Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Abortus
2.1.1. Pengertian
Abortus adalah terancamnya atau keluarnya buah kehamilan baik sebagian
ataupun keseluruhan pada umur kehamilan lewat dari 20 minggu. Kematian janin
dalam rahim disebut Intra Uterine Fetal Death (IUFD), yakni kematian yang terjadi
saat usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau pada trimester kedua dan atau yang
beratnya 500 gram. Jika terjadi pada trimester pertama disebut keguguran atau abortus
(Setiawati, 2013).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan akibat faktor tertentu atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 20 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk
hidup diluar kandungan (Yulaikha, 2012).

2.1.2. Klasifikasi
Abortus dapat dibagi atas dua golongan, yaitu:
1. Abortus spontan, adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului factor-faktor
mekanis atau medisinalis, semata-mata disebabkan oleh factor-faktor alamiah.
Abortus ini dapat dibagi menjadi:
a. Abortus imminiens adalah terjadinya perdarahan bercak yang menunjukan
ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini
kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan, ditandai dengan
perdarahan bercak hingga sedang, serviks tertutup (karena pada saat
pemeriksaan dalam belum ada pembukaan), uterus sesuai usia gestasi, kram
perut bawah, nyeri memilin karena kontraksi tidak ada atau sedikit sekali,
tidak ditemukan kelainan pada serviks (Rukiyah & Yulianti, 2010).
b. Abortus Insipiens adalah keguguran berlangsung. Abortus ini sudah
berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi.
c. Abortus inkomplit adalah keguguran lengkap. Sebagian dari buah kehamilan
telah dilahirkan tapi sebagian (biasanya jaringan placenta) masih teringgal di
dalam rahim.
d. Abortus komplit keguguran lengkap. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan
dengan lengkap.
e. Missed abortion adalah keguguran tertunda. Keadaan dimana janin telah mati
sebelum minggu ke 22, tetapi tertahan di dalam rahim selama 2 bulan atau
lebih selama janin mati.
f. Abortus habitualis adalah keguguran berulang-ulang. Abortus yang telah
berulang dan berturut-turut terjadi; sekurang-kurangnya 3x berturut-turut.
2. Abortus provokatus (induced abortion), adalah abortus yang disengaja baik
dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat.
a. Abortus medisinalis (abortus therapeutika) adalah abortus karena tindakan kita
sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa
ibu (berdasarkan indikasi medis).
b. Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan
yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis (Mochtar Rustam,
1998).

2.1.3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada abortus antara lain:
1. Abortus imminens
a. Perdarahan sedikit
b. Nyeri memilin karena kontraksi tidak ada atau sedikit sekali
c. Pada pemeriksaan dalam belum ada pembukaan
d. Tidak ditemukan kelainan pada cervik
2. Abortus incipiens
a. Perdarahan banyak; kadang-kadang keluar gumpalan darah
b. Nyeri karena kontraksi rahim kuat
c. Akibat kontraksi rahim terjadi pembukaan
3. Abortus inkompletus
a. Setelah terjadi abortus dengan pengeluaran jaringan, perdarahan berlangsung
terus
b. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang
dianggap corpus allienum, maka uterus akan berusaha mengeluarkannya
dengan mengadakan kontraksi
4. Abortus completes
a. Perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan
selambatlambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali, karena
dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai
b. Serviks juga dengan segera menutup kembali
c. Jika 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, maka abortus
inkompletus atau endometritis post abortum harus dipikirkan
5. Missed abortion
a. Rahim tidak membesar, malahan mengecil karena absorbs air tuban dan
macerasi janin
b. Buah dada mengecil kembali
c. Ammenorhoe berlangsung terus
6. Abortus febrilis
a. Demam kadang-kadang menggigil
b. Lochea berbau busuk
c. Abortus ini dapat menimbulkan endotoxin shock.

2.1.4. Diagnosis
Sebagai seorang bidan pada kasus perdarahan awal kehamilan yang harus
dilakukan adalah memastikan arah kemungkinan keabnormalan yang terjadi
berdasarkan hasil tanda dan gejala yang ditemukan, yaitu melalui.
1. Anamnesa
a. Usia kehamilan ibu (kurang dari 20 minggu).
b. Adanya kram perut atau mules daerah atas sympisis, nyeri pinggang akibat
kontraksi uterus.
c. Perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan keluarnya jaringan hasil
konsepsi.
2. Pemeriksaan fisik, didapatkan:
a. Biasanya keadaan umum (KU) tampak lemah.
b. Tekanan darah normal atau menurun.
c. Denyut nadi normal, cepat atau kecil dan lambat.
d. Suhu badan normal atau meningkat.
e. Pembesaran uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan.
3. Pemeriksaan ginekologi, didapatkan:
a. Inspeksi vulva untuk menilai perdarahan pervaginam dengan atau tanpa
jaringan hasil konsepsi.
b. Pemeriksaan pembukaan serviks.
c. Inspekulo menilai ada/tidaknya perdarahan dari cavum uteri, ostium uteri
terbuka atau tertutu, ada atau tidaknya jaringan di ostium.
d. Vagina Toucher (VT) menilai porsio masih terbuka atau sudah tertutup teraba
atau tidak jaringan dalam cavum uteri, tidak nyeri adneksa, kavum doglas
tidak nyeri.
4. Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi (USG) oleh dokter (Irianti & dkk,
2014).

2.1.5. Penatalaksanaan
Sebelum penanganan sesuai klasifikasinya, abortus memiliki penanganan secara
umum antara lain:
1. Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-
tanda vital (nadi, tekann darah, pernapasan, suhu).
2. Pemeriksaan tanda-tanda syok (akral dingin,pucat, takikardi, tekanan sistolik <90
mmHg).
 Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok.
 Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap fikirkan kemungkinan tersebut saat
penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat
memburuk dengan cepat. Berikut kombinasi antibiotika sampai ibu bebas
demam untuk 48 jam:
a. Ampisilin 2 g lV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam.
b. Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
c. Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
3. Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, segera
rujuk ibu ke rumah sakit.
4. Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan
kongseling kontrasepsi pasca keguguran.
5. Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus (WHO, 2013).

Penanganan sesuai dengan jenis abortus antara lain yaitu:


1. Abortus imminiens adalah Penangananya:
a. Berbaring, cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan
sehingga rangsang mekanik berkurang.
b. Pemberian hormon progesteron
c. Pemeriksa ultrasonografi (USG).
2. Abortus Insipiens adalah pengeluaran janin dengan kuret vakum atau cunan
ovum, disusul dengan kerokan. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu bahaya
peforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat
dengan pemberian infus oksitosin. Sebaliknya secara digital dan kerokan bila sisa
plasenta tertinggal bahaya peforasinya kecil.
3. Abortus inkomplit adalah begitu keadaan hemodinamik pasien sudah dinilai dan
pengobatan dimulai, jaringan yang tertahan harus diangkat atau perdarahan akan
terus berlangsung. Oksitosik (oksitosin 10 IU/500ml larutan dekstrosa 5% dalam
larutan RL IV dengan kecepatan kira-kira 125 ml/jam) akan membuat uterus
berkontraksi, membatasi perdarahan, membantu pengeluaran bekuan darah atau
jaringan dan mengurangi kemungkinan perforasi uterus selama dilatasi dan
kuretase.
4. Abortus komplit dan abortus tertunda (missed Abortion). Penganan terbaru
missed abortion adalah induksi persalinan dengansupositoria prostaglandin E2,
jika perlu dengan oksitosin IV (Benson & Pernoll, 2013).

2.1.6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada abortus yang di sebabkan oleh abortus kriminalis
dan abortus spontan adalah sebagai berikut:
1. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi
dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat
terjadi apabila pertolongan tidak di berikan pada waktunya.
2. Infeksi kadang-kadang sampai terjadi sepsis, infeksi dari tuba dapat menimbulkan
kemandulan.
3. Faal ginjal rusak disebabkan karena infeksi dan syok. Pada pasien dengan abortus
diurese selalu harus diperhatikan. Pengobatan ialah dengan pembatasan cairan
dengan pengobatan infeksi.
4. Syok bakteril: terjadi syok yang berat rupa-rupanya oleh toksin-toksin.
5. Pengobatannya ialah dengan pemberian antibiotika, cairan, corticosteroid dan
heparin.
6. Perforasi: ini terjadi karena curratage atau karena abortus kriminalis (Pudiastuti,
2012).

2.2. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)


2.2.1 Pengertian
Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa
Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “berada di luar
tempat yang semestinya”. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah,
dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut
kehamilan ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga
uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan
ektopik,sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba,jarang terjadi implantasi
pada ovarium,rongga perut,kanalis servikalis uteri,tanduk uterus yang rudimenter dan
divertikel pada uterus (Prawirohardjo & Hanifa, 2005).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi di luar rongga
uterus. Tuba fallopi merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi
kehamilan ektopik (lebih besar dari 90 %) (Prawirohardjo, 2002).

2.2.2 Gejala
Gejala yang terjadi pada kehamilan ektopik meliputi rasa nyeri di perut samping
kiri atau kanan bawah, perdarahan dari vagina, nausea, nyeri bahu dan pusing.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dini kehamilan
ektopik dengan pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan HCG.
Manifestasi klinis kehamilan ektopik bervariasi dari bentuk abortus tuba atau
terjadi ruptura tuba. Sering juga dijumpai rasa nyeri dan gejala hamil muda. Pada
pemeriksaan dalam terdapat pembesaran uterus yang tidak sesuai dengan usia tua
kehamilan dan belum dapat diraba kehamilan pada tuba. Karena tuba dalam keadaan
lembek (Manuaba, 2004).
Trias gejala klinik kehamilan ektopik:
1. Amenorea
Lamanya amenorea bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan.
Dengan amenorea dapat dijumpai tanda-tanda hamil muda, yaitu morning
sickness, mual-muntah, terjadi perasaan ngidam.
2. Nyeri abdomen
Nyeri abdomen disebabkan kehamilan tuba yang pecah. Rasa nyeri dapat
menjalar keseluruh abdomen tergantung dari perdarahan didalamnya. Bila
rangsangan darah dalam abdomen mencapai diafragma, dapat terjadi nyeri di
daerah bahu. Bila darahnya membentuk hematokel yaitu timbunan di daerah
kavum douglas akan terjadi rasa nyeri di bagian bawah dan saat buang air besar.
3. Perdarahan
Terjadinya abortus atau rupture kehamilan tuba terdapat perdarahan kedalam
kavum abdomen dalam jumlah yang bervariasi. Darah yang tertimbun dalam
kavum abdomen tidak berfungsi sehingga terjadi gangguan dalam sirkulasi umum
yang menyebabkan nadi meningkat, tekanan darah menurun sampai jatuh dalam
keadaan syok (Manuaba, 2001).

2.2.3 Diagnosis
Diagnosanya yaitu terdapat trias kehamilan ektopik, Terdapat kenaikan beta HCG
200 mIU/lier, Penderita tampak anemis dan sakit, tensi turun/normal dan meningkat,
dapat terjadi syok, daerah ujung dingin, perut kembung, terdapat cairan bebas-darah,
nyeri saat perabaan. CD menonjol dan nyeri, serviks nyeri goyang, teraba nyeri pada
tuba dengan hamil ektopik dan teraba tumor, kavum douglas menonjol dan nyeri pada
hematokel tumor dan uterus sulit dibedakan (Benson & Pernoll, 2009).
Karena kehamilan ektopik dapat mengancam nyawa, maka deteksi dini dan
pengakhiran kehamilan adalah tatalaksana yang disarankan yaitu dengan obat-obatan
atau operasi (Yulaikh, 2009).

2.2.4 Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektropik pada umumnya adalalah laparotomi. Dalam
tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu
sebagai berikut.
1. Kondisi ibu pada saat itu.
2. Keinginan ibu untuk mempertahankan fungsi reproduksinya.
3. Lokasi kehamilan ektropik.
4. Kondisi anatomis organ pelvis.
5. Kemampuan teknik bedah mikro dokter.
6. Kemampuan teknologi fertilasi in-vitro setempat.

Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu di lakukan salpingektomi pada


kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan konservatif. Apakah kondisi ibu
buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik di lakukan salpingektomi. Pada kasus
kehamilan ektropik di pars ampularis tuba yang belum pecah biasanya di tangani
dengan menggunakan kemoterapi untung menghindari tindakan pembedahan.

Karena kehamilan ektopik dapat mengancam nyawa, maka deteksi dini dan
pengakhiran kehamilan adalah tatalaksana yang disarankan. Pengakhiran kehamilan
dapat dilakukan melalui:

1. Obat-obatan
Dapat diberikan apabila kehamilan ektopik diketahui sejak dini. Obat yang
digunakan adalah methotrexate (obat anti kanker).
2. Operasi
Untuk kehamilan yang sudah berusia lebih dari beberapa minggu, operasi
adalah tindakan yang lebih aman dan memiliki angka keberhasilan lebih besar
daripada obat-obatan. Apabila memungkinkan, akan dilakukan operasi
laparaskopi.
Bila diagnosa kehamilan ektopik sudah ditegakkan, terapi definitif adalah
pembedahan :
1. Laparotomi : eksisi tuba yang berisi kantung kehamilan (salfingo-ovarektomi)
atau insisi longitudinal pada tuba dan dilanjutkan dengan pemencetan agar
kantung kehamilan keluar dari luka insisi dan kemudian luka insisi dijahit
kembali.
2. Laparoskop : untuk mengamati tuba falopi dan bila mungkin lakukan insisi pada
tepi superior dan kantung kehamilan dihisap keluar tuba.
3. Operasi Laparoskopik : Salfingostomi
Bila tuba tidak pecah dengan ukuran kantung kehamilan kecil serta kadar β-
HCG rendah maka dapat diberikan injeksi methrotexatekedalam kantung gestasi
dengan harapan bahwa trofoblas dan janin dapat diabsorbsi atau diberikan injeksi
methrotexate 50 mg/m3 intramuskuler.

Syarat pemberian methrotexate pada kehamilan ektopik:

a. Ukuran kantung kehamilan


b. Keadaan umum baik (“hemodynamically stabil”)
c. Tindak lanjut (evaluasi) dapat dilaksanakan dengan baik

Keberhasilan pemberian methrotexate yang cukup baik bila :

a. Masa tuba
b. Usia kehamilan
c. Janin mati
d. Kadar β-HCG

Kontraindikasi pemberian Methrotexate :

a. Laktasi
b. Status Imunodefisiensi
c. Alkoholisme
d. Penyakit ginjal dan hepar
e. Diskrasia darah
f. Penyakit paru aktif
g. Ulkus peptikum

Pasca terapi konservatif atau dengan methrotexate, lakukan pengukuran serum


HCG setiap minggu sampai negatif. Bila perlu lakukan “second look operation”.

2.2.5 Komplikasi
Komplikasi kehamilan ektopik dapat terjadi sekunder akibat kesalahan diagnosis,
diagnosis yang terlambat, atau pendekatan tatalaksana. Kegagalan penegakan
diagnosis secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan terjadinya ruptur tuba atau
uterus, tergantung lokasi kehamilan, dan hal ini dapat menyebabkan perdarahan
masif, syok, DIC, dan kematian.
Komplikasi yang timbul akibat pembedahan antara lain adalah perdarahan,
infeksi, kerusakan organ sekitar (usus, kandung kemih, ureter, dan pembuluh darah
besar). Selain itu ada juga komplikasi terkait tindakan anestesi.

2.3. Mola Hidatidosa (Hamil Anggur)


2.3.1. Pengertian
Kehamilan mola adalah suatu kehamilan di mana setelah fertilisasi hasil konsepsi
tidak berkembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dari vili korialis di sertai
dengan degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal
yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih,
dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. Uterus
melunak dan berkembang lebih cepat dari usia gestasi yang normal , tidak di jumpai
adanya janin , kavum uteri hanya terisi oleh jaringan seperti rangkaian buah anggur
(Prawirohardjo, 2009).
Untuk kejadian mola hidatidosa, terdapat faktor sosial ekonomi yang memicu :
1. Perkawinan pada usia muda kurang dari 15 tahun atau di atas 45 tahun.
2. Pernah mengalami mola hidatidosa atau abortus.
3. Kekurangan nutrisi seperti kekurangan protein, kalori dan defisiensi vitamin A.

2.3.2. Gejala
Pada penderita mola dapat ditemukan beberapa gejala-gejala sebagai berikut:
1. Terdapat gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan
biasa dan amenore.
2. Terdapat perdarahan pervaginam yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna
kecoklatan seperti bumbu rujak. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung
mola seperti anggur.
3. Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih besar) dengan tua kehamilan seharusnya.
4. Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen, juga gerakan janin serta tidak
terdengar bunyi denyut jantung janin.
5. Kadar gonadotropin tinggi dalam darah serum pada hari ke-100 atau lebih
sesudah periode menstruasi terakhir.
2.3.3. Diagnosis
Diagnosis mola hidatidosa berdasarkan :
1. Gejala hamil muda yang sangat menonjol
a. Emesis gravidarum-hiperemesis gravidarum
b. Terdapat komplikasi
1) Tirotoksikosis (2-5%)
2) Hipertensi – preeklamsia (10-15%)
3) Anemia akibat perdarahan
4) Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan
5) fungsi jantung dan gangguan fungsi paru akibat edema atau emboli
6) paru
2. Pemeriksaan palpasi
a. Uterus
1) Lebih besar dari usia kehamilan (50-60%)
2) Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25%)
3) Lebih kecil dari usia kehamilan (5-10%)
b. Palpasi lunak seluruhnya
1) Tidak teraba bagisan janin
2) Terdapat bentuk asimetris, bagian menonjol agak padat-mola
3) destruen.
3. Pemeriksaan USG serial tunggal
a. Sudah dapat dipastikan MH tampak seperti TV rusak.
b. Tidak terdapat janin.
c. Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin.
4. Pemeriksaan laboratorium
a. β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml
b. β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml (Manuaba, 2007).

Sejak sel trofoblas (yang memproduksi hCG) mengalami hiperplastik pada MH,
adanya MHK dicirikan oleh peningkatan hCG yang nyata. Tingkat hCG lebih besar
dari 100.000 mIU per mililiter sebelum evakuasi yang diamati pada 30 dari 74 pasien
dengan MHK (41%) dalam satu seri dan 70 dari 153 pasien dengan MHK (46%)

2.3.4. Penatalaksanaan
Terapi mola terdiri dari 4 tahap yaitu:
1. Perbaikan keadaan umum.
Yang dimaksud usaha ini yaitu koreksi dehidrasi, transfusi darah bila anemia
(Hb <8 gr%), jika ada gejala preeklampsia dan hiperemis gravidarum diobati
sesuai dengan protokol penanganannya. Sedangkan bila ada gejala tirotoksikosis
di konsultasikan ke bagian penyakit dalam.
2. Pengeluaran jaringan mola.
Ada 2 cara yaitu:
a. Kuretase
 Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai (pemeriksaan darah rutin,
kadar β-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar
spontan.
 Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan
laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
 Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan pemasangan infus
dengan tetesan oxytocin 10 UI dalam 500 cc Dextrose 5%.
 Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval minimal 1 minggu.
 Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA.
b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :
 Usia > 35 tahun
 Anak hidup > 3 orang
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Pemberian kemoterapi repofilaksis pada pasien pasca evaluasi mola hidatidosa
masih menjadi kontroversi. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa
kemungkinan terjadi neoplasma setelah evaluasi mola pada kasus yang
mendapatkan metotreksat sekitar 14%, sedangkan yang tidak mendapat sekitar
47%.
Pada umumnya profilaksis kemoterapi pada kasus mola hidatidosa
ditinggalkan dengan pertimbangan efek samping dan pemberian kemoterapi
untuk tujuan terapi definitive memberikan keberhasilan hampir 100%. Sehingga
pemberian profilaksis diberikan apabila dipandang perlu pilihan profilaksis
kemoterapi adalah: metotreksat 20 mg/hari IM selama 5 hari.
4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)
 Lama pengawasan berkisar satu sampai dua tahun.
 Setelah pengawasan penderita dianjurkan memakai kontrasepsi kondom, pil
kombinasi atau diafragma dan pemeriksaan fisik dilakukan setiap kali pada
saat penderita datang kontrol.
 Pemeriksaan kadar β-hCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan kadar
β-hCG normal tiga kali berturut-turut.
 Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai kadar β-hCG normal
selama 6 kali berturut-turut.
 Bila terjadi remisi spontan (kadar β-hCG, pemeriksaan fisis, dan foto thoraks
setelah saru tahun semua-nya normal) maka penderita tersebut dapat berhenti
menggunakan kontrasepsi dan hamil lagi.
 Bila selama masa observasi kadar β-hCG tetap atau bahkan meningkat pada
pemeriksaan klinis, foto thoraks ditemukan adanya metastase maka penderita
harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi (Mukharomah, 2011).

2.3.5. Komplikasi
Pada penderita mola yang lanjut dapat terjadi beberapa komplikasi sebagai
berikut:
1. Anemia, perdarahan yang berulang-ulang dapat menyebabkan anemia. Anemia
adalah defisiensi besi sering dijumpai dan kadang-kadang terdapat eritropoiesis
megaloblastik, mungkin akibat kurangnya asupan gizi karena mual dan muntah
disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas yang cepat berpoliferasi.
2. Syok, perdarahan yang hebat dapat menyebabkan syok, bila tidak segera ditangani
dapat berakibat fatal. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum abortus, atau
yang lebih sering terjadi secara intermiten selama beberapa minggu sampai
beberapa bulan. Efek dilusi akibat hipervolemia yang cukup berat dibuktikan
terjadi pada sebagian wanita yang mola hidatidosanya lebih besar. Kadang-
kadang terjadi perdarahan berat yang tertutup di dalam uterus.
3. Tirotoksikosis/ Hipertiroidisme, pada kehamilan biasa, plasenta membentuk
Human Chorionic Thyrotropin (HCT). Pada trimester-1, T4 (tiroksin) meningkat
antara 7-12 mg/100 ml, sedangkan T3 (triyodotiroin) tidak terlalu banyak
meningkat, Pada penyakit mola hidatidosa perubahan fungsi tiroid lebih menonjol
lagi. Kadar T4 dalam serum biasanya melebihi 12 mg/100 ml, akibatnya kadar T4
bebas lebih tinggi.
4. Infeksi sekunder.
5. Perforasi uterus (perlubangan pada rahim) terjadi saat melakukan tindakan
kuretase (suction curettage) terkadang terjadi karena uterus luas dan lembek
(boggy). Jika terjadi perforasi, harus segera diambil tindakan dengan bantuan
laparoskop.
6. Keganasan (penyakit trofoblas gestasional), sebaiknya dimonitor terus-menerus
selama satu tahun setelah evakuasi (post-evacuation) mola sampai hasilnya
negatif (Budiana, 2009).

Anda mungkin juga menyukai