Disusun Oleh :
KELOMPOK 7
Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul ” Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil Dengan HIV/AIDS “.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
KEPERAWATAN HIV/AIDS, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini
banyak kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan
sarannya.
Ha
l
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
..
DAFTAR ISI ..................................................................................... ii
..
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulis ..................................................................................... 2
1.3 Perumusan Masalah ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ..................................................................................... 4
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 6
2.3 Etiologi ..................................................................................... 7
2.4 Pathogenesis ..................................................................................... 8
2.5 Manifestasi Klinis ..................................................................................... 14
2.6 PemeriksaanDiagnosti ..................................................................................... 15
k
2.7 Penatalaksanaan ..................................................................................... 17
2.8 Pencegahan ........................................................................................... 22
..
2.9 Asuhan Keperawatan........................................................................................... 25
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 31
3.2 Saran ........................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA .... ..................................................................................... 32
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-
sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama
infeksiberlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal inidapat memakan waktu 10-15tahun
untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang menjadiAIDS; obat antiretroviral
dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui hubungan seksual(anal
atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi,
dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui[8]
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh,
setelah penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya
haid; mual yang timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan
pigmentasi puting; pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut
kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui
pemerikasaan sinar-X, atau USG[9].
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit
infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996)[9].
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan
bahwa jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia
reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari
ibunya. Seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-
0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena[10].
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat
dari profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur
yang lebih muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang
terinfeksi, sedangkan pada usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain
pihak menurut para ahli kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang
lebih tepat untuk hamil dan melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003
mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari
sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS perlu diwaspadai
karena cenderung terjadi pada usia reproduksi[10].
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS
pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah
terinfeksi HIV. Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual
suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang
masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah
seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan[10].
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV)
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering
dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak
hamil International Microbicides Conference 2010, abstract
#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka
yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak
diketahui[11].
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh
dunia, terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta
penderita HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10%
melalui suntikan obat (terutama penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah
dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya
transmisi vertikal berkisar antara 13-48%[12].
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan
pemeriksaan laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil
memiliki otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah
diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi
pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi
kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko
penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana
persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam
hal ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada
pasangannya, perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter.
Tentulah dalam memabuka rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya
dengan keluarga, teman-teman, dan kesempatan kerja, juga berkurangnya
kepercayaan pasien terhadap dokternya[12].
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu
dan salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan
pelayanan tersebut. Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat
hidup lebih panjang dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan
HIV positif tidak perlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-
hati melakukan tindakan-tindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan
obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan[12].
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada
ibu dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan
penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi
infeksi lewat plasenta ke janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan
dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu.
Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction, PCR)
yang mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang
terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk melindunginya[13].
2.2 Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia
(pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah
terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan
1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat
Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah
penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia.
Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan
gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung
Es“ dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk
itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat
kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui[2].
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam
upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah
upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak
terlibat dalam lingkungan transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV[2].
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi
tersebut sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko
tinggi (dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita
penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya
Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. Situasi penularan ini disebabkan
kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik tidak steril dan transmisi
seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua
Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah menular lebih jauh, yaitu telah terjadi
penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan
prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua menunjukkan tahapan telah mencapai
generalized epidemic[14].
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen
Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas
5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel,
pada tahun 2006 prevalens HIV berkisar 21% – 52% pada penasun, 1%-22% pada
WPS, dan 3%-17% pada waria[14].
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan
Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang
paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan
penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya
sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya paling besar namun kontribusi
pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat
dilihat dari hasil estimasi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006,
yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun
sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%[12].
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini
berdasarkan hasil survey di daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura,
Thika, dimana rata-rata prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun
1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di wilayah India prevalensi secara nasional
dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah miskin padat penduduk yaitu Negara
bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi peningkatan angka penularan relatif kecil
dapat berarti sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah tersebut dihuni oleh
seperempat dari seluruh populasi India. Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan
dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan selatan India[12].
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV
dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari
seluruh wanita yang mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi HIV ditahun
2004. Prevalensi tertinggi adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu
satu dari tiga wanita yang diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang
tertinggi melebihi 30% dikalangan wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara
lain di wilayah Botswana, Lesotho, Nambia dan Swaziland[10].
2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier
dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy
Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984
mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama
firus dirubah menjadi HIV[3].
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit
T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama
dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV
selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama
hidup penderita tersebut[3].
` Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan
berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya,
tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar
tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan
otak[3].
2.4 Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan
vagina, dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu
secara; seksual hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur
perinatal, dan menyusui. HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970.
Pada tahun 2007 diperkirakan 33 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta
orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15 juta anak-anak menjadi yatim piatu
akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka karena AIDS[6].
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée)[3].
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran
cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem
imun selular menandai sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi
berisiko tinggi telah didokumentasi dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk
mengetahui[16].
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu
pertama pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik,
perubahan ini disertai viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala
meliputi demam, malaise, mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat
menetap selama dua sampai tiga minggu[16].
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh.
Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan
diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita[3].
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini
cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui[3]:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung
pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada
penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV
cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap.
Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan
kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual
menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi
bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang
sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara
anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur
seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-
ganti.
2. Transmisi Non Seksua
a. Transmisi Parenral
- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan
jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
- Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum
tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat
jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar
50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.
Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan
perkiraan ini jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat.
Individu yang berada pada kategori infeksi HIV meliputi[16]:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan
kepada wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan
prenatal. Hasil negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi
bahwa titer selanjutnya akan negative[16].
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis,
hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi
vaginal kronis), sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah
penderita AIDS mengalami peningkatan titer[16].
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan
berat badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua
keluhan akibat kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama
perburukan infeksi HIV meliputi penurunan berat badan, lebih dari 10% berat badan
sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari satu bulan, dan demam (intermiten atau
konstan) selama lebih dari satu bulan[16].
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup
nutrisi optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV
didiagnosis, wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih
aman. Penggunaan kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk
meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika pasangan wanita tersebut merupakan
sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak dianjurkan. Hal yang sama penting
ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain
mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait[16]:
1. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif
untuk AIDS
3. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih
cenderung terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau
meningkatkan pemaparan terhadap HIV
4. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur,
yang membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus
tersebut ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3’azido-
3’-deoksitimidin (zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang
baik bagi terapi infeksi HIV, penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya
potensi efek mutagenic atau toksik potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari
pada beberapa penelitian terkendali pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-
helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti secara signifikan mengurangi risiko
transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya[16].
PERIODE INTRAPARTUM
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi
asimptomatik HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada
pertimbangan obstetric karena virus menembus plasenta pada tahap awal
kehamilan[16].
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi
tenaga keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan
amniotic, dan sekresi vagina ibunya[16].
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel
darah dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala janin.
Selain itu, individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada
jarinya[16].
PERIODE PASCAPARTUM
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama
periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-up
yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang
anaknya menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak
dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri mereka[16].
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan
cara yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu
komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi
(pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi
kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih
sayang, dan obyektif kepada semua individu[16].
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan
kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya,
sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke
tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait[16].
2.7 Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian
makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus,
telah dilaporkan bahwaantiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau
janin yang terpapar HIVsecara signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca
kelahiran melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana
perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan
bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi
ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang bayi
bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV[19].
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya,
mereka mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan
merekomendasikan bahwa otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik
pemberian makan bayi, seperti menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk
mengurangi transmisi atau menghindari menyusui, harus dipromosikan dan didukung
oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini berbeda dengan rekomendasi
sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan nasihat secara
individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan
pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian
makanan bayinya[19].
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang
diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka
setidaknya sampai usia 12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh
digunakan kecuali jikadapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman
(AFASS) [19].
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus
yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat
yang bisa dipilih untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat
persalinan diberikan 200mg dosis tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72
jam pertama setelah lahir dosis tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang
diberikan mulai kehamilan 36 minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama
persalinan berlangsung [17].
Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan
obat anti-HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV
kepada janin dengan cara penggunaan sebagai berikut[23]:
selama kehamilan setelah trimester pertama: dengan memberikan anti-
HIV sedikitnya tiga anti-HIV yang berbeda yang dikombinasikan (atripla).
selama labor dan persalinan: diberikan AZT (zidovudine) IV, kemudaian
diberikan anti-HIV yang lain melalui mulut.
setelah melahirkan: diberikan cairan AZT selama 6 minggu.
2.8 Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat
hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu[17]:
- Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
- Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
- Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus
tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu
menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya
antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan
antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu,
akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody
terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati
dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24,
atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang
dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus[20].
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum
diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak
menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi
serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari
infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran.
Penularan pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan
menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal[20].
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup
penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+
yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group
(PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang
terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi
8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67%
dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan
terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika
Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih
banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin
oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan
untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain[20]:
1. seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi
angka penularan sebesar 50%);
2. pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada
anak. Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui
penularan vertical. Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan
setelah gejala muncul, progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun
1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari
13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-
kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status klinis, dan status
imunologik[20]
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan
perbedaan. Pada anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam
jumlah limfosit CD4+. Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi
bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai
sindrom klinis pada anak seperti otitis media, sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis
infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit lain[20].
Seluruh dunia, pada 2008,diperkirakan 430.000[240.000-610.000] infeksibaru
karenahuman immunodeficiency virus(HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90%
diperolehmelaluimotherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru,
antara280dan 360.000.000 diperolehselama persalinan danpada periodepra-
melahirkan. Dari infeksi baruyang tersisa,sebagian besardiperolehselama
menyusui.Padabayi yangterjangkit HIVselama waktu persalinan, perkembangan
penyakitterjadi sangat cepatdalam beberapa bulanpertama kehidupan, sering
menyebabkan kematian. Untuk mengaktifkanantiretroviral(ARV) profilaksisharus
diberikan kepada bayi sesegera mungkin setelah lahir, semua bayi yang memiliki status
pajanan HIV harus diketahui sejak lahir[24].
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup
dramatis bagi bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV,
diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) pedoman pengobatan
pediatrik. PadaJuni 2008, pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi
ART segera pada bayi didiagnosis dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk
mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART segera, konfirmasi awal dari
infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuandiadakan
untukmeninjaurekomendasioleh WHOuntuk pengujiandiagnostikinfeksi HIVpada
bayidan anak-anak[24].
Asuhan Keperawatan
I.Pengkajian.
1.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2.Penampilanumum : pucat, kelaparan.
3.Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari
berulang
kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4.Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup,
ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
5.Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang
interest
pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan
atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada
bibir atau
mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7.Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku
kuduk,
kejang, paraplegia.
8.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu
pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
11.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia,
perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12.Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
II.Diagnosa keperawatan
1.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola
hidup yang beresiko.
2.Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
4.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan
yang orang dicintai.
III.Intervensi keperawatan.
Diagnosa keperawatan 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan
pola hidup yang beresiko.
Intervensi Keperawatan :
1.Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum
meberikan
tindakan.
3.Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Rasional
1.Untuk pengobatan dini
2.Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.
3.Mencegah bertambahnya infeksi
4.Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
5.Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas infeksi
oportunistik dan
kriteria hasil
komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada
infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
Diagnosa 2
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Intervensi
1.Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan
kuman patogen lainnya.
2.Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
Rasional
1.Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini
2.Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
Kriteria Hasil :
Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal precautions
dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak
terinfeksi patogen lain seperti TBC.
Diagnosa 3
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Intervensi :
1.Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
Rasional :
1.Respon bervariasi dari hari ke hari
2.Mengurangi kebutuhan energi
3.Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Kriteri Hasil :
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan
takikardi selama aktivitas.
Diagnosa 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
Intervensi :
1.Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Monitor BB, intake dan ouput
3.Atur antiemetik sesuai order
4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Rasional :
1.Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
2.Menentukan data dasar
3.Mengurangi muntah
4Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
Krtiteria Hasil :
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan
TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum
sakit.
Diagnosa 5
Diare berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
1.Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Auskultasi bunyi usus
3.Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Rasional
1.Mendeteksi adanya darah dalam feses
2..Hipermotiliti mumnya dengan diare
3.Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal
4.menghilangkan distensi
Kriteriaa hasil :
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan
kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang,
Diagnosa 6
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
Intervensi :
1.Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
Rasional :
1.Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
2.Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3.Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.
Krtiteria Hasil :
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi
terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga
berinteraksi dengan cara yang konstrukt
IV. Implentasi
DX. 1
1.Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
2.Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan
sebelum
meberikan tindakan.
3.Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
DX.2
1.Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi
HIV dan
kuman patogen lainnya.
2.Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
DX.3
1.Memonitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
DX.4
1.Memonitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Memonitor BB, intake dan ouput
3.Mengatur antiemetik sesuai order
4.Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
DX.5
1.Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Mengauskultasi bunyi usus
3.Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
DX.6
1.Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
V. Evalusi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien sedikit
demi sedikit terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan
oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas
seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau
biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi
darah lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut.
3.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan
saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-AIDS. Gempar:
Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.
2. Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Children’s
Phychological Wellbeing. International Journal of Mental Health system 2009;3(26):1-8
3. Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas
Sumatera Utara, 2004.
4. Heemanides HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D, Gerard VO, et all.
Developinh quality indicators for the care of HIV-infected pregnant women in the Dutch
Caribbean. Aids Research and Therapy 2011; 8(32) : 1-9.
5. Wamoyi J, Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes in sexual desires
and behaviours of people living with HIV after initiation of ART: Implications for HIV
prevention and health promotion. BMC Public Health 2011; 11(633): 1-11.
6. Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV Nurse. AJN
2010;110(3):33-39.
7. Bastien S, LJ Kajula, WW Muhwezi. A review of studies of parent-child
communication about sexuality and HIV/AIDS in sub-Saharan Africa. Reproductive
Health 2011;8(25):1-17.
8. Anonymous. HIV/ AIDS. WHO. 2010
9. Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC.
10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison: Prinsip- Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam Vol. 1 (Edisi 13). 1995.
11. Walter J, Linda F, Melanie JO, William DD, Theresa G, Alice S, et all.
Immunomodulatory factors in cervicovaginal secretions from pregnant and non-
pregnant women: A cross-sectional. BMC Infectious Disease 2011; 11(263): 1-7.
12. Anonymous. 2007. Rencana Nasional Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia
2007-2010. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS.
13. Susanti NN. Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC, 2000.
14. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. EGC:
Jakarta. 2007.
15. Hartati N, Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan. 2009:2:1.
16. Bobak, Lowdermik, Jensen. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4.
Jakarta: EGC.
17. Nursalam, Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika
18. Doengoes ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan
Maternal/Bayi Edisi 2. Jakarta: EGC.
19. Anonymous. Guidelines on HIV and infant feeding 2010 Principles and
recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence.
WHO. 2010.
20. Price SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
21. Anderson Brena L, Uvin Susan Cu. Pregnancy and optimal care of HIV-Infected
Patients. Clinical Infectious Diseases, 2009; 48: 449-55.
22. Anonymous. 2010. HIV and Pregnancy: anti-HIV medications for Use in
Pregnancy. AIDS info: A service of the U.S. Department of Health and Human Service.
23. Anonymous. 2009. ISO indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
24. Anonymous. 2010. WHO recommendations on the diagnosis of HIV infection in
infant and children. WHO.
25. Trsetianingsih Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Program Studi Ilmu
Keperawatan STIKES A. Yani.
26. Wiley, Blackwell. Nursing Dianoses Definition and Classification 2009-2011. 2009.
United States of America: Mosby Elsevier.
27. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing Outcome
Classification (NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.
28. Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions
Classification (NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.