DASAR TEORI
1. Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang
terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai
fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat,
ujungnya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar
dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung
empedu.1
Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7 cm hingga
10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30 ml. Kandung empedu menempel
pada hati oleh jaringan ikat longgar, yang mengandung vena dan saluran
limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung
empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus
hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar
bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara
ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari
kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka
terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara
umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati
duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri
(Avunduk, 2002).
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri
sistika yang berasal dari arteri hepatikus dextra. Asal arteri sistika dapat
bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik
dextra2. Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan
antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu
langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran
empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari
kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari
kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah
nodus atau sekelompok nodus.
Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus
pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf
simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf
preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik
simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri
hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik
berasal dari cabang nervus vagus.
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati
sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.1
7. Manifestasi Klinis
Gambar 7.ERCP11
Setelah liver ditarik ke bawah sejauh mungkin, klem ditarik kearah tepi
costa untuk memvisualisasi permukaan bawah liver dan kandung empedu. Asisten
akan memegang klem ini sementara ahli bedah mempersiapkan area visualisasi.
Jika kandung empedu mengalami inflamasi akut dan distensi sebaiknya dilakukan
aspirasi isinya terlebih dulu dengan trokar sebelum memasang klem pada fundus.
Jika tidak batu kecil akan terdorong ke cyst dan duktus komunis. Adhesi antara
permukaan bawah kandung empedu dengan jaringan sekitarnya seringkali
ditemukan. Lapang pandang yang baik dipertahankan oleh asisten. Adhesi
dipisahkan dengan gunting lengkung sampai tervisualisasi jaringan avascular dari
sekitar dinding kandung empedu. Setelah incisi awal dibuat, sangat mungkin
menyingkirkan adhesi berikutnya dengan kassa spons yang dipegang dengan
forsep13
Setelah area operasi telah tampak cukup, ahli bedah memasukkan jari
telunjuk tangan kiri ke foramen winslow dan dengan ibu jari secara perlahan
melakukan palpasi pada area untuk membuktikan adanya batu pada duktus
komunis dan penebalan pada kaput pankreas. Sebuah klem digunakan untuk
mencengkram permukaan bawah kandung empedu supaya tervisualisasi oleh
operator. Pemasangan klem pertama kali pada area ampula pada kandung empedu
adalah penyebab utama cedera pada duktus komunis. Hal ini terjadi terutama
kandung empedu bengkak akut karena ampula kandung empedu berjalan paralel
terhadap duktus komunis. Jika pemasangan klem dilakukan secara sembarangan
dimana bagian leher dari kandung empedu melewati ductus sistikus, maka
sebagian atau seluruh ductus komunis akan ikut tercengkram.13
Karena alasan tersebut selalu disarankan untuk memasang klem dengan
baik ke arah atas pada permukaan bawah kandung empedu sebelum usaha apapun
untuk visualisasi area ampula kandung empedu. Proses enukleasi kandung
empedu dimulai saat memisahkan peritoneum pada aspek inferior dari kandung
empedu dan melebarkannya kearah bawah ampula. Peritoneum biasanya
dipisahkan dengan elektrokauter atau gunting metzenbaum. Incisi harus dilakukan
dengan hati- hati sepanjang ligamentum hepatoduodenal. Sehingga diseksi tumpul
pada ampula dibebaskan ke bawah area duktus sistikus. Setelah ampula kandung
empedu terlihat jelas klem yang telah terpasang pada permukaan bawah kandung
empedu diarahkan ke lebih rendah ke area ampula. 13
Kelainan letak suplai pembuluh darah pada area ini sangat sering terjadi
sehingga setiap melakukan tindakan perlu dipertimbangkan ditiap kasus. Ligasi
ductus sistikus dapat dilakukan setelah ligasi arteri sistikus. Jika klem arteri
sistikus lepas sehingga menyebabkan perdarahan hebat, arteri hepatic dapat
ditekan pada ligamentum gastrohepatik menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan
kanan (pringle manuver).
b. Kolesistektomi Laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering
adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa
dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan
anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak
terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari,
cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat
digunakan untuk aktifitas olahraga. 12
Laparoskopi kolesistektomi adalah laparoskopi yang paling
umum dilakukan di dunia. Penatalaksanaan awal dari kolesistitis akut
termasuk bowel rest, hidrasi intravena, koreksi kelainan elektrolit,
analgesia, dan antibiotik intravena. Setelah diberikan tatalaksana ini,
pasien dengan penyakit tanpa komplikasi direncanakan untuk rawat
jalan dan dilakukan laparoskopi kolesistektomi setelah periode 6-8
minggu. Pada kasus kolesistitis akut laparoskopi kolesistektomi
dihindari karena kekhawatiran tentang adanya potensi timbulnya
bahaya komplikasi, terutama common bile duct injury dan tingkat
konversi yang tinggi pada kolesistektomi. Laparoskopi kolesistektomi
awalnya dilakukan untuk kolesistitis kronis tetapi dengan munculnya
instrumentasi modern dan perkembangan dalam teknik bedah dan
tingkat pengalaman yang tinggi, ahli bedah memilih melakukan
prosedur ini dalam kasus kolesistitis akut.12
Early Cholecystectomy
Merupakan kolesistektomi awal yang dilakukan dalam kurun
waktu 72 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Meskipun telah
banyak dibahas sebelumnya, belum terdapat bukti tegas yang
mendukung keunggulannya. Dalam penelitian acak yang baru-baru ini
dipublikasikan, penelitian dilakukan pada pasien yang dirawatselama
24 jam awal setelah pasien masuk rumah sakit. Meskipun begitu,
kolesistektomi mungkin tidak selalu dapat dilakukan dalam waktu 24
jam setelah pasien masuk dengan berbagai alasan yang berbeda. Pada
kasus tersebut, operasi harus dilakukan dalam waktu 72 jam seperti
yang direkomendasikan dalam beberapa jurnal14
Interval Cholecystectomy
Merupakan kolesistektomi yang dilakukan setelah prosedur
konservatif dengan antibiotik selama 6 minggu, setelah peradangan
akut membaik. Hal ini diyakini jauh lebih aman dan juga tingkat
konversi berkurang. Risiko yang paling ditakuti dalam melakukan
operasi dalam fase akut ini adalah adanya peradangan yang
menyebabkan diseksi jaringan menjadi sulit, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi 14
Kolesistektomi dikenal sebagai prosedur pilihan untuk
pengobatan batu empedu simtomatik. Beberapa dekade terakhir ini
kolesistektomi dilakukan melalui sayatan subkostal panjang yang
tepat. Teknik invasif minimal saat ini telah menjadikan tindakan
laparoskopi kolesistektomi sebagai prosedur baku emas pada
penghilangan kandung empedu. Prosedur ini lebih disukai karena
hanya menimbulkan sedikit rasa sakit pasca operasi, hasil kosmetik
yang lebih baik, lama rawat inap yang lebih singkat, dan pemulihan
yang lebih cepat.15
Diamati bahwa laparoskopi kolesistektomi bila dilakukan pada
kasus-kasus kolesistitis akut jika berhasil maka hal ini dapat dikaitkan
dengan lama rawat inap di rumah sakit yang pendek dan pemulihan yang
lebih cepat. 4
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan
keunggulan laparoskopi kolesistektomi pada kolesistitis akut namun
masih ada kontroversi dan sulit untuk memilih diantaranya. Meskipun
hasil uji coba telah ada, namun hal ini belum jelas terbukti.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui
perbandingan evaluasi klinis pada tindakan early cholecystectomy dan
interval cholecystectomy pada kolesistitis dengan kolelitiasis.
Secara konvensional, kolesistitis akut telah diterapi konservatif
pada saat presentasi penyakit namun terdapat dua cara menurut waktu
operasi dan manajemennya. Salah satunya mendukung kolesistektomi
dini (yaitu kurang dari tujuh hari sejak timbulnya gejala) sebagai
pendekatan ini memerlukan pengobatan segera, lama rawat inap rumah
sakit yang singkat, menghindari komplikasi seperti perforasi, biaya
rendah dan tidak membutuhkan revisit untuk admisi. Pandangan lain,
yaitu kolesistektomi interval (dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan
setelah onset gejala) karena khawatir munculnya akibat morbiditas dan
mortalitas operasi 7
DAFTAR PUSTAKA
1. Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and
Pysiology .A guide to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer;
2016:1-13
2. Debas Haile T.Biliary Tract In : Pathophysiology
andManagement.Springer – Verlaag 2004 ; Chapter 7 :198 – 224
3. Winslow T. Bile Duct Cancer Treatment Patient version U.S Govt. 2015
4. Bravo E, Contardo J, Cea J. Frequency of cholelithiasis and biliary
pathology in the easter island rapanui and non-rapanui population. Asian
Pac J Cancer Prev. 2016;17(3):1458-8.
5. Parmar AD, Sheffield KM, Adhikari DMS, Davee RA, Vargas GM,
Tamirisa NP, Kuo YF, Goodwin JS, Riall TS. PREOP-Gallstone :
Aprocnostic normogram the Management of Symptomatic Cholelithiasis
in Older Patients. Annals of Surgery:2015;261(6):1184-1190.
6. Keshav K, Chahal MS, Joshi H.S, Kashmir S, Agarwal R. Prevalece of
different types Gallstone in the patient with cholelithiasis at rohilkhan
medical college and hospital. International Journal of contemporary
surgery: 2015:3(1):1-4
7. Saquib Zet. al. “Early vs Interval Cholecystectomy in Acute Cholecystitis:
an Experience at Ghurki Trust Teaching Hospital, Lahore”. Department of
Surgery, Ghurki Trust Teaching Hospital/Lahore Medical & Dental
College, Lahore (2013)
8. Peter A et. al. “Cholecystectomy for acute cholecystitis. How time-critical
are the so called ‘golden 72 hours’? Or better ‘golden 24 hours’ and ‘silver
25–72 hour’? A case control study”. World Journal of Emergency Surgery
2014, 9:60.
9. Freeman HM. Mullen MG, Friel CM. The Progression of Cholelithiasis to
Gallstone Illeus : Do Large Gallstone Warrant Surgery. Journal of
Gastrointestinal Surgery: 2016:1-3
10. Emmanuel A, Stephan I. Gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta:
Erlangga; 2014.
11. Nathanson LK. Management of Common Bile Duct Stone
in:Hepatobiliary And Pancreatic Surgery. Saunders 2009; 4th edition,
Chapter 10:185-196.
12. Fried GM, Feldman LS, Klassen DR, Cholecystectomy and common bile
duct exploration. In Wiley SW, Mitchel FP, Gregory JJ, Larry KR,Wiliam
PH, Jhon, Nathaniel SJ, editors ACS surgery : 6th Edition 2007: 21
13. Zollinger, Robert M., Zollinger’s Atlas of Surgical Operations 9 th edition,
international edition: McGraw Hill. United State Of America. 2011
14. National Institute For Heatlh and Care Excellence. Gallstone disease. 2014
15. Sushant Verma et al. “Early versus Delayed Laparoscopic
Cholecystectomy for Acute Cholecystitis: A Prospective Randomized
Trial”. ISRN Minimally Invasive Surgery Volume 2013 (2013), Article ID
486107