Anda di halaman 1dari 6

1.


2. LO2
A. Pemeriksaan Subjektif
Pada anamnesis pasien dengan abses pada pipi didapatkan riwayat demam,
pembengkakan dan nyeri pada daerah infeksi yang terlokalisir. Pada beberapa pasien
didapatkan riwayat sakit gigi. Keluhan lain didapatkan sulit menelan, sulit membuka
dan menutup mulut. Pada tahap ini pula didapatkan data pasien memiliki riwayat
hipertensi yang akan menentukan dalam tahap penatalaksanaan nantinya (Pedlar,
2007). (Pedlar J. Spreading infection. Available at:
URL:http://www.fleshandbones.com/readingroom/pdf/111.pdf.Accessed May 13,
2007.)
B. Pemeriksaan Objektif
Pada pemeriksaan objektif dilakukan dengan melihat secara langsung kondisi klinis
pasien baik intraoral maupun ekstraoral. Perjalanan infeksi odontogenik umumnya
memiliki gambaran klinis yang khas pada masing-masing fase yang dilaluinya
(Balaji, 2009). (Balaji, S.M. 2009. Textbook of oral and maxillofacial surgery. India:
elsevier. p.116-20)

 Selama 1 sampai 3 hari : pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan adonannya


konsisten.

 Antara 5 sampai 7 hari : tengahnya mulai melunak dan abses merusak kulit
atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin dapat dilihat
lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.

 Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah pembedahan


secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang terlibat kokoh/tegas saat
dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan jaringan dan jaringan bakteri.

Tanda atau gejala yang muncul pada pasien infeksi odontogenik, termasuk pasien
dengan abses pada spasium bukal antara lain (Topazian dkk, 2002) :
1. Adanya respon Inflamasi
Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada keadaan ini
substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan perbaikan
jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan dapat disimpulkan dalam
beberapa tanda :
 Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan peningkatan
permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran darah pada vena.
 Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan nutrisi dan
berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.
 Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti migrasi
leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada daerah luka.
 Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada dinding lesi.
 Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya
 Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik

2. Limphadenopati
Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di sekitarnya
memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi kronis
perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung derajat inflamasi,
seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di sekitarnya biasanya tidak
terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah indikasi terjadinya
infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem
pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi
pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi dan drainase.
(Topazian RG, Golberg MH. 2002. Oral and maxillofacial infection. 4 th edition.
Philadhelpia : WB saunders compan. p.159-163, 192-4. )
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus abses pada spasium bukal adalah
berupa pemeriksaan radiografi pada regio gigi 46 dan 47 yang mengalami gangrene
radix. Dengan teknik foto periapikal region gigi 46 dan 47, akan diperoleh gambaran
radiografi berupa radiolusensi berbatas diffuse pada periapikal gigi yang telah
mengalami perluasan hingga ke area pipi.
3. –
4. LO4
Prinsip dasar perawatan kasus infeksi odontogen antara lain:
1) Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita
meliputi peningkatan kualitas nutrisi, termasuk pemberian vitamin
tambahan, diet tinggi kalori dan protein, mempertahankan keseimbangan
cairan tubuh dan pemberian analgesik.
2) Pemberian antibiotik yang tepat dengan dosis yang memadai.
3) Tindakan drainase secara bedah dari infeksi yang ada.
4) Menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi. Pencabutan gigi atau
menghilangkan faktor penyebab lain yang menjadi sumber infeksi harus
segera dilakukan setelah gejala infeksi akut mereda. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekambuhan dari infeksi.
5) Evaluasi terhadap efek perawatan yang diberikan.
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah
pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase adalah
tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari
dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk mempertahankan
drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain
atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus
tuntas.
Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses adalah insisi dan
drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan drain
(drain karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi dan
analgesik sebagai penghilang sakit. Pencabutan dilakukan setelah gejala akutnya
mereda. Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat
langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat
(menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan
keadaan umum penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh
dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat
menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis.
Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya
perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah
populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada
daerah abses vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu
menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotok lebih efektif, dan
mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu,
drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan
pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebabnya (Karasutisnadkk,2001)
(Karasutisna, Tis dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Bedah Mulut. Infeksi Odontogenik.
Bandung: FKG Universitas Padjadjaran.)
5. LO5
A. Medikasi
a) Antibiotik
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik
yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses
biokimia di dalam organisme, terutama pengobatan penyakit infeksi.
Ada antibiotik yang membidik bakteri gram negatif atau positif, ada
pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung
pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi
tersebut.
Antibiotik yang digunakan pada kondisi nyeri yang timbul pada
gigi adalah untuk mematikan kuman atau bakteri yang menyebabkan
sakit gigi tersebut. Karena biasanya antibiotik bekerja sangat spesifik
pada suatu proses, mutasi yang mungkin terjadi pada bakteri
memungkinkan munculnya strain bakteri yang kebal terhadap
antibiotic. Oleh karena itu, pemberian antibiotic biasanya diberikan
dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam jangka
waktu yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan
antibiotik yang tidak sesuai hanya membuka peluang munculnya tipe
bakteri yang kebal. (Waxman, et. al., 2005) (Waxman B., Cuartero M.,
Grover V., Dang M., 2005, Possible Preventative Effects of
Childhood Antibiotics on Caries Development : An Evidence Based
Survey of The Literature, Journal of Community Dentistry, 4(77): 138-
55)
Pada umumnya, Penicillin V (phenoxymethylpenicillin)
merupakan antibiotika pilihan. Tetapi dengan adanya bakteri anaerob
yang biasanya terdapat pada infeksi oral, dapat digunakan
Metronidazole. Metronidazole lebih disarankan ketika ada infeksi
pulpa. Walaupun perawatan dengan kalsium hidroksida bersifat
bakteriostatik, tetapi ada resiko infeksi persisten dari abses
periradikular. Eritromisin adalah alternatif ketiga untuk infeksi dental.
Antibiotika ini digunakan pada kasus alergi terhadap Penicillin V.
Dosis dapat bervariasi, untuk penisillin V biasanya 12,5 mg/kg berat
badan 2-3 kali sehari selama 10 hari. Untuk metronidazole 7,5 mg/kg
berat badan setiap 8 jam selama 5-6 hari, dan untuk eritromisin 15
mg/kg berat badan setiap 24 jam selama 10 hari (Koch&Poulsen,
2001). (Koch, G., Poulsen, S., 2001, Pediatric Dentistry : a Clinical
Approach, Copenhagen : Munksgaard)
 Amoxicillin 400mg 3 kali sehari selama 4 hari untuk bakteri aerob
 Metronidazole 400 mg 3 kali sehari selama 4 hari untuk bakteri
anaerob.
b) Analgesik dan Antiinflamasi
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang
mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran. (Wahyuni, 2006). Obat antiinflamasi (anti radang) non
steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non
Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang
memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas),
dan antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk
membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki
khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.
Contohnya seperti ibuprofen dan asetaminofen. (Rossi, 2006)
(Wahyuni, Anna W., S. Farm., Apt. 2006. Obat-obat penting untuk
pelayanan kefarmasian. Laboratorium Manajemen Farmasi dan
Farmasi Masyarakat Bag. Farmasetika Fakultas Farmasi UGM :
Yogyakrta) (Rossi S, editor. Australian Medicines Handbook 2006.
Adelaide: Australian Medicines Handbook; 2006.)
Ibuprofen adalah obat pertama dari golongan Obat-obat anti-
inflamasi nonsteroid. Obat golongan ini memiliki aktivitas anti-
inflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek yang ditimbulkan oleh
Ibuprofen pada saluran cerna umum paling sedikit dibandingkan
dengan aspirin (Mycek et al, 2001). Jadi karena memiliki ke-3 fungsi
secara bersamaan yaitu efek anti-inflamasi, analgetik, dan antipiretik
penggunaan Ibuprofen lebih baik serta efek yang ditimbulkan tidak
sebesar jika menggunakan aspirin yang memiliki fungsi yang sama
seperti Ibuprofen. (Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C., 2001.
Farmakologi. Edisi 2. Widya Medika, Jakarta. Halaman 411-2.)
 Ibuprofen 400 mg diminum jika perlu, maksimal 3 kali sehari
 Asam Mefenamat 400 mg diminum jika pelu, maksimal 3
kali sehari

Anda mungkin juga menyukai