Anda di halaman 1dari 7

“KERUDUNG HIJAU MAI SARAH”

Oleh: Fadia Aqilla Hayya Al-Banjari

Mai Sarah itulah nama seorang gadis penjual serabi. Sehabis pulang sekolah ia
membantu Ibu pengasuh berjualan serabi. Hari libur adalah hari yang ia senangi karena dapat
membantu pekerjaan Bu Saudah sehari penuh.

“Serabi… serabi..”, ucap Sarah setiap kalinya berjualan. Bu Saudah tidak ikut berjualan,
namun hanya membuatkan kue serabi, Sarah lah yang akan menjualnya nanti.

“Serabinya dik..”, ucap seorang pembeli.

“Berapa bang..?” Tanya Mai.

“Semuanya aja dik, sekaligus buat sarapan para Karyawan..”, kebetulan hari itu adalah
hari libur sebelum pukul sembilan ternyata serabi-serabi itu sudah habis terjual.

Alhamdulillah.. ia berucap dalam dada. Ia mungkin hanya seorang gadis, namun ia selalu
berusaha untuk mengurangi beban Bu Saudah. Ya. Bu Saudah adalah seorang pengasuh, ia
mengasuh tujuh puluh tujuh anak yatim.

Seraya melangkahkan kaki untuk pulang, ia terbayang akan masa depannya. Masa
depan yang seperti apakah yang harus ku capai? Dalam hatinya. Tiada yang dapat kutahan atau
kuhilangkan dari takdir, bahkan laju angin tak dapat aku menahannya, namun paling tidak
disetiap sendi hidupku harus ada hal yang bermanfaat bagi manusia dan alam. Begitulah
pemikirannya. Akan tetapi hal bermanfaat apakah yang dapat ia lakukan? Membantu Bu
Saudah adalah hal yang sudah bermanfaat yang ia lakukan. Tidak. Harus lebih dari itu.

“..aku harus merubah dunia”, dalam hati kecilnya.

Ia sadar tangan kecilnya itu bahkan tak pernah menjangkau pulau seberang yang hanya
bagian kecil dari isi dunia. Ya. Untuk merubah dunia maka harus terlebih dahulu mengubah
dirinya sendiri. Setelah itu baru lingkungannya. Sedikit demi sedikit baru ia bisa mengubah
dunia menjadi lebih baik.

Sekali lagi, hanya satu pertanyaan. Hal bermanfaat apakah yang dapat mengubah
dirinya dan lingkungannya untuk masa depan?

Tiba-tiba dari arah timur segerombolan pemuda Geng Motor dengan garang berkebut-
kebutan, salah seorangnya membuang botol minuman kosong ke arah Sarah.
“Astagfirullahal’adziim..”, dipungutnyalah botol itu. Sampah? Lalu dibuangnyalah botol
itu ke tempat sampah. Tapi.. mana? Mana? Mana Bak sampahnya? Tidak ada. Ditaruhnya ke
dalam tas botol itu untuk dibuang ke bak sampah nantinya. Berjalanlah ia kemudian menyusuri
jalan di pinggiran sungai. Ia pun berhenti pada sebuah jembatan.

“Inikah Sungai Mentayaku..?”, ia melemparkan pandang ke sungai yang luas itu. Ia baru
menyadari betapa pilunya dan betapa sedang sakitnya sungai itu akibat sampah-sampah yang
menggerogoti tubuhnya, hingga air yang harus ia alirkan menjelma bak air teh yang pekat.

“Aku tahu sobat, aku hanya sorang gadis kecil, namun baiklah, aku akan berusaha
menolongmu”, harap-harap cemas ia mengatakan yang demikian itu.

“Mail…. Mail.. kenapa kamu memecahkan ember-ember ini?? Mail kemari kau..” tiba-
tiba terdengar suara berkejar-kejaran di ruang tengah saat Sarah tiba di Panti Asuhan, tempat
tinggalnya.

“Ada apa ini bu?” Tanya Mai.

“Mail susah sekali disuruh mandi Mai, malah ember-ember ini ia pecahkan. Bagaimana
ini Sarah?” Keluh Bu Saudah akan bocah yang nakal itu.

“Sepertinya ini bisa diperbaiki bu, namun kalaupun bisa diperbaiki, tetap saja tak bisa
digunakan untuk menampung air Bu” Jelas Mai.

“Ya sudahlah Sarah, buang saja ember-ember itu”

“Emm.. gimana kalau kita buat bak sampah aja bu? Kita kan kekurangan bak sampah?”

“Boleh saja Mai, silahkan saja..” Ucap Bu Saudah dengan lembut.

Ember-ember yang pecah itu pun ia kumpulkan kemudian ia rekatkan kembali dengan
kawat, layaknya menjahit. Di bagian luar ember ia lapisi dengan bekas kemasan produk-produk
instant yang ia rekatkan dengan lem plastik. Setelah itu di bagian depan ember-ember itu ia
tambahkan tulisan sampah organik dan non organik. Hasilnyapun. Menakjubkan!

“..wahh..bagus sekali ini ka… ember-ember yang mail pecahkan tadi jadi seperti ini ya?
Cantik sekali ka..” Celoteh Mail tiba-tiba setelah melihat ember itu.

“Hmm.. sekarang Mail jangan menendang-nendang ember lagi ya. Ini bukan buat Mail
mandi, tapi Mail harus membuang sampah disini. Kamu mengerti?” Tangkas Mai, si Mail hanya
mengangguk-angguk saja kegirangan.
“Kau memang gadis yang kreatif Mai. Semoga Allah membimbing bakatmu ini..” Ucap
Bu Saudah yang tekagum-kagum melihat ember pecah yang telah disulap itu.

“Amiin..”, sahut Sarah dengan mengembangkan senyum simpulnya. Inikah masa depan
itu? Masa depan untuk dirinya, dan lingkungannya dengan satu pembayaran. Yaitu. Ketulusan.

“Serabi..serabi..”, teriaknya menjual serabi yang sisa sedikit itu sehabis pulang sekolah.

Karena terikan matahari yang menyengat itu, ia pun duduk pada sebuah bangku yang
berada di bawah pohon beringin. Berteduh disitu memang sejuk.

Ada satu hal yang ia pikirkan. Bagaimana cara mendapatkan ember-ember itu.

Kemudian seorang Pak Tua dengan gerobak besar di belakangnya tengah lewat di
hadapan Mai. Setelah ia teliti dari jauh, ternyata ada ember-ember bekas di gerobak itu.

“Pak.. pak.. sebentar pak. Bapak menjual ember-ember ini?” Tanya Sarah tergesa-gesa.

“Iya nak, ada apa?”

“Semua ember ini saya beli pak..”

“Baiklah..”, sahut Pak Tua itu.

Mai kini telah mendapatkan ember-ember itu. Namun ember itu hanya beberapa, ia
perlu beberapa lagi.

Saat ia duduk dan sedang minum air putih di bangku itu, Sarah Melihat seorang
karyawan toko pecah belah di depannya sedang membuang ember-ember pecah di depan toko.
Ia pun menghampirinya dan menanyakan apakah ember-ember itu dijual.

Beberapa saat kemudian, ia berhasil membawa ember-ember pecah itu dengan gratis.

Sepulang dari berjualan ia mulai membuat ember-ember itu menjadi bak sampah- bak
sampah yang menarik.

Begitulah ia setiap harinya, mengumpulkan dan membeli ember juga bekas kemasan
produk instant. Semua itu ia sulap menjadi ember ajaib. Ember yang berubah menjadi bak
sampah.

Sejurus lamanya kemudian, sekitar seminggu ia membuat bak sampah-bak sampah itu,
sehingga banyak sekali terkumpul.

“Untuk kau jualkah bak-bak cantik ini Sarah?” Tanya Bu Saudah penasaran.
“Tidak bu, bak-bak ini akan saya bagikan ke tetangga-tetangga yang tidak punya bak
sampah di rumahnya, sehingga mereka dapat membuang sampah pada tempatnya”

“Ka.. ka.. mail ikut ya ka.. membagikan bak-bak ini..” Tiba-tiba suara mail memecah
ruangan.

“Terimakasih ya nak..” Ucap seorang ibu rumah tangga ketika Mai dan Mail membagikan
bak itu.

“Sama.. sama..” Si Mail menyahuti.

Tidak hanya dengan tetangga ia bagikan, namun di pinggiran jalan dan di pinggiran
sungai pun ia letakkan bak-bak itu. Tiba-tiba seorang kakek-kakek yang sedikit mengenal Sarah
bertanya, “Apa ini Sarah yang dimaksud or..organik dan non or.. organi.. ik..?” Kakek itu tampak
terbata-bata.

“Sampah organik maksudnya adalah sampah yang bisa dihancurkan kek, seperti kulit
pisang, kulit jeruk dan kertas koran. Sampah non organik adalah sampah yang sulit dihancurkan
kek, misalnya sampah plastik, botol minuman dan lain-lain..” Mai mencoba menjelaskan.

“hmm.. iya-iya.. kakek mengerti sekarang. Sampah or.. organi.. ik.. bisa dihancurkan,
sampah non or.. organik susah dihancurkan. Betul begitu..?”

“Betul sekali kek…! Kakek hebat..! kakek hebat..!” Si Mail berteriak sambil bertepuk
tangan karena kakek tersebut akhirnya mengerti, Mai hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala
melihat tingkah laku bocah yatim berusia lima tahun itu.

Suatu ketika, saat Sarah kembali dari berjualan serabi, seorang Wanita menerjang Sarah
dan memarahinya habis-habisan.

“Apa maksud kamu membagi-bagikan bak sampah? Kau kira saya tidak boleh
membuang sampah di sungai ini ha? Berpuluh-tahun saya hidup di pinggir sungai ini, berlayar
dan berenang di sini. Bahkan Sungai Mentaya ini telah menjadi darah daging saya! Lalu kau
datang seenaknya dan menyarankan kami agar tidak membuang sampah di sungai ini ha! Kau
kira ini sungai adalah milik nenek moyangmu apa?” Suara Wanita itu keras sekali seakan
memecah gendang telinga sebanding dengan perawakannya yang tinggi besar dan mulutnya
yang ternganga lebar. Bayangkan saja si Sarah yang bertubuh kurus berhadapan dengan
makhluk seperti itu! Gila bukan?

“Maaf bu, bukan maksud saya seperti itu. Dengan Ibu membuang sampah di sungai
maka akan menghambat aliran sungai, akibatnya saat curah hujan tinggi air pun meluap hingga
ke jalan-jalan. Inilah penyebab utama banjir bu..” Jelas Mai dengan lemah lembut namun tegas.
“Kurang Ajar! Kau pikir siapa dirimu ? Datang kemari layaknya pahlawan? Kau cuma cari
perhatian!” Hampir saja wanita itu ingin merenggut leher Sarah. Tiba-tiba datanglah seorang
Bapak-bapak meleraikan tangan wanita itu.

“Ada apa ini? Kenapa kau memarahi anak ini?” Tanya Bapak-bapak itu yang ternyata
adalah Ketua RT disitu.

Merekapun membicarakan masalah itu. Setelah mengetahui duduk permasalahannya,


Pak RT pun menasihati Wanita itu.

“Memang benar kita telah lama tinggal di pinggiran sungai ini. Harusnya sungai kita ini
kita rawat bersama, namun apa yang kita lakukan selama ini ternyata salah besar, bukan malah
menyayanginya tapi membuat sungai kita semakin hari semakin sakit” Pak RT dengan hikmat
berbicara.

Setahun kemudian, kampung tempat tinggal si Gadis Penjual Serabi, Mai Sarah, telah
tersulap menjadi kampung nan bersih dan nyaman, sampah-sampah di sungai pun mulai
berkurang. Kesadaran warga akan kebersihan pun meningkat. Anak-anak apa lagi, mereka
begitu berlomba-lomba menyerukan kebersihan, sehabis memakan makanan atau minuman
ringan sampahnya mereka taruh di tempat sampah.

Suatu hari Mai mengidap sakit. Bagaimana mungkin? Padahalkan ia tinggal di lingkungan
yang amat bersih?

Ya. Penyakit yang dideritanya selama ini adalah tumor. Daging yang tumbuh di bagian
lengan atasnya kini semakin membesar, penyakitnya telah menjadi saksi akan perjuangannya.
Hendak berobat namun uang tak memadai akan biaya kesehatan yang selangit mahalnya.

“Masa depanmu masih panjang nak.. kau harus kuat ya, Ibu akan terus berusaha
mencarikan bantuan operasimu nak.. bersabarlah..”, Ucap Bu Saudah menyemangatkan mental
Mai.

“Masa depan? Masa depan seperti apa lagi bu? Yang saya inginkan telah tercapai, inilah
masa depan saya bu..” Sahut Mai dengan raut muka pucat namun tetap menyimpulkan
senyum.

“Kau pasti punya keinginan yang lain bukan..? Apakah cita-citamu itu nak..?”

“..Sarah, sarah ingin sekali membagikan bibit pohon gratis pada masyarakat, agar
ditanam di pinggiran sungai dan jalan yang lapang. Agar semuanya hijau dan segar..”

“..baiklah Sarah, impianmu itu akan terwujud, namun kau harus bertahan dan tegar. Kau
mengerti?”
“Iya bu. Namun yang lebih saya harapkan adalah Ibu mau memaafkan kesalahan saya
dan saya telah banyak merepotkan Ibu. Ketulusan Ibu sangat saya kagumi. Saya mengagumi
sosok Ibu yang di depan saya” Sarah tetap senyum matanya menyiratkan kebeningan hati dan
ketulusan. “Tolong ambilkan kerudung hijau itu bu..”, tambahnya lagi.

Suatu ketika datanglah seorang pejabat bersama antek-anteknya menanyakan pada


masyarakat tentang perubahan yang terjadi di kampung itu. Kampung itu terlihat bersih dan
nyaman, begitu takjub para pejabat itu. Namun mereka lebih takjub ketika mendengar seorang
Gadis Penjual Serabilah alias anak berseragam SMA yang menjadikan kampung itu seperti ini.

“Gadis yang sering berkerudung hijau itulah yang mengajak kami tersadar untuk
memelihara lingkungan. Saya kira Bapak bisa menggalakkan hal semacam ini di seluruh pelosok
daerah. Agar kita hidup nyaman dan damai akan kebersihan daerah kita pak..” Tutur salah
seorang warga pada pimipinan pejabat.

Para pejabat itu mengunjungi Mai Sarah. Akan tetapi saat itu Sarah sedang dirawat di
rumah sakit, ia sedang menjalani operasi. Adapun dana terus mengalir setelah Bu Saudah
berjuang mencari bantuan.

Pejabat itu bertanya pada Bu Saudah tentang keinginan dan niat dari gadis itu.

“..ia melakukan semua ini demi masa depan. Masa depan dirinya dan lingkungannya.
Walaupun ia hanya seorang gadis penjual serabi, namun semua yang ia lakukan adalah tulus.
Ketulusan adalah kunci meraih masa depan. Jikalau boleh bapak mengetahui, bahwa cita-
citanya selain ini adalah memberikan bibit pohon gratis pada warga agar bisa ditanam di
tempat yang lapang dan gersang” Bu Saudah mencoba menjelaskan apa yang ditanyakan Bupati
itu.

Seusai operasi berlangsung, Sarah harus menjalani beberapa perawatan. Tampak ia


sedang terbaring di ranjang besi dengan wajah yang pucat pasi dan mata yang masih terpejam.
Kerudung hijau yang ia sering kenakan tetap membalut menutupi rambutnya. Ya. Hijau. Hijau
adalah warna kesukaannya. Hijau melambangkan kedamaian, kebersihan, kesejukan dan
alamiah.

“…siapa namamu nak..?” Tanya Pak Bupati ketika Mai telah berusaha membuka
matanya.

“..Mai.. Mai Sarah, pak..” Sekali lagi, senyum dan ketulusan tetap menghiasi wajahnya.

-The End-

Anda mungkin juga menyukai