atas model struktur yang dipelajari, walaupun tidak
mengetahui aturannya.
Dalam penyusunan kurikulum, masalah mengajarkan struktur perlu
mendapatkan perhatian utama, sebab keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum
sangat dipengaruhi oleh hal tersebut. Ada beberapa pertanyaan umum, sebelum
seseorang sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus. Contoh
pertanyaan umum, apakah tujuan pendidikan suatu sekolah. Setelah merumuskan
jawaban pertanyaan tersebut, baru mengajukan pertanyaan yang lebih khusus,
umpamanya, apakah manfaat mata-mata pelajaran yang diberikan. Jawaban
terhadap pertanyaan pertama dapat dihubungkan dengan sifat masyarakat yaitu
tuntutan dan kebutuhannya, juga dapat dihubungkan dengan pemenuhan
kebutuhan pribadi dan masyarakat (kesejahteraan individu dan masyarakat).
Pendidikan yang menekankan struktur, mengutamakan pendidikan intelek,
tetapi tidak berarti pendidikan segi lain diabaikan. Pendidikan yang menekankan
struktur bukan saja dapat berhasil dengan baik pada anak-anak yang cerdas, tetapi
juga pada anak-anak biasa bahkan anak-anak yang kurang mampu. Ini tidak
berarti urutan dan isi bahan pelajaran bagi mereka sama.
Ada empat hal pokok penting dalam proses pendidikan. Pertatna, peranan
struktur bahan, dan bagaimana hal tersebut menjadi pusat kegiatan belajar. Hal
yang sangat penting dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum adalah
bagaimana memberikan pengertian kepada siswa tentang struktur yang mendasar
terhadap tiap mata pelajaran. Bagaimana mengajarkan struktur mendasar secara
efektif, serta bagaimana menciptakan kondisi belajar yang mendukung hal
tersebut. Kedua, proses belajar menekankan pada berpikir intuitif. Berpikir intuitif
merupakan teknik intelektual untuk mencapai formulasi tentatif tanpa
mengadakan analisis langkah demi langkah. Ketiga, masalah kesiapan (readiness)
dalam belajar. Pada masa lalu, sekolah banyak membuang vvaktu untuk
mengajarkan hal-hal yang terlalu sulit bagi anak, karena kurang memperhatikan
kesiapan belajar. Keempat, dorongan untuk belajar (learning motives) serta
bagaimana membangkitkan motif tersebut.
Tujuan belajar lebih dari sekadar untuk mendapatkan kepuasan atau
menguasai pengetahuan. Belajar menyiapkan peserta didik untuk menghadapi
masa yang akan datang. Ada dua macam belajar untuk menghadapi masa yang
akan datang. Pertama, aplikasi belajar dalam tugastugas khusus, atau pekerjaan-
pekerjaan khusus. Hal itu merupakan transfer belajar dalam berbagai bentuk
keterampilan. Kedua, transfer belajar dalam bentuk prinsip-prinsip dan sikap-
sikap. Tipe belajar yang kedua bukan merupakan belajar keterampilan tetapi
belajar ide-ide yang bersifat umum, yang dapat digunakan untuk mengenal dan
memecahkan berbagai masalah kehidupan. Jenis transfer yang kedua merupakan
inti proses pendidikan, merupakan proses perluasan dan pendalaman yang terus
menerus dari ide-ide dasar dan ide-ide umum. Keberlanjutan proses belajar
tersebut sangat bergantung pada tingkat penguasaan struktur bahan yang akan
diajarkan. Agar seorang siswa mampu mengenal apakah suatu ide dapat
diaplikasikan atau tidak terhadap situasi baru, is harus mempunyai gambaran yang
jelas tentang hakikat fenomena yang dihadapinya. Sebab yang terpenting dalam
belajar ide-ide adalah yang dipelajarinya harus 1.ipat diaplikasikan secara luas
pada masalah-masalah baru.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dan ini
merupakan hal yang sangat penting, bagaimana menyusun kurikulum yang dapat
diajarkan oleh guru biasa, terhadap murid biasa, yang dapat merefleksikan prinsip-
prinsip dasar dari berbagai bentuk inkuiri. Hal itu meyangkut dua masalah yaitu
bagaimana memilih bahan yang akan diajarkan serta alat-alat pelajaran yang dapat
memberikan tekanan utama pada pengembangan ide-ide dan sikap. Kemudian,
bagaimana menentukan tingkat-tingkat bahan yang akan diajarkan itu sesuai
dengan kemampuan dan tingkat perkembangan para siswa. Agar dapat memenuhi
kedua hal tersebut, dibutuhkan partisipasi dari ahli-ahli yang terbaik dalam
bidangnya dalam penyusunan kurikulum sekolah. Kedua, yang perlu mendapatkan
perhatian yang sungguh-sungguh adalah bagaimana para siswa menguasai ide-ide
dasar dari berbagai bidang studi, bukan saja berkenaan dengan pengetahuan
umum, tetapi juga dengan perkembangan sikap berinkuiri, perkembangan
kemampuan memperkirakan (predictive ability) dan pemecahan masalah oleh
anak sendiri.
Seorang ahli fisika memiliki sikap tertentu terhadap alam semesta serta
menguasai cara memahami sistem alam semesta. Siswa yang belajar fisika juga
perlu memiliki sikap tersebut, bila is belajar fisika, tentunya agar yang
dipelajarinya itu berguna bagi proses berpikirnya. Untuk mencapai hal tersebut
yang terpenting adalah menyediakan bahan, memberikan kesempatan dan
mendorong anak untuk mencari dan menemukan aturan yang sebelumnya tidak
diketahui. Menemukan hubungan, persamaan, perbc.- daan di antara ide-ide, hal
itu bukan saja menghasilkan pemahaman ten- tang suatu masalah tetapi juga akan
menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri. Para ahli berpendapat bahwa hal
itu tidak mungkin dapat dicapai hanya dengan memperhatikan penyusunan
sekuens bahan ajar saja, tetapi juga harus memperhatikan metode untuk
mengajarkan hal tersebut.
Metode utama mengajarkan konsep belajar seperti di atas adalah dengan
menggunakan metode inkuiri. Metode inkuiri banyak digunakan dalam
mengajarkan EPA dan Matematika, tetapi sesungguhnya metodi. inkuiri cukup
memberikan hasil yang baik bila digunakan dalam mengajarkan ilmu-ilmu sosial.
Bagaimana pengetahuan-pengetahuan dasar dijalin dengan minat don kemampuan
anak. Hal itu membutuhkan pemahaman yang dalam serta kejujuran yang
sungguh-sungguh untuk menyajikan fenomena-fenomena baik dalam penyusunan
kurikulum maupun dalam penyajian di kelas. Pengetahuan dasar yang
dihubungkan dengan fenomena-fenomena tersebut harus disajikan dengan benar,
menarik minat dan memberikan manfaat.
Minimal ada empat hal yang merupakan manfaat belajar atau mengajarkan
struktur dasar: Pertama, pemahaman tentang hal-hal yang bersifat fundamental
memungkinkan penguasaan bahan ajar secara lebih komprehensif. Hal itu bukan
hanya berlaku bagi IPA dan Matematika tetapi juga bagi ilmu-ilmu sosial. Anak
yang sudah memahami latar belakang, tujuan dan dasar-dasar pembentukan
ASEAN akan d'engan mudah memahami berbagai bentuk kerja sama dan kegiatan
ASEAN.
Kedua, berhubungan dengan kemampuan ingatan manusia. Menurut
beberapa hasil penelitian, ingatan manusia tentang hal-hal yang detail yang
ditempatkan dalam suatu hubungan pola struktur, mudah sekali dilupakan. Agar
sesuatu bahan ajar dapat mudah dan lama dikuasai perlu disimpan atau disajikan
dalam bentuk yang sederhana yang mewakili hal yang lebih kompleks. Perwakilan
yang sederhana tersebut disebut regenerative. Contoh regenerative dalam IPA dan
Matematika adalah rumus-rumus. Suatu rumus yang sederhana merupakan
prasarana dan representasi dari hal yang cukup kompleks. Dalam ilmu sosial juga
dikenal rumus, kaidah, prinsip tertentu. Selain hal-hal tersebut regerative juga
dapat berupa peta, bagan, model, dan sebagainya.
Belajar struktur dasar dapat menjamin berbagai bentuk lupa atau
kehilangan penguasaan. Dengan belajar struktur dasar suatu kehilangan tidak akan
berbentuk kehilangan total, hal-hal yang tersisa dapat membantu menyusun
kembali apa-apa yang sudah hilang atau terlupakan. Suatu teori yang baik bukan
hanya merupakan alat untuk memahami fenomena yang dihadapinya sekarang,
tetapi juga untuk mengingatnya besok.
Ketiga, pemahaman prinsip-prinsip dan ide-ide fundamental merupakan
syarat utama untuk mengadakan transfer. Pemahaman tentang hal yang umum
memungkinkan menguasai banyak hal yang sifatnya khusus, sebab penguasaan
hal umum memungkinkan penguasaan model pemahaman. Ide, bahwa prinsip dan
konsep merupakan dasar bagi transfer merupakan hal yang sudah lama dikenal.
Keempat, penekanan pada struktur dan prinsip-prinsip mengajar yang
fundamental dapat mempersempit jarak antara pengetahuan elementer dengan
pengetahuan yang lebih lanjut.
C. Proses Belajar
Kegiatan mengajar tidak dapat dilepaskan dari belajar, sebab keduanya
merupakan dua sisi dari sebuah mata uang. Mengajar merupakan suatu upaya
yang dilakukan guru agar siswa belajar. Apabila kita mengkaji teoriteori mengajar
yang ada, hampir seluruhnya dikembangkan atau bertolak dari teori belajar.
1. Belajar intuitif
Ada suatu pertanyaan mendasar berkenaan dengan proses belajar, yaitu
apakah proses belajar lebih baik menekankan pada berpikir intuitif atau berpikir
analitik?
Pengamatan menunjukkan bahwa dalam berbagai kegiatan belajar
penilaian di sekolah, tekanan lebih banyak diberikan pada kemampuan untuk
memformulasikan secara eksplisit, dan pada kemampuan anak memreproduksikan
penguasaan secara verbal dan numerikal. Belum banyak diketahui apakah
penekanan tersebut menghambat perkembangan pemahaman intuitif atau tidak.
Kita dapat membedakan antara inarticulate genius dengan articulate idiocy.
Inarticulate genius diperlihatkan oleh anak yang menguasai secara mendalam
konsep-konsep bahan ajar, tetapi kurang mampu menyatakan secara verbal. Pada
articulate ideocy anak pandai menyatakan dengan kata-kata tetapi tak punya
kemampuan untuk menggunakan konsep-konsep tersebut. Dua contoh
pemahaman intuitif, pertama seseorang telah cukup lama menghadapi suatu
persoalan, tiba-tiba ia menemukan pemecahan walaupun belum didasarkan atas
pembuktian formal, kedua, seorang dapat dengan cepat memberikan jawaban
dugaan terhadap sesuatu persoalan dengan benar. Seseorang pemikir intuitif yang
baik dilahirkan dengan kekhususan tertentu, tetapi efektivitas intuitifnya dilandasi
oleh pengetahuan yang kuat tentang bidang yang berhubungan dengan kekhususan
tersebut. Pengetahuan yang secara sistematis dikuasainya dapat menunjang
berpikir intuitif, atau variabel-variabel yang mempengaruhinya.
2. Belajar bermakna
Ausubel dan Robinson (1969) membedakan dua dimensi dari proses
belajar, yaitu dimensi cara menguasai pengetahuan dan cara menghubungkan
pengetahuan baru dengan struktur ide yang telah ada. Pada dimensi yang pertama
dibedakan tipe belajar yang bersifat mencari (discovery learning) dan yang
bersifat menerima (reception learning). Pada dimensi kedua, dibedakan antara
belajar yang bersifat menghafal (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful!
learning).
Dalam belajar menerima keseluruhan bahan pelajaran disajikan kepada si
pelajar dalam bentuk yang sudah sempurna. Si pelajar tinggal menerima saja
tanpa mengadakan usaha-usaha pengolahan, atau pemrosesan Iebih lanjut. Pada
belajar mencari atau belajar diskoveri karena bahan ajar disajikan dalam, bentuk
yang belum selesai, maka si pelajar harus berusaha mencari dan
menyelesaikannya sendiri. Dalam belajar menghafal siswa berusaha menguasai
bahan tanpa mengetahui maknanya, sedang pada belajar bermakna siswa
mempelajari sesuatu bahan ajar dengan berusaha memahami makna atau artinya.
Keempat tipe belajar tesebut sebenarnya hanya merupakan kencederungan-
kecenderungan. Cenderung ke arah mencari atau menerima ke arah menghafal
atau mendapatkan makna. Keseluruhan tipe belajar tersebut juga bisa
berkombinasi satu sama lain, membentuk tipe belajar menerima-bermakna,
mencari bermakna, menghafal menerima, dan menghafal mencari.
a. Konsep-Konsep Dasar
Ada dua hal penting dalam konsep belajar bermakna, yaitu struktur
kognitif dan materi pengetahuan baru. Struktur kognitif merupakan segala
pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai hasil dari kegiatan belajar yang
lalu. Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus mempunyai hubungan atau
dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Hubungan tersebut akan terjadi karena
adanya kesamaan isi (substantiveness) dan secara beraturan (non-arbitrer). Kedua
sifat hubungan tersebut menunjukkan adanya kebermaknaan logis materi yang
akan dipelajari. Jadi kebermaknaan logis ini merupakan sifat dari materi yang
akan dipelajari, tetapi tidak berarti menjamin bahwa itu bermakna bagi siswa.
Agar hal itu bermakna bagi siswa, ada dua tambahan persyaratan. Pertama, suatu
materi memiliki kebermaknaan logis berarti bahwa materi tersebut dapat
dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa. Agar materi baru
dapat difahami siswa, maka is sendiri harus memiliki materi yang sesuai dengan
hal itu. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang
sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara
subtantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan
potensial (potential meaningfulness).Kedua, suatu materi memiliki kebermaknaan
potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, tetapi hal itu bergantung pada
kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila si siswa mempunyai
kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful
learning).
Kalau disimpulkan belajar bermakna ini menuntut tiga persyaratan:
1. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif
secara beraturan karena adanya kesamaan isi.
2. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan
dipelajarinya.
3. Siswa harus mempunyai kemauan atau motif untuk menghubungkan konsep
tersebut dengan struktur kognitifnya.
Makna merupakan hasil suatu proses belajar bermakna. Hal itu juga akan
menjadi isi kognitif atau isi dari penyadaran yang muncul bila materi yang punya
makna potensial dihubungkan dengan struktur kognitif. Belajar bermakna dan
belajar manghafal bukan dua hal yang benar-benar bersifat dikotomis, tetapi
hanya menunjukkan apakah sesuatu kegiatan belajar lebih mengarah pada
bermakna atau kurang bermakna.
Suatu kegiatan belajar yang kurang bermakna akan muncul apabila:
1. Materi yang dipelajari kurang memilik kebermaknaan logis.
2. Siswa kurang memiliki konsep-konsep yang sesuai dalam struktur
kognitifnya.
3. Siswa kurang memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan belajar
bermakna.
Belajar bermakna akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide barn yang
punya makna, penuh arti, jelas, nyata perbedaannya dengan yang lain. Konsep
yang demikian tidak akan mudah digoyahkan dibandingkan dengan konsep-
konsep yang dibentuk melalui hubungan atau asosiasi arbitrer. Dengan belajar
bermakna, siswa akan menguasai dan mengingat konsep-konsep inti. Dalam
belajar menghafal sering konsep inti dan konsep bukan inti berbaur dan saling
menghambat, tetapi dalam belajar makna keduanya bisa dibedakan dengan jelas.
Mengapa seseorang melakukan kegiatan belajar dengan menghafal
Minimal ada tiga sebab utama:
1) Mereka belajar dari pengelaman yang kurang menyenangkan yang secara
material memberikan jawaban yang benar, tetapi kurang memberikan
hubungan yang bermakna. Adanya tuntutan memberikan jawaban yang
bersifat fakta-fakta sering mendorong siswa untuk belajar dengan cara
mengingat dan menghafal.
2) Siswa mengalami kecemasan yang cukup besar. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena ia gagal dalam menguasai pelajaran, atau karena kurang
yakin akan kemampuan belajar bermakna. Untuk mengatasi kecemasan
tersebut ia belajar dengan cara menghafal.
3) Siswa berada dalam suatu tekanan untuk selalu memperhatikan keberhasilan
dan kelancaran belajar, atau menyembunyikan kekurangan-kekurangannya.
b. Macam-Macam Belajar Bermakna
Makna merupakan isi dari struktur kognitif, yang terjadi karena materi
yang memiliki kebermaknaan potensial disatukan dengan struktur kognitif. Proses
penyatuan tersebut berbeda-beda dan dapat diletakkan dalam suatu hierarki dari
yang bersifat represensional sampai dengan belajar tingkat tinggi, perbuatan
belajar kreatif.
Belajar represensional merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan
arti atau makna dari simbol-simbol. Kalau orang tua mengatakan kucing sambil
menunjuk seekor kucing, maka pada struktur kognitif anak akan terbentuk
rangsangan internal yang akan memberi makna pada kata kucing sebagai binatang
kucing. Kata kucing menjadi simbol yang mewakili binatang kucing. Melalui
proses representasi tersebut anak akan mengenal banyak nama dan tiap benda
punya nama sendiri. Belajar represensional juga berlaku bagi nama-nama bukan
benda. Kata depan terjadi melalui hubungan antara dua objek seperti kucing di
atas meja, air di dalam gelas dsb.
Belajar konsep dapat mempunyai makna logis dan makna psikologis.
Makna logis terbentuk melalui fenomena adanya benda-benda yang
dikelompokkan karena memiliki ciri-ciri yang sama. Berbagai macam kucing dan
harimau karena cirinya yang sama, dikelompokkan sebagai kucing. Dalam makna
logis ada ciri-ciri utama yang menunjukkan sekumpulan sifat-sifat yang dimiliki
oleh setiap anggota suatu kelas konsep. Ciri-ciri utama tersebut berbeda antara
suatu kelas konsep dengan kelas yang lain. Makna psikologis suatu konsep
terbentuk dalam dua tahap. Pada tahap pertama konsep terbentuk melalui
pengalaman nyata. Secara induktif anak menemukan ciri-ciri utama benda-benda
tertentu. Melalui permainan dengan bermacam-macam warna dan bentuk kubus
anak akan memiliki konsep tentang kubus, walaupun tidak tahu namanya. Pada
tahap berikutnya bila anak telah bersekolah ia belajar makna konsep secara formal
dari nama dan kata-kata. Kedua tahap proses pembentukan makna konsep tersebut
terjadi hampir dalam semua kegiatan anak belajar konsep. Pembentukan konsep
selanjutnya terjadi melalui proses asimilasi yaitu definisi-definisi.
Belajar proposisi. Proposisi atau kaidah merupakan suatu kalimat yang
menunjukkan hubungan antara dua hal. Proposisi ini ada yang bersifat umum,
"binatang buas makan daging" yang berisi banyak konsep dan ada pula yang
bersifat khusus, harimau makan kelinci yang hanya berisi satu konsep.
Dalam belajar proposisi yang bermakna, kalimat yang dipelajari dihubungkan
dengan konsep yang ada dalam struktur kognitif. Ada tiga macam cara
menghubungkan:
1) Hubungan antar-bagian. Bahan baru yang dipelajari siswa merupakan bagian
dari konsep-konsep yang telah ada. Dalam belajar hubungan antar-bagian ini
ada dua macam bagian, yaitu bagian yang bersifat derivative dan correlative.
Pada bagian derivative siswa melukiskan atau meneruskan hal yang dicakup
dalam sutu proposisi. Contoh: "kucing memanjat pohon", bagian derivative-
nya "kucing tetangga memanjat pohon saya". Dalam bagian correlative,
belajar berfungsi memperluas, mengelaborisasi, memodifikasi proposisi-
proposisi yang telah ada. Contoh anak telah mengenal jajaran genjang,
dengan correlative preposition anak akan mengenal belah ketupat.
2) Hubungan superordinat. Bahan yang dipelajari merupakan superordinat dari
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Anak telah
mengenal besar sudut segi tiga siku-siku 180 derajat, segi tiga sama sisi 180
derajat, dan sebagainya, maka dalam kegiatan belajar sampai pada proposisi
bahwa jumlah sudut setiap segi tiga besarnya 180 derajat.
3) Hubungan kombinasi. Bahan yang dipelajari bukan merupakan bagian bukan
juga superordinat dari yang telah ada, akan tetapi merupakan kombinasi dari
banyak hubungan. Contohnya adalah belajar model.
Belajar diskaveri atau mencari. Bahan yang dipelajari tidak disajikan
secara tuntas tetapi membutuhkan beberapa kegia tan mental untuk menuntaskan
dan menyatakannya dengan struktur kognitif. Belajar diskoveri terbagi atas dua
macam kegiatan belajar, yaitu belajar pemecahan masalah dan belajar kreatif.
Belajar pemecahan masalah, memiliki proses psikologis yang lebih
kompleks dibandingkan dengan belajar proposisi. Dalam belajar pemecahan
masalah, anak dihadapkan pada masalah-masalah yang memerlukan pemecahan.
Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarahkan siswa agar
menemukan pemecahan atau jawabannya sendiri.
Belajar kreatif. Kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk meng-
hasilkan sesuatu yang baru, baik baru bagi dirinya maupun orang lain. Belajar
kreatif adalah siswa proses belajar merencanakan, melaksanakan, dan
membuktikan sendiri•percobaan-percobaan. Mereka berusaha mencari hubungan
antara konsep-konsep yang baru dan konsep-konsep yang telah ada pada struktur
kognitifnya.
D. Kesiapan Belajar
Tiap bahan pelajaran dapat diajarkan kepada anak secara efektif bila sesuai
dengan tingkat perkembangan anak tersebut. Ada tiga masalah penting berkenaan
dengan penyesuaian bahan ajar dengan perkembangan anak:
1. Perkernbangan intelek
Hasil penelitian berkenaan dengan perkembangan intelek anak menun-
jukkan, bahwa tiap tingkat perkembangan mempunyai karakteristik tertentu
tentang cara anak melihat lingkungannya dan cara memberi arti bagi dirinya
sendiri. Mengajarkan suatu bahan pelajaran kepada anak, adalah
mempresentasikan struktur bahan pelajaran sesuai dengan cara anak memandang
atau mengartikan bahan pelajaran tersebut. Pengajaran merupakan suatu
translation. Suatu dugaan umum bahwa ide atau konsep dapat direpresentasikan
dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya sesuai dengan tingkat pemikiran
anak pada tingkat usia tertentu, dan representasi pertama diperkuat dan diperbaiki
pada tingkat selanjutnya.
Menurut Piaget, ada empat tingkat perkembangan anak: Tingkat pertama
adalah tingkat Sensory motor, masa lahir sampai 2 tahun merupakan masa
perkembangan kemampuan bergerak dan merespons terhadap rangsangan.
Tingkat kedua, masa 2 sampai 7 tahun disebut tingkat Preoperasional. Tugas
perkembangan anak pada masa ini terutama membentuk hubungan antara
pengalaman dengan kegiatan. Melalui berbagai kegiatan anak bermanipulasi
dengan lingkungan. Tingkat ini mulai dari perkembangan awal berbahasa sampai
anak marnpu belajar bermanipulasi dengan simbol-simbol. Kemampuan simbolik
utama yang harus dipelajari anak, adalah bagaimana merepresentasikan dunia luar
melalui pembentukan simbol-simbol anak, tidak ada batas perbedaan antara motif
dan peranan dirinya dengan kegiatan lingkungannya. Matahari bergerak karena
didorong oleh Tuhan, dan bintang-bintang tidur seperti dia. Anak tidak dapat
membedakan antara tujuan dengan cara atau alat untuk mencapainya. Hal itu
karena anak lebih dipengaruhi oleh intuisi daripada oleh kegiatan simbolik, lebih
banyak dipengaruhi perbuatan trial and error daripada hasil pemikiran.
Kekurangan utama pada tingkat ini adalah anak belum memiliki konsep
perbedaan atau perlawanan (reversibility). Bila suatu benda berubah anak belum
dapat menangkap ide bahwa benda tersebut dapat dikembalikan pada keadaan
asalnya. Kekurangan tersebut sering menghambat penguasaan ide dasar bidang
studi tertentu terutama matematika dan fisika. Tingkat ketiga, masa antara 7
sampai 11 tahun, merupakan masa anak sekolah, disebut juga tingkat "concrete
operational". Tingkat ini merupakan tingkat operasional yang berbeda dengan
tingkat pertama yang semata-mata hanya aktif.
Operasi merupakan pengumpulan data tentang dunia sekitarnya, kemudian
ditransformasikan sehingga dapat disusun dan digunakan secara selektif dalam
memecahkan masalah. Operasi bersifat internalisasi dan reversible. Internalisasi
berarti bahwa anak memecahkan masalah bukan dengan cara trial and error tetapi
dengan pemikiran, trial and error digunakan untuk menjadi pembantu atau bahan
pembanding pemikiran. Reversibility diperlukan, karena dalam operasi
dibutuhkan adanya "complete compensation". Suatu operasi dapat dikompensasi
dengan operasi sebaliknya. Pengurangan dikompensasi oleh penjumlahan,
perkalian oleh pembagian.
Dengan operasi konkret anak mengembangkan struktur internalnya.
Struktur internal merupakan hal yang sangat esensial, karena dengan struktur
internal anak mampu beroperasi. Pada diri anak ada sistem simbolik internal yang
merepresentasikan dunia luar. Agar anak menguasai apa yang diajarkan, maka
bahan ajar harus disesuaikan dengan "bahasa" struktur internal tersebut. Operasi
konkret dibimbing oleh "logika kelas" dan "logika" hubungan yang merupakan
alat penstrukturan kenyataan yang dihadapinya dan pernah dialaminya pada saat
yang lalu, tetapi ma belum mampu menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang
sama sekali asing baginya. Ini tidak berarti anak yang beroperasi secara konkret
tidak mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak ada. Anak belum mampu secara
sistematik melampaui informasi yang diberikan, untuk mendeskripsikan apa yang
terjadi.
Tingkat keempat, masa antara 11 sampai dengan 14 tahun, merupakan
tingkat "formal operation". Kegiatan intelektual anak didasarkan atas kemampuan
beroperasi pada tingkat hipotetis dan bukan lagi pada tingkat pengalaman, atau
terbatas pada apa yang telah dikenalnya. Seorang anak mampu memikirkan
kemungkinan variabel-variabel, dan bahkan mampu mendeduksi hubungan
potensial yang dapat dicek dengan percobaan atau pengamatan. Operasi
intelektual telah berkembang sampai pada tingkat semacam operasi logis ahli
logika, sarjana atau para pemikir lainnya. Pada tingkat ini anak mampu
memberikan pernyataan formal atau pernyataan axiomatik pada ide-ide yang
konkret, sebelum langkah pemecahan masalah. Pada tingkat operasi konkret anak
mampu menangkap secara intuitif dan konkret, sejumlah ide-ide dasar ilmu
pengetahuan.
Yang sangat penting dalam mengajarkan konsep-konsep dasar adalah anak
dibantu untuk berkembang dari berpikir konkret pada menggunakan cara berpikir
yang lebih konseptual. Hal itu akan sia-sia saja, bila guru mengajarkannya dengan
cara menyajikan penjelasan-penjelasan formal yang didasarkan atas logika,
kurang disesuaikan dengan cara berpikir anak serta kurang mengaplikasikannya.
Dalam pengajaran matematika sering anak bukan belajar "aturan matematis",
tetapi belajar menggunakan alatalat atau resep-resep matematis tanpa
memahaminya.
Perkembangan intelek anak bukanlah suatu rangkaian perkembangan yang
bersifat tertutup, tetapi terbuka, merespons terhadap pengaruh lingkungannya
terutama lingkungan sekolah. Perkembangan intelek anak perlu ditunjang oleh
kesempatan-kesempatan yang berguna agar berkembang lebih pesat. Menurut
David Page seorang ahli dan guru yang sangat berpengalaman dalam mengajar
matematika, dalam pengajaran dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan
Tinggi dalam perkembangan intelek menunjukkan kecenderungan yang sama,
bahwa anak lebih spontan, lebih kreatif, lebih energik dibandingkan dengan orang
dewasa. Belajar anak dalam segala hal lebih cepat dibandingkan dengan orang tua.
2. Kegiatan belajar
Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga proses. Pertama,
proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk melengkapi atau
menggantikan informasi yang telah dimiliki atau menyempurnakan pengetahuan
yang telah ada. Kedua, transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar
sesuai dengan tugas yang baru. Transformasi meliputi cara-cara mengolah
informasi untuk sampai pada kesimpulan yang lebih tinggi. Ketiga, proses
evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah memadai untuk dapat
menjalankan tugas rnencapai sasaran. Apakah kesimpulan yang telah dilakukan
dengan saksama, dapat dioperasikan dengan baik.
Dalam mempersiapkan bahan pelajaran, biasanya kita susun bahan
pelajaran tersebut dalam rentetan episode (satuan pelajaran). Dalam tiap episode
terdapat ketiga proses di atas. Episode belajar dapat panjang, juga dapat pendek,
berisi banyak konsep, atau hanya beberapa konsep saja. Dalam menyajikan bahan
pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan murid, episode-episode bahan
pelajaran, kita manipulasi dengan beberapa cara. Cara-cara yang biasa dilakukan
adalah: memperpanjang atau memperpendek isi episode, memberikan ganjaran
dalam bentuk pujian, pemberian gelar juara, dan sebagainya, mempersiapkan
pertanyaan yang dapat memberikan motivasi intrinsik atau ekstrinsik.
3. Spiral Kurikulum
Jika prinsip-prinsip perkembangan anak telah diperhatikan, bahan ajar
telah disusun dalam urutan yang logis dan cukup mendorong perkembangan dan
keadaan memungkinkan untuk memperkenalkannya seawal mungkin; apakah
anak akan menjadi orang dewasa dan berpengetahuan. Bila sudah cukup
berpengetahuan apakah menjadi orang dewasa yang lebih baik? Bila javvabannya
cenderung ke arah tidak atau tidak jelas (ambigius), hal itu menunjukkan belum
adanya keteraturan dalam mated, kurikulum.
Kurikulum bukan sesuatu yang staffs tertutup, tetapi merupakan spiral
terbuka. Kurikulum memiliki struktur bahan ajar, yang disusun atau dibentuk di
sekitar prinsip-prinsip, masalah-masalah dan nilai-nilai dalam masyarakat.
Kurikulum selalu membutuhkan baik anak didik maupun masyarakat sekitarnya.
F. Buku Acuan
Hosyom, John. (1985). Inquiring Into the Teaching Process. Toronto, Ontario:
OISE Press/The Ontariao Institut for Study in Education.
Sesuai dengan judul bukunya, inquiring, tulisan ini mengajak dan
mendorong para pelaksana pendidikan terutama guru, kepala sekolah, pengawas,
ahli kurikulum, serta administrator pendidikan untuk lebih memahami apa yang
secara nyata berlangsung dalam kelas. Agar para pelaksana dan juga perencana
pendidikan mempunyai pemahaman yang mendalam tentang situasi pendidikan,
mereka perlu memahami pemikiran guru, kegiatan guru dalam kelas, kegiatan
siswa serta pemikiran siswa. Dengan dasar pemahaman di atas para pelaksana
pendidikan, terutama guru dapat melaksanakan pengajaran dan memonitor
perkembangannya. Sebagai dasar pemahaman situasi pendidikan mereka harus
mempunyai pengetahuan ten- tang pendidikan yang baik. Untuk melaksanakan
pengajaran yang baik, mereka harus menguasai pula peranan profesional dari guru
serta prosedur pelaksanaan pengajaran. Dengan buku ini para perencana dan
pelaksana pendidikan diajak, didorong untuk berpikir, berbuat dan mengadakan
studi sendiri, berinkuiri dalam profesinya.
Joice, Bruce R., et.al. (1981). Flexibility in Teaching. New York, London:
Longman.
Konsep yang ingin disampaikan dalam buku ini ialah suatu keyakinan
bahwa esensi dari pengajaran adalah fleksibilitas. Pengajaran merupakan suatu
kehidupan yang berisi hubungan simbiosis antara guru dengan siswa, tetapi sering
penuh dengan frustrasi dan kegembiraan, hukuman, dan ganjaran. Dalam buku ini
digambarkan bahwa pengajaran adalah suatu perbuatan yang gentleman, suatu
adaptasi alamiah antara seorang dengan yang lain. Pendidikan guru memegang
peranan penting untuk mengembangkan fleksibilitas dalam interaksi. Fleksibilitas
merupakan karakteristik dasar yang harus dimiliki guru, agar is dapat mengem-
bangkan kreativitasnya sendiri, membantu kreativitas siswa dan mengkreatifkan
sekolahnya. Selanjutnya dalam buku tersebut diuraikan, konteks sosial dan teknis
pengajaran, penyesuaian pengajaran dengan segisegi kepribadian siswa, model-
model mengajar dan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan
pengajaran yang menekankan fleksibilitas.
Bedwell, Lance E., et al. (1984). Effecitve Teaching: Preparation and Implementa-
tion. Springfield, Illinois: Charles and Thomas, Publication.
Keseluruhan isi buku ini memberikan pegangan tentang bagaimana
melaksanakan suatu pengajaran secara efektif. Pengajaran yang efektif tidak lahir
begitu saja tetapi harus dipelajari, dipersiapkan dan dilatih, sama dengan guru
yang baik tidak dilahirkan tetapi dibuat. Dalam buku ini diuraikan secara rinci
berbagai peran guru sebagai pengajar. Guru sebagai perencana pengajaran,
sebagai komunikator informasi, sebagai pelaku yang efektif. Guru juga sebagai
ahli strategi pengajaran, sebagai manajer tingkah laku siswa dan evaluator
perkembangan siswa. Pada bagian akhir buku ini diuraikan juga bagaimana
merencanakan dan melaksanakan pengajaran yang efektif.
Fenstermacher, Gary D. and Soltis, Jonas F. (1986). Approaches to Teaching.
New York, London: Teachers College, Columbia University.
Pendekatan mengajar merupakan hal yang sangat penting dalam
pengajaran, sebab hal itu akan sangat mempengaruhi perilaku siswa. Bertolak dari
kenyataan itu, buku ini menguraikan beberapa pendekatan dalam mengajar.
Secara garis besar ada tiga pendekatan, yaitu pendekatan: executive, therapist dan
liberationist. Dalam pendekatan eksekutif, guru sebagai eksekutor sebagai ekspert
yang memberikan pelajaran-pelajaran tertentu dengan teknik-teknik tertentu
dengan sangat terampil. Menurut pendekatan therapist guru adalah orang yang
empathetik yang berfungsi membantu perkembangan individu secara pribadi
mencapai tingkat self actualization yang tinggi dengan penuh pengertian dan
penerimaan. Pendekatan liberationist memandang guru sebagai liberator,
pembebas pribadi siswa, pengembang pribadi yang utuh, otonomi, rasional dan
bermoral. Dalam buku itu juga diuraikan bagaimana menerapkan ketiga
pendekatan tersebut, dilengkapi dengan beberapa kasus dan cara pemecahannya.
BAB 8
PENGEMBANGAN KURIKULUM
1. Prinsip-prinsip umum
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum. Pertama,
prinsipreigansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu
relevan ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar
maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum
hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat.
Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat.
Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya mempersiapkan siswa untuk tugas
tersebut. Kurikulum bukan hanya menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang
tetapi juga yang akan datang. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam
yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum,
yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini
menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
Prinsip kedua adalah fleksibilitas, kurikulum hendaknya memilih sifat
lentur atau fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang
dan yang akan datang, di sini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar
belakang dan kemampuan yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah
kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi daram pelaksanaannya memung
inkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daera aktu maupun
kemampuan, dan latar belakang anak.
Prinsip ketiga adalah kontinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan
proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus
atau berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalamanpengalaman belajar yang
disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat
kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang
lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan
kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi
dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP,
SMTA, dan Perguruan Tinggi.
Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-
alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi.
Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian
dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum
tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu
dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya,
alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis.
Prinsip kelima adalah efektivitas. Walatipun kurikulum tersebut hams
murah, sederhana, dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan.
Keberhasilan pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan
penjabaran dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga
merupakan bagian yang dijabarkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah
di bidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan
pendidikan.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu: tujuan-
tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian.
Interelasi antara keempat aspek tersebut serta antara aspek-aspek tersebut
dengan kebijaksanaan pendidikan perlu selalu mendapat perhatian dalam
pengembangan kurikulum.
Visualisasi kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:
B. Pengembang Kurikulum
Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut
berpartisipasi, yaitu: administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum,
ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru, dan orang tua murid serta tokoh-tokoh
masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terusmenerus turut terlibat
dalam pengembangan kurikulum adalah: administrator, guru, dan orang tua.
1. Peranan para administrator pendidikan
Para administrator pendidikan ini terdiri atas: direktur bidang pendidikan,
pusat pengembangan kurikulum, kepala kantor wilayah, kepala kantor kabupaten
dan kecamatan serta kepala sekolah. Peranan para administrator di tingkat pusat
(direktur dan kepala pusat) dalam pengembangan kurikulum adalah menyusun
dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum.
Kerangka dasar dan program inti tersebut akan menentukan minimum course yang
dituntut.
Administrator tingkat pusat bekerja sama dengan para ahli pendidikan dan
ahli bidang studi di Perguruan Tinggi serta meminta persetujuannya terutama
dalam penyusunan kurikulum sekolah. Atas dasar kerangka dasar dan program inti
tersebut para administrator daerah (kepala kantor wilayah) dan administrator lokal
(kabupaten, kecamatan dan kepala sekolah) mengembangkan kurikulum sekolah
bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah
mempunyai wewenang dalam membuat operasionalisasi sistem pendidikan pada
masing-masing sekolah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus
menerus terlibat dalam pengembangan dan implementasi kurikulum, memberikan
dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Walaupun guru dapat
mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya sering harus
didorong dan dibantu oleh para administrator. Administrator lokal harus bekerja
sama dengan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan
kepada masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di
kelas. Peranan kepala sekolah lebih banyak berkenaan dengan implementasi
kurikulum di sekolahnya. Kepala sekolah juga mempunyai peranan kunci dalam
menciptakan kondisi untuk pengembangan kurikulum di sekolahnya. la
merupakan figur kunci di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat
mempengaruhi suasana sekolah dan pengembangan kurikulum.
2. Peranan para ahli
Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas perubahan tuntutan
kehidupan dalam masyarakat, tetapi juga perlu dilandasi oleh perkembangan
konsep-konsep dalam ilmu. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum
membutuhkan bantuan pemikiran para ahli, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum,
maupun ahli bidang studi/disiplin ilmu.
Mengacu pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah,
baik kebijaksanaan pembangunan secara umum maupun pembangunan
pendidikan, perkembangan tuntutan masyarakat, dan masukan-masukan dari
pelaksaman pendidikan dan kurikulum yang sedang berjalan, para ahli pendidikan
dan kurikulum memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum
yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntutan di atas.
Pengembangan kurikulum bukan hanya sekadar memilih dan menyusun bahan
pelajaran dan metode mengajar, tetapi menyangkut penentuan arah dan orientasi
pendidikan, pemilihan sistem dan model kurikulum, baik model konsep, model
desain, model pembelajaran, model media, model pengelolaan, maupun model
evaluasinya, serta berbagai perangkat dan pedoman penjabaran serta pedoman
implementasi dari model-model tersebut.
Partisipasi para ahli pendidikan dan ahli kurikulum terutama sangat
dibutuhkan dalam pengembangan kurikulum pada tingkat pusat. Apabila
pengembangan kurikulum sudah banyak dilakukati pada tingkat daerah atau lokal,
maka pertisipasi mereka pada tingkai daerah, lokal bahkan sekolah juga sangat
diperlukan, sebab apa yany; telah digariskan pada tingkat pusat belum tentu dapat
dengan mudali dipahami oleh para pengembang dan pelaksana kurikulum di
daerah.
Pengembangan kurikulum juga membutuhkan partisipasi para ahli bidang
studi/bidang ilmu yang juga mempunyai wawasan tentang pendidikan serta
perkembangan tuntutan masyarakat. Sumbangan mereka dalam memilih materi
bidang ilmu, yang mutakhir dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat sangat diperlukan. Mereka juga sangat diharapkan partisipasinya
dalam menyusun materi ajaran dalam sekuens yang sesuai dengan struktur
keilmuan tetapi sangat memudahkan para siswa untuk mempelajarinya.
3. Peranan guru
Guru memegang peranan yang cukup penting baik di dalam perencanaan
maupun pelaksanaan kurikulum. Dia adalah perencana, pelaksana, dan
pengembang kurikulum bagi kelasnya.
Sekalipun ia tidak mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum,
guru merupakan penerjemah kurikulum yang datang dari atas. Dialah yang
mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya.
Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka
guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap
kurikulum.
Peranan guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid-
murid dalam kelas, tetapi juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup
yang lebih luas. Hasil-hasil penilaian demikian akan sangat membantu
pengembangan kurikulum, untuk memahami hambatanhambatan dalam
implementasi kurikulum dan juga dapat membantu mencari cara untuk
mengoptimalkan kegiatan guru.
Guru juga bukan hanya berperan sebagai guru di dalam kelas, ia juga
seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar,
pencoba, penyusunan organisasi, manajer sistem pengajaran, pembimbing baik di
sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanaan
pendidikan seumur hidup.
Guru juga berperan sebagai pelajar dalam masyarakatnya, sebab ia harus
selalu belajar struktur sosial masyarakat, nilai-nilai utama masyarakat, pola-pola
tingkah laku dalam masyarakat. Hal-hal di atas diperlukan untuk mempersiapkan
guru dalam berbagai situasi dan kegiatan pendidikan.
Sebagai pelaksana kurikulum maka guru pulalah yang menciptakan
kegiatan belajar mengajar bagi murid-muridnya. Berkat keahlian, keterampilan
dan kemampuan seninya dalam mengajar, guru mampu menciptakan situasi
belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu
mendorong kreativitas anak.
4. Peranan orang tua murid
Orang tua juga mempunyai peranan dalam pengembangan kurikulum.
Peranan mereka dapat berkenaan dengan dua hal: pertama dalam penyusunan
kurikulum dan kedua dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam penyusunan
kurikulum mungkin tidak semua orang tua dapat ikut serta, hanya terbatas kepada
beberapa orang saja yang cukup waktu dan mempunyai latar belakang yang
memadai. Peranan orang tua lebih besar dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam
pelaksanaan kurikulum diperlukan kerja sama yang sangat erat antara guru atau
sekolah dengan para orang tua murid. Sebagian kegiatan belajar yang dituntut
kurikulum dilaksanakan di rumah, dan orang tua sewajarnya mengikuti atau
mengamati kegiatan belajar anaknya di rumah. Orang tua juga secara berkala
menerima laporan kemajuan anak-anaknya dari sekolah berupa rapor dan
sebagainya. Rapor juga merupakan suatu alat komunikasi tentang program atau
kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Orang tua juga dapat hind
berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah melalui berbagai kegaitan seperti diskusi,
lokakarya, seminar, pertemuan orang tua-guru, pameran sekolah, dan sebagainya.
Melalui pengamatan dalam kegiatan belajar di rumah, laporan sekolah, partisipasi
dalam kegiatan sekolah orang tua dapat turut serta dalam pengembangan
kurikulum terutama dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya,
minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh, penyelesaian tugas-tugas serta
partisipasi dalam setiap kegiatan di sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut akan
memberikan umpan balik bagi penyempumaan kurikulum.
1. Perguruan tinggi
Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari Perguruan Tinggi.
Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan
di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan
keguruan serta penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan). Telah diuraikan terdahulu bahwa pengetahuan
dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses
pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi akan
mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum.
Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung
pengembangan alat bantu dan media pendidikan.
Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mem-
pengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan
kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik
ilmu pendidikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru
akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di
sekolah. Guru-guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang
ada dewasa ini, umumnya disiapkan oleh LPTK (IKIP, FKIP, STKIP) melalui
berbagai program, yaitu program D2, D3 dan Sl. Pada Sekolah Dasar masih
banyak guru berlatar belakang pendidikan SPG dan SGO, tetapi secara berangsur-
angsur mereka akan mengikuti program penyetaraan D2.
2. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak
untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat,
sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut
berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi
tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang ada di sekitar
sekolah mungkin merupakan masyarakat homogen atau heterogen, masyarakat
kota atau desa, petani, pedagang atau pegawai, dan sebagainya. Sekolah harus
melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada
dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di
masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebt sekolah bukan hanya
mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusaha. Jenis
pekerjaan dan perusahaan yang ada di masyarakat menuntut persiapannya di
sekolah.
3. Sistem nilai
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral,
keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga
masyarakat juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-
nilai. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus
terintegrasikan dalam kurikulum. Masalah utama yang dihadapi para pengembang
kurikulum menghadapi nilai ini adalah, bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak
hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset. Masyarakat memiliki
kelompok-kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok
sosial, spiritual dan sebagainya yang tiap kelompok sering memiliki nilai yang
berbeda. Dalam masyarakat Ingo terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politik,
fisik, estetika, etika, chr,iiis, dan sebagainya A..pek-aspek tersebut sering juga
mengandung nilai-nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
guru dalam mengajarkan nilai: (1) guru hendaknya mengetahui dan
memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat, (2) guru hendaknya
berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral, (3) guru berusaha menjadikan
dirinya sebagai teladan yang patut ditiru, (4) guru menghargai nilai-nilai
kelompok lain, (5) memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.
3. Beauchamp's system
Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp
seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima hal di dalam
pengembangan suatu kurikulum.
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh
kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi
ataupun seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang
dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta
oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang
kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi,
tetapi arena pengembangan kurikulum lianya mencakup satu daerah kabupaten
saja sebagai pilot proyek.
Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat
dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut
berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) para ahli
pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para
ahli bidang ilmu dari luar, (2) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau
sekolah dan guru-guru terpilih, (3) para profesional dalam sistem pendidikan, (4)
profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan
seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap
pegembangan kurikulum, dibanding dengan tokohtokoh lain seperti, para penulis
dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha serta
industriawan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan
luas wilayah arena. Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu banyak
melibatkan guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah
keterlibatan guru-guru semakin besar. Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok
personalia ini, Beauchamp mengemukakan tiga pertanyaan: (1) Haruskah
kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut dilibatkan dalam pengembangan
kurikulum?, (2) Bila ya, apakah peranan mereka?, (3) Apakah mungkin ditemukan
alat dan cara yang paling efektif untuk melaksanakan peran tersebut?
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini
berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan
umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta
kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu; (1)
Membentuk tim pengembang kurikulum, (2) mengadakan penilaian atau
penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan, (3) Studi
penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru, (4) merumuskan
kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, (5) penyusunan dan penulisan
kurikulum baru.
Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang
sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-
guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial dari
pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Langkah yang kelima dan merupakan terakhir adalah evaluasi kurikulum.
Langkah ini minimal mencakup empat hal, yaitu: (1) evaluasi tentang pelaksanaan
kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain kurikulum, (3) evaluasi hasil
belajar siswa, (4) evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum. Data yang
diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem
dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip melaksanakannya.
F. Buku Acuan
B. Konsep Kurikulum
Kurikulum merupakan daerah studi intelek yang cukup luas. Banyak teori
tentang kurikulum berupa teori menekankan pada rencana, yang lain pada inovasi,
pada dasar-dasar filosofis, dan pada konser konsep yang diambil dari ilmu
perilaku manusia ini menunjukkan betapa luasnya teori- teori tentang kurikulum.
Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang lebih
menekankan pada isi kurikulum, pada situasi pendidikan serta pada organisasi
kurikulum.
Penekanan kepada isi kurikulum. Strategi pengembangan yang
menekankan isi, merupakan yang paling lama dan banyak dipakai, tetapi juga
terus mendapat penyempurnaan atau pembaharuan Sebab-sebab yang mendorong
pembaharuan ini bermacam-macam. Pertama, karena didorong oleh tuntutan
untuk menguatkan kembali nilai-nilai moral dan budaya dari masyarakat. Kedua,
karena perubahan dasar filosofis tentang struktur pengetahuan. Ketiga, karena
adanya tuntutan bahwa kurikulum harus lebih berorientasi pada pekerjaan.
Faktor-faktor tersebut tidak timbul dari atau tidak ada hubungannya
dengan sistem institusi persekolahan, tetapi sangat mempengaruhi pengembangan
kurikulum. Pengaruhnya terhadap pengembangan kurikulum umpamanya,
penguatan kembali nilai-nilai moral dan budaya akan meminta perhatian yang
lebih besar pada kumpulan ilmu pengetahuan masa lalu, orientasi kepada
pekerjaan akan lebih banyak melihat ke masa depan, sedangkan titik tolak pada
pandangan filosofis akan lebih menekankan pada disiplin-disiplin keilmuan.
Apapun titik tolaknya, penekanan pada isi kurikulum akan membawa
beberapa akibat. Pengetahuan sebagai isi kurikulum mempunyai nilai intrinsik,
sesuatu yang akan diwariskan, sesuatu yang baru atau diperbaharui.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi bersifat material centered.
Kurikulum ini memandang murid sebagai penerima resep yang pasif. Secara
teoretis kurikulum yang menekankan isi dapat diukur, mempunyai tujuan yang
apabila telah ditransfer pada anak dapat dikuasai oleh anak. Ini merupakan
engineering approach. Anak dianggap bahan kasar yang tidak berdaya, bersama
dengan teman-temannya yang lain dicetak melalui blue print masyarakat. Salah
satu atribut organisasi kurikulum yang didasarkan pada pengetahuan (knowledge
based curriculum), memungkinkan pengembangan dalam jumlah besar. Melalui
proses diseminasi mereka dapat menggunakan teknik produksi massa untuk
mendapatkan pendidikan massal.
Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan
pada masalah di mana (where), bersifat khusus, sangat memperhatikan dan
disesuaikan dengan lingkungannya) Tipe ini akan menghasilkan kurikulum
berdasarkan situasi-situasi lingkungan, seperti kurikulum pedesaan, kurikulum
kelompok masyarakat nelayan, kurikulum daerah pesisir, pegunungan dan
sebagainya. Tujuannya adalah menghasilkan kurikulum yang benar-benar
merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang
menekankan situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan
kurikulum yang menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian
antara kurikulum dengan situasi di mana pendidikan berlangsung.
Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan
pada masalah di mana (where), bersifat khusus, sangat memperhatikan dan
disesuaikan dengan lingkungannya) Tipe ini akan menghasilkan kurikulum
berdasarkan situasi-situasi lingkungan, seperti kurikulum pedesaan, kurikulum
kelompok masyarakat nelayan, kurikulum daerah pesisir, pegunungan dan
sebagainya. Tujuannya adalah menghasilkan kurikulum yang benar-benar
merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang
menekankan situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan
kurikulum yang menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian
antara kurikulum dengan situasi di mana pendidikan berlangsung.
Sifat lain tipe ini adalah kurang atau tidak menekankan pada spesifikasi isi
dan .organisasi, lebih menunjukkan fleksibilitas dalam interpretasi dan
pelaksanaannya. Pengetahuan dianggap bersifat relatif terhadap situasi-situasi
yang khusus sesuai dengan kondisi setempat. Kurikulum ini ruang lingkupnya
sempit, masa pengembangannya juga relatif lebih singkat daripada desiminasinya.
Kalau kurikulum yang menekankan pada isi merupakan engineering approach
maka kurikulum yang menekankan situasi lebih mendekati gardening approach.
Kurikulum disusun sesuai dengan keadaan tanah, alam setempat, perhatian sangat
ditumpahkan pada mempersiapkan kebun atau sawah.
Secara teoretis, mengevaluasi kurikulum yang menekankan pada situasi
sangat sulit. Perencanaan dan pelaksanaan pengajaran sangat beraneka, peranan
guru dalam mengembangkan dan rnenerapkan kreasinya sangat besar, sehingga
cukup sulit merancang alat penilaian yang dapat mencakup skala yang agak luas.
Kesulitan lain adalah juga dalam menentukan standar kriteria.
Penekanan pada organisasi. Tipe kurikulum ini sangat menekankan pada
proses belajar-mengajarjMeskipun dengan berbagai perbedaan dan di sana sini
ada pertentangan, umpamanya antara konsep sistem instruksional (pengajaran
berprogram, pengajaran modul, pengajaran dengan bantuan komputer) dengan
konsep pengajaran (perkembangan) dari Bruner dan Jean Piaget, keduanya sangat
mempengaruhi perkembangan kurikulum tipe ini.
Perbedaan yang sangat jelas antara kurikulum yang menekankan
organisasi dengan yang menekankan isi dan situasi, adalah memberikan perhatian
yang sangat besar kepada si pelajar atau siswa. Dalam pembelajaran model sistem
instruksional aktivitas murid sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini merupakan
aktivitas yang sudah dirancang secara ketat. Siswa tidak mungkin melakukan hal-
hal atau kegiatan di luar yang telah diprogramkan. Dalam konsep belajar dari
Bruner juga peranan aktif dari siswa sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini bukan
yang telah diprogramkan secara ketat. Siswa mempunyai kesempatan, dan
didorong untuk berinovasi, menyatakan kreativitasnya. Dalam belajar aktif
tersebuI penguasaan bahasa serta proses mental dari si pelajar sangat memegang
peranan utama. Anak menurut Bruner merupakan hasil yang sangal kompleks dari
sejarah, biologi dan social, harus berpartisipasi secara aktil dalam lingkungan
belajar, menguasai bahasa dan menguasai kemamption kemampuan kognitif.
Apakah dalam bentuk sistem instruksional ataupun dalam sistem
pengajaran (perkembangan) dari Bruner, kurikulum yang menekankan pada
organisasi, memusatkan perhatiannya pada sekuens-sekuens belajar serta
organisasi bahan pelajaran yang disusun melalui elaborasi isi dan prosedur
pengukuran. Tipe kurikulum ini secara relatif bersifat lepas dari situasi lingkungan
atau situation free, berbeda dengan yang menekankan situasi. Kurikulum yang
menekankan masalah belajar-mengajar (menekankan organisasi) sebenarnya lebih
dekat kepada pendekatan kurikulum yang bersifat umum (generalized
curriculum), berlaku dalam lingkungan yang cukup luas. Inti kurikulum bukan
terletak pada bahanbahan yang dipelajari anak tetapi pada teacher's guide.
Kurikulum yang menekankan pada organisasi menolak pendapat bahwa
penguasaan pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Kurikulum yang
menekankan organisasi juga sesungguhnya sukar untuk diukur. Secara teoretis
penyusunan tes yang spesifik dapat dibuat, tetapi seperti telah diutarakan di muka,
isi kurikulum tidak spesifik, tujuannya dapat dicapai dengan cara yang berbeda-
beda. Tes yang disusun akan banyak menyangkut proses belajar yang bersifat
umum. Lebih jauh, kalau penyusunan tes hasil belajar didasarkan pada tujuan,
maka kurikulum yang menekankan pada organisasi, tesnya akan lebih banyak
mengukur tujuan-tujuan tingkat tinggi pada klasifikasi Bloom (analisis, sintesis,
dan evaluasi).
G. Buku Acuan
c. Personalia program
1. Dosen lembaga pendidikan guru dan guru-guru di lapangan
memperlihatkan sikap dan perilaku seperti yang diharapkan dalam
program.
2. Dosen dan guru-guru yang membimbing calon guru, dipersiapkan khusus
melalui latihan yang intensif dalam bidangnya.
3. Dosen, guru pamong dan staf lainnya dievaluasi dengan kriteria standar,
dan penentuan kebijaksanaan personalia didasarkan atas hasil evaluasi tsb.
d. Isi program
1. Bahan pelajaran
1. Program menyediakan latihan bagi penguasaan keterampilan dasar yang
belum dimiliki calon guru pada waktu masuk.
2. Program menyediakan pengajaran untuk pendidikan umum
3. Program menyediakan pengajaran tentang berpikir kritis, pemecahan
masalah dan kreativitas.
4. Program menyediakan pengajaran bidang studi secara mendalam, baik
yang berkenaan dengan bahan yang a kan diajarkan maupun bahan yang
berhubungan erat.
5. Program menyediakan pengajaran tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak.
6. Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana siswa belajar.
7. Program menyediakan kesempatan bagi calon guru untuk memperoleh dan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan secara efektif terhadap siswa
dari berbagai latar belakang budaya, ras, bahasa, agama, dan sosial
ekonomi.
2. Proses pengajaran
1) Program menyediakan pengajaran bagi pengembangan fisik dan intelek
siswa dari berbagai latar belakang.
2) Program menyediakan pengajaran tentang strategi pemgajaran.
3) Program menyediakan pengajaran tentang peranan guru dalam penentuart
keputusan.
4) Program menyediakan pengajaran bagimana menggunakan bahan cetak,
bukan cetak dan alat-alat teknologi.
5) Program menyediakan pengajaran bagaimana bekerja dan membantu anak-
anak yang berkelainan.
6) Program meliputi pengajaran tentang pengelolaan kelas.
7) Program menyediakan pengajaran tentang pengembangan keterampilan
hubungan interpersonal dan proses kelompok.
8) Program menyediakan pengajaran tentang keterampilan berkomunikasi
secara luas, terutama yang berhubungan dengan peranan profesional guru.
9) Program menyediakan pengajaran tentang penilaian proses dan hasil
belajar.
10) Program menyediakan pengajaran tentang peranan, pentingnnya dan
sumbangan sekolah terhadap pembangunan bangsa.
11) Program menyediakan pengajaran tentang kebijaksanaan pemerintah dan
pengelolaan pendidikan.
12) Program menyediakan pengajaran tentang hak dan tanggung jawab guru
dart siswa.
e. Keanggotaan profesi
1) Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana suatu profesi
diorganisasi, fungsi berbagai organisasi profesi dan tanggung jawab
anggota suatu organisasi profesi.
2) Program menyediakan pengajaran tentang hubungan antara organisasi
profesi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang mengelola pendidikan.
Perencanaan dan implementasi program pendidikan guru di Indonesia
dapat dikembangkan dengan menggunakan standar NEA sebagai acuan. Hampir
seluruh butir standar dapat diterapkan, walaupun untuk butir- butir tertentu
membutuhkan beberapa penyesuaian, atau penerapannya secara berangsur-angsur.
Peningkatan mutu pendidikan guru melalui penerapan standar, membutuhkan
beberapa hal.
Pertarna, perlu adanya kesamaan pandangan dari berbagai pihak yang
berkepentingan dan terlibat dalam pengembangan pendidikan guru, ten- tang
program dan standar program pendidikan guru. Adanya perbedaan pandangan
yang jauh, selain akan menghambat kelancaran pengembangan program, juga bisa
menghambat pencapaian program yang bermutu.
Kedua, perlu adanya kesiapan terutama dari para pengelola dan pelaksana
program. Dosen lembaga pendidikan guru dan guru pamong, menjadi barisan
terdepan dalam pembinaan profesi guru. Mereka harus menjadi ekspert dan
sekaligus contoh model bagi para siswa pendidikan guru. Beberapa butir dalam
standar menekankan hal itu. Sudah siap dan akan siapkah para dosen dan guru-
guru di lapangan untuk menjadi ekspert dan model guru yang didambakan? Apa
yang harus dilakukan terlebih dahulu agar mereka betul-betul siap? Guru
profesional bukan hanya tahu banyak, tetapi juga bisa banyak.
Ketiga, agar guru-guru yang dihasilkan dari lembaga pendidikan guru,
betul-betul bisa mengajar diperlukan pengalaman praktik yang memadai. Untuk
itu diperlukan tempat praktik yang representatif yang memung- Idnkan para siswa
calon guru, belajar berlatih dan berbuat banyak. Ini me nyangkut tersedianya
tempat praktik yang representatif, dengan fasilitas dan peralatan praktik yang
memadai. Pengembangan program pendidikan guru yang bermutu standar
membutuhkan dalam menilai kompetensi, harus:
Keempat, pengembangan program pendidikan guru yang bermutu standar
membutuhkan kepedulian, motivasi dan dedikasi yang tinggi dari para
pelaksananya. Upaya apa yang harus dilakukan agar tercipta kondisi tersebut?
Suatu pekerjaan akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat,
apabila para pelaku pekerjaan itu merasa enjoy dengan pekerjaan tersebut. Apa
yang harus diupayakan agar para pelaksana pendidikan guru merasa enjoy. Hal
yang sama juga berlaku agar para guru di sekolah merasa enjoy dengan
pekerjaannya. Apakah imbalan finansial yang akan menumbuhkan enjoyness?
atau pimpinart yang bijaksana dengan kepemimpinannya yang terbuka? atau
sistem kenaikan pangkat yang terbuka yang memungkinkan guru-guru (termasuk
guru sekolah dasar) bisa mencapai golongan IVe? atau faktor-faktor lainnya?
E. Buku Acuan
Kelas yang baik tidak terjadi dengan sendirinya, hal itu terjadi karena guru
memahami benar situasi kelas dan perilaku para siswa serta berusaha keras untuk
menciptakannya. Buku ini membahas bagaimana menciptakan kelas yang
terkelola dengan baik. Secara garis besar pengelolaan kelas ini meliputi tiga
langkah: perencanaan, dilakukan sebelum tahun ajaran, pelaksanaan pengelolaan,
serta pemeliharaan prosedur pengelolaan, keduanya dilakukan sepanjang tahun
ajaran. Ketiga langkah pengelolaan tersebut dalam buku ini meliputi, pengelolaan
ruang kelas dan alat-alat belajar, memilih peraturan dan prosedur pengelolaan,
mengelola kegiatan siswa, memelihara perilaku siswa, memberikan ganjaran dan
hukuman, mengorganisasi dan melaksanakan kegiatan pengayaan, mengelola
kelompok-kelompok khusus, mengevaluasi organisasi dan manajemen kelas.
Buku ini menguraikan hal-hal yang sangat praktis, oleh karena itu buku ini sangat
berharga bagi guru-guru, kepala sekolah, konselor serta para mahasiswa yang
sedang mempersiapkan din i untuk menjadi guru.
Schwebel, Andrew I. et al. (1979). The Studnet Teacher's Handbook. New York:
Barners & Nobles Books.
Sesuai dengan judulnya, buku ini memberikan gambaran dan sekaligus
pedoman kepada calon-calon guru serta para mahasiswa yang sedang belajar di
Fakultas Pendidikan/Keguruan tentang apa yang diharapkan dari seorang calon
guru, serta gambaran nyata yang akan dihadapi para calon guru di dalam kelas.
Dengan ilustrasi yang menarik dilukiskan dalam buku ini kegiatan sehari-hari para
calon guru yang sedang berpraktik di sekolah. Digambarkan dengan jelas
bagaimana hubungan antara guru dengan siswa, dengan guru lain, kepala sekolah,
pengawas dan orang tua siswa. Bagaimana kurikulum, bagaimana menyusun
persiapan mengajar, bagaimana memecahkan masalah siswa, bagaimana mencari
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan individu dengan kelas.
Perkembangan calon guru dari serba ragu menjadi penuh keyakinan dan penuh
tanggung jawab, berdiri sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Beanne, J.A. & Toepfer, Jr. C.F. & Alessi, S.J. (1986). Curriculum Planning and
Development. Newton, Massachussetts: Alyn and Bacon, Inc.
Brandes, D & Ginnis, P. (1992), The Student Centred School. Great Britain:
Simon and Schuster Education.
Brown, George I. (Ed). (1975). The Live Classroom. New York: The Viking
Press.
Chambers, John H. (1983). The Achievement of Education. New York: Harper &
Row Pub.
Gagne, Robert M. (1965). The Condition of Learning. New York: Holt, Rinehart
& Winston.
Glasser, William. (1980).Control Theory in the Classroom. New York: Harper &
Row Publisher.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1970). Theories of Personality. New York:
John Wiley & Sons.
Hass, Glen. (Ed). (1970). Readings in Curriculum. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Holmes Group, (1990). Tomorrow's Schools. East Lansing, USA: The Holmes
Group.
Hosyom, John. (1985). Inquiring Into the Teaching Process. Toronto, Ontario:
Oise Press.
Kast, Fremont E. & Rosenweig James E. (1962). Science Technology and Man
agement. New York: McGraw Hill Book Co.
Kibler, Robert J, et al. (1970). Behavioral Objectives and Instruction, Allyn &
Bacon.
Kourilsky, Marilyn & Quaranta, Lory. 1987. Effective Teaching. London: Scott,
Foresman and Co.
Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curriculum : Perspectives and Practices. New
York and London: Longman.
Petty, Walter T. (Ed). (1976). Curriculum for the Modern Elementary School.
Chicago: Rand MacNally College Pub.
Qodir, C.A. (Ed). (1995). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Ruggiero, V.R. (1988). Teaching Thinking Across the Curriculum. New York:
Harper & Row, Publishers.
Skinner, B.F. (1972). Beyond Freedom and Dignity. New York: Alfred A Knopf,
Inc.
Sleeman, P.J. & Rockwell D.M. (1976). Instructional Media and Technology.
Stroudsberg : downden, Hutchinson & Sons.
Taba, Hilda. (1962). Curriculum Development: Theory and Practices. New York:
Harcourt, Brace and World, Inc.
Welch, I.D. (Ed). (1978). Humanistic Psychology. New York: Promenthus Books.