Anda di halaman 1dari 12

Strategi Pengelolaan Lembaga Ekonomi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan

Masyarakat Perikanan Lampung


Oleh : Alifia Naufalina
I. Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi
sumberdaya perikanan yang tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Dewasa ini,
perkembangan usaha perikanan budidaya dan tangkap banyak dikembangkan sebagai sumber
pemasukan aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Kondisi tersebut
mendukung sektor perikanan yang dahulu menjadi sektor yang terpinggirkan, diharapkan
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Kusumastanto 2003). Provinsi Lampung
adalah salah satu provinsi yang memiliki potensi sumberdaya perikanan. Potensi sumberdaya
perikanan tersebut diharapkan dapat mendukung pembangunan dan revitalisasi sektor
perikanan dan kelautan.
Keanekaragaman hayati laut Indonesia memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan
baik bagi kepentingan konservasi maupun ekonomi produktif. Luas terumbu karang yang
dimiliki Indonesia saat ini yang sudah terpetakan mencapai 25.000 km2 (BIG, 2013). Namun,
terumbu karang yang masih dalam kondisi sangat baik hanya sekitar 5,30%, kondisi baik
27,18%, cukup baik 37,25 %, dan kurang baik sebesar 30,45 % (LIPI, 2012). Laut Indonesia
memiliki sekitar 8.500 species ikan, 555 species rumput laut dan 950 species biota terumbu
karang. Sumberdaya ikan di laut meliputi 37% dari species ikan di dunia, dimana beberapa
jenis diantaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti tuna, udang, lobster, ikan karang,
berbagai jenis ikan hias, kekerangan, dan rumput laut.
Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi menjadi dua kelompok (Rustiadi, et al.,
2009), yaitu: (1) sektor basis, kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses
pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor
antarwilayah. Industri basis akan menghasilkan output berupa barang dan jasa, baik untuk
kebutuhan pasar domestik wilayah tersebut maupun dari wilayah lain (kegiatan ekspor sudah
berkembang dengan baik); serta (2) sektor non basis, merupakan kegiatan ekonomi yang
hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri, dimana kapasitas ekspor di wilayah tersebut
belum berkembang. Pendayagunaan SDA yang terbarukan (hutan, pertanian, perikanan, dan
perairan) dilakukan secara rasional, optimal, efisien dan bertanggung jawab dengan
mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. SDA dalam kondisi kritis
harus direhabilitasi dan dipulihkan daya dukungnya. Hasil atau pendapatan yang diperoleh
dari pengelolaan SDA ini sebagian diinvestasikan kembali bagi upaya pemulihan,
rehabilitasi, dan pencadangan untuk kepentingan generasi sekarang maupun generasi
mendatang.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
mengamanatkan peningkatan produksi perikanan, termasuk di dalamnya ikan, rumput laut,
garam, dan hasil olahan, menjadi dua kali lipat atau mencapai 40-50 juta ton pada akhir tahun
2019. Pada tahun 2014, produksi perikanan tangkap laut mencapai 6,02 juta ton, perikanan
budidaya mencapai 4,25 juta ton, dan produksi rumput laut mencapai 10,08 juta ton (FAO,
2016). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen hasil perikanan
terbesar di dunia selain China. Namun demikian, keunggulan tersebut belum diikuti dengan
kemampuan dalam meningkatkan nilai tambah. Ekspor produksi perikanan Indonesia masih
berada di bawah China dan Vietnam. Indonesia juga tidak termasuk dalam lima besar negara
pengekspor produk perikanan dunia. Ke depan, Indonesia masih memiliki peluang yang besar
untuk meningkatkan ekspor produk perikanan karena adanya pergeseran gaya hidup sehat
yang mendorong peningkatan konsumsi produk perikanan secara global. Walaupun demikian,
mengingat tuntutan perdagangan global dengan tingkat persaingan yang tinggi, Indonesia
perlu meningkatkan daya saing produk perikanannya dengan menghasilkan beragam produk
kompetitif dengan mutu yang baik dan sesuai standar keamanan bahan pangan. Selain
menitikberatkan pembangunan pada dimensi pembangunan sektor unggulan, seperti
kedaulatan pangan serta kemaritiman dan kelautan, RPJMN 2015-2019 juga menitikberatkan
pembangunan berdimensi pemerataan dan kewilayahan, baik terkait pemerataan
antarkelompok pendapatan, maupun pemerataan antarwilayah desa, pinggiran, luar Jawa, dan
Kawasan Timur.
Sentra produksi perikanan saat ini cukup tersebar, untuk perikanan tangkap sebagian
besar berada di Indonesia bagian Timur. Sementara itu, untuk perikanan budidaya dan
industri pengolahan perikanan, sebagian besar berada di Indonesia bagian Barat. Petumbuhan
produksi perikanan dan industri pengolahan perikanan diharapkan dapat menggerakkan
perekonomian di wilayah sentra produksi perikanan tersebut dan menyumbang kepada
pertumbuhan wilayah secara keseluruhan. Sehubungan dengan itu, untuk mengetahui kondisi
dan permasalahan industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan,
terutama pada daerah-daerah sentra pengembangan perikanan dalam rangka peningkatan
produksi perikanan, peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan, serta mendukung
pembangunan ekonomi wilayah, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen
PPN)/Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS), khususnya Direktorat
Kelautan dan Perikanan, bermaksud menyusun strategi melalui Kajian Industrialisasi
Perikanan untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah, khususnya terkait industri
pengolahan perikanan. Langkah ini merupakan antisipasi peningkatan produksi perikanan
hingga dua kali lipat pada tahun 2019 serta upaya peningkatan produktivitas usaha perikanan
dan usaha skala mikro lainnya, termasuk pengolahan perikanan, yang menunjang rantai
produksi usaha kecil yang menjadi potensi di suatu wilayah, sesuai dengan amanat RPJMN
2015-2019.

II. Pembahasan
Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 7,3 juta ton per
tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) (Komnas Kajiskan, 2013). Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut,
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,8 juta ton per tahun atau sekitar 80
persen dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 5,4 juta ton pada tahun 2013 atau
baru 93% dari JTB, sementara total produksi perikanan tangkap (di laut dan danau) adalah
5,863 juta ton. Potensi mikro flora-fauna kelautan juga belum tereksplorasi sebagai
penyangga pangan fungsional pada masa depan.
Provinsi Lampung memiliki wilayah pesisir yang luas dengan garis pantai lebih
kurang 1.105 km dan 69 pulau-pulau kecil dengan beragam jenis habitat yang berbeda,
termasuk lingkungan yang dibuat manusia, seperti tambak udang dan perkotaan. Luas
wilayah pesisir sekitar 440.010 ha dan luas perairan laut dalam batas 12 mil adalah 24.820,0
km2 yang merupakan bagian wilayah Samudera Hindia (pantai barat Lampung), Selat Sunda
(Teluk Lampung dan Teluk Semangka), dan Laut Jawa (pantai timur Lampung). Dengan
wilayah pesisir dan laut yang cukup luas, sektor perikanan merupakan salah satu unggulan di
Provinsi Lampung. Disebutkan bahwa Lampung juga mempunyai lahan potensial untuk
budidaya air payau, baik untuk pembesaran ikan/udang maupun pembenihan dengan luas
mencapai 61.200 hektare (ha), Potensi tersebut menyebar di pantai timur Lampung yang
membentang dari utara sampai selatan seluas 52.500 ha, Teluk Lampung 700 ha, Teluk
Semangka 2.000 ha dan pantai barat seluas 5.000 ha.
Komoditas yang potensial untuk dikembangkan secara budidaya adalah udang, ikan
bandeng, ikan kakap dan ikan kerapu. Secara umum produksi perikanan di Lampung
dihasilkan berdasarkan dua jenis, yaitu: perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Potensi
Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Provinsi Lampung dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Perikanan Tangkap di Teluk Bandar Lampung
No Komoditi Produksi Ton/Tahun Potensi dan Lokasi
1 Tuna 539,20 Pantai Barat Lampung panjang garis
pantai 210 km
2 Cakalang 678,20 Potensi perikanan Lampung 388.000
ton/tahun
3 Tongkol 6.973,30 Pemanfaaatan 27.052,6 ton
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung
Provinsi Lampung merupakan daerah yang memiliki potensi yang cukup besar bagi
kegiatan perikanan serta prospek yang baik bagi perkembangan di masa yang akan datang.
Salah satu kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Lampung terletak di daerah Lempasing,
dimana daerah ini terletak di wilayah selatan Sumatera dari Bengkulu serta berhubungan
langsung dengan Samudera Hindia (Ayuni, 2002). Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
Lempasing merupakan salah satu tempat pendaratan ikan yang berada di Kota Bandar
Lampung (Aziza, 2000). Selain PPI Lempasing, terdapat juga Pelabuhan Pendaratan Ikan
(PPI) Gudang Lelang Teluk Betung yang menjadi pusat kegiatan pendaratan ikan di Kota
Bandar Lampung. Untuk mengetahui produksi ikan laut menurut jenisnya di Kota Bandar
Lampung dapat dilihat pada Tabel dibawah ini
Provinsi Lampung tercatat sebagai daerah penghasil udang terbesar di Indonesia. Dari
produksi udang nasional sebanyak 348.100 ton, sebanyak 45 persen dihasilkan dari wilayah
Lampung. Komoditas udang masuk dalam lima produk unggulan ekspor nonmigas Indonesia.
Tercatat pada 2013 volume ekspor komoditas kelautan dan perikanan di Provinsi Lampung
mengalami pertumbuhan sebesar 19,18 persen dari sebelumnya yang mengalami kontraksi
sebesar -18,10 persen.
Daerah Potensi Perikanan Budidaya Tambak di Tulang Bawang
Pada Tahun 2002, hasil-hasil produksi perikanan Tulang Bawang bahkan telah
mampu menembus pasar internasional, dengan melakukan eksport ke negara Amerika,
Hongkong, dan Jepang. Total volume eksport ke 3 negara tersebut adalah sebesar 8.734,40
ton, dan nilai eksport sebesar 96.078.400 US Dolar. Kabupaten Tulang Bawang juga pernah
menjadi sentra budidaya Udang terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Tercatat ada dua
perusahaan besar yang bergerak di bidang budidaya udang, yaitu: PT. Dipasena Citra
Dharmaja, yang berlokasi di Kecamatan  Rawa Jitu Timur dan PT. Centra Pertiwi Bahari,
yang berlokasi di Kec. Gedung Meneng.
Di sektor perikanan, dengan memiliki luas wilayah perairan yang terdiri dari laut,
sungai dan rawa yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan, dari berbagai komoditas
perikanan berupa ikan, kerang, udang, kepiting, rajungan dan biota laut lainnya, ditafsirkan
dapat dihasilkan Tulang Bawang sebesar 56.400,3 ton per tahun. Sedangkan dari sekitar
1.408 Rumah Tangga Perikanan (RTP), pada tahun 2008 tercatat produksi penangkapan ikan
dari laut adalah sebesar 16.280,19 ton. Kemudian untuk penangkapan di perairan umum
seperti sungai, rawa dan danau, produksi ikan air tawar tahun 2008 adalah sekitar 4.428,18
ton, yang juga telah memenuhi kebutuhan pasar sampai ke Jakarta dan beberapa daerah di
Lampung. Selain itu juga masih ada berbagai produksi perikanan lain dari Kabupaten Tulang
Bawang seperti pada usaha budidaya air payau yang memiliki potensi luas 64.250 Ha, dan
budidaya keramba apung yang saat ini tercatat telah ada 1.464 unit keramba, yang sebagian
besar memanfaatkan potensi Sungai Tulang Bawang yang diperkirakan dapat menampung
sekitar 50.000 unit keramba.
Tidak hanya itu, potensi perikanan Tulang Bawang juga ditunjukkan dari produksi
ikan olahan yang mencapai 1.500 ton per tahun, antara lain yang terdiri dari ikan kering, ikan
asap, ikan asin dan rajungan. Sedangkan guna meningkatkan pelayanan dan kemudahan
dalam memasarkan hasil produksi perikanan, telah dilakukan pembinaan dan pengembangan
terhadap beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI), yaitu diantaranya Kuala Teladas
Kecamatan Dente Teladas.

Transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah tersebut bertumpu pada


peningkatan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan efisiensi dan nilai tambah sumber
daya alam, penguatan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, penyediaan infrastruktur
yang terpadu dan merata; serta penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik.
“Kerangka Pengembangan Wilayah” untuk mempercepat dan memperluas pembangunan
wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mendorong percepatan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, sebagai
penggerak utama pertumbuhan (engine of growth), di masing-masing pulau, terutama
di wilayah koridor ekonomi, dengan menggali potensi dan keunggulan daerah.
Industrialisasi perlu didorong untuk mengolah bahan mentah, agar dapat
meningkatkan nilai tambah serta menciptakan kesempatan kerja baru.
2. Kedepan, secara khusus akan dilakukan pula percepatan pembangunan ekonomi
nasional berbasis maritim (kelautan) dengan memanfaatkan sumber daya kelautan dan
jasa maritim, yaitu peningkatan produksi perikanan; pengembangan energi dan
mineral kelautan; pengembangan kawasan wisata bahari; dan kemampuan industri
maritim dan perkapalan.
PDB Perikanan pada tahun 2014 tumbuh sebesar 6,97%. Angka tersebut lebih tinggi
dari pertumbuhan PDB nasional yang besarnya 5,1% dan pertumbuhan PDB Pertanian dalam
arti luas yang besarnya 3,3%. Apabila dilihat dari besaran nilai ekonominya, PDB Perikanan
tahun 2014 mencapai Rp. 340,3 triliun. Angka ini belum termasuk PDB dari industri
pengolahan dan kegiatan perikanan lainnya disektor hilir. Melihat pertumbuhan yang terus
positif dan tingginya nilai PDB Perikanan serta besarnya potensi ekonomi sektor kelautan,
maka sektor kelautan dan perikanan merupakan sektor yang prospektif untuk memberikan
kontribusi bagi perekonomian nasional.
Ekspor hasil perikanan tahun 2014 mencapai USD 4,64 miliar. Capaian nilai ekspor
tersebut didominasi oleh nilai ekspor komoditas udang yang mencapai USD 2,09 miliar dan
diikuti oleh komoditas Tuna Tongkol Cakalang (TTC) sebesar USD 0,69 miliar pada tahun
2014. Wilayah perairan bebas IUU fishing dan kegiatan yang merusak SDKP tahun 2014
mencapai 38,63%. Capaian strategis pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan
perikanan selama kurun waktu tahun 2010- 2014 diantaranya adalah hasil operasi kapal
pengawas dalam rangka penanggulangan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing.
Kinerja pengawasan didukung oleh kerjasama pengawasan dengan TNI AL, POLRI dan
BAKORKAMLA, kerjasama penegakan hukum dengan instansi terkait, kerjasama
internasional di bidang kelautan dan perikanan dan peningkatan kapasitas pengawasan SDKP
melalui pengembangan sarana dan prasarana pengawasan, pengembangan kelembagaan dan
SDM Pengawasan.
Dalam rangka memberikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya
ikan, dan petambak garam dalam mendukung pengelolaaan perikanan yang berkelanjutan,
telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Beberapa hal yang
menjadi poin penting undang-undang tersebut: a. Strategi perlindungan dilakukan melalui: 1)
penyediaan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman; 2) kemudahan memperoleh
sarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman; 3) jaminan kepastian usaha; 4) jaminan
risiko Penangkapan Ikan, Pembudidayaan Ikan, dan Pergaraman; 5) penghapusan praktik
ekonomi biaya tinggi; 6) pengendalian impor Komoditas Perikanan dan Komoditas
Pergaraman; 7) jaminan keamanan dan keselamatan; dan 8) fasilitasi dan bantuan hukum. b.
Strategi pemberdayaan dilakukan melalui: 1) pendidikan dan pelatihan; 2) penyuluhan dan
pendampingan; 3) kemitraan usaha; 4) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi; dan 5) penguatan kelembagaan. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan
pengelolaan wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan meningkatkan
kemakmuran serta membangun ekonomi kelautan dengan mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, selama periode Oktober-Desember
2014 KKP telah mengeluarkan berbagai kebijakan, terutama terkait dengan upaya
pemberantasan IUU Fishing. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara
(Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN-
KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia (yang melarang transshipment), Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi
(Carcharhinus longimanus) dan Ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara
Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Di samping itu untuk
memperkuat kinerja dalam rangka pemberantasan IUU fishing, pada tahun 2014 juga telah
diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58/PERMEN-KP/2014 tentang
Penegakan Disiplin Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam Pelaksanaan Kebijakan Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan
Usaha Perikanan Tangkap, alih Muatan (Transshipment) di Laut, dan Penggunaan Nahkoda
dan Anak Buah Kapal (ABK) asing. Dalam rangka mendukung keberlanjutan sumberdaya
perikanan, serta mempertimbangkan Lobster, Kepiting dan Rajungan telah mengalami
penurunan populasi sehingga perlu menjamin keberadaan dan ketersediaan stok, telah
diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan
Lobster (panulirus spp), Kepiting (scylla spp) dan Rajungan (portunus pelagicus spp), yang
melarang penangkapan species tersebut dalam kondisi bertelur dan mengatur ukuran yang
boleh ditangkap. Selanjutnya dengan pertimbangan bahwa penggunaan alat penangkapan
ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) telah mengakibatkan menurunnya sumber
daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan
Alat Penangkapan Ikan Pukat hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Hal tersebut mengacu pada Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang sebagian dirubah sebagaimana Undang-Undang RI
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 9 dan penjelasannya yang mengamanahkan
bahwa dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber
daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompressor.
Diharapkan melalui penerapan peraturan tersebut, dapat dilakukan penataan kembali
pengelolaan perikanan untuk kelestarian sumber daya ikan, pengurangan tekanan terhadap
sumberdaya ikan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
(WPPNRI), pengaturan selektifitas alat penangkapan ikan, yang pada gilirannya akan dapat
meningkatkan kesejahteraan nelayan. Berbagai kebijakan dan upaya telah ditempuh
merupakan langkah untuk mewujudkan Negara kepulauan yang berdaulat dan sejahtera
melalui pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, dalam rangka
mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia. Peran penting Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 harus disertai berjalannya
lembaga-lembaga perikanan.
Dalam proses pemberdayaan masyarakat nelayan /pesisir, maka salah satu hal penting
yang perlu dikembangkan adalah Kelembagaan Perikanan. Dimana seperti yang kita ketahui
dalam perikanan kelautan yaitu selain Budidaya, Penangkapan, pengolahan, dan yang
lainnya. Maka perlu kiranya kelembagaan dijadikan sebagai suatu sistem norma untuk
mencapai tujuan masyarakat nelayan yang diaanggap penting. Untuk menggerakannya secara
praksis, maka secara konsepsi perlu kiranya kita pelajari sebagi acuan atau gambaran dalam
proses menahkodai kelembagaan perikanan.
Pengertian Kelembagaan itu sendiri Adalah salah satu sistem yang normatif dan
dijadikan sebagai wadah acuan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Hal
demikian tak beda jauh seperti yang diamanahkan oleh idianto dalam paradigma berfikirnya
terkait dengan kelembagaan. Lembaga di dalam sosiologi merupakan suatu system norma
untuk mencapai tujuan tertentu yang oleh masyarakat dianggap penting. System norma
tersebut mencakup gagasan, aturan, tata cara kegiatan, dan ketentuan sanksi (reward system).
System norma tersebut merupakan hasil proses berangsur-angsur menjadi suatu system yang
terorganisasi. Artinya, system itu telah teruji kredibilitasnya, dipercaya sebagai sarana
mencapai tujuan tertentu, (Idianto,2004).
Bentuk Kelembagaan Perikanan
Kelembagaan pelaku utama kegiatan perikanan dapat berbentuk kelompok, gabungan
kelompok, asosiasi, atau korporasi. Kelembagaan pelaku utama kegiatan perikanan tersebut
berbentuk:
1. KUB yang dibentuk oleh nelayan;
2. POKDAKAN yang dibentuk oleh pembudi daya ikan; dan
3. POKLAHSAR yang dibentuk oleh pengolah dan pemasar ikan.
4. KUGAR yang dibentuk oleh petambak garam;
5. POKMASWAS yang dibentuk oleh masyarakat dalam rangka pengawasan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.
Karakteristik Kelembagaan Perikanan
Karakteristik Kelembagaan pelaku utama kelautan dan perikanan Karakteristik kelembagaan
kelompok pelaku utama kelautan dan perikanan dapat dilihat dari kondisi masyarakat serta
pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi:
1. Penerapan tekonologi perikanan dikembangkan dengan memperhatikan kondisi
spesifik lokasi.
2. Kelembagaan pelaku utama perikanan lebih bekerja dan berusaha dengan pendekatan
partisipatif dan kekeluargaan.
3. Penanganan bidang perikanan dipengaruhi oleh sumberdaya perikanan yang dinamis,
kompleksitas fisik perairan.
4. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada digunakan pendekatan kawasan
dan pendekatan wilayah.
Pelaku utama kelautan dan perikanan mayoritas pada usaha skala kecil sehingga
kurang mendapat akses pembangunan dan model kelembagaan lebih ditujukan kepada peran
aktif masyarakat sebagai subyek pembangunan diwilayahnya. Kelompok pelaku utama
kelautan dan perikanan yang efektif dan baik harus memiliki 5 buah ciri-ciri sebagai berikut:
Merupakan kelompok kecil yang efektif (kira-kira 20 orang) untuk bekerja sama dengan :
- Belajar teknologi, manajemen usaha perikanan dan sebagainya
- Mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya
- Berproduksi dan memelihara kelestarian sumberdaya alam
- Kegiatan lain yang menyangkut kepentingan bersama.
Anggotanya adalah pelaku utama yang berada di dalam lingkungan pengaruh seorang
kontak pelaku utama. Mempunyai minat dan kepentingan yang sama terutama dalam bidang
usaha perikanan. Para anggota biasanya memiliki kesamaan-kesamaan dalam
tradisi/kebiasaan, domisili, lokasi usaha, status ekonomi, bahasa, pendidikan dan usia.
Bersifat informal, artinya : Kelompok terbentuk atas keinginan dan pemufakatan mereka
sendiri. Memiliki peraturan sanksi dan tanggung jawab, meskipun tidak tertulis. Hubungan
antar anggota luwes, wajar, saling mempercayai dan terdapat solidaritas Terbentuknya sebuah
kelompok pelaku utama kelautan dan perikanan di suatu wilayah tertentu diharapkan akan
merupakan wadah kebersamaan para pelaku utama dalam upaya untuk menuju ke arah
terciptanya pelaku utama yang tangguh, yaitu mampu mengambil keputusan dan tindakan
secara mandiri dalam upaya memecahkan masalahnya sendiri, menghadapi tantangan dan
mengatasi kendala yang ada.
Untuk itu maka dengan adanya kelembagaan perikanan, segalahal dapat diatur atau
termenejmen sesuai pada kepentingan bersama untuk mewujudkan pemberdayaan dan
pengelolaan yang baik. Selain pelajar maupun mahasiswa, seluruh elemen dari bebrbagai
macam instansi maupun birokrasi pemerintah maupun swasta,pemuda dan masyarakat secara
kolektif perlu menjadi lokomotif sebagai penggerak terbentuknya Kelembagaan Perikanan
sebagai korporasi Pembangunan berkelanjutan.

III. Penutup
Pelaku utama kelautan dan perikanan mayoritas pada usaha skala kecil sehingga
kurang mendapat akses pembangunan dan model kelembagaan lebih ditujukan kepada peran
aktif masyarakat sebagai subyek pembangunan diwilayahnyaPengembangan sumberdaya
manusia (SDM) di bidang kelautan dan perikanan memiliki peranan strategis dalam
mendukung pencapaian pembangunan kelautan dan perikanan secara keseluruhan. Peranan
strategis tersebut dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan yang
diarahkan untuk mendorong dan mempercepat peningkatan kapasitas sumber daya manusia
kelautan dan perikanan, sehingga memiliki kapasitas dan kompetensi yang diharapkan untuk
optimalnya pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan. Keberadaan Undang-undang
nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagaiamana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014, sebagai legalitas dan dasar eksistensi pengawasan SDKP kedepan.
Disamping ketentuan nasional tersebut, landasan lain yang tidak kalah penting yaitu
ketentuan maupun resolusi Internasional yang mengamanahkan untuk pengawasan dalam
kerangka mengelola sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari dan bertanggung
jawab.
IV. Daftar Pustaka
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2007
TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD)
PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2005 – 2025
Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR. 2006. Perencanaan Pengembangan Wilayah.
Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumber daya Lahan. Bogor: Fakultas Pertanian
IPB.
FAO. 2016. The State of World Fisheries and Aquaculture. Roma.
https://kumparan.com/mohamad-aswin/mengenal-kelembagaan-perikanan
Pusat Studi Perikanan FPIK Unpad : Dr.Achmad Rizal,S.Pi.,M.Si.
http://fpik.unpad.ac.id/pusat-studi-sosial-ekonomi-perikanan/

http://www.dpd.go.id/artikel-855-revitalisasi-koperasi-perikanan-menjadi-lembaga-ekonomi-
berbasis-komunitas

http://bandung.bisnis.com/read/20170121/34231/566376/ikpi-ratusan-koperasi-perikanan-di-
indonesia-tidak-aktif

https://pipnews.co.id/nasional/induk-koperasi-perikanan-masih-eksis-dan-mampu-menggelar-
rat/

https://www.bappenas.go.id/files/9514/0374/8633/PEMBANGUNAN_KELAUTAN_DALA
M_RPJMN_2015-2019_jakarta_28_jan_2014.pdf

https://sumatra.bisnis.com/read/20181115/452/859829/rencana-pembangunan-jangka-
menengah-perikanan-budi-daya-jadi-fokus

(Diakses pada Tanggal 20/4/19 Pukul 14:67)

Anda mungkin juga menyukai