Anda di halaman 1dari 37

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Anatomi Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah
anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa kurang lebih 18 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar
yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5
lobus, yaitu, lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus
posterior. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior
akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja.1
Prostat didapatkan membentuk 70% dari unsur kelenjar dan 30% dari
stroma fibromuskular. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, dan zona transisional. Zona
perifer membentuk 70% dari jaringan kelenjar prostat dan mencakupi bagian
posterior dan lateral kelenjar tersebut. Zona transisional mencakupi 5% hingga
10% daripada jaringan kelenjar prostat. Sebagian besar hiperplasia prostat
terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di
kedua sisi dari verumontanum. Zona sentral mencakupi 25% dari jaringan
kelenjar prostat dan membentuk konus sekitar duktus ejakulatorius sehingga ke
basis kandung kemih.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia
denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan
vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan
fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic
dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi
pleksus prostatovesikal. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis
karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran
pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan
bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan
lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan
kelenjar.2
1.2. Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) yang dikenal sebagai hyperplasia
prostat jinak adalah diagnosis histologis yang ditandai dengan adanya proliferasi
elemen seluler prostat.3 Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan
keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini
akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau Benign Prostate Enlargement (BPE)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau
dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus
disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate
obstruction (BPO).4
1.3. Epidemiologi
BPH dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di
Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital
prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-
2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61
tahun.5
1.4. Etiologi1
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah: (1) teori dihidrotestosteron, (2) adanya
ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan
sel epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem
sel.

Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH
(Gambar 5-2). DHT yang telah terbentuk berikatan denga reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis
protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5α-reduktase danjumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

Ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatitif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar.

Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan atuokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

Berkurangnya kematian sel prostat


Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat. Sampai sekarang
belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat proses
apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-
sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses
apoptosis.

Teori sel stem


Untuk menganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormon ini
kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel
stroma maupun sel epitel.

1.5. Faktor Risiko


Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya
testis yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi
terakhir ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam
keluarga, kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E,
konsumsi daging merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada
prostat, dan penyakit jantung.5
1.6. Patofisiologi
Pembesaran prostat tergantung pada potent dihidrotestosteron androgen
(DHT). Di kelenjar prostat, 5-alpha-reductase tipe II memetabolisme testosterone
yang beredar menjadi DHT, yang bekerja secara lokal, bukan sistemik. DHT
mengikat androgen reseptor di inti sel, berpotensi menghasilkan BPH.
Studi vitro telah menunjukkan bahwa sejumlah besar reseptor alpha-1-
adrenergik terletak di otot polos stroma dan kapsul prostat, serta di leher kandung
kemih. Stimulasi reseptor ini menyebabkan peningkatan tonus otot polos, yang
dapat memperburuk LUTS. Sebaliknya, blokade reseptor ini (lihat Pengobatan
dan Manajemen) reversibel dapat bersantai otot-otot ini, dengan bantuan
berikutnya LUTS.
Mikroskopis, BPH ditandai sebagai proses hyperplasia. Hasil hiperplasia
di pembesaran prostat yang dapat membatasi aliran urin dari kandung kemih,
sehingga manifestasi klinis dari BPH. Prostat membesar dengan usia secara
hormonal tergantung. laki-laki terutama, dikebiri (yaitu, yang tidak mampu untuk
membuat testosteron) tidak mengembangkan BPH.
Teori tradisional balik BPH adalah bahwa, seiring prostat membesar,
kapsul sekitarnya mencegah dari radial berkembang, berpotensi menghasilkan
kompresi uretra. Namun, disfungsi kandung kemih obstruksi yang disebabkan
kontribusi signifikan terhadap LUTS. Dinding kandung kemih menjadi menebal,
trabeculated, dan mudah marah ketika dipaksa untuk hipertrofi dan meningkatkan
kekuatan kontraktil sendiri.
Peningkatan sensitivitas ini (detrusor overaktif [DO]), bahkan dengan
volume kecil urin di kandung kemih, diyakini untuk berkontribusi frekuensi
kencing dan LUTS. kandung kemih secara bertahap melemah dan kehilangan
kemampuan untuk mengosongkan sepenuhnya, yang mengarah ke peningkatan
volume urin sisa dan, mungkin, retensi urin akut atau kronis.
Di kandung kemih, obstruksi menyebabkan kelancaran-sel otot hipertrofi.
spesimen biopsi kandung kemih trabeculated menunjukkan bukti dari serat otot
polos langka dengan peningkatan kolagen. Serat kolagen membatasi kepatuhan,
yang mengarah ke tekanan kandung kemih yang lebih tinggi pada mengisi. Selain
itu, batas kehadiran mereka memperpendek sel otot polos yang berdekatan, yang
mengarah ke gangguan pengosongan dan pengembangan urin sisa.
Fungsi utama dari kelenjar prostat adalah untuk mensekresi cairan alkali
yang terdiri dari sekitar 70% dari volume mani. Sekresi memproduksi pelumasan
dan nutrisi untuk sperma. Cairan alkali dalam hasil ejakulasi di pencairan plug
mani dan membantu untuk menetralisir lingkungan vagina bersifat asam.
Uretra prostat adalah saluran untuk air mani dan mencegah ejakulasi
retrograde yaitu, ejakulasi sehingga air mani dipaksa mundur ke dalam kandung
kemih, dengan menutup leher kandung kemih selama klimaks seksual. Ejakulasi
melibatkan kontraksi terkoordinasi banyak komponen yang berbeda, termasuk
otot-otot halus dari vesikula seminalis, vasa deferentia, saluran ejakulasi, dan
ischiocavernosus dan bulbocavernosus otot.3
1.7. Manifestasi Klinis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien hiperplasia prostat jinak seringkali
berupa lower urinary tract symptom (LUTS), yang terdiri dari:
 gejala obstruktif (voiding symptom) : meliputi pancaran kemih lemah dan
terputus (intermitrensi), merasa tidak puas sehabis berkemih
 gejala iritatif (storage symptom) : meliputi frekuensi berkemih meningkat,
urgensi dan nokturia
 gejala pasca berkemih : berupa urine menetes (dribbling) hingga gejala
yang paling berat adalah retensi urine.
Hubungan antara BPH dan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien
BPH mengalami gangguan berkemih atau sebaliknya. Sebagai contoh penggunaan
obat harian, seperti antidepresan, antihistamin, bronkodilator terbukti dapat
menyebabkan peningkatkan 2-3 skor IPSS.
Obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk
berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Beberapa gejala obstruktif adalah:
a. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
b. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
c. Miksi terputus (Intermittency)
d. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
e. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor yaitu, volume kelenjar periuretral, elastisitas leher vesika,
otot polos prostat dan kapsul prostat dan kekuatan kontraksi otot detrusor.Tidak
semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,sehingga
meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika,
otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi
dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum
dirasakan. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan
urolithiasis.6
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah:
a. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
b. Nokturia
c. Miksi sulit ditahan (Urgency)
d. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk
menentukan derajat berat keluhan subjektif, yang ternyata tidak selalu sesuai
dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah
bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari.
Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh
menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter
dan uretra .
Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi
urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini
menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada
suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi
miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus
dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan
terjadi inkontinensia paradoks (overflow incontinence). Retensi kronik dapat
menyebabkan terjadinya refluk vesico uretradan meyebabkan dilatasi ureter dan
sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke
ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan
ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi.2
Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra
abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan
terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica.
1.8. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk gejala LUTS pada BPH dapat ditentukan
dengan sistem skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS) yang
termasuk di dalamnya rasa kencing yang tidak puas, frekuensi,
intermitensi, urgensi, pancaran urin lemah, hesitansi dan nokturia.
Menurut IPSS keparahan LUTS dibagi dalam derajat ringan, sedang dan
berat. Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan, diantara 8 – 19 derajat
sedang, sedangkan nilai 20 – 35 termasuk derajat berat.6

a. Riwayat Penyakit
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan
anamnesis atau wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang
riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi:
 Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah
mengganggu
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia
(pernah mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria),
kencing batu, atau pembedahan pada saluran kemih)
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan
berkemih.
b. Catatan Harian Berkemih (Voiding Diaries)
Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang
mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat
kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan
berapa jumlah urine yang dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien
menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi
infravesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih.
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 3 hari berturut--‐turut untuk
mendapatkan hasil yang baik.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Urologis
 Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda infeksi.
 Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk
menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
b. DRE/ Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE)
sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran
tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa
rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan
tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:7
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal
b. Apakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostat
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Apakah prostat membesar
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan
nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau
teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus


urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah
terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada
pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total,
daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya
kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi
seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus.Pada pemeriksaan abdomen
ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di
daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan
supra simfisis.8

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya Leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila
dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
b. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada
saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3--‐30%
dengan rata--‐rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu
tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigent)
Tes Prostate-Specific Antigen menghitung PSA di dalam darah pasien. Tes
ini digunakan untuk mendiagnosa BPH dan karsinoma prostat. Direkomendasikan
untuk laki-laki diantara 40 - 50 tahun yang punya risiko tinggi. Stamey, adalah
pertama untuk mengaitkan kadar serum PSA dengan volume jaringan prostat.
Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-an didapatkan kadar serum
PSA daripada BPH adalah 0.30 ng/mL per gram jaringan dan 3.5 ng/mL per cm3
dari jaringan kanker. Vesely, mendapatkan bahawa volume prostat dan kadar
serum serum PSA mempunyai korelasi signifikan dan meningkat dengan
pertambahan usia. Kadar PSA meningkat secara moderate dalam 30 hingga 50%
pasien BPH, tergentung besarnya prostat dan derajat obstruksi, dan PSA juga
meningkat bagi 25 hingga 92% pasien dengan karsinoma prostat, tergantung
volume tumor tersebut.2 Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih
superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya
karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4 ng/ml ,biopsi prostat dipertimbangkan
untuk menyingkirkan karsinoma prostat.5
d. Uroflowmetry (Pancaran Urine)
Uroflowmetri merupakan teknik urodinamik untuk menilai uropati
obstruktif dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi. Apabila Flow rate <
15 mL/detik, ini menandakan obstruksi, dan apabila postvoid residual volume >
100 mL, ini menandakan retensi. Angka normal laju pancaran urin ialah 12
ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi
ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar
11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin
yang dihasilkan.2
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) dapat dilihat
dengan pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau
daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal
tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan
AbramsGriffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica
dan laju pancaran urin dapat diukur.7
Pemeriksaan Volume Residu Urin dapat dilihat dengan volume residu urin
setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan
memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal.
Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan
membuat foto post voiding atau USG.7

4. Pemeriksaan Pencitraan (Imaging)


a. Foto polos abdomen (BNO). Dari sini dapat diperoleh
keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran
kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat
untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma
prostat.9
b. Pielografi Intravena (IVP). Pemeriksaan ini untuk melihat
adanya obstruksi pada traktus urinarius.Pembesaran prostat
dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung
distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail
(hooked fish). Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun
ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit
yang terjadi pada buli – buli yaitu adanyatrabekulasi, divertikel
atau sakulasi buli – buli. foto setelah miksi dapat dilihat adanya
residu urin.9
c. Sistogram retrograde. Apabila penderita sudah dipasang kateter
oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula
memberi gambaran indentasi.
d. Ultrasonografi / Transrektal Ultrasonografi (TRUS) Dapat
dilakukan secara transabdominal atau transrektal ultrasonografi
(TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostate,
pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume kandung
kemih, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti
divertikel, tumor dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal
dapat diukur besar prostate untuk menentukan jenis terapi yang
tepat.8
1.9. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.
Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah:
 konservatif (watchful waiting)
 medikamentosa
 pembedahan
 lain-lain (kondisi khusus).
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut
International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini berdasarkan jawaban
penderita atas tujuh pertanyaan mengenai miksi.
 Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan pada umumnya tidak ada terapi
hanya watchful & waiting dan dilakukan kontrol saja.
 Nilai IPSS diantara 8 – 18 derajat sedang dilakukan terapi
medikamentosa.
 Nilai IPSS 19 – 35 termasuk derajat berat diperlukan operasi prostatektomi
terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi reseksi transuretral
(Transurethral Resection of the Prostate).

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan


hiperplasia prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan
tindakan, yaitu observasi (watchful & waiting), medikamentosa, tindakan operatif
dan tindakan invasif minimal
1. Konservatif
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan
dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun.
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangaan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS <7 atau keluhan
ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Tetapi diantara mereka
akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang
lain karena keluhannya semakin parah.6
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjalasan mengenai segala
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keadaannya, misalnya:
 Jangan banyak minum dan menkonsumsi kopi atau alcohol setelah
makan malam
 Kurangi konsumsi makanan dan minuman yang menyebabkan iritasi
pada kandung kemih (kopi atau coklat)
 Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin
 Jangan menahan kencing terlalu lama
 Penanganan konstipasi
Pasien diminta untuk kontrol ulang secara berkala (3-6 bulan) untuk
menilai perubahan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun
volume residu. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu
dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.

2. Medikamentosa
a. Antagonis reseptor adrenergik-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher
buli-buli dan uretra.
Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif
yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi
dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh
pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan
penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.6
Ditemukannya obat antagonis adrenergik α1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-α2 dari
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat antagonis adrenergik α1
yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek (short acting) di
antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long
acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup
diberikan sekali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis
adrenergik-a terbukti dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan
keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup atau
quality of life (Qol), dan meningkatkan pancaran urine. Perbaikan
gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah
dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini
dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada buktibukti
terjadinya intoleransi sampai pemberian 6- 12 bulan.11
Dibandingkan dengan inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis
adrenergik-α lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-α
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian
antagonis adrenergik-α saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik-
α tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta memperhatikan
kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-α
reductase.11
Berbagai jenis antagonis adrenergik a menunjukkan efek yang hampir
sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda.
Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural,
dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan.6
Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat
antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan
tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien
mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, <
5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian
plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian
doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian
tamsulosin atau plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap
sistem kardiovaskuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat
ini merupakan antagonis adrenergik α yang superselektif, yaitu hanya
bekerja pada reseptor adrenergik-α1A. Penyulit lain yang dapat timbul
adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah
pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-
1%13,32. Efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-α tergantung
pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang
diinginkan makin nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul
pada sistem kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum
dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan harus
disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-
lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif.
Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis
adrenergik-α1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi
seperti golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan
efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun.12
b. Inhibitor 5 a-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai
untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang
dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat.
Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan
ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15%
atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek
maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang
efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa
pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu
menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine,
menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan
tindakan pembedahan hingga 50%35.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping
yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat
terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar
PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu
diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Bila respon dari
pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk masuk
kedalam tahap perawatan “Watch and wait”.
c. Fitoterapi
Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi
farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional
dan universal. Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”.
Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi
ini. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif.
Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi dan disebut demikian karena
berasal dari tumbuhan.
Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan
penelitian yang panjang.Namun secara empirik, manfaat sudah lama
tercatat dan semakin diakui.Diantara sekian banyak fitoterapi yang
sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa repens
atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk
pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin
diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH
dalam kontek “watchfull waiting strategy”.6
3. Tindakan operatif/ pembedahan
Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau terdapat
BPH dengan komplikasi, seperti:
 Retensi urin rekuren
 Gross hematuria rekuren
 Batu vesika urinaria rekuren
 Infeksi saluran kemih yang rekuren
 Insufisiensi renal rekuren.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah :
 Keluhan sedang hingga berat
 Tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah
 Pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
 Invasif Minimal
1. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the Prostate
(TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH dengan LUTS
yang tidak berespon pada pengobatan konservatif dan volume prostat 30-80 ml.
TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7% kasus-kasus
klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH.10
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang
memerlukan transfusi (0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13%), retensi
bekuan darah (0-39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%). Kompilkasinya dapat
berupa inkontinensia urin, stenosis leher kandung Rahim, striktur uretra, ejakulasi
retrograde, disfungsi ereksi dan retensi urin dan UTI.

Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP) Metode ini di indikasikan untuk pasien
dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada
hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih
muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder
neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara
endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yang dipakai pada TURP
tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai
dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam
sampai tampak kapsul prostat.6

2. Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG
(Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-
65 c dan mengalami vaporisasi pada suhuyang lebih dari 100 c.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada
pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.
3. Lain-lain
Transurethral Incision of The Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung
kemih (bladder neck incison) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya
kecil (kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat.
TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan Meningkatkan Q max
meskipun tidak sebaik TURP.
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan
dari berbagai cara, antara lain TUMT ( Transurethral Microwave
Thermotherapy) , Transurethral Needle Ablation (TUNA) dan High Intensity
Focused Ultrasound (HIFU).

 Operasi Terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal ( Hryntschack
atau Freyer) dan retropubic (Milin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat
yang volumenya lebih dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasive dengan
morbiditas yang lebih besar. Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur
leher kandung kemih dan striktur uretra dan inkontinensia urin.

1.10 Pemantauan
Semua pasien BPH memerlukan pemantauan aktif berkala (follow-
up) untuk mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya. Evaluasi
rutin dilakukan dengan pemeriksaan IPSS, uroflowmetry, dan pengukuran
volume residu urine pasca berkemih. Jadwal pemeriksaan tergantung pada
terapi yang dijalani oleh pasien
Pemantauan secara berkala dilakukan antara 1-6 bulan disesuaikan
dengan kondisi pasien.
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Hotman Nadeak
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jln. Lingkar Barat RT 07 Kel. Bagan Pete
Tanggal Masuk : 08 Oktober 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : BAK tidak lampias
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak ± 3 tahun yang lalu.
Keluhan pasien berkurang setelah minum obat,
namun ± 2 bulan terakhir keluhan tersebut muncul
kembali. Perasaan tidak puas setelah BAK(+). Tidak
dapat menahan BAK (-). Pancaran BAK lemah (+).
Mengedan saat BAK (+). Sering terbangun pada
malam hari untuk BAK (+). BAK berdarah (-).
BAK berpasir (-). Demam (-). Nyeri pinggang (-).
Riwayat Trauma (-). Riwayat Operasi (-). Pasien
sudah terpasang kateter sejak 2 bulan terakhir.
Warna BAK kuning jernih
International Prostate Symptom Score adalah 33
Hipertensi (+). Kencing manis (-).

RPT : HHD, PPOK


RPO : harnal Ocas , Avodart
III. STATUS PRESENS
Sensorium : Compos Mentis Keadaan Umum : sedang
TD : 130/80 mmHg Keadaan Gizi : sedang
Nadi : 80 x/i
Pernafasan : 20 x/i
Suhu : 36,7⁰C

IV. PEMERIKSAAN FISIS


 Kepala
Mata: reflex cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3mm, konjungtiva palpebra
inferior pucat (-/-), sclera ikterik (-/-),
T/H/M: dalam batas normal
 Leher : pembesaran KGB (-)
 Toraks
Paru
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri, kesan : normal
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Paru : Suara pernapasan : vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung : S1 (N), S2 (N), murmur (-)
 Abdomen
Inspeksi : simetris, soepel
Palpasi : H/L/R tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+)

 Ekstremitas :
Superior : dalam batas normal
Inferior : dalam batas normal
 Status Urologi
Flank area
Inspeksi : tidak dijumpai kelainan
Palpasi : Kiri : ballotement (-). Nyeri Tekan (-). Nyeri Ketok (-)
: Kanan : ballotement (-). Nyeri Tekan (-). Nyeri Ketok (-)
Suprapubic Area
Inspeksi : bulging (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Genitalia Eksterna : laki-laki, terpasang kateter

Digital Rectal Examination :


Perineum : normal
Tonus Spinchter ani : ketat
Mukosa ani : licin
Prostat : teraba membesar, kenyal, simetris, nodul(-)
Sarung tangan : Feses (+) darah (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium (18 Oktober 2016) :
JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN
HEMATOLOGI
DarahLengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG) gr% 12.10 12.6-17.4
Eritrosit (RBC) 105/mm3 4.17 4.20 – 4.87
Leukosit (WBC) 103/mm3 7.7 4.5 – 11.0
Hematokrit % 36.1 43 – 49
Trombosit (PLT) 103/mm 278 150 – 450
MCV Fl 86.6 85 – 95
MCH Pg 31.20 28 – 32
MCHC g% 33.90 33 – 35
RDW % 13.8 11.6 – 14.8
MPV Fl 8.20 7.0 – 10.2
KIMIA KLINIK
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) mg/ Dl 108 <200
GINJAL
Ureum mg/Dl 39 15-39
Kreatinin mg/Dl 1.0 0.9 - 1.3
IMUNOSEROLOGI
PSA Total ng/Ml - 0-4
USG
Prostat : TBP = 61 gr
: IPP = 1,25 cm
Kesimpulan : hiperplasia prostat

International Prostate Symptoms Score (08 Oktober 2019)


Total skor = 33

VI. DIAGNOSIS SEMENTARA


Benign Prostate Hyperplasia

VII. PENATALAKSANAAN
TURP

VIII. FOLLOW UP PASIEN

Tanggal S O A P
Terapi Rencana
08/10/1 - BAK Sens : BPH  Tirah TURP
Compos
9 tidak baring
Mentis
lampia TD : 130/80  IVFD RL
mmHg
s 20gtt/i
Pols : 80 x/i
RR : 20 x/i  Inj.
T : 36.50C
Ceftriaxo
ne 1gr/12
jam

09/10/1 Nyeri Sens : Post TURP  Tirah


Compos
9 perut Retensi baring
Mentis
bawah TD : 120/80 Urine ec  IVFD RL
mmHg BPH 20gtt/I +
Pols : 80 x/i
drip
RR : 20 x/i
T : 36.50C ketorolac
 Inj.
Ceftriaxo
ne 1gr/12
jam
 Harnal
Ocas 1x1
 Avodart
1x1
 Irigasi
NaCl
0,9% 80-
100 gtt/i

10/10/1 Nyeri Sens : Post TURP  Tirah Rencana


Compos
9 perut Retensi baring Pulang
Mentis
bawah TD : 130/70 Urine ec  IVFD RL besok
mmHg
berkura BPH 20gtt/I +
Pols : 80 x/i
ng RR : 20 x/i drip
T : 36.50C
ketorolac
 Inj.
Ceftriaxo
ne 1gr/12
jam
 Harnal
Ocas 1x1
 Avodart
1x1
 Irigasi
NaCl
0,9% 80-
100 gtt/i

11/10/1 Nyeri Sens : Post TURP  Rencana Kontrol ke


Compos
9 perut Retensi pulang poli
Mentis
berkura TD : 130/80 Urine ec  Cefixime
mmHg
ng BPH 2x100
Pols : 80 x/i
RR : 20 x/i  Harnal
T : 36.50C
Ocas 1x1
 Avodart
1x1
 Asam
Mefenam
at 3x1

BAB III

ANALISA KASUS
TEORI KASUS
Epidemiologi
BPH dialami oleh sekitar 70% pria di Pada kasus
atas usia 60 tahun dan mencapai 90% Pasien merupakan seorang laki-laki
pada pria berusia di atas 80 tahun. Di berusia 69 tahun
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) sejak tahun 1994-2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-
rata umur penderita berusia 66,61
tahun.5

GEJALA KLINIS
Keluhan yang disampaikan oleh pasien Keluhan pasien:
hiperplasia prostat jinak seringkali  Gejala obstruksi: BAK tidak
berupa lower urinary tract symptom lampias yang sudah dialami pasien
(LUTS), yang terdiri dari: sejak ± 3 tahun yang lalu. .
 gejala obstruktif (voiding Perasaan tidak puas setelah
symptom) :meliputi pancaran BAK(+). Pancaran BAK lemah
kemih lemah dan terputus (+).
(intermitrensi), merasa tidak puas  Gejala iritatif :Mengedan saat
sehabis berkemih BAK (+). Sering terbangun pada
 gejala iritatif (storage symptom) malam hari untuk BAK (+).
:meliputi frekuensi berkemih  Gejala pasca berkemih : (-)
meningkat, urgensi dan nokturia
 gejala pasca berkemih :berupa
urine menetes (dribbling) hingga
gejala yang paling berat adalah
retensi urine.

DIAGNOSIS
 anamnesis : didapati adanya gejala  BAK tidak lampias yang dialami
LUTS pada BPH dapat ditentukan pasien sejak ± 3 tahun yang lalu.
dengan sistem skoring  IPSS :33
International Prostate Symptoms  Pemeriksaan fisik:
Score (IPSS) DRE: Digital Rectal Examination :
Menurut IPSS keparahan LUTS Perineum : normal
dibagi dalam 3 derajat yaitu: Nilai Tonus Spinchter ani : ketat
IPSS diantara 0 – 7 termasuk Mukosa ani : licin
ringan, diantara 8 – 19 derajat Prostat : teraba membesar, kenyal,
sedang, sedangkan nilai 20 – 35 simetris, nodul (-),
termasuk derajat berat Sarung tangan : Feses (+) darah (-)
 pemeriksaan fisik
pada DRE: konsistensi prostat
(pada hiperplasia prostat
konsistensinya kenyal
 Apakah asimetris
 Adakah nodul pada prostat
 Apakah batas atas dapat diraba
 Sulcus medianus prostate
 Apakah prostat membesar
Colok dubur pada hiperplasia prostat
menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung,
lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan:
Pilihannya adalah:  TURP
 konservatif (watchful waiting)
syarat:
 IPSS<7
 keluhan ringan yang tidak
mengganggu aktivitas
sehari-hari.
 Medikamentosa
Syarat:
 IPSS>7
 pembedahan
syarat:
 Intervensi bedah diindikasikan
setelah terapi medis gagal atau
terdapat BPH dengan
komplikasi, seperti:
 Retensi urin rekuren
 Gross hematuria rekuren
 Batu vesika urinaria
rekuren
 Infeksi saluran kemih yang
rekuren
 Insufisiensi renal rekuren.
 Indikasi relatif lain untuk terapi
pembedahan adalah :
 Keluhan sedang hingga
berat
 Tidak menunjukkan
perbaikan setelah
pemberian terapi non
bedah
 Pasien yang menolak
pemberian terapi
medikamentosa.

BAB IV
KESIMPULAN
Tn H, laki-laki berusia 69 tahun, datang ke Poliklinik Urologi RSUD H.
Abdul Manap akibat BAK tidak lampias. Pasien didiagnosa dengan hiperplasia
prostat benigna, dengan nilai International Prostate Symptom Score 33, yang
termasuk derajat berat. Menurut IAUA 2015, IPSS 19 – 35 termasuk derajat berat
diperlukan operasi prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi
reseksi transuretral (Transurethral Resection of the Prostate). Pasien akan
dilakukan tindakan TURP.

DAFTAR PUSTAKA
1. Basuki B.Purnomo, 2011. Anatomi Sistem Urogenitalia In: Dasar-Dasar
Urologi, Edisi 3,Jakarta: 6.
2. Roehrborn, C. G., 2012 Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh
Urology. 10th ed. Elsevier Inc.
3. Deters, L.A. Benign Prostate Hyperplasia. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. Last update:
Oct 05, 2015. (Accesed on Feb 25, 2016).
4. IAUI. Penatalaksanaan BPH di Indonesia. 2003.
5. IAUI. Guideline BPH. 2015.
6. Presti, J. C., 2008. Smith’s General Urology. 17th ed. McGraw-Hill
Companies.
7. Homma, Y. et al. 2011. Outline of JUA Clinical Guidelines for Benign
Prostatic Hyperplasia. Japanese Urological Association.
8. Andriole, G. L., 2011. Benign Prostate Disease In: The Merck Manual.
19th ed. New York: Elsevier Inc.
9. Burnicardi, F. C., et al., 2010. Urology In: Schwart'z Principles of Surgery.
9th ed.New York; McGraw-Hill Companies.
10. Bozdar, R. H., Memon, R. S., Paryani, P. J., 2010. Outcome Of
Transurethral Resection of Prostate in Clinical Benign Prostatic
Hyperplasia. J Ayub Med Coll Abbottabad.
11. Marks, L. S., 2004. 5α-Reductase: History & Clinical Importance.
Reviews in Urology, Volume 6.
12. Lepor, H. 2007. Alpha Blockers for the Treatment of Benign Prostatic
Hyperplsia. Reviews in Urology, Volume 9.
13. Rahardjo, D., Birowo, P., Pakasi, L. S., 1999. Correlations between
Prostate Volume, PSA and Age in the BPH Patients. Medical Journal of
Indonesia, Volume 8.
14. Loughlin, K. R., et al., 2011. Benign Prostate Hyperplasia. Available
from: http://www.harvardprostateknowledge.org/harvard-experts-discuss-
surgicaloptions-for-benign-prostatic-hyperplasia
15. Muruve, N. A., et al., 2012. Transurethral Needle Ablation of the Prostate
(TUNA). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/449477-
overview

Anda mungkin juga menyukai