Anda di halaman 1dari 64

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kanker Kolorektal

1. Kolon dan Rektum

Kolon dan rektum merupakan salah satu bagian dari usus besar pada

sistem pencernaan yang disebut juga bagian terakhir dari gastrointestinal. Usus

besar terdiri dari sekum, kolon, dan rektum. Usus besar berfungsi membantu tubuh

menyerap nutrisi dan cairan dari makanan yang kita makan dan minum. Bagian

pertama dari usus besar adalah kolon, sebuah tabung muskular yang memiliki

panjang sekitar 1,5 m dan berdiameter 5 cm. Kolon memiliki 4 bagian yaitu kolon

asendens, kolon tranversum, kolon desendens, dan kolon sigmoid. Kolon berada di

bagian proksimal usus besar sedangkan rektum memiliki panjang sekitar 15 cm dan

berada sekitar 2-3 cm di atas tulang ekor. Air dan nutrisi diserap dari bahan

makanan yang menuju ke kolon. Zat-zat sisa yang tidak berguna dari proses

sebelumnya dari kolon sigmoid akan menuju ke rektum, kemudian dikeluarkan

melalui anus dalam bentuk tinja (Alteri, et al, 2017:3).

Gambar 2.1 Anatomi Kolon dan Rektum (AJCC, 2017)

11
2. Pengertian Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal (colo-rectal carcinoma) atau disebut juga kaker usus

besar adalah kanker yang terjadi ketika sel-sel abnormal tumbuh pada lapisan kolon

atau rektum. Pada umumnya, kanker kolorektal jarang ditemukan sebelum usia 40

tahun. Resiko terjadinya kanker kolorektal akan meningkat pada usia 50 tahun.

Gejala adanya tumor pada kolon biasanya ditandai dengan adanya polip yang

memiliki resiko kanker. Kanker kolorektal biasanya berkembang di dalam dinding

kolon dan rektum dan tumbuh secara perlahan-lahan selama kurun waktu 10 sampai

20 tahun. Sekitar 96% penyebab kaker kolorektal adalah adenocarcinomas yang

berkembang dari jaringan kelenjar (Alteri, et al, 2017:3).

Kanker tumbuh di dalam usus besar dan dapat menembus dinding kolon

atau rektum. Kanker yang telah menembus dinding juga dapat menembus darah

atau kelenjar getah bening (lymph vessels). Sel kanker pada umumnya pertama kali

menyebar ke kelenjar getah bening di dekat sel kanker tersebut. Kelenjar getah

bening memiliki struktur seperti kacang yang membantu melawan infeksi. Sel-sel

kanker tersebut dapat terbawa oleh pembuluh darah (blood vessel) ke hati, paru-

paru, rongga perut, ovarium, maupun ke organ lainnya (Alteri, et al, 2017:4).

Gambar 2.2 berikut merupakan penyebaran kanker kolorektal. Pada saat

stage 0 atau normal tidak ditemukan adanya kanker yang tumbuh pada kolon atau

rektum. Pada tahap stage 1 sel kanker telah tumbuh pada dinding kolon atau rektum,

kemudian pada stage 2 sel kanker mulai menyebar ke dalam lapisan otot dari kolon

atau rektum, belum menyebar ke kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke salah

12
satu atau lebih kelenjar betah bening pada tahap stage 3, dan pada stage 4 kanker

telah menyebar ke bagian tubuh lainnya seperti hati, paru-paru, atau tulang.

Gambar 2.2 Penyebaran Kanker Kolorektal (National Cancer Institute, 2017)

3. Faktor Resiko Kanker Kolorektal

Secara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan kanker kolorektal

merupakan interaksi berbagai faktor yakni faktor lingkungan dan faktor genetik.

Faktor lingkungan yang multipel bereaksi terhadap predisposisi genetik atau defek

yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolorektal (Zahari, 2007:99).

Penyebab pasti kanker kolorektal belum diketahui. Penelitian menunjukkan

bahwa orang yang memiliki resiko tertentu terserang kanker kolorektal. Faktor

resiko adalah sesuatu yang meningkatkan kemungkinan berkembangnya suatu

penyakit (Setianingrum, 2014:13). Berikut beberapa faktor resiko yang dapat

mempengaruhi terjadinya kanker kolorektal:

a. Usia

Resiko kanker kolorektal naik seiring bertambahnya usia. Rata-rata usia

yang terdiagnosa kanker kolon adalah 68 tahun untuk laki-laki dan 72 tahun untuk

perempuan, sedangkan untuk kanker rektum adalah 63 tahun untuk laki-laki

13
maupun perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 90% dari orang

yang didiagnosa terkena kanker kolorektal berusia 50 tahun ke atas (Alteri, et al,

2017:6).

b. Faktor Genetik

Sekitar 20% kasus kanker kolorektal memiliki riwayat familial. Anggota

keluarga tingkat pertama (first-degree) pasien yang baru didiagnosa kanker

kolorektal memiliki peningkatan resiko kanker kolorektal. Suseptibilitas genetik

terhadap kanker kolorektal meliputi sindrom Lynch atau hereditary nonpolyposis

colorectal cancer (HNPCC) dan familial adenomatous polyposis. Oleh karena itu,

riwayat keluarga perlu ditanyakan pada semua pasien kanker kolorektal (Basir, et

al, 2000:9).

c. Kelebihan Berat Badan (Obesitas)

Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih 3000 kasus secara konsisten

mendukung bahwa terdapat hubungan positif antara obesitas dan kejadian kanker

kolorektal. Terjadi kenaikan resiko 15% kejadian kanker kolorektal pada orang

yang overweight (BMI > 25,0 Kg/m2) disbanding berat badan normal (BMI >

18,5-25,0 Kg/m2) dan resiko meningkat menjadi 33% pada obesitas (BMI > 30

Kg/m2) disbanding berat badan normal (Zahari, 2007:102).

d. Riwayat Penyakit

Suatu penyakit dapat memicu munculnya penyakit-penyakit lainnya,

begitupun dengan kanker kolorektal yang dapat dipicu oleh beberapa penyakit.

Berikut beberapa riwayat penyakit seseorang yang dapat memicu terjadinya

kanker kolorektal:

14
1) Penyakit Polip Kolon

Polip adalah pertumbuhan jaringan yang berkembang pada lapisan usus besar

atau rektum yang dapat menjadi kanker (Alteri, et al, 2017:3). Terdapat

beberapa jenis polip, yaitu polip adenomatous atau adenoma, polip

hyperplastic, dan polip inflamasi. Polip adenoma merupakan polip yang dapat

berubah menjadi kanker, sedangkan polip inflamasi dan hyperplastic bukan

prekanker. Namun apabila hyperplastic tumbuh pada kolon sisi sebelah kanan

maka dapat menimbulkan kanker (Siregar, 2007:4).

2) Penyakit Radang Usus

Penyakit radang usus adalah suatu kondisi dimana usus besar yang meradang

selama jangka waktu yang lama. Pasien yang terkena radang usus besar dalam

jangka waktu yang lama akan mengembangkan dysplasia. Dysplasia

merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sel-sel lapisan usus

besar atau rektum yang terlihat normal (tetapi tidak seperti sel kanker

sebenarnya) jika dilihat dari mikroskop. Selanjutnya jika radang dibiarkan

maka sel-sel ini akan berubah menjadi kanker (Japerson, et al, 2010:336).

3) Penyakit Diabetes

Banyak penelitian yang menemukan hubungan antara diabetes dan

peningkatan resiko kanker kolrektal. Ciri-ciri fisik yang ditunjukkan oleh

penderita diabetes (tipe 2) hampir sama dengan penderita kanker, seperti

aktifitas fisik, indeks massa tubuh, dan lain-lain. Tetapi hal ini lebih banyak

ditemukan pada pria daripada wanita (Alteri, et al, 2017:14).

15
e. Diet

Masih terdapat kontroversi hasil penelitian epidemiologi, dan

eksperimental pada binatang percobaan dan penelitian klinik hubungn antara diet

tinggi lemak, protein kalori dan daging (baik daging merah maupun daging putih)

dengan peningkatan insiden kanker kolorektal. Di satu kelompok menunjukkan

bahwa faktor tersebut berperan secara bermakna, sementara kelompok lain tidak

menujukkan peran yang bermakna. Akan tetapi yang jelas faktor-faktor tersebut

tidak ada berefek protektif. Atas dasar itu disimpulkan bahwa penelitian

epidemiologi, eksperimental pada binatang, dan penelitian klinik memberikan

kesan bahwa diet tinggi lemak, protein, kalori, dan daging merah dan putih

berhubungan dengan kenaikan insiden kanker kolorektal (Zahari, 2007:100-101).

f. Konsumsi Alkohol

Dampak buruk dari konsumsi alkohol akan mengenai berbagai organ di

dalam tubuh, yaitu otak, pencernaan dari mulut sampai usus besar, liver, pankreas,

dan otot tulang. Alkohol dapat menyebabkan peradangan kronis pada saluran

pencernaan, menimbulkan erosi sampai tukak usus dan selanjutnya akan

menyebabkan perubahan struktur dalam usus sampai berubah menjadi sel ganas

atau kanker (Judarwanto, 2006:92).

g. Merokok

Meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan merokok dengan

kejadian kanker kolorektal, tetapi penelitian terbaru perokok jangka lama (periode

induksi 30-40 tahun) mempunyai resiko relatif tinggi berkisar 1,5-3 kali.

Merokok berhubungan dengan kenaikan resiko terbentuknya adenoma dan juga

16
kenaikan resiko perubahan adenoma menjadi kanker kolorektal (Zahari,

2007:103).

4. Gejala Kanker Kolorektal

Gejala umum dari kanker kolorektal ditandai dengan perubahan kebiasaan

buang air besar. Gejala tersebut meliputi (Alteri, et al, 2017:13):

a. Diare atau sembelit.

b. Sering merasa bahwa usus tidak kosong.

c. Ditemukannya darah (baik merah terang atau sangat gelap) di feses.

d. Feses yang dikeluarkan lebih sedikit dari biasanya.

e. Sering mengalami sakit perut, kram perut, atau perut terasa penuh (kembung).

f. Kehilangan berat badan tanpa alasan yang diketahui.

g. Merasa sangat lelah sepanjang waktu.

h. Mual atau muntah.

Gejala-gejala tersebut biasanya bukan merupakan gejala kanker pada

umumnya, tetapi merupakan gejala penyakit lainnya dan biasa dirasakan oleh

seseorang. Jika terdapat seseorang yang merasakan gejala tersebut, seharusnya

diperlukan diagnosa dokter supaya dapat ditangani sedini mungkin, karena

biasanya gejala kanker dini tidak menumbulkan rasa sakit.

5. Deteksi Dini

Deteksi dini dan diagnosis pada penatalaksanaan kanker kolorektal

memiliki peranan penting dalam memperoleh hasil yang optimal yakni

meningkatnya survial dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para

penderita kanker kolorektal. (Zahari, 2007:104). Apabila penyakit kanker diketahui

17
pada stadium awal, maka peluang untuk sembuh dari penyakit semakin besar.

Terdapat berbagai macam cara untuk mendeteksi adanya kanker kolorektal pada

pasien, diantaranya (Alteri, et al, 2017:19-21):

a. Pemeriksaan Colok Dubur

Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan jegala

anorektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan

menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal.

Terdapat 2 gambaran khas pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan

tepi, yang dapat berupa:

1) Suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu

suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.

2) Suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya

mempunyai beberapa daerah indurasi.

3) Suatu bentuk khas dari ulkus malina dengan tepi noduler yang menonjol

dengan suatu kubah yang dalam.

4) Suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk

cincin.

Gambar 2.3 Colok Dubur (Komite Penanggulangan Kanker Nasional,


2000:14)

18
b. Screening

Screening kanker kolorektal adalah proses mencari sel kanker atau pra-

kanker pada orang yang tidak memilki gejala penyakit. Dari waktu sel-sel abnormal

pertama mulai tumbuh menjadi polip, biasanya membutuhkan waktu sekitar 10

dampai 15 tahun polip tersebut berkembang menjadi kanker kolorektal. Screening

yang dilakukan secara rutin dapat mencegah kanker kolorektal. Hal ini dikarenakan

polip yang ditemukan dapat disembuhkan dan dihilangkan sebelum berubah

menjadi sel kanker. Proses screening juga dapat digunakan untuk menemukan sel

kanker sedini mungkin, sehingga kanker berpeluang besar untuk sembuh. Screening

dapat dilakukan secara rutin pada usia 50 tahun, pada orang yang memiliki riwayat

keluarga terkena kanker, dan orang yang memilki faktor resiko kanker.

c. Flexible Sigmoidoscopy

Proses ini dilakukan dengan melihat salah satu bagian dari usus besar dan

rektum dengan sigmoidoscopy fleksibel, alat ini memiliki lampu pada tabung yang

berukuran setebal jari dengan kamera kecil pada ujung alat. Alat ini dimasukkan

melalui rektum dan bagian bawah usus besar. Gambar itu akan terlihat pada layar

monitor. Dengan menggunakan sigmoidoscopy maka dokter dapat melihat bagian

dalam rektum dan usus besar untuk mendeteksi kelainan apapun. Karena

sigmoidoscopy berukuran 60 cm, maka dokter dapat melihat seluruh rektum tetapi

hanya dapat melihat setengah bagian dari usus besar.

d. Double Contrast Barium Enema (DCBE)

Pendeteksi kanker menggunakan DCBE ini menggunakan barium dengan

kontras udara. Barium sulfat merupakan cairan berkapur, dan udara digunakan

19
untuk menguraikan bagian dalam usus besar dan rektum untuk mencari daerah yang

mengandung sel abnormal. Jika terdapat daerah yang mencurigakan pada tes ini

yang dilihat menggunakan sinar X maka dilakukan tes Colonoscopy untuk

mengetahui penyakit lebih lanjut. Dengan kata lain tes ini hanya dapat membantu

dokter untuk mengetahui posisi sel abnormal.

e. CT-Scan

CT-Scan adalah sinar X yang menghasilkan gambar penampang rinci tubuh.

Jika pada tes sinar X, gambar yang diambil hanya dari satu arah. Pada CT scan,

terdapat banyak gambar yang dapat diambil dari berbagai arah. Lalu gambar-

gambar irisan bagian tubuh ini akan digabungkan untuk dipelajari kembali oleh

dokter. Terdapat dua jenis CT colonography, yaitu dengan dua dimensi dan tiga

dimensi. Tes ini memungkinkan dokter mencari polip atau kanker.

f. Colonoscopy

Pada tes ini, dokter melihat seluruh panjang usus besar dan rektum dengan

colonoscope. Colonoscope adalah versi lama dari sigmoidoscopy. Alat ini

dimasukkan melalui rektum ke dalam usus besar. Colonoscope memiliki kamera

video di ujung yang terhubung ke display sehingga dokter dapat melihat dan

meneliti bagian dalam usus besar. Dengan alat colonoscopy dapat dilakukan deteksi

dan pembuangan polip serta biopsi kanker selama pemeriksaan.

g. Tes Darah Tinja

Tes ini untuk mencari darah samar (darah yang tidak dapat dilihat dengan

mata telanjang) dalam tinja. Tes ini dilakukan karena jika seseorang terkena polip

20
atau kanker kolorektal maka pembuluh darah di permukaan sering rapuh dan mudah

rusak oleh berlalunya feses.

h. Carcinoembryonic Antigen (CEA)

CEA adalah zat yang ditemukan dalam darah beberapa orang yang sudah

terkena kanker kolorektal. Dokter menggunakan tes ini untuk mengetahui

perkembangan penyakit sebelum pengobatan dimulai. Tes ini memudahkan dokter

untuk mengambil tindakan lanjut dari pengobatan.

6. Klasifikasi Stadium Kanker Kolorektal

Menurut National Cancer Institute (2006:12), klasifikasi stadium kanker kolorektal

dapat didefinisikan sebagai berikut:

a. Stadium 0 (Carsinoma in Situ ): kanker hanya terdapat pada lapisan terdalam

rektum, belum menembus ke luar dinding.

b. Stadium I : sel kanker telah tumbuh pada dinding dalam kolon atau rektum,

tetapi belum menembus ke luar dinding.

c. Stadium II : sel kanker telah menyebar ke dalam lapisan otot dari kolon atau

rektum, tetapi sel kanker di sekitarnya belum menyebar ke kelenjar getah

bening.

d. Stadium III : kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening di

daerah tersebut, tetapi tidak ke bagian tubuh yang lain.

e. Stadium IV : kanker telah menyebar di bagian lain dari tubuh, seperti hati, paru-

paru, atau tulang.

21
B. Pengolahan Citra Digital

Citra atau gambar data didefinisikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi,

di mana dan adalah koordinat spasial, dan harga fungsi di setiap

pasangan koordinat disebut intensitas atau level keabuan (grey level) dari

gambar di titik itu. Jika dan semuanya berhingga (finite), dan nilainya diskrit,

maka gambarnya disebut citra digital (gambar digital). Sebuah citra digital terdiri

dari sejumlah elemen yang berhingga, dimana masing-masing mempunyai lokasi

dan nilai tertentu. Elemen-elemen ini disebut sebagai picture element, image

element, pels atau pixels (Hermawati, 2013:3).

Nilai pada koordinat spasial merupakan kuantitas positif skalar dan

terbatas,

(2.1)

Fungsi dapat diartikan sebagai karakteristik dari dua komponen yaitu

jumlah cahaya yang terdapat pada citra dan jumlah cahaya yang dipantulkan

oleh objek pada citra (Gonzales & Woods, 2002: 50-51). Fungsi

diperoleh dari perkalian dua fungsi dan .

(2.2)

dengan

(2.3)

dan

(2.4)

Intensitas citra monokrom pada setiap koordinat , tingkat keabuan

gambar pada titik tersebut adalah,

22
(2.5)

Berdasarkan Persamaan 2.2 s.d 2.4, menjelaskan bahwa terletak pada interval

(2.6)

Interval atau disebut sebagai skala keabuan, dengan

adalah warna hitam dan adalah warna putih pada skala keabuan.

Matriks yang dibentuk oleh citra digital dua dimensi berukuran ,

dengan adalah jumlah baris dan adalah jumlah kolom yang ditunjukkan

sebagai berikut,

(2.7)

Indeks baris dan indeks kolom menyatakan suatu koordinat titik

pada citra, sedangkan merupakan intensitas atau derajat keabuan pada titik

. Elemen pada matriks merupakan elemen citra digital yang disebut dengan

piksel. Citra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah citra hasil colonoscopy

yang merupakan representasi dari berbagai jenis stadium kanker kolorektal.

Menurut Sianipar (2013, 200-202) terdapat tiga macam jenis citra digital,

yaitu citra biner, citra abu-abu (greyscale), dan citra warna (RGB).

1. Citra Biner

Citra biner adalah citra digital yang setiap piksel hitam atau putih. Citra biner

memiliki piksel yang bernilai nol untuk hitam dan satu untuk putih. Citra

seperti ini biasanya dimanfaatkan dalam representasi biner dari teks, sidik jari,

hasil foto rongsent, atau rancangan arsitektur.

23
2. Citra Abu-abu (Greyscale)

Citra abu-abu adalah citra yang nilai pikselnya merepresentasikan derajat

keabuan atau intensitas warna putih. Setiap piksel merupakan bayangan abu-

abu yang memiliki intensitas 0 (hitam) sampai 255 (putih).

3. Citra Warna (RGB)

Citra warna adalah citra yang nilai pikselnya merepresentasikan suatu warna

tertentu. Warna tersebut dideskripsikan oleh banyak warna merah (R, red),

hijau (G, green), dan biru (B, blue). Visual citra warna lebih kaya dibandingkan

dengan citra biner, karena citra warna menampilkan objek seperti warna

aslinya. Setiap komponen dari citra warna memiliki rentang 0 255, sehingga

terdapat 2553 = 16.777.216 kemungkinan jenis warna.

C. Perbaikan Kualitas Citra

Perbaikan kualitas citra (image enhancement) adalah proses mendapatkan

citra yang lebih mudah diintrepretasikan oleh mata manusia. Pada proses ini, ciri-

ciri tertentu yang terdapat di dalam citra lebih diperjelas kemunculannya. Image

enhacement merupakan salah satu proses awal dalam pengolahan citra (image

preprocessing) (Sholihin, 2013:7). Image preprocessing dilakukan untuk

meningkatkan kontras, menghilangkan gangguan geometrik/ radiometrik, dan

menentukan bagian citra yang akan diobservasi (Hermawati, 2013:6).

Secara matematis, perbaikan kualitas citra dapat diartikan sebagai proses

mengubah citra menjadi sehingga ciri-ciri yang dilihat pada

lebih ditonjolkan. Proses-proses yang termasuk dalam perbaikan kualitas citra

diantaranya pengubahan kecerahan citra (image brightness), peregangan kontras

24
(contrast stretching), pengubahan histogram citra, pelembutan citra (image

smoothing), penajaman (sharpening), pewarnaan semu (pseudocolouring), dan

pengubahan geometrik (Munir, 2004:91).

Untuk melakukan perbaikan kualitas citra, terdapat beberapa teknik

berdasarkan cakupan atau domain salah satunya adalah perbaikan citra pada domain

frekuensi. Domain frekuensi adalah rentang sistem koordinat oleh dengan

dan sebagai variabel frekuensi. Secara analogi, pada domain spasial dimana

rentang siste koordinat dengan dan sebagai variabel spasial (Prasetyo,

2011: 75).

Dalam proses pengolahan citra, Transformasi Fourier dapat digunakan

sebagai perbaikan citra atau peningkatan kualitas citra. Transformasi Fourier

mengubah suatu citra dari domain spasial menjadi domain frekuensi. Citra hasil

proses transformasi dapat dianalisis kembali, diinterpretasikan, dan dijadikan acuan

untuk melakukan pemrosesan selanjutnya. Transformasi Fourier yang biasa

diterapkan pada data citra adalah Transformasi Fourier Diskrit (Discrete Fourier

Transform). Citra digital merupakan besaran diskrit 2-D, maka untuk melakukan

pengolahan citra hanya membutuhkan Transformasi Fourier Diskrit 2-D.

1. Transformasi Fourier Diskrit (DFT 2-D)

Transformasi Fourier Diskrit 2-D dari sebuah fungsi diskrit

dinyatakan sebagai berikut (Gonzales & Woods, 2002: 154),

(2.8)

untuk .

25
Sedangkan transformasi balik ke domain spasial dapat dinyatakan sebagai

berikut,

(2.9)

untuk .

Misalkan dan adalah komponen real dan imajiner dari

, spektrum fourier atau yang dikenal sebagai magnitude didefinisikan

sebagai berikut,

(2.10)

dan sudut fase transformasi didefinisikan sebagai,

(2.11)

Persamaan 2.10 dan 2.11 dapat digunakan untuk merepresentasikan dalam

representasi polar kuantitas kompleks

(2.12)

Power spektrum didefinisikan sebagai kuadrat dari magnitude sebagai

berikut,

(2.13)

Secara umum, untuk menentukan transformasi fourier pada suatu citra perlu

dilakukan operasi perkalian pada fungsi input citra dengan

terlebih dahulu sebagai berikut (Gonzales & Woods, 2002: 154),

(2.14)

dengan argumen menyatakan transformasi fourier. Persamaan 2.14

menyatakan bahwa titik origin pada transformasi fourier dari suatu citra adalah

26
berada pada titik koordinat suatu citra yaitu dan . Dengan

kata lain, melakukan operasi perkalian dengan adalah

memindahkan titik origin dari pada koordinat frekuensi yang

merupakan pusat daerah transformasi diskrit fourier 2-D berukuran .

Sebagai contoh, perhitungan DFT 2-D yang mentransformasikan titik-titik

ke dalam interval persegi panjang yang ditunjukkan pada Gambar 2.4. persegi

panjang dengan garis putus-putus adalah perulangan periodik. Analisis visual

spektrum transformasi fourier 2-D secara sederhana dengan memindahkan nilai

origin transformasi ke pusat dari persegi pajang frekuensi. Nilai spektrum pada

dalam Gambar 2.4(b) adalah sama dengan nilai di pada Gambar 2.4(a)

dan nilai di pada Gambar 2.4(b) adalah sama dengan nilai di pada

Gambar 2.4(a). dengan cara yang sama, nilai di pada Gambar

2.4(b) adalah sama dengan nilai di pada Gambar 2.4(a).

(a)

27
(b)

Gambar 2.4 Spektrum Fourier 2-D

Nilai Transformasi Fourier pada dari persamaan 2.8 adalah

sebagai berikut (Gonzales & Woods, 2002:155),

(2.15)

yang merupakan rataan pada . Dengan kata lain, apabila adalah suatu

citra, nilai transformasi fourier pada titik origin akan sama dengan rataan dari

derajat keabuan suatu citra.

2. Konsep Filter dalam Domain Frekuensi

Pada dasarnya, ide dalam pemfilteran pada domain frekuensi adalah untuk

memilih fungsi transfer filter yang memodifikasi dengan cara tertentu.

Berikut ini adalah langkah-langkah melakukan filtering pada domain frekuensi

adalah (Gonzales & Woods, 2002:158):

a. Kalikan citra input dengan untuk memusatkan transformasi.

Pada Gambar 2.5(a) merupakan citra input, sedangkan Gambar 2.5(b)

merupakan citra input (a) dengan

28
(a) (b)
Gambar 2.5 Citra Lena.jpg

b. Hitung pada Persamaan 2.8, DFT 2-D dari citra pada langkah (1).

Pada Gambar 2.6 merupakan spektrum fourier dari citra pada Gambar 2.5(b).

untuk menghitung spektrum fourier pada suatu citra menggunakan Persamaan

2.8.

Gambar 2.6 Spektrum Fourier Citra pada Gambar 2.5(b)

c. Kalikan dengan fungsi filter .

Pada Gambar 2.7(a) merupakan spektrum fourier untuk fungsi filter .

Hasil perkalian antara dan ditunjukkan pada Gambar 2.7(b).

(a) (b)
Gambar 2.7 Spektrum Fourier, (a) Spektrum Fourier Filter , (b)
Spektrum Fourier Hasil Perkalian dengan

29
d. Kalikan invers DFT 2-D dari citra pada langkah (3) dengan Persamaan 2.9.

Untuk menghitung transformasi balik suatu citra dari domain frekuensi ke

dalam domain spasial dengan menggunakan Persamaan 2.9. selanjutnya

menggunakan bagian real dari citra. Gambar 2.8 merupakan citra hasil

transformasi balik dari citra pada langkah (3).

Gambar 2.8 Citra Hasil Transformasi Balik dari Citra pada Langkah (3)
e. Kalikan hasil pada langkah (4) dengan .

Pada Gambar 2.9 merupakan citra hasil akhir dari perbaikan kualitas citra pada

Gambar 2.5(a) dengan menggunakan domain frekuensi.

Gambar 2.9 Citra Hasil Perbaikan Kualitas Citra pada Domain Frekuensi
Misalkan dan merupakan transformasi Fourier dari

dan . Pernyataan sederhana dari teorema konvolusi bahwa

dan menyatakan pasangan Transformasi Fourier. Hal tersebut dapat

dinyatakan sebagai berikut (Gonzales & Woods, 2002:162),

(2.16)

30
digunakan untuk menyatakan bahwa pada sisi kiri Persamaan 2.16 yang merupakan

konvolusi pada domain spasial dapat diperoleh dengan

mentransformasi balik hasil perkalian dari Transformasi Fourier

pada sisi kanan Persamaan 2.16. Sebaliknya, pada Persamaan 2.17 menyatakan

bahwa pada sisi kanan Persamaan 2.17 yang merupakan konvolusi

dapat diperoleh dengan melakukan Transformasi Fourier pada sisi kiri

Persamaan 2.17.

(2.17)

3. Filter Penajaman pada Domain Frekuensi

Filter penghalusan (smoothing) pada domain frekuensi dilakukan dengan

pelemahan komponen frekuensi tinggi dari transformasi fourier atau yang disebut

dengan lowpass filter. Berbeda pada filter penajaman (sharpening) pada domain

frekuensi dapat dicapai dengan melemahkan frekuensi rendah tanpa menganggu

informasi frekuensi tinggi dalam transformasi fouriernya. Filter penajaman

biasanya disebut sebagai highpass filter. Filter higpass diperoleh dari filter lowpass

dengan formula berikut (Gonzales & Woods, 2002: 180),

(2.18)

dengan,

fungsi transfer filter lowpass.

Butterworth highpass filter merupakan salah satu filter highpass pada

domain frekuensi. Pada Butterworth Highpass Filter (BHPF) menampilkan citra

lebih halus jika dibandingkan dengan Ideal Highpass Filter (IHPF). BHPF dengan

31
order , cut-off frekuensi ( dan jarak sembarang titik ke titik origin

didefinisikan sebagai berikut (Gonzales & Woods, 2002:183),

(2.19)

dengan

4. High Frequency Emphasis Filter (HFEF)

Terkadang dalam melakukan perbaikan kualitas citra pada domain frekuensi

dapat difokuskan pada komponen frekuensi tinggi suatu citra tersebut. Pada kasus

ini, dengan melakukan operasi perkalian pada fungsi filter highpass dengan suatu

konstanta dan menambahkan suatu offset maka pendekatan ini disebut

dengan High Frequency Emphasis Filtering (Sun, 2009:1). Nilai konstanta pengali

meningkatkan amplitude frekuensi rendah, tetapi frekuensi rendah menerima efek

enhancement yang lebih sedikit daripada frekuensi tinggi, dengan dan

. Fungsi transfer filter high frequency emphasis diberikan sebagai berikut,

(2.20)

dengan

= fungsi transfer filter highpass

5. Histogram Equalization

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk perbaikan kualitas citra

(image enhancement) dalam image preprocessing adalah metode Histogram

Equalization. Histogram didefinisikan sebagai probabilitas statistik distribusi setiap

32
tingkat abu-abu dalam gambar digital. Persamaan histrogram (Histogram

Equalization) adalah teknik yang sangat popular untuk peningkatan kontras

gambar. Konsep dasar dari Histogram Equalization adalah dengan men-strecth

histogram, sehingga perbedaan piksel menjadi lebih besar atau dengan kata lain

informasi menjadi lebih kuat sehingga mata dapat menangkap informasi yang

disampaikan. Citra kontras ditentukan oleh rentang dinamis yang didefinisikan

sebagai perbandingan antara bagian paling terang dan paling gelap intensitas piksel.

Histogram memberikan informasi untuk kontras dan intensitas keseluruhan

distribusi dari suatu gambar. Misalkan gambar input terdiri dari tingkat abu-

abu diskrit dalam kisaran dinamis maka transformasi dapat

didefinisikan sebagai persamaan (Ahmad & Hadinegoro, 2012:441):

(2.21)

Untuk persamaan transformasi Histogram Equalization pada gambar digital,

variabel menunjukkan total jumlah piksel, jumlah tingkat abu-abu,

jumlah piksel dalam gambar masukan dengan intensitas nilai , dan adalah

jumlah piksel yang memiliki derajat keabuan . Rentang nilai input dan output abu-

abu berada di kisaran . Kemudian, transformasi Histogram

Equalization memetakan input nilai (dengan ) hingga nilai

output , dapat dilihat pada Gambar 2.10.

33
Gambar 2.10 Grafik Histogram

Histogram merupakan suatu bagan yang menampilkan distribusi intensitas

dalam indeks atau intensitas warna citra. Matlab menyediakan fungsi khusus untuk

histogram citra, yaitu imhist(). Fungsi Imhist menghitung jumlah piksel-piksel

suatu citra untuk setiap range warna (0-255) dan dirancang untuk menampilkan

histogram citra dengan format abu-abu (grayscale). Oleh karena itu, agar dapat

menampilkan histogram RGB, maka perlu memodifikasi fungsi Imhhist.

Misalkan sebuah citra digital memiliki derajat keabuan (citra dengan

kuantisasi keabuan 8-bit, nilai derajat keabuan dari 0-255) secara matematis dapat

dihitung dengan rumus (Ahmad & Hadinegoro, 2012:442):

(2.22)

dengan:

derajat keabuan

jumlah piksel yang memiliki derajat keabuan

jumlah seluruh piksel dalam citra

34
Diasumsikan bahwa perataan histogram mengubah nilai masukan menjadi dan

kemudian mengubah menjadi , bentuk persamaan tersebut adalah sebagai

berikut :

(2.23)

Sebagai contoh pada Tabel 2.1, diketahui input citra dengan array berukuran 8x8

piksel 8 derajat keabuan dengan rentang nilai

Tabel 2.1 Citra array ukuran 8x8


1 1 5 5 0 0 1 0
1 1 2 2 0 1 0 1
1 7 6 6 5 5 0 0
0 7 6 7 5 5 5 5
4 7 6 7 3 5 7 0
1 1 4 1 6 5 6 1
2 2 4 1 1 5 1 1
1 2 2 0 0 0 0 5

Pada Tabel 2.1 tersebut dapat kita lihat sebuah citra gambar dengan nilai dan

, maka dengan menggunakan Persamaan 2.21 diperoleh,

Tabel 2.2 Perhitungan nilai

0 13 13 1
1 17 30 3
2 6 36 4
3 1 37 4
4 3 40 4
5 12 52 6
6 6 58 6
7 6 64 7

35
Maka, output dari citranya adalah seperti pada Tabel 2.3 berikut,

Tabel 2.3 Output Citra array ukuran 8x8


3 3 6 6 1 1 3 1
3 3 4 4 1 3 1 3
3 7 6 6 6 6 1 1
1 7 6 7 6 6 6 6
4 7 6 7 4 6 7 1
3 3 4 3 6 6 6 3
4 4 4 3 3 6 3 3
3 4 4 1 1 1 1 6

D. Ekstraksi Fitur

Ekstraksi fitur (feature extraction) atau juga dikenal dengan sebutan

indexing, adalah teknik pengambilan sifat-sifat khusus dari sebuah gambar.

Ekstraksi fitur merupakan langkah awal klasifikasi (Setianingrum, 2013:23). Salah

satu metode dalam ekstraksi fitur adalah metode statistikal. Metode statistikal

merupakan metode distribusi spasial pada nilai keabuan dan turunan dari kumpulan

statistik (Zahab, 2012:5). Beberapa metode statistikal diantaranya adalah Gray

Level Co-occurrence Matrix (GLCM), Gray Level Difference Matrix (GLDM), dan

Gray Level Run Length Matrix (GLRLM).

1. Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM)

GLCM adalah matriks derajat keabuan yang merepresentasikan hubungan

suatu derajat keabuan dengan derajat keabuan lain (Paramata, et al, 2017:307).

Proses GLCM akan menghasilkan parameter yang digunakan dalam analisis

citra. Berikut parameter-parameter dalam GLCM (Bharati & Subashini, 2013:

198-199):

36
1) Autocorrelation (AUTOC)

(2.24)

2) Contrast (CON)

(2.25)

3) Correlation (CORR)

(2.26)

(2.27)

(2.28)

4) Energy (ENER)

(2.29)

5) Entropy (ENT)

(2.30)

6) Inverse Difference Moment (IDM)

(2.31)

7) Sum of Squares (SOS)

(2.32)

8) Sum Average (SA)

(2.33)

9) Sum Variance (SV)

(2.34)

37
10) Sum Entropy (SE)

(2.35)

11) Difference Variance (DV)

(2.36)

12) Difference Entropy (DE)

(2.37)

13) Maximum Probability (MP)

(2.38)

14) Dissimilarity (DIS)

(2.39)

15) Information Measures of Correlation 1 (INF1)

(2.40)

dimana

(2.41)

(2.42)

dan adalah entropy dari dan

16) Information Measures of Correlation 2 (INF2)

(2.43)

dimana

(2.44)

38
(2.45)

(2.46)

dan adalah entropy dari dan

dengan

koordinat spasial fungsi

peluang nilai level keabuan pada baris ke-i dan kolom ke-j

level keabu-abu

rata-rata dari peluang marginal dan

standar deviasai dari peluang marginal dan

2. Gray Level Run Length Matrix (GLRLM)

Gray Level Run Length Matrix atau biasa disingkat GLRLM merupakan salah

satu metode yang popular untuk mengekstrak citra sehingga diperoleh ciri

statistik atau atribut yang terdapat dalam citra dengan mengestimasi piksel-

piksel yang memiliki derajat keabuan yang sama (Jefry, 2016: 3). Berikut

parameter-parameter dalam GLRLM (Bharati & Subashini, 2013: 199-200):

1) Short Run Emphasis (SRE)

(2.47)

2) Long Run Emphasis (LRE)

(2.48)

3) Gray Level Nonuniformity (GLN)

(2.49)

39
4) Run Percentage (RP)

(2.50)

5) Run Length Nonuniformity (RLN)

(2.51)

6) Low Gray Level Run Emphasis (LGRE)

(2.52)

7) High Gray Level Run Emphasis (HGRE)

(2.53)

dengan

= susunan run length matrix

= total jumlah dari runs

= jumlah pixel suatu image

E. Regresi Stepwise

Regresi stepwise atau regresi bertahap merupakan salah satu prosedur

pemilihan himpunan variabel. Langkah-langkah pada regresi stepwise adalah

menambahkan satu variabel bebas pada satu waktu tertentu pada suatu model, yaitu

variabel bebas yang menjadikan model regresi tersebut dapat menjelaskan perilaku

variabel tak bebas dengan baik. Persamaan umum dari regresi stepwise adalah:

(2.54)

dengan,

= variabel dependen.

= konstanta regresi.

40
= koefisien regresi.

= variabel bebas.

= galat taksiran (sisa residu).

Menurut Hanke & Wichern (2005: 292), Regresi stepwise dapat dijabarkan

dengan mengurutkan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menentukan matriks korelasi antara variabel dependen terhadap variabel

bebas untuk memilih koefisien korelasi yang besar.

2. Variabel bebas yang mempunyai koefisien korelasi paling besar dengan

variabel dependen adalah variabel pertama yang masuk ke persamaan regresi.

Koefiseien korelasi besar menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara

variabel bebas dan variabel dependen.

3. Variabel selanjutnya yang masuk ke persamaan adalah salah satu variabel

(selain yang sudah masuk sebelumnya) yang mempunyai kontribusi signifikan

terbesar pada jumlah kuadrat regresi. Signifikansi dari variabel yang masuk

pada persamaan regresi ditentukan oleh . Nilai dari statistik yang harus

dilampaui oleh variabel bebas disebut sebagai .

4. Ketika variabel tambahan masuk ke dalam persamaan, kontribusi individu

untuk jumlah kuadrat regresi dari variabel lainnya yang sudah masuk dalam

persamaan dihitung signifikansinya menggunakan . Jika statistik kurang

dari nilai yang disebut , maka variabel tersebut dihilangkan dari

persamaan regresi.

41
5. Langkah ke-3 dan 4 diulang sampai variabel yang bisa ditambahkan tidak

signifikan dan semua penghapusan variabel yang mungkin signifikan. Pada

poin ini, seleksi variabel berhenti.

F. Fuzzy C-Means Clustering (FCM)

Menurut Kusumadewi (2002: 159-160), Fuzzy clustering merupakan salah

satu teknik yang digunakan untuk menetukan cluster optimal dalam suatu ruang

vektor yang didasarkan pada bentuk normal Euclidian untuk jarak antar vektor.

Salah satu metode clustering adalah Fuzzy C-Means (FCM).

FCM adalah salah satu teknik pengklasteran data dimana keberadaan tiap-

tiap titik data dalam suatu cluster ditentukan oleh derajat keanggotaan. Output dari

FCM bukan merupakan fuzzy inference system (FIS), melainkan berupa deretan

pusat cluster dan beberapa derajat keanggotaan untuk tiap-tiap titik data. Informasi

ini dapat digunakan untuk membangun suatu FIS.

Algoritma Fuzzy C-Means (FCM) adalah sebagai berikut (Kusumadewi &

Purnomo, 2013:84-85):

1. Input data yang akan dicluster yang berupa matriks berukuran ( =

jumlah sampel data, dan = atribut setiap data).

= data sampel ke- , atribut ke- .

2. Menentukan:

Jumlah cluster =

Pangkat =

Maksimum Iterasi =

Error terkecil yang diharapkan =

42
Fungsi objektif awal =

Iterasi awal =

3. Membangkitkan bilangan random sebagai elemen-elemen

matriks partisi awal .

Menghitung jumlah setiap kolom (atribut):

(2.55)

Dengan

(2.56)

4. Menghitung pusat cluster ke- : , dengan dan

(2.57)

5. Hitung fungsi objektif pada iterasi ke- ,

(2.58)

6. Hitung perubahan matriks partisi:

(2.59)

dengan dan

7. Cek kondisi berhenti:

Jika atau maka berhenti, sedangkan jika

, ulangi langkah ke-4.

43
Contoh 2.1. Sebagai contoh klasifikasi menggunakan metode FCM

Tabel 2.4 Data Ekstraksi GLCM

Atribut
Data ke-i Autocorrelation
Energy ( )
( )
1 2,5147 0,4407
2 2,4999 0,4142
3 2,4674 0,3919
4 2,4267 0,3552

Langkah 1, yaitu input data yang akan dikluster yang berupa matriks berukuran

. Data Tabel 2.4 memuat dua variabel yaitu dan untuk masing-masing

data yaitu data 1, 2, 3, dan 4.

Langkah 2, data kemudian dikelompokkan menjadi 2 cluster yaitu dengan ,

pangkat atau bobot , maksimal iterasi , faktor koreksi (error terkecil

yang diinginkan) , dan fungsi objektif awal .

Langkah 3, yaitu membangkitkan bilangan random sebagai

elemen-elemen matriks partisi awal , yaitu dengan mengetik perintah berikut pada

command window Matlab.

Langkah 4, yaitu menghitung pusat cluster yang terbentuk berdasarkan matriks

partisi awal.

44
Tabel 2.5 Pusat Cluster Pertama pada Iterasi ke-1

0,2951 2,5147 0,4407 0,08708401 0,21899016 0,038377923


0,3281 2,4999 0,4142 0,10764961 0,26911326 0,044588468
0,046 2,4674 0,3919 0,002116 0,005221018 0,00082926
0,3308 2,4267 0,3552 0,10942864 0,265550481 0,038869053
0,30627826 0,758874919 0,122664705

2,477730281 0,400500855

Tabel 2.6 Pusat Cluster Kedua pada Iterasi ke-1

0,4066 2,5147 0,4407 0,16532356 0,415739156 0,072858093


0,0627 2,4999 0,4142 0,00393129 0,009827832 0,00162834
0,1791 2,4674 0,3919 0,03207681 0,079146321 0,012570902
0,3516 2,4267 0,3552 0,12362256 0,299994866 0,043910733
0,32495422 0,804708176 0,130968068

2,476373981 0,403035444

Sehingga terbentuk pusat cluster yaitu:

Setelah pusat cluster diperoleh, langkah selanjutnya adalah menghitung fungsi

objektif. Fungsi objektif yang dihasilkan adalah

Tabel 2.7 berikut merupakan perhitungan untuk fungsi objektif.

45
Tabel 2.7 Perhitungan Fungsi Objektif pada iterasi ke-1

0,08708 0,16532 4,62752748 3,9920417 0,40298 0,65998 1,06296


0,10765 0,00393 4,50105445 4,2066397 0,48454 0,01654 0,50107
0,00212 0,03208 4,22947549 4,3915789 0,00895 0,14087 0,14982
0,10943 0,12362 3,90129204 4,7046019 0,42691 0,58159 1,00851
2,72236

Karena dan MaxIter

= , maka proses dilanjutkan ke iterasi ke-2 dengan menghitung perubahan

matriks partisi terlebih dahulu. Berikut perhitungan perubahan matriks partisi dapat

dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Perhitungan Matriks Partisi pada Iterasi ke-1

Total
0,2161 0,2505 0,46659651 0,463137031 0,53686297
0,22217 0,23772 0,459889597 0,483094561 0,51690544
0,23644 0,22771 0,464144474 0,509401598 0,4905984
0,25633 0,21256 0,468883174 0,546672074 0,45332793

Kemudian diperoleh matriks partisi baru sebagai berikut:

Iterasi ke-2

Langkah selanjutnya yaitu menghitung pusat-pusat cluster yang terbentuk

berdasarkan matriks partisi awal yang baru. Pusat cluster pertama hasil iterasi ke-2

dapat dilihat pada Tabel 2.9 dan pusat cluster kedua hasil iterasi ke-2 dapat dilihat

pada Tabel 2.10

46
Tabel 2.9 Pusat Cluster Pertama pada Iterasi ke-2

0,4631 2,5147 0,4407 0,21449591 0,53939286 0,0945283


0,4831 2,4999 0,4142 0,23338035 0,58342755 0,0966661
0,5094 2,4674 0,3919 0,25948998 0,6402656 0,1016941
0,5467 2,4267 0,3552 0,29885035 0,72522016 0,10161516
1,0062166 2,48830617 0,3990403

2,47293291 0,3965749

Tabel 2.10 Pusat Cluster Kedua pada Iterasi ke-2

0,5369 2,5147 0,4407 0,28822184 0,72479148 0,1270194


0,5169 2,4999 0,4142 0,26719123 0,66795136 0,1106706
0,4906 2,4674 0,3919 0,24068679 0,59387059 0,0943252
0,4533 2,4267 0,3552 0,20550621 0,49870192 0,0729958
1,00160608 2,48531535 0,4050109

2,48133013 0,4043615

Sehingga terbentuk pusat cluster yaitu:

Fungsi objektif yang dihasilkan adalah

Berikut adalah detail perhitungannya pada Tabel 2.11

47
Tabel 2.11 Perhitungan Fungsi Objektif pada Iterasi ke-2

0,21449 0,28822 4,66513421 4,0171849 1,00065 1,15784 2,15849


0,23338 0,26719 4,53814475 4,2324489 1,05911 1,13087 2,18999
0,25949 0,24069 4,26543177 4,4179484 1,10684 1,06334 2,17018
0,29885 0,20551 3,93582816 4,7318937 1,17622 0,97243 2,14866
8,66732

Karena dan

MaxIter = , maka proses dilanjutkan ke iterasi berikutnya dengan menghitung

perubahan matriks partisi terlebih dahulu. Berikut perhitungan perubahan matriks

partisi pada iterasi ke-2 dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12 Perhitungan Matriks Partisi pada Iterasi ke-2

Total
0,21436 0,24893 0,463286641 0,462685703 0,5373143
0,22035 0,23627 0,4566242 0,482572732 0,51742732
0,23444 0,22635 0,46079226 0,508782102 0,4912179
0,25408 0,21133 0,465408016 0,545921266 0,45407873

Kemudian diperoleh matriks partisi baru sebagai berikut:

Demikian seterusnya sampai terpenuhi kondisi atau

. Proses perhitungan berhenti pada iterasi ke-4 , karena salah satu

syarat sudah terpenuhi yaitu:

Pusat cluster yang dihasilkan pada iterasi terakhir adalah:

48
Berdasarkan pusat cluster di atas, dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Cluster pertama terdiri dari objek-objek yang memiliki rata-rata sebesar

dan rata-rata sebesar .

b. Cluster kedua terdiri dari objek-objek yang memiliki rata-rata sebesar

dan rata-rata sebesar .

Matriks partisi yang terbentuk pada iterasi terakhir adalah

Berdasarkan matriks tersebut diperoleh informasi mengenai kecenderungan

setiap objek untuk masuk ke cluster tertentu. Objek yang memiliki derajat

keanggotaan terbesar pada suatu cluster menunjukkan bahwa objek itu cenderung

masuk menjadi anggota dari cluster tersebut, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.13

berikut.

Tabel 2.13 Derajat Keanggotaan Setiap Objek pada Iterasi Terakhir

Kecenderungan
Derajat Keanggotaan pada
Variabel Data Masuk pada
Objek Iterasi Terakhir
Suatu Cluster

1 2,5147 0,4407 *
2 2,4999 0,4142 *
3 2,4674 0,3919 *
4 2,4267 0,3552 *

49
Sehingga diperoleh dua buah cluster, yaitu cluster pertama yang beranggotakan

objek 1 dan objek 2, sedangkan objek 3 dan objek 4 masuk menjadi anggota cluster

kedua.

G. Dekomposisi Nilai Singular

Dekomposisi Nilai Singular (Singular Value Decomposition) atau yang

lebih dikenal sebagai SVD adalah salah satu teknik dekomposisi berkaitan dengan

nilai singular (singular value) suatu matriks yang merupakan salah satu

karakteristik matriks tersebut (Ariyanti, 2010:35).

Menurut Lay (1997: 468), nilai singular matriks adalah akar kuadrat

dari nilai eigen matriks (matriks simetris) yang dinotasikan dengan

. Sehingga,

(2.60)

Berikut beberapa definisi dalam memperoleh nilai eigen:

Definisi 2.1 (Anton, 1987: 277). Jika adalah matriks , maka vektor tak nol

di dalam dinamakan vektor eigen (eigen vector) dari jika adalah

kelipatan skalar dari , yakni:

untuk suatu skalar . Skalar dinamakan nilai eigen (eigen value) dari dan

dikatakan vektor eigen yang bersesuaian dengan .

Untuk mencari nilai eigen matriks yang berukuran maka dapat dituliskan

kembali sebagai

50
atau secara ekuivalen

(2.61)

Teorema 2.1 (Anton, 1987: 280). Jika adalah matriks , maka pernyataan-

pernyataan berikut adalah ekuivalen:

(a) adalah nilai eigen dari .

(b) Sistem persamaan mempunyai pemecahan yang non-trivial.

(c) Ada vektor tak nol di dalam sehingga .

(d) adalah pemecahan riil dari persamaan karakteristik .

Supaya menjadi nilai eigen, maka harus ada pemecahan tak nol (non-

trivial) dari Persamaan 2.61. Menurut Teorema 2.1 di atas, Persamaan 2.61 akan

mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika,

(2.62)

Contoh 2.2

Diberikan matriks sebagai berikut:

dengan menggunakan Persamaan 2.62 diperoleh

Kemudian diperoleh nilai eigen dari matriks , yaitu dan .

Setelah diperoleh nilai eigen, untuk ,

51
memiliki salah satu vektor eigen, yaitu . Kemudian untuk

memiliki salah satu vektor eigen, yaitu .

Definisi 2.2 (Leon, 1998: 322). Suatu matriks disebut Hermite jika .

Matriks merupakan transpose dari matriks . Sedangkan adalah matriks yang

terbentuk dngan mengambil sekawan dari setiap entri .

Contoh 2.3 Matriks

Merupakan matriks Hermite, karena

Oleh karena itu, jika suatu matriks dengan entri real, maka

Selanjutnya, mengenai matriks uniter yang merupakan salah satu matriks

hasil pemfaktoran.

Definisi 2.3 (Leon, 1998: 323). Suatu matriks ortogonal adalah suatu matriks

uniter. Dengan demikian, jika terdapat merupakan matriks yang bujur sangkar

dengan entri real yang memenuhi maka merupakan matriks uniter.

Contoh 2.4

Diberikan matriks

52
merupakan matriks uniter, karena merupakan matriks bujur sangkar dengan entri

real dan

Definisi 2.4 (Leon, 1998: 239). Diberikan vektor dalam ruang hasil

kali dalam . Jika untuk setiap maka himpunan

merupakan himpunan ortogonal. Kemudian himpunan ortogonal dari sebuah

vektor yang adalah himpunan ortonormal. Himpunan

akan ortonormal jika dan hanya jika

(2.63)

dengan

Apabila diberikan himpunan ortogonal dari vektor tak nol ,

maka himpunan tersebut dapat diubah menjadi himpunan ortonormal yaitu

(2.64)

Contoh 2.5

Diberikan himpunan orthogonal di ,

. Menggunakan Persamaan 2.64, dperoleh

himpunan ortonormal dengan

53
Berikut definisi mengenai dekomposisi nilai singular dari suatu matriks.

Definisi 2.5 (Goldberg, 1992: 325). Dekomposisi nilai singular matriks riil

adalah faktorisasi

(2.65)

dengan matriks orthogonal matriks orthogonal dan matriks

bernilai riil tak negatif yang elemen diagonalnya disebut nilai-nilai singular.

Dengan kata lain diag terurut sehingga .

Jika dan maka

(2.66)

Teorema tersebut juga menyatakan bahwa matriks dapat dinyatakan

sebagai dekomposisi matriks yaitu matriks dan . Matriks merupakan

matriks diagonal dengan elemen diagonalnya berupa nilai-nilai singular matriks ,

sedangkan matriks dan merupakan matriks-matriks yang kolom-kolomnya

berupa vektor singular kiri dan vektor singular kanan dari matriks untuk nilai

singular yang bersesuaian.

Menentukan dekomposisi nilai singular meliputi langkah-langkah

menentukan nilai eigen dan vektor eigen dari matriks atau . Vektor eigen

dari membentuk kolom , sedangkan vektor eigen dari membentuk

kolom . Nilai singular dalam adalah akar pangkat dua dari nilai-nilai eigen

matriks atau . Nilai singular adalah elemen-elemen diagonal dari dan

54
disusun dengan urutan menurun. Sehingga matriks dapat dituliskan sebagai

berikut:

Contoh 2.6

Tentukan dekomposisi nilai singular matriks

Penyelesian:

Untuk menentukan vektor singular kiri, dimulai dengan , yaitu

dengan menggunakan Persamaan 2.62 diperoleh

Selanjutnya, menentukan nilai eigen dari , yaitu dan .

Diperoleh nilai singular dari yaitu dan .

Untuk diperoleh :

Maka vektor eigen bersesuaian dengan nilai eigen .

Untuk diperoleh :

55
Maka vektor eigen bersesuaian dengan nilai eigen .

Dengan menormalisasikan dan diperoleh

dan .

Diperoleh

Selanjutnya, dicari nilai eigen dari

dan nilai eigen dari yaitu , dan .

Diperoleh nilai singular dari yaitu dan .

Dengan mencari vektor eigen yang bersesuain dengan nilai eigen diperoleh

bersesuaian dengan nilai eigen

bersesuaian dengan nilai eigen

bersesuaian dengan nilai eigen

Akibatnya, vektor-vektor singular kanan yang orthonormal adalah

; dan

56
Jadi,

Dari proses di atas, diperoleh dekomposisi nilai singular matriks tersebut adalah

Dengan demikian terlihat bahwa .

H. Logika Fuzzy

Logika fuzzy merupakan salah satu komponen pembentuk soft computing.

Logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lotfi A. Zadeh pada tahun 1965.

Dasar logika fuzzy adalah teori himpunan fuzzy. Pada teori himpunan fuzzy, peranan

derajat keanggotaan sebagai penentu keberadaan elemen dalam suatu himpunan

sangatlah penting. Nilai keanggotaan atau derajat keanggotaan atau membership

function menjadi ciri utama dari penalaran dengan logika fuzzy tersebut. Dalam

banyak hal, logika fuzzy digunakan sebagai suatu cara untuk memetakan

permasalahan dari input menuju ke output yang diharapkan. Perbedaan antara

logika fuzzy dan logika tegas (crisp) terletak pada nilai keanggotaanya. Jika pada

himpunan tegas (crisp) nilai keanggotaan hanya ada dua kemungkinan yaitu 0 atau

1, pada himpunan fuzzy nilai keanggotaan terletak antara 0 sampai 1 (Kusumadewi,

2010:1-2).

57
Menurut Kusumadewi (2003:154), ada beberapa alasan mengapa orang

menggunakan logika fuzzy, antara lain :

1. Konsep dan penalaran logika fuzzy sangat sederhana sehingga mudah

dimengerti.

2. Logika fuzzy sangat fleksibel, artinya mampu beradaptasi dengan perubahan

dan ketidakpastian yang menyertai permasalahan.

3. Logika fuzzy memiliki toleransi terhadap data-data yang tidak tepat.

4. Logika fuzzy mampu memodelkan fungsi-fungsi nonlinear yang sangat

kompleks.

5. Logika fuzzy dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman-pengalaman

para pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan.

6. Logika fuzzy dapat bekerjasama dengan teknik-teknik kendali secara

konvensional.

7. Logika fuzzy didasarkan pada bahasa alami yaitu menggunakan bahasa sehari-

hari sehingga mudah dimengerti.

Logika fuzzy dapat digunakan sebagai alternatif dari berbagai sistem dalam

pengambilan keputusan. Oleh karena itu, logika fuzzy dapat diaplikasikan dalam

berbagai bidang salah satunya dalam bidang ilmu kedokteran dan biologi, seperti

sistem diagnosis yang didasarkan pada logika fuzzy, penelitian kanker, manipulasi

peralatan prostetik yang didasarkan pada logika fuzzy, dll (Kusumadewi, 2003:155).

Logika fuzzy memiliki beberapa komponen seperti himpunan fuzzy, fungsi

keanggotaan, dan operasi dasar dalam himpunan fuzzy. Berikut penjabaran

mengenai komponen-komponen tersebut :

58
1. Himpunan Fuzzy

Teori himpunan fuzzy merupakan perluasan dari teori himpunan klasik.

Dimana fungsi keanggotaan dari himpunan klasik, yaitu diperluas menjadi

suatu bilangan real dalam interval (Lin & Lee, 1996:10). Himpunan klasik

(crisp set) adalah himpunan yang membedakan anggota dan bukan anggota dengan

batasan yang jelas (Ross, 2010:26).

Definisi 2.6 (Klir & Yuan, 1995:75). Himpunan fuzzy pada himpunan universal

didefinisikan sebagai himpunan yang direpresentasikan dengan fungsi yang

mengawankan setiap dengan bilangan real pada interval [0,1], ditulis

(2.67)

nilai menyatakan derajat keanggotaan x di A. Apabila suatu elemen dalam

suatu himpunan memiliki derajat keanggotaan fuzzy = 0 berarti tidak

menjadi anggota himpunan , dan jika derajat keanggotaan fuzzy = 1

berarti menjadi anggota penuh dari himpunan .

Himpunan fuzzy memiliki dua atribut (Kusumadewi, 2013:6), yaitu :

a. Linguistik, yaitu penamaan suatu himpunan yang memiliki suatu keadaan atau

kondisi tertentu dengan menggunakan bahasa alami.

b. Numeris, yaitu suatu nilai (angka) yang menunjukkan ukuran dari suatu variabel.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy yaitu

(Kusumadewi, 2013:6).

a. Variabel Fuzzy

Variabel fuzzy merupakan variabel yang akan dibahas dalam suatu sistem fuzzy.

59
b. Himpunan Fuzzy

Himpunan fuzzy merupakan suatu grup yang mewakili suatu kondisi atau

keadaan tertentu dalam suatu variabel fuzzy.

c. Semesta Pembicaraan

Semesta pembicaraan atau universal adalah keseluruhan nilai yang

diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy.

d. Domain

Domain himpunan fuzzy adalah keseluruhan nilai yang diizinkan dan boleh

dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy.

2. Fungsi Keanggotaan

Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-

titik input kedalam derajat keanggotaan. Pendekatan fungsi merupakan salah satu

cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan derajat keanggotaan.

Ada beberapa fungsi yang dapat digunakan (Kusumadewi, 2013:9):

a. Representasi Linear

Pada representasi linear, pemetaan input derajat keanggotaanya digambarkan

sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang

baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Keadaan linear

himpunan fuzzy terdiri dari dua keadaan linear naik dan linear turun.

1) Representasi Linear Naik

Pada linear naik, kenaikan himpunan dimulai pada nilai domain yang

memiliki derajat keanggotaan [0] bergerak ke kanan menuju nilai domain

60
yang memiliki derajat keanggotaan lebih tinggi dengan fungsi

keanggotaan:

(2.68)

Gambar 2.11 merupakan grafik fungsi keanggotaan representasi linear

naik

Gambar 2.11 Representasi Linear Naik

Keterangan :

a = nilai domain saat derajat keanggotaan sama dengan nol

b = nilai domain saat derajat keaggotaan sama dengan satu

2) Representasi Linear Turun

Pada linear turun, garis lurus dimulai dari nilai domain dengan derajat

keanggotaan tertinggi pada sisi kiri, kemudian bergerak menurun ke nilai

domain yang memiliki keanggotaan lebih rendah dengan fungsi

keanggotaan:

(2.69)

61
Gambar 2.12 merupakan grafik fungsi keanggotaan representasi linear

turun.

Gambar 2.12 Representasi Linear Turun

Keterangan :

a = nilai domain saat derajat keanggotaan sama dengan satu

b = nilai domain saat derajat keanggotaan sama dengan nol

b. Representasi Kurva Segitiga

Representasi kurva segitiga pada dasarnya terbentuk dari gabungan 2 garis

linear, yaitu linear naik dan linear turun. Kurva segitiga hanya memiliki satu

nilai dengan derajat keanggotaan tertinggi [1], hal tersebut terjadi ketika

. Nilai yang tersebar dipersekitaran memiliki perubahan derajat

keanggotaan menurun dengan menjauhi 1. Adapun persamaan untuk bentuk

segitiga ini adalah :

(2.70)

Gambar 2.13 merupaan grafik fungsi keanggotaan representasi kurva segitiga

62
Gambar 2.13 Representasi Kurva Segitiga

Keterangan:

a = nilai domain terkecil saat derajat keanggotaan terkecil

b = derajat keanggotaan terbesar dalam domain

c = nilai domain terbesar saat derajat keanggotaan terkecil

c. Representasi Kurva Trapesium

Kurva trapesium pada dasarnya seperti bentuk segitiga, hanya saja ada

beberapa titik yang memiliki nilai keanggotaan 1. Adapaun persamaan untuk

kurva trapesium ini adalah :

(2.71)

Gambar 2.14 Representasi Kurva Trapesium

63
Keterangan:

a = nilai domain terkecil saat derajat keanggotaan terkecil

b = derajat keanggotaan terbesar dalam domain

c = derajat keanggotaan terbesar dalam domain

d = nilai domain terbesar saat derajat keanggotaan terkecil yang bergerak dari

c.

d. Kurva Gauss

Kurva Gauss merupakan kurva berbentuk lonceng dengan derajat keanggotaan

1 terletak pada pusat dengan domain , dan lebar kurva seperti pada gambar

berikut :

(2.72)

Gambar 2.15 Representasi Kurva Gauss

Fungsi keanggotaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah representasi

Kurva Gauss.

3. Operator Dasar dalam Himpunan Fuzzy

Seperti halnya himpunan konvensional, ada beberapa operasi yang

didefinisikan secara khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan

64
fuzzy. Ada 3 operator dasar yang diciptakan oleh Zadeh, yaitu (Kusumadewi,

2013:23):

a. Operator AND

Operator AND merupakan operator yang berhubungan dengan operasi

interseksi pada himpunan sebagai hasil dengan operator

AND diperoleh dengan mengambil derajat keanggotaan terkecil antar

elemen pada himpunan-himpunan yang bersangkutan. Misalkan A dan B

adalah himpunan fuzzy pada U, maka himpunan fuzzy didefinisikan

dengan fungsi keanggotaan berikut.

(2.73)

b. Operator OR

Operator OR merupakan operator yang berhubungan dengan operasi union

pada himpunan sebagai hasil dengan operator OR diperoleh

dengan mengambil derajat keanggotaan terbesar antar elemen pada

himpunan-himpunan yang bersangkutan. Misalkan A dan B adalah

himpunan fuzzy pada U, maka himpunan fuzzy didefinisikan dengan

fungsi keanggotaan berikut.

(2.74)

c. Operator NOT

Operator NOT merupakan operator yang berhubungan dengan operasi

komplemen pada himpunan sebagai hasil dengan operator

NOT diperoleh dengan mengurangkan derajat keanggotaan elemen pada

himpunan yang bersangkutan dari 1. Misalkan A adalah himpunan fuzzy

65
pada U. Sedangkan merupakan komplemen dari suatu himpunan fuzzy

A, maka himpunan fuzzy didefinisikan dengan fungsi keanggotaan

berikut:

(2.75)

I. Sistem Fuzzy

Sistem fuzzy dapat diartikan sebagai deskripsi linguistik (aturan fuzzy Jika-

Maka) yang lengkap tentang proses yang dapat dikombinasikan kedalam sistem

(Wang, 1997:265). Sistem fuzzy terdiri dari fuzzifikasi, pembentukan aturan (fuzzy

rule base), inferensi fuzzy, dan defuzzifikasi. Sistem fuzzy yang digunakan pada

penelitian ini adalah fuzzifikasi dengan representasi kurva Gauss, sistem inferensi

metode Sugeno orde nol, pembentukan aturan (fuzzy rule base) dengan

menggunakan metode dekomposisi nilai singular, dan defuzzifikasi metode weight

average. Sistem fuzzy terdiri dari empat tahapan yaitu:

1. Fuzzifikasi

Fuzzifikasi merupakan pemetaan dari himpuan crisp dengan himpunan

fuzzy. Proses fuzzifikasi merupakan cara menjadikan input yang merupakan

himpunan crisp menjadi himpunan fuzzy menggunakan fungsi keanggotaan

(Wang, 1997:106). Pada penelitian ini proses fuzzifikasi menggunakan fungsi

keanggotaan representasi.

2. Aturan Fuzzy

Pada himpunan fuzzy, aturan yang digunakan adalah aturan If-Then atau

Jika-Maka. Aturan fuzzy If-Then dapat direpresentasikan sebagai

66
Proposisi fuzzy dibedakan menjadi dua, yaitu proposisi atomic dan proposisi fuzzy

compound. Proposisi fuzzy atomic adalah pernyataan tunggal dengan sebagai

variabel linguistik dan adalah himpunan fuzzy dari . Proposisi fuzzy compound

adalah gabungan dari proposisi atomic

-63).

3. Inferensi Fuzzy

Inferensi fuzzy diperoleh dari kumpulan korelasi antar aturan. Menurut

Kusumadewi & Hari (2013:31-46) terdapat beberapa metode dalam inferensi

fuzzy, yaitu:

a. Metode Tsukamoto

Metode Tsukamoto merupakan perluasan dari penalaran monoton. Pada

metode ini, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-Then harus

direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan

yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan

diberikan secara tegas (crisp) -predikat. Hasil akhirnya

diperoleh menggunakan rata-rata berbobot.

b. Metode Mamdani

Metode ini diperkenalkan oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975. Inferensi

metode Mamdani menggunakan fungsi implikasi , sedangkan komposisi

aturannya menggunakan . Oleh karena itu metode Mamdani sering

dikenal sebagai metode .

67
c. Metode Sugeno

Dalam metode Sugeno output (konsekuen) sistem tidak berupa himpunan

fuzzy, melainkan berupa konstanta atau persamaan. Metode ini diperkenalkan

oleh Takagi-Sugeno Kang pada tahun 1985 sehingga metode ini sering juga

disebut sebagai metode TSK. Menurut Cox (1994), Metode TSK terdiri dari

2 jenis, yaitu;

1) Model Fuzzy Sugeno Orde-Nol

Secara umum bentuk model fuzzy Sugeno Orde-Nol adalah:

dengan adalah himpunan fuzzy ke-i sebagai antisenden, dan adalah

suatu konstanta (tegas) sebagai konsekuen.

2) Model Fuzzy Sugeno Orde-Satu

Secara umum bentuk model fuzzy Sugeno Orde-Satu adalah:

dengan adalah himpunan fuzzy ke-i sebagai antisenden, adalah

konstanta dalam konsekuen dan juga merupakan suatu konstanta (tegas)

ke-i .

Defuzzifikasi dalam metode Sugeno dilakukan dengan cara mencari nilai

rata-ratanya. Dalam penelitian ini, sistem inferensi yang digunakan adalah

metode Sugeno Orde-Satu.

68
4. Defuzzifikasi

Proses terakhir dalam pemodelan fuzzy adalah defuzzifikasi. Proses ini

mengubah himpunan fuzzy ke dalam bilangan riil. Nilai dari hasil defuzzifikasi

adalah output dari model fuzzy. Dalam penelitian ini metode defuzzifikasi yang

digunakan adalah metode rata-rata terbobot (weight average). Menurut Wang

(1997: 110), rumus defuzzifikasi weight average yang digunakan untuk metode

Sugeno orde satu adalah sebagai berikut:

(2.76)

dengan , dan

selanjutnya akan dibentuk model menurut Yen, Wang, & Gillespi (1998) yang

meminimumkan fungsi tujuan dengan

(2.77)

dengan adalah output sebenarnya untuk pasangan data ke- , dan

adalah output model Sugeno orde satu untuk pasangan data ke- . Kemudian

dan adalah matriks ukuran dengan

merupakan banyaknya data, merupakan banyaknya input dan merupakan

banyaknya aturan serta merupakan suatu

matriks ukuran .

69
Fungsi pada Persamaan 2.77 akan mencapai minimum jika atau

, dengan berbentuk:

Definisi 2.6 (Goldberg, 1992: 399). Diberikan matriks berukuran dan

elemen-elemen anggotanya bilangan real, serta rank Kemudian

sistem persamaan tetap jika dan hanya jika

(2.78)

dengan merupakan dekomposisi nilai singular dari matriks

. Solusi partisi dari adalah

(2.79)

Rank adalah banyaknya vektor pada basis untuk ruang baris dan kolom dari

matriks (Anton, 1987: 169). Sedangkan hasil kali dalam didefinisikan sebagai

berikut (Anton, 1987: 176):

Jika dan adalah vektor-vektor pada

maka hasil kali dalam dari dan dinyatakan dengan

(2.80)

Contoh 2.7

Diberikan matriks dan

Maka

Dengan demikian, penyelsaian optimal dari dengan adalah

70
(2.81)

dengan adalah banyaknya nilai singular tak nol, , dan

. Proses dekomposisi nilai singular dari suatu matriks sudah

dijelaskan pada subbab sebelumnya. Sehingga parameter-parameter yang

merupakan entri-entri matriks diestimasi dengan entri-entri matriks .

J. Uji Ketepatan Diagnosis

Tingkat ketepatan hasil diagnosis suatu penelitian dapat ditentukan dengan

menghitung akurasi, sensitivitas, dan spesifikasi dari model yang telah dibuat.

Berikut ukuran hasil diagnosis untuk menghitung akurasi, sensitivitas, dan

spesifikasi (Sharma & Sourabh, 2013:332):

a. True Positive (TP), yaitu pasien memiliki penyakit dan hasil klasifikasi

menyatakan pasien tersebut memiliki penyakit.

b. False Positive (FP), yaitu pasien tidak memiliki penyakit tetapi hasil klasifikasi

menyatakan pasien tersebut memiliki penyakit.

c. True Negative (TN), yaitu pasien tidak memiliki penyakit dan hasil klasifikasi

menyatakan pasien tidak memiliki penyakit.

d. False Negative (FN), yaitu pasien memiliki penyakit tetapi hasil klasifikasi

menyatakan pasien tidak memiliki penyakit.

Setelah mendapatkan keempat tes tersebut, maka nilai akurasi, sensitivitas,

dan spesifikasi dapat dihitung menggunakan rumus berikut:

71
1. Akurasi

Akurasi menunjukkan kedekatan hasil pengukuran dengan nilai sesungguhnya.

Akurasi 100% berarti bahwa hasil klasifikasi sama persis dengan data

sesungguhnya. Semakin tinggi akurasi maka tes semakin baik. Akurasi

dirumuskan dengan:

(2.82)

2. Sensitivitas

Sensitivitas didefinisikan sebagai proporsi orang dengan penyakit yang

memiliki hasil klasifikasi positif. Tes dengan sensitivitas tinggi dapat

digunakan sebagai indikator yang dapat diandalkan ketika hasil menunjukkan

negatif. Misalnya, tes memiliki sensitivitas 100% berarti tes menunjukkan

bahwa semua hasil klasifikasi sesuai dengan data orang yang memiliki

penyakit. Sensitivitas memiliki rumus:

(2.83)

3. Spesifitas

Spesifitas didefinisikan sebagai proporsi orang tanpa penyakit yang memiliki

hasil klasifikasi negatif. Kebalikan dari sensitivitas tinggi dapat dianggap

indikator yang diandalkan ketika hasilnya adalah positif. Spesifitas memiliki

rumus:

(2.84)

72
K. Graphical User Interface (GUI) Matlab

Matrix Laboratory atau disebut juga Matlab merupakan bahasa

pemrograman untuk melakukan komputasi teknis, visualisasi dan pemrograman.

Pemrograman Matlab sering digunakan untuk pengembangan algoritma

matematika dan komputasi, analisis dan visualisasi data, pengembangan aplikasi

berbasis grafik dan pembuatan Graphical User Interface (GUI), dan lain-lain.

Penggunaan Graphical User Interface (GUI) memberikan atau

menyediakan fasilitas seperti menus, pushbuttons, sliders, dan sebagainya sesuai

dengan program yang diinginkan atau digunakan tanpa knowledge dari Matlab. GUI

juga memberikan cara untuk efisiennya manajemen data. GUI merupakan Matlab

script file yang dibuat untuk menunjukkan analisa suatu permasalahan khusus. Ada

dua cara merancang GUI, yaitu dengan metode sederhana dan dengan

menggunakan tool khusus untuk merancang sesuatu yang diinginkan. Matlab

menyediakan tool-nya dan dap guide

Command Window. Kemampuan maksimum dan kontrolnya adalah dengan

pemrograman, namun demikian hasil yang diperoleh menggunakan perintah-

perintah basic user interface commands (Arhami & Desiani, 2005:173).

Menurut Naba (2009: 82), GUI pada Matlab mempunyai beberapa

kelebihan diantaranya adalah :

1. Guide Matlab banyak digunakan dan cocok untuk aplikasi yang berorientasi

sains.

2. Guide Matlab mempunyai fungsi built-in yang siap digunakan dan pemakai

tidak perlu membuatnya sendiri.

73
3. Ukuran file, baik fig-file maupun M-file yang dihasilkan relatif kecil.

4. Kemampuan grafisnya cukup baik dan tidak kalah dibandingkan dengan

bahasa pemrograman lainnya.

Komponen palet pada GUI Matlab terdiri dari beberapa guicontrol (kontrol

user interface), seperti pada bahasa pemrograman visual lainnya, yaitu: pushbutton,

togglebutton, radiobutton, chexboxes, edit text, statistic text, slider, frames, list

boxes, popup menu, dan axes. Gambar 2.11 berikut adalah tampilan GUI Matlab.

Gambar 2.16 Tampilan GUI Matlab

74

Anda mungkin juga menyukai