Anda di halaman 1dari 15

BLOK SOFT TISSUE SURGERY

DISCOVERY LEARNING
SELF LEARNING REPORT
SMALL GROUP DISCUSSION 3
PENYAKIT PERIODONTAL

Tutor :

drg.

Disusun oleh :

Alia Istiqomah

G1B016001

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2019

1
Penyakit Periodontal

A. Skenario 1
1. Pemeriksaan
- Pemeriksaan subjektif
a. Identitas Pasien
1) Jenis kelamin : 😊
2) Usia :😊
b. Anamnesa
1) Chief Complain :😊
2) Present Illness : pasien sudah merasakan keluhan sejak lama.
3) Past Medical History : tidak ada riwayat penyakit sistemik
4) Past Dental History : tidak ada keterangan.
5) Family History : tidak ada keterangan.
6) Social History : tidak ada keterangan.
- Pemeriksaan Objektif
a. Keadaan Umum Pasien : compos mentis
b. Vital Sign : tidak ada keterangan.
c. Pemeriksaan Ekstraoral : tidak ada keterangan.
d. Pemeriksaan Intraoral :😊
e. Pemeriksaan penunjang :😊
2. Diagnosa Kasus
Periodontitis agresif lokalisata pada 😊
3. Definisi Diagnosis
Periodontitis agresif adalah penyakit periodontal dengan insersi cepat dan
kehilangan tulang alveolar, yang ditandai dengan agregasi familial dengan
kecenderungan terjadi pada individu yang sehat, kecuali periodontitis. Meskipun
dapat muncul kapan saja usia, usia muda merupakan usia dengan tingkat kejadian
tertinggi (Benza-Bedoya, dkk., 2017).
4. Etiologi dan Pembahasan

2
Periodontitis agresif merupakan penyakit multifaktorial dan penyakit genetik
yang kompleks. Peningkatan kerentanan pasien dapat disebabkan oleh efek
gabungan dari kecenderungan genetik, faktor lingkungan (patogen virulen,
merokok, kebersihan gigi) dan faktor-faktor yang berkontribusi lokal.
Selanjutnya, virus herpes juga dapat menjadi faktor tambahan kerentanan dan
keparahan pada periodontitis agresif. Pada umumnya periodontitis agresif sangat
terkait dengan bakteri seperti Porphyromonas gingivalis, Agregatibacter
actinomycetemcomitans (Aa) dan Tannerella forsythia. Studi terbaru
menunjukkan bahwa spesies mikroba lain juga dapat ikut memberikan kontribusi.
Pada periodontitis agresif umum terdapat respons yang kurang baik terhadap
bakteri patogen periodontal yang disebabkan oleh masalah genetik dan faktor
risiko imunologis (Benza-Bedoya, dkk., 2017).
Patogenesis periodontitis agresif lokal adalah terkait dengan kelainan pada
fungsi neutrofil, yang kemudian menghasilkan cedera jaringan yang dimediasi
neutrofil. Kelainan ini merupakan hasil dari tahap hiperaktif neutrofil kronis yang
dapat ditandai dengan adanya penurunan kemotaksis neutrofil pada periodontitis
agresif lokal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ini disebabkan oleh
kelainan pada sinyal transduksi. Selain itu, neutrofil pasien dengan periodontitis
agresif lokal menunjukkan penurunan entri kalsium, cacat faktor masuk kalsium,
aktivitas abnormal protein kinase C (Benza-Bedoya, dkk., 2017).
Berdasarkan skenario kasus, pasien telah dilakukan pemeriksaan o’leary dan
OHI dengan hasil yaitu hasil’pemeriksaan o’leary 18% yang tergolong baik, hasil
OHI dengan angka 2 yang tergolong baik juga. Hal ini menunjukkan bahwa
periodontitis agresif ini lebih mengarah kepada terjadinya kerusakan fungsi
neutrophil, atau terdapat hiperaktivasi sel imun secara kronis. Meski demikian,
tidak menutup kemungkinan bahwa bakteri utama penyebab periodontitis agresif
juga ikut berperan. Dengan alasan ini, dapat disimpulkan bahwa etiologi
periodontitis agresif pasien adalah kelainan atau kerusakan fungsi neutrophil serta
adanya bakteri Porphyromonas gingivalis, Agregatibacter

3
actinomycetemcomitans (Aa) dan Tannerella forsythia (Benza-Bedoya, dkk.,
2017).
Sesuai dengan pemeriksaan Community Periodontal Index of Treatment Need
(CPITN) yang membagi semua gigi menjadi 6 segmen dengan gigi indeks 17,16,
11, 26, 27, 47, 46, 31, 36, 37 dengan 5 skor yaitu 0,1,2,3,4 kasus pasien ini
mendapatkan skor 4. Skor ini didapatkan dari penggunaan pemeriksaan pada
segmen posterior atas yaitu gigi17 dan 16. Skor 4 didapatkan ketika kedalaman
poket lebih atau sama dengan 6. Kedalaman poket pada gigi 16 adalah 6 mm,
dengan CAL 8 mm. Dengan ini pasien perlu dilakukan perbaikan OH, Scalling,
dan perawatan kompleks (Benza-Bedoya, dkk., 2017).
Berikut dapat dijelaskan tahapan penanganan pada kasus ini adalah sebagai
berikut : (1) Perawatan darurat, jika perlu, (2) Mendidik pasien tentang proses
penyakit, faktor yang berkontribusi, serta pemicu, (3) Mengajarkan pasien tentang
kebersihan mulut, evaluasi dan retensi plak, serta langkah-langkah kontrolnya (4)
Studi, diagnosis dan pengobatan disharmoni oklusal dan gangguan temporo
mandibular, (5) Mengambil sampel bakteri dari poket terpilih, kultur dan
sensitivitas antibiotik pengujian juga dapat dipertimbangkan, (6) Perawatan gigi
sebelumnya, jika perlu, (7) Scaling supragingiva dan subgingiva dan root
planning (Benza-Bedoya, dkk., 2017).
Terapi mekanis adalah kunci dalam pengobatan periodontitis agresif. Bahkan
terapi antimikroba harus didahului dengan debridemen mekanik untuk
memecahnya struktur biofilm. Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan juga
adalah (1) Ekstraksi atraumatik dari gigi-geligi tidak aktif yang menjaga
punggungan, (2) Perawatan antibiotik lokal dan sistemik. Aplikasi antibiotik
melalui keduanya jalur memiliki kelebihan dan keterbatasan (Benza-Bedoya,
dkk., 2017).
Meresepkan antibiotik sistemik untuk perawatan periodontitis agresif adalah
benar. Kombinasi amoksisilin dan metronidazol sebagai adjuvan adalah yang opsi
terbaik, seperti yang dijelaskan dalam ulasan sistematis terbaru, terutama untuk
efektivitasnya Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Antibiotik lain yang

4
direkomendasikan untuk pengobatan periodontitis agresif adalah metronidazole,
spiramisin, dan klindamisin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi
tambahan dengan antimikroba lokal mengarah pada pengurangan kedalaman
poket dan peningkatan signifikan pada tingkat perlekatan klinis dibandingkan ke
kelompok kontrol. Efek yang lebih baik didapatkan dengan tetrasiklin, diikuti
oleh doksisiklin dan minosiklin (Benza-Bedoya, dkk., 2017).
Studi menunjukkan bahwa akses atau perawatan bedah regeneratif dapat
memberikan hasil yang baik pada pasien dengan periodontitis agresif, dan
efeknya mungkin sama dengan yang didapatpada periodontitis kronis. Perawatan
resektif, reparatif atau regeneratif dapat dilakukan tergantung pada kasusnya.
Pada periodontitis agresif, protokol perawatan yang sesuai untuk stabilisasi
jangka panjang kesehatan periodontal adalah pembedahan antimikroba dan terapi
mekanik komprehensif (Benza-Bedoya, dkk., 2017).
B. Skenario 2
1. Pemeriksaan
- Pemeriksaan Subjektif
a. Identitas Pasien
1) Jenis kelamin : 😊
2) Usia :😊
b. Anamnesa
1) Chief Complain :😊
2) Present Illness : tidak ada keterangan
3) Past Medical History : tidak ada riwayat penyakit sistemik
4) Past Dental History : tidak ada keterangan.
5) Family History : tidak ada keterangan.
6) Social History : Pasien mengaku sering merokok setiap hari
- Pemeriksaan Objektif
a. Keadaan Umum Pasien : compos mentis
b. Vital Sign : tidak ada keterangan.
c. Pemeriksaan Ekstraoral : tidak ada keterangan.

5
d. Pemeriksaan Intraoral :😊
e. Pemeriksaan penunjang : 😊
2. Diagnosa Kasus
Periodontitis kronis generalisata regio 😊 disertai periodontitis kronis lokalisata
gigi 😊
3. Definisi Diagnosis
Periodontitis kronis adalah penyakit umum yang ditandai dengan
perkembangan lambat dan tidak nyeri. Mungkin terjadi pada sebagian besar
kelompok umur, tetapi paling umum di antara orang dewasa dan manula di
seluruh dunia (Shaddox, dkk., 2010).
4. Etiologi dan Pembahasan
Penyakit periodontal adalah proses inflamasi yang mempengaruhi jaringan
pelindung dan suportif di sekitar gigi. Akumulasi plak bakteri pada permukaan
gigi menyebabkan peradangan jaringan marginal, yang dikenal sebagai gingivitis.
Gingivitis cukup umum dan terdapat pada 90% populasi AS. Jika tidak diobati,
gingivitis dapat berkembang menjadi periodontitis, yang ditandai dengan
hilangnya dukungan perlekatan periodontal (kehilangan perlekatan klinis, [CAL])
dan resorpsi tulang, akhirnya mengakibatkan mobilitas dan kehilangan gigi.
Periodontitis kronis adalah penyakit umum yang ditandai dengan perkembangan
lambat dan tidak nyeri. Mungkin terjadi pada sebagian besar kelompok umur,
tetapi paling umum di antara orang dewasa dan manula di seluruh dunia dengan
sekitar 35% orang dewasa (30–90 tahun) di AS dipengaruhi oleh setidaknya satu
situs dengan CAL 3 mm dan PD 4 mm (Shaddox, dkk., 2010).
Kedua penyakit kronis gigi utama, karies dan penyakit periodontal disebabkan
secara tidak langsung oleh mikroflora plak gigi. Bakteri saja tidak dapat merusak
permukaan gigi. Karies adalah hasil asam yang dibuat dari substrat eksternal
bakteri pada gigi yang rentan, tetapi penyebab atau faktor yang menyebabkan
kerentanan gigi (faktor host) masih kurang dipahami. Tidak adanya karies pada
beberapa populasi adalah bukti bahwa peran bakteri adalah sekunder dari
ketersediaan gula lingkungan, dan lebih cenderung kerentanan gigi. Demikian

6
pula, tidak adanya penyakit periodontal yang signifikan pada populasi kuno
menunjukkan bahwa bakteri bukanlah penyebab utama penyakit periodontal. Ada
sejumlah faktor yang dalam kondisi ideal harus melindungi host dari potensi
penyakit periodontal inflamasi kronis. Dalam kondisi yang kurang ideal, faktor
lingkungan dapat menurunkan efisiensi pertahanan tubuh host (Clarke, dkk.,
1985).
Pada kasus ini pasien menyangkal adanya penyakit sistemik, dengan
informasi ini dapat kita simpulkan bahwa etiologi dari periodontitis ini bukanlah
karena penyakit sistemik. Maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
periodontitis kronis karena adanya akumulasi plak yang selanjutnya menyebabkan
adanya inflamasi secara terus menerus pada daerah yang mengalami periodontitis.
Di informasikan juga bahwa pasien mengaku merokok setiap hari, Merokok
merupakan factor predisposisi dari periodontitis, yang mana menyebabkan
kondisi lingkungan atau keadaan rongga mulut menjadi lebih buruk. Maka dapat
disimpulkan bahwa pasien menderita periodontitis kronis karena adanya
akumulasi plak pada daerah gigi yang dekat dengan gingiva dan menyebabkan
inflamasi pada gingiva sekitarnya serta merokok sebagai factor predisposisinya.
Rencana perawatan pada periodontitis kronis dapat dibagi menjadi 3 fase
yaitu fase I : Fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara menghilangkan
beberapa faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa melakukan tindakan bedah
periodontal atau melakukan perawatan restoratif dan prostetik. Berikut ini adalah
beberapa prosedur yang dilakukan pada fase I. 1. Memberi pendidikan pada
pasien tentang kontrol plak. 2. Scaling dan root planning. 3. Perawatan karies dan
lesi endodontik. 4. Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over
hanging. 5. Penyesuaian oklusal (occlusal ajustment). 6. Splinting temporer pada
gigi yang goyah. 7. Perawatan ortodontik. 8. Analisis diet dan evaluasinya. 9.
Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut diatas. Fase II : Fase
terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas anatomikal seperti poket
periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni oklusi yang berkembang sebagai
suatu hasil dari penyakit sebelumnya dan menjadi faktor predisposisi atau

7
rekurensi dari penyakit periodontal. Berikut ini adalah bebertapa prosedur yang
dilakukun pada fase ini: 1. Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket dengan
cara antara lain: kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur bedah flap periodontal,
rekonturing tulang (bedah tulang) dan prosedur regenerasi periodontal (bone and
tissue graft). 2. Penyesuaian oklusi. 3. Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik
yang ideal untuk gigi yang hilang. Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan
untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini
adalah beberapa prosedur yang dilakukan pada fase ini: 1. Riwayat medis dan
riwayat gigi pasien. 2. Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan
mencatat scor plak, ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan
mobilitas gigi. 3. Melekukan radiografi untuk mengetahui perkembangan
periodontal dan tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali. 4. Scalling dan
polishing tiap 6 bulan seksli, tergantung dari evektivitas kontrol plak pasien dan
pada kecenderungan pembentukan kalkulus. Aplikasi tablet fluoride secara
topikal untuk mencegah karies (Kiswaluyo, 2013).
C. Skenario 3
1. Pemeriksaan
- Pemeriksaan Subjektif
a. Identitas Pasien
1) Jenis kelamin : 😊
2) Usia :😊
b. Anamnesa
1) Chief Complain :😊
2) Present Illness :😊
3) Past Medical History : tidak ada riwayat penyakit sistemik
4) Past Dental History : tidak ada keterangan.
5) Family History : tidak ada keterangan.
6) Social History : kebiasaan merokok 20 batang per hari dan
mengonsumsi alkohol
- Pemeriksaan Objektif

8
a. Keadaan Umum Pasien : compos mentis
b. Vital Sign : adanya peningkatan suhu pasien
c. Pemeriksaan Ekstraoral : pembesaran pada kelenjar submandibular
d. Pemeriksaan Intraoral : oral hygiene yang buruk, banyak plak dan
kalkulus, dan bau mulut yang kuat. Pada gingiva terbentuk celah dan terdapat
membran tipis berwarna putih, kotoran yang berwarna abu-abu dan mudah
berdarah.
e. Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan radiografis kehilangan sedikit tulang
alveolar berbentuk horizontal pada regio anterior bawah.
2. Diagnosa Kasus
Necrotizing Ulceratif Periodontitis
3. Definisi Diagnosis
Necrotizing Ulceratif Periodontitis (NUP) merupakan bentuk akut penyakit
periodontal, yang ditandai dengan perjalanan cepat dan terkait dengan basil
fusiform, spirochetes atau virus - khususnya biofilm mikroba anaerob yang virulen
(Kinane, dkk., 2017).
4. Etiologi dan Pembahasan
Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG) adalah keadaan inflamasi gingiva
yang akut, sangat nyeri, sehingga pasien tidak dapat menentukan secara pasti
tempat yang terasa sakit, dan rasa sakit lebih terasa kuat pada tempat terjadinya
ulserasi serta timbul secara tiba-tiba. Tanda klinis lainnya yang mungkin
ditemukan adalah adanya bau mulut dan meningkatnya saliva. Pada kasus yang
parah, mungkin disertai demam tinggi, limfadenopati, peningkatan nadi,
leukositosis, hilang nafsu makan, dan merasa lesu, nekrosis papila gingiva yang
tampak menekan keluar, pembentukan pseudomembran di ujung papila dan
perdarahan gingiva spontan. Perubahan kebiasaan hidup, stress psikologis,
kelelahan, kerja yang berkepanjangan tanpa istirahat yang cukup, merokok,
kebersihan mulut yang buruk, mengkondumsi alkohol dan sistem kekebalan tubuh
terganggu semua dapat berkontribusi pada pengembangan NUG (Rini, dkk.,
2016).

9
Plaut dan Vincent memperkenalkan konsep bahwa etiologi NUG disebabkan
oleh bakteri spesifik: Fusiform bacillus dan organisme spirocheta. Sedangkan
menurut Rosebury dan teman-teman menjelaskan jenis bakteri fusospirocheta
yang terdiri dari T. microdentium, intermediate spirochetes, vibrios, fusiform
basilus, dan organisme berfilamen, Borrelia (Rini, dkk., 2016).
Pada kasus ini, dijelaskan bahwa pasien datang sudah dalam keadaan NUP,
sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab NUP pada kasus ini adalah bakteri
Fusiform bacillus dan organisme spirochete dengan factor etiologic lainnya adalah
mengkonsumsi alcohol dan merokok (Rini, dkk., 2016).
Perawatan NUG terdiri dari (1) pengurangan inflamasi akut dengan
mengurangi jumlah mikroba dan menghilangkan jaringan nekrotik, (2) perawatan
terhadap penyakit kronis yang mendasari timbulnya keadaan akut atau penyakit
lain dalam rongga mulut, (3) pengurangan gejala-gelaja seperti demam dan
malaise, (4) perbaikan kondisi sistemik atau faktor yang membantu inisiasi atau
perkembangan dari perubahan gingiva (Rini, dkk., 2016).
Pada kunjungan pertama dokter gigi harus melakukan pemeriksaan lengkap
terhadap pasien, termasuk riwayat medis secara menyeluruh dengan perhatian
utama terhadap penyakit yang sedang diderita. Penghilangan plak dan kalkulus
superfisial harus selembut mungkin baik menggunakan tangan ataupun dengan alat
ultrasonic, jika diperlukan dapat menggunakan anestesi topical. Tujuan dari terapi
inisiasi adalah untuk mengurangi jumlah mikroba dan menghilangkan jaringan
nekrotik sehingga terjadi perbaikan dan regenerasi jaringan normal. Pasien
diinstruksikan untuk membersihkan mulut dengan cara–cara yang efektif.
Perawatan selama kunjungan pertama ini terbatas pada daerah inflamasi akut,
diisolasi dengan cotton roll dan dikeringkan. Topikal anestesi diaplikasikan,
setelah 2 atau 3 menit area tersebut diseka dengan secara perlahan cotton pellet
basah untuk menghilangkan lapisan pseudomembran dan debris dari permukaan,
mungkin terjadi perdarahan. Setiap cotton pellet digunakan pada area yang kecil,
kemudian dibuang; tidak dianjurkan untuk menyeka area terlalu besar dengan satu

10
cotton pellet. Kemudian area tersebut dibilas dengan air hangat dan kalkulus
superfisial dihilangkan (Rini, dkk., 2016).
Pasien diinstuksikan menggunakan obat kumur dengan hidrogen peroksida
3% dan dibilas dengan air hangat setiap 2 jam dan atau 2x/hari dengan larutan
klorheksidin 0,12%. Mengurangi atau menghilangkan hal – hal yang mendorong
faktor-faktor etiologi seperti kelelahan, mengkonsumsi alkohol, perokok berat,
stress dan kebiasaan makan yang jelek (Rini, dkk., 2016).
D. Skenario 4
1. Pemeriksaan
- Pemeriksaan Subjektif
a. Identitas Pasien
1) Jenis kelamin : 😊
2) Usia :😊
b. Anamnesa
1) Chief Complain :😊
2) Present Illness : pasien tidak merasakan nyeri.
3) Past Medical History : tidak ada riwayat penyakit sistemik
4) Past Dental History : tidak ada keterangan.
5) Family History : tidak ada keterangan.
6) Social History : perokok berat selama 2 tahun
- Pemeriksaan Objektif
a. Keadaan Umum Pasien : compos mentis
b. Vital Sign : tidak ada keterangan.
c. Pemeriksaan Ekstraoral : tidak ada keterangan.
d. Pemeriksaan Intraoral :😊
e. Pemeriksaan penunjang : 😊
2. Diagnosa Kasus
Mucous Membrane Pemphigoid (MMP)
3. Definisi Diagnosis

11
Mucous Membrane Pemphigoid (MMP) merupakan kelainan autoimun kronis
ditandai dengan munculnya blisters/gelembung (lepuhan) yang mengenai
membran mukosa, dengan kejadian terbanyak pada mukosa rongga mulut, lalu
diikuti konjungtiva, nasofaring, esofagus, laring, dan mukosa genital (Wahyui,
dkk., 2016).
4. Etiologi dan Pembahasan
Etiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara pasti, tetapi diduga
merupakan reaksi autoimun yang dipicu oleh penggunaan obat-obatan. Sirkulasi Ig
G dan IgA autoantibodi pada serum pasien MMP menunjukkan bahwa penyakit ini
dimediasi oleh respon imun humoral. Penyakit ini terjadi ketika antibodi
menyerang satu atau lebih autoantigen di subepitel dan membrana basalis
(Wahyui, dkk., 2016).Pada kasus ini dijelaskan bahwa pasien menderita mucous
membrane pemphigoid (MMP) yang mana penyebabnya adalah autoimun pada
tubuh yang keterkaitan dengan konsumsi obat tidak diketahui.
Untuk penyakit ringan tanpa perkembangan yang cepat, dapson dapat
diberikan mulai 25 hingga 50 mg per hari, meningkat setiap bulan sebesar 25
hingga 50 mg hingga remisi klinis tercapai atau hingga dosis maksimum yang
dapat ditoleransi tercapai (biasanya 200 mg per hari). Keberhasilan penggunaan
agen ini telah dilaporkan pada pasien dengan penyakit mulut sedang sampai berat,
dan juga penyakit ocular. Kegagalan untuk pemulihan yang ditandai dalam waktu
sekitar 3 bulan harus segera dipertimbangkan agen lain seperti azathioprine,
methotrexate, atau cyclophosphamide jika penyakit ini mempengaruhi situs
berisiko tinggi seperti permukaan ocular (Neff, dkk., 2008).
Kortikosteroid sistemik masih merupakan terapi utama untuk pasien
dengan lesi oral, terutama ditujukan untuk mencegah perkembangan penyakit agar
tidak melibatkan kulit atau lesi pada epitel lain seperti osefagus. Aturan dosis
optimum kortikosteroid sistemik tidak diketahui dengan pasti, dan didasarkan pada
data empiris dan pengalaman praktis. Dosis yang dianjurkan, disesuaikan dengan
tingkat keparahan penyakit. Pada kasus yang ringan, dirawat dengan dosis
prednisolon awal 40-60 mg per hari, dan pada kasus yang lebih parah 60-100 mg

12
per hari. Jika tidak ada respon dalam 5-7 hari, dosis dapat ditingkatkan 50-100%.
Pertamakali remisi terjadi, dosis diturunkan secara bertahap (tapering off). Terapi
ajuvan direkomendasikan untuk mengurangi dosis steroid dan komplikasi serius
yang dapat terjadi akibat penggunaan steroid; dan yang paling umum digunakan
adalah obat-obatan imunosupresif seperti cyclophosphamide, cyclosporine dan
azathioprine (Nelis, 2016).

13
Daftar Pustaka

Benza-Bedoya, R., Pareja-Vásquez, M., 2017, Diagnosis And Treatment Of


Aggressive Periodontitis, Universidad de San Martín de Porres : Lima
Clarke, N. G. Carey, S. E., 1985, Etiology of chronic periodontal disease: an
alternative perspective, JADA, 110 : 689-91
Kinane, D. F., Stathopoulou, P. G., Papapanou, P. N., 2017, Periodontal diseases,
Nature Review Disease primers, 3 ( 17038 ) : 1-14
Kiswaluyo, 2013, Perawatan Periodontitis pada Puskesmas Sumbersari, Puskesmas
Wuluhan dan RS Bondowoso, Jurnal Kedokteran Gigi Unej Vol. 10 (3):
115-120
Nelis, S., 2016, Pemfigus Vulgaris Oral Terkait Infeksi Virus Herpes Simpleks, Jurnal
Kesehatan Gigi, 3(1): 41-47.
Neff, A. G., Turner, M., Mutasim, D., 2008, Treatment strategies in mucous membrane
pemphigoid, Therapeutics and Clinical Risk Management, 4 (3) : 617–26
Shaddox, L. M., Walker, C. B., 2010, Treating chronic periodontitis: current status,
challenges, and future directions, Clinical, Cosmetic and Investigational
Dentistry, 2 : 79–91
Rini, T. C., Rusyanti, Y., 2016, Terapi Kedaruratan Penyakit Periodontal, Prosiding
Dies 57 Fkg Unpad : Bandung

14
Wahyuni,I. S., Dewu, T.S., Herawati, E., Zakiawati, D., 2016, Profil lesi oral pada
penderita penyakit autoimun, Majalah Kedokteran Gigi Indonesia, 2 (3) :
147-54

15

Anda mungkin juga menyukai