TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Anatomi Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah
anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa kurang lebih 18 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar
yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5
lobus, yaitu, lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus
posterior. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior
akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja.1
Prostat didapatkan membentuk 70% dari unsur kelenjar dan 30% dari
stroma fibromuskular. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, dan zona transisional. Zona
perifer membentuk 70% dari jaringan kelenjar prostat dan mencakupi bagian
posterior dan lateral kelenjar tersebut. Zona transisional mencakupi 5% hingga
10% daripada jaringan kelenjar prostat. Sebagian besar hiperplasia prostat
terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di
kedua sisi dari verumontanum. Zona sentral mencakupi 25% dari jaringan
kelenjar prostat dan membentuk konus sekitar duktus ejakulatorius sehingga ke
basis kandung kemih.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia
denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan
vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan
fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic
dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi
pleksus prostatovesikal. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis
karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran
pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan
bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan
lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan
kelenjar.2
1.2. Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) yang dikenal sebagai hyperplasia
prostat jinak adalah diagnosis histologis yang ditandai dengan adanya proliferasi
elemen seluler prostat.3 Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan
keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini
akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau Benign Prostate Enlargement (BPE)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau
dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus
disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate
obstruction (BPO).4
1.3. Epidemiologi
BPH dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di
Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital
prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-
2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61
tahun.5
1.4. Etiologi1
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah: (1) teori dihidrotestosteron, (2) adanya
ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan
sel epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem
sel.
Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH
(Gambar 5-2). DHT yang telah terbentuk berikatan denga reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis
protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5α-reduktase danjumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan atuokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
a. Riwayat Penyakit
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan
anamnesis atau wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang
riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi:
Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah
mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia
(pernah mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria),
kencing batu, atau pembedahan pada saluran kemih)
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan
berkemih.
b. Catatan Harian Berkemih (Voiding Diaries)
Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang
mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat
kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan
berapa jumlah urine yang dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien
menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi
infravesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih.
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 3 hari berturut--‐turut untuk
mendapatkan hasil yang baik.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Urologis
Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda infeksi.
Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk
menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
b. DRE/ Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE)
sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran
tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa
rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan
tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:7
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal
b. Apakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostat
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Apakah prostat membesar
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan
nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau
teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya Leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila
dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
b. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada
saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3--‐30%
dengan rata--‐rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu
tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigent)
Tes Prostate-Specific Antigen menghitung PSA di dalam darah pasien. Tes
ini digunakan untuk mendiagnosa BPH dan karsinoma prostat. Direkomendasikan
untuk laki-laki diantara 40 - 50 tahun yang punya risiko tinggi. Stamey, adalah
pertama untuk mengaitkan kadar serum PSA dengan volume jaringan prostat.
Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-an didapatkan kadar serum
PSA daripada BPH adalah 0.30 ng/mL per gram jaringan dan 3.5 ng/mL per cm3
dari jaringan kanker. Vesely, mendapatkan bahawa volume prostat dan kadar
serum serum PSA mempunyai korelasi signifikan dan meningkat dengan
pertambahan usia. Kadar PSA meningkat secara moderate dalam 30 hingga 50%
pasien BPH, tergentung besarnya prostat dan derajat obstruksi, dan PSA juga
meningkat bagi 25 hingga 92% pasien dengan karsinoma prostat, tergantung
volume tumor tersebut.2 Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih
superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya
karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4 ng/ml ,biopsi prostat dipertimbangkan
untuk menyingkirkan karsinoma prostat.5
d. Uroflowmetry (Pancaran Urine)
Uroflowmetri merupakan teknik urodinamik untuk menilai uropati
obstruktif dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi. Apabila Flow rate <
15 mL/detik, ini menandakan obstruksi, dan apabila postvoid residual volume >
100 mL, ini menandakan retensi. Angka normal laju pancaran urin ialah 12
ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi
ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar
11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin
yang dihasilkan.2
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) dapat dilihat
dengan pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau
daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal
tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan
AbramsGriffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica
dan laju pancaran urin dapat diukur.7
Pemeriksaan Volume Residu Urin dapat dilihat dengan volume residu urin
setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan
memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal.
Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan
membuat foto post voiding atau USG.7
2. Medikamentosa
a. Antagonis reseptor adrenergik-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher
buli-buli dan uretra.
Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif
yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi
dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh
pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan
penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.6
Ditemukannya obat antagonis adrenergik α1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-α2 dari
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat antagonis adrenergik α1
yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek (short acting) di
antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long
acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup
diberikan sekali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis
adrenergik-a terbukti dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan
keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup atau
quality of life (Qol), dan meningkatkan pancaran urine. Perbaikan
gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah
dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini
dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada buktibukti
terjadinya intoleransi sampai pemberian 6- 12 bulan.11
Dibandingkan dengan inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis
adrenergik-α lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-α
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian
antagonis adrenergik-α saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik-
α tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta memperhatikan
kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-α
reductase.11
Berbagai jenis antagonis adrenergik a menunjukkan efek yang hampir
sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda.
Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural,
dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan.6
Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat
antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan
tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien
mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, <
5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian
plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian
doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian
tamsulosin atau plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap
sistem kardiovaskuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat
ini merupakan antagonis adrenergik α yang superselektif, yaitu hanya
bekerja pada reseptor adrenergik-α1A. Penyulit lain yang dapat timbul
adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah
pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-
1%13,32. Efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-α tergantung
pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang
diinginkan makin nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul
pada sistem kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum
dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan harus
disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-
lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif.
Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis
adrenergik-α1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi
seperti golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan
efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun.12
b. Inhibitor 5 a-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai
untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang
dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat.
Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan
ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15%
atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek
maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang
efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa
pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu
menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine,
menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan
tindakan pembedahan hingga 50%35.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping
yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat
terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar
PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu
diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Bila respon dari
pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk masuk
kedalam tahap perawatan “Watch and wait”.
c. Fitoterapi
Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi
farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional
dan universal. Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”.
Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi
ini. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif.
Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi dan disebut demikian karena
berasal dari tumbuhan.
Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan
penelitian yang panjang.Namun secara empirik, manfaat sudah lama
tercatat dan semakin diakui.Diantara sekian banyak fitoterapi yang
sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa repens
atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk
pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin
diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH
dalam kontek “watchfull waiting strategy”.6
3. Tindakan operatif/ pembedahan
Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau terdapat
BPH dengan komplikasi, seperti:
Retensi urin rekuren
Gross hematuria rekuren
Batu vesika urinaria rekuren
Infeksi saluran kemih yang rekuren
Insufisiensi renal rekuren.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah :
Keluhan sedang hingga berat
Tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah
Pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Invasif Minimal
1. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the Prostate
(TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH dengan LUTS
yang tidak berespon pada pengobatan konservatif dan volume prostat 30-80 ml.
TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7% kasus-kasus
klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH.10
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang
memerlukan transfusi (0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13%), retensi
bekuan darah (0-39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%). Kompilkasinya dapat
berupa inkontinensia urin, stenosis leher kandung Rahim, striktur uretra, ejakulasi
retrograde, disfungsi ereksi dan retensi urin dan UTI.
Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP) Metode ini di indikasikan untuk pasien
dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada
hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih
muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder
neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara
endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yang dipakai pada TURP
tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai
dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam
sampai tampak kapsul prostat.6
2. Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG
(Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-
65 c dan mengalami vaporisasi pada suhuyang lebih dari 100 c.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada
pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.
3. Lain-lain
Transurethral Incision of The Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung
kemih (bladder neck incison) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya
kecil (kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat.
TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan Meningkatkan Q max
meskipun tidak sebaik TURP.
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan
dari berbagai cara, antara lain TUMT ( Transurethral Microwave
Thermotherapy) , Transurethral Needle Ablation (TUNA) dan High Intensity
Focused Ultrasound (HIFU).
Operasi Terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal ( Hryntschack
atau Freyer) dan retropubic (Milin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat
yang volumenya lebih dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasive dengan
morbiditas yang lebih besar. Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur
leher kandung kemih dan striktur uretra dan inkontinensia urin.
1.10 Pemantauan
Semua pasien BPH memerlukan pemantauan aktif berkala (follow-
up) untuk mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya. Evaluasi
rutin dilakukan dengan pemeriksaan IPSS, uroflowmetry, dan pengukuran
volume residu urine pasca berkemih. Jadwal pemeriksaan tergantung pada
terapi yang dijalani oleh pasien
Pemantauan secara berkala dilakukan antara 1-6 bulan disesuaikan
dengan kondisi pasien.
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Hotman Nadeak
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jln. Lingkar Barat RT 07 Kel. Bagan Pete
Tanggal Masuk : 08 Oktober 2019
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : BAK tidak lampias
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak ± 3 tahun yang lalu.
Keluhan pasien berkurang setelah minum obat,
namun ± 2 bulan terakhir keluhan tersebut muncul
kembali. Perasaan tidak puas setelah BAK(+). Tidak
dapat menahan BAK (-). Pancaran BAK lemah (+).
Mengedan saat BAK (+). Sering terbangun pada
malam hari untuk BAK (+). BAK berdarah (-).
BAK berpasir (-). Demam (-). Nyeri pinggang (-).
Riwayat Trauma (-). Riwayat Operasi (-). Pasien
sudah terpasang kateter sejak 2 bulan terakhir.
Warna BAK kuning jernih
International Prostate Symptom Score adalah 33
Hipertensi (+). Kencing manis (-).
Ekstremitas :
Superior : dalam batas normal
Inferior : dalam batas normal
Status Urologi
Flank area
Inspeksi : tidak dijumpai kelainan
Palpasi : Kiri : ballotement (-). Nyeri Tekan (-). Nyeri Ketok (-)
: Kanan : ballotement (-). Nyeri Tekan (-). Nyeri Ketok (-)
Suprapubic Area
Inspeksi : bulging (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Genitalia Eksterna : laki-laki, terpasang kateter
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium (18 Oktober 2016) :
JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN
HEMATOLOGI
DarahLengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG) gr% 12.10 12.6-17.4
Eritrosit (RBC) 105/mm3 4.17 4.20 – 4.87
Leukosit (WBC) 103/mm3 7.7 4.5 – 11.0
Hematokrit % 36.1 43 – 49
Trombosit (PLT) 103/mm 278 150 – 450
MCV Fl 86.6 85 – 95
MCH Pg 31.20 28 – 32
MCHC g% 33.90 33 – 35
RDW % 13.8 11.6 – 14.8
MPV Fl 8.20 7.0 – 10.2
KIMIA KLINIK
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) mg/ Dl 108 <200
GINJAL
Ureum mg/Dl 39 15-39
Kreatinin mg/Dl 1.0 0.9 - 1.3
IMUNOSEROLOGI
PSA Total ng/Ml - 0-4
USG
Prostat : TBP = 61 gr
: IPP = 1,25 cm
Kesimpulan : hiperplasia prostat
VII. PENATALAKSANAAN
TURP
Tanggal S O A P
Terapi Rencana
08/10/1 - BAK Sens : BPH Tirah TURP
Compos
9 tidak baring
Mentis
lampia TD : 130/80 IVFD RL
mmHg
s 20gtt/i
Pols : 80 x/i
RR : 20 x/i Inj.
T : 36.50C
Ceftriaxo
ne 1gr/12
jam
BAB III
ANALISA KASUS
TEORI KASUS
Epidemiologi
BPH dialami oleh sekitar 70% pria di Pada kasus
atas usia 60 tahun dan mencapai 90% Pasien merupakan seorang laki-laki
pada pria berusia di atas 80 tahun. Di berusia 69 tahun
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) sejak tahun 1994-2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-
rata umur penderita berusia 66,61
tahun.5
GEJALA KLINIS
Keluhan yang disampaikan oleh pasien Keluhan pasien:
hiperplasia prostat jinak seringkali Gejala obstruksi: BAK tidak
berupa lower urinary tract symptom lampias yang sudah dialami pasien
(LUTS), yang terdiri dari: sejak ± 3 tahun yang lalu. .
gejala obstruktif (voiding Perasaan tidak puas setelah
symptom) :meliputi pancaran BAK(+). Pancaran BAK lemah
kemih lemah dan terputus (+).
(intermitrensi), merasa tidak puas Gejala iritatif :Mengedan saat
sehabis berkemih BAK (+). Sering terbangun pada
gejala iritatif (storage symptom) malam hari untuk BAK (+).
:meliputi frekuensi berkemih Gejala pasca berkemih : (-)
meningkat, urgensi dan nokturia
gejala pasca berkemih :berupa
urine menetes (dribbling) hingga
gejala yang paling berat adalah
retensi urine.
DIAGNOSIS
anamnesis : didapati adanya gejala BAK tidak lampias yang dialami
LUTS pada BPH dapat ditentukan pasien sejak ± 3 tahun yang lalu.
dengan sistem skoring IPSS :33
International Prostate Symptoms Pemeriksaan fisik:
Score (IPSS) DRE: Digital Rectal Examination :
Menurut IPSS keparahan LUTS Perineum : normal
dibagi dalam 3 derajat yaitu: Nilai Tonus Spinchter ani : ketat
IPSS diantara 0 – 7 termasuk Mukosa ani : licin
ringan, diantara 8 – 19 derajat Prostat : teraba membesar, kenyal,
sedang, sedangkan nilai 20 – 35 simetris, nodul (-),
termasuk derajat berat Sarung tangan : Feses (+) darah (-)
pemeriksaan fisik
pada DRE: konsistensi prostat
(pada hiperplasia prostat
konsistensinya kenyal
Apakah asimetris
Adakah nodul pada prostat
Apakah batas atas dapat diraba
Sulcus medianus prostate
Apakah prostat membesar
Colok dubur pada hiperplasia prostat
menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung,
lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan:
Pilihannya adalah: TURP
konservatif (watchful waiting)
syarat:
IPSS<7
keluhan ringan yang tidak
mengganggu aktivitas
sehari-hari.
Medikamentosa
Syarat:
IPSS>7
pembedahan
syarat:
Intervensi bedah diindikasikan
setelah terapi medis gagal atau
terdapat BPH dengan
komplikasi, seperti:
Retensi urin rekuren
Gross hematuria rekuren
Batu vesika urinaria
rekuren
Infeksi saluran kemih yang
rekuren
Insufisiensi renal rekuren.
Indikasi relatif lain untuk terapi
pembedahan adalah :
Keluhan sedang hingga
berat
Tidak menunjukkan
perbaikan setelah
pemberian terapi non
bedah
Pasien yang menolak
pemberian terapi
medikamentosa.
BAB IV
KESIMPULAN
Tn H, laki-laki berusia 69 tahun, datang ke Poliklinik Urologi RSUD H.
Abdul Manap akibat BAK tidak lampias. Pasien didiagnosa dengan hiperplasia
prostat benigna, dengan nilai International Prostate Symptom Score 33, yang
termasuk derajat berat. Menurut IAUA 2015, IPSS 19 – 35 termasuk derajat berat
diperlukan operasi prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi
reseksi transuretral (Transurethral Resection of the Prostate). Pasien akan
dilakukan tindakan TURP.
DAFTAR PUSTAKA
1. Basuki B.Purnomo, 2011. Anatomi Sistem Urogenitalia In: Dasar-Dasar
Urologi, Edisi 3,Jakarta: 6.
2. Roehrborn, C. G., 2012 Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh
Urology. 10th ed. Elsevier Inc.
3. Deters, L.A. Benign Prostate Hyperplasia. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. Last update:
Oct 05, 2015. (Accesed on Feb 25, 2016).
4. IAUI. Penatalaksanaan BPH di Indonesia. 2003.
5. IAUI. Guideline BPH. 2015.
6. Presti, J. C., 2008. Smith’s General Urology. 17th ed. McGraw-Hill
Companies.
7. Homma, Y. et al. 2011. Outline of JUA Clinical Guidelines for Benign
Prostatic Hyperplasia. Japanese Urological Association.
8. Andriole, G. L., 2011. Benign Prostate Disease In: The Merck Manual.
19th ed. New York: Elsevier Inc.
9. Burnicardi, F. C., et al., 2010. Urology In: Schwart'z Principles of Surgery.
9th ed.New York; McGraw-Hill Companies.
10. Bozdar, R. H., Memon, R. S., Paryani, P. J., 2010. Outcome Of
Transurethral Resection of Prostate in Clinical Benign Prostatic
Hyperplasia. J Ayub Med Coll Abbottabad.
11. Marks, L. S., 2004. 5α-Reductase: History & Clinical Importance.
Reviews in Urology, Volume 6.
12. Lepor, H. 2007. Alpha Blockers for the Treatment of Benign Prostatic
Hyperplsia. Reviews in Urology, Volume 9.
13. Rahardjo, D., Birowo, P., Pakasi, L. S., 1999. Correlations between
Prostate Volume, PSA and Age in the BPH Patients. Medical Journal of
Indonesia, Volume 8.
14. Loughlin, K. R., et al., 2011. Benign Prostate Hyperplasia. Available
from: http://www.harvardprostateknowledge.org/harvard-experts-discuss-
surgicaloptions-for-benign-prostatic-hyperplasia
15. Muruve, N. A., et al., 2012. Transurethral Needle Ablation of the Prostate
(TUNA). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/449477-
overview