Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang


disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai
daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi
motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Cidera
medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi
motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan
fungsi motorik volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338).

Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang


mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera
baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda
sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data
dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam
5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka
kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk
angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).

Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada
wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan
ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di
asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause) (di kutip dari Medical
Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,1999).

Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada
L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan
ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga
beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu

1
sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien
dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana anatomi fisiologi medula spinalis?
2. Apa definisi dari cidera medula spinalis?
3. Apa saja etiologi dari cidera medula spinalis?
4. Bagaimana patofisiologi cidera medula spinalis?
5. Apa saja manifestasi klinik cidera medula spinalis?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik cidera medula spinalis?
7. Apa saja penatalaksanaan bagi cidera medula spinalis?
8. Apa saja komplikasi cidera medula spinalis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan cidera medula spinalis secara teori?
10. Bagaimana Asuhan keperawatan cidera medula spinalis?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep dan aplikasi asuhan keperawatan dari kasus cidera
medula spinalis.
2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui konsep dari cidera medula spinalis.
2. Untuk mengetahui asuhan keperwatan secara teori pada kasus cidera
medula spinalis.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi dan fisiologi medula spinalis

Spinal cord merupakan perpanjangan dari otak dalam menginervasi


bagian bawah dari tubuh, karenanya komposisi spinal cord mirip otak yaitu
terdiri dari grey mater dan white mater. Grey mater ada di bagian dalam dan
white mater ada di bagian luar. Spinal cord dimulai dari foramen magnum di
bagian atas diteruskan pada bagian bawahnya sebagai conus medullaris, kira-
kira padda level T12-L1 selanjutnya dteruskan ke distal sebagai kauda
equina.pada setiap level akan keluar serabut syaraf yang disebut nerve root.

B. Definisi
Cedera sumsum tulang belakang adalah kerusakan pada bagian saraf
tulang belakang atau saraf di ujung kanal tulang belakang (cauda equina).
Muttaqin (2008) menyebut bahwa trauma pada tulang bekang (spinal cors
injury) adalah cedera yang mengenai servikal, vertebralis dan lumbalis dari
suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera ini sering menyebabkan
perubahan permanen pada kekuatan, sensassi dan fungsi tubuh lainnya di
bawah lokasi cedera.

3
C. Etiologi
Trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui batas
kemampuan tulang belakang dalam melindungi syaraf - syaraf yang berada
didalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon,
bangunan/ ketinggian, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras.

D. Patofisiologi
Trauma pada leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur
kolumna vertebra, komprei diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan
kompresi medula spinalis pada setiap sisinya yang dapat menekan spina dan
bermanifestasi pada kompresi radiks dan distribusi syaraf sesuai segmen dari
tulang belakang servikal.
Trauma pada servikal bisa menyebabkan cidera spinal stabil dan tidak
stabil. Cedera stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan
tergeser dengan gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan
biasanya resikonya lebih rendah. Cedera yang tak stabil adalah cedera yang
dapat mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari
oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang
posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa), komponen peertengahan
(sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior dari diskus
intervertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (dua
pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebralis,
dan ligamen longitudinal anterior).
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan
memaksa kepala ke belakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga
kepala itu membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus
dapat rusak atau arkus syaraf mungkin mengalami kerusakan.
Pada cedera fleksi akan meremukkan badan vertebral menjadi baji, ini
adalah cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebral yang paling
sering ditemukan. Jika ligamen posterior tersobek, cedera bersifat tak stabil

4
dan badan vertebral bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra
di bawahnya.

E. Pathway

Trauma pada servikalis Fraktur, sublukasi, dislokasi, Trauma pada servikalis


tipe ekstensi kompresi dikus, robeknya tipe ekstensi
ligamentum, dan kompresi
akar syaraf

Cedera spinal tidak stabil Cedera spinal stabil

Fraktur kompresi baji


Kompresi korda Risti injury Spasme otot
Ligamentum utuh

Tindakan Mk : Nyeri Spasme otot


dekompresi Aktual/risiko:
dan stabilisasi Pola nafas tidak
efektif
Curah jantung Kompresi diskus
menurun dan kompresi akar
syaraf di sisinya

Fase asuhan
MK:
perioperatif
Imobilisasi
Prognosis penyakit

Respon
Kompresi
psikologis MK: Paralisis
jaringan
Kecemasan ekstremitas
atas dan bawah

Mk:
Ggn integritas
kulit

5
F. Manifestasi Klinis
 Hipoventilasi atau gagal pernafasan terutama pada cidera setinggi
servikal
 Edema pulmoner akibat penatalaksanaan cairan intravena yang tidak
tepat
 Paralisis flaksid di bawah tingkat cidera
 Hipotensi dan bradikardi
 Retensi urin dan alvi
 Paralisis usus dan ileus
 Kehilangan kontrol suhu

G. Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiologi servikal. didapatkan:
 fraktur odontoid didapatkan gambaran pergeseran tengkorak ke
depan
 fraktur C2 didapatkan gambaran fraktur
 fraktur pada badan f=vertevra
 fraktur kompresi
 subluksasi pada tulang belakang servikal
 dislokasi pada tulang servikal
b. CT Scan
Didapatkan fraktur pada tulang belakang, menggambarkan strukur spinal
dan perispinal
c. MRI
Digunakan untuk mengkaji jumlah kompresi medula dan jenis cidera
dimana medula spinalis berlanjut
d. Pielogram intravena
Untuk menentukan fungsi kandung kemih
e. Sistoskopi
Pemeriksaan yang memungkinkan visualisasi langsung dari kandung
kemih dan uretra, dapat mendeteksi batu, infeksi, atau rumor kandung
kemih

6
H. Penatalaksanaan
a. Lakukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada
medula spinalis. Sebagian cederaa medula spinalis diperburuk oleh
penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan
syaraf yang sudah terganggu.
 Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan
 Beri bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah pergeseran
 Selimuti pasien untuk mencegah kehilangan hawa panas badan
 Pindahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
penanganan kasus cedera medula spinalis
b. Perawatan khusus
 Komosio medula spinalis (fraktur atau dislokasi) tidak stabil harus
disiingkirkan, jika terjadi pemulihan sempurna pengobatan tidak
diperlukan
 Kontusio/ transeksi/ kompresi medula spinalis
Dengan :
- Metil prednisolon 30mg/kgBB bolus intravena selama 15 menit
dilanjutkan dengan 5,4 mg/kgBB/jam selama 45 menit. Setelah
bolus, selama 23 jam, hasil optimal bila pemberian dilakukan
<8 jam onset.
- Tambahkan profilaksis stres ulkus: antasid/ antagonis H2.
c. Tindakan operasi diindikasikan pada :
a. Reduksi terbuka pada dislokasi
b. Fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis
c. Cedera terbuka dengan benda asing/ tulang dalam kanalis spinalis
d. Lesi parsial medula spinalis dengan hematomielia yang progresif
d. Perawatan umum
 Perawatan vesika dan fungsi defekasi
 Perawatan kulit/ dekubitus
 Nutrisi yang adekuat
 Kontrol nyeri: analgetik, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
antikonvulsan, kodein, dll

7
e. Fisioterapi, terrapi vokasional, dan psikoterapi pada pasien yang
mengalami sekucle neurologis berat dan permanen

I. Komplikasi
a. Pneumonia
b. Emboli paru
c. Septikemia
d. Gagal ginjal

J. Asuhan Keperawatan secara teori


1. PENGKAJIAN
a. Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi.
Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
b. Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
c. Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis
berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
d. Integritas Ego
e. Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
f. Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
g. Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
h. Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal). Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki
normak setelah syok spinal sembuh). Kehilangan tonus otot /vasomotor,
kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan
reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena
pengaruh trauma spinal.

8
i. Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
j. Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronki, pucat, sianosis.
k. Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
l. Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
(Marikyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan
kelemahan /paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi
motorik dan sesorik.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
berkemih secara spontan.
5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat
gangguan autonomik.
6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera
psikis dan alt traksi
(Diane C. Boughman, 2000 : 90)

9
3. PERENCANAAN
Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola
pernapasan, perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit,
menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa
nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.

INTERVENSI

No. DX Perencanaan Rasional

Tujuan Intervensi
1. DX 1 Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan 1. Hilangnya
tindakan batuk dan reproduksi kemampuan
keperawatan selama secret motorik otot
3×24 jam diharapkan 2. Pertahankan jalan intercosta dan
Meningkatkan nafas (hindari fleksi abdomen
pernapasan yang leher, brsihkan berpengaruh
adekuat. Dengan sekret) terhadap
kriteria hasil: 3. Monitor warna, kemampuan
Batuk efektif, pasien jumlah dan batuk.
mampu konsistensi sekret, 2. Menutup jalan
mengeluarkan seket, lakukan kultur nafas.
bunyi napas normal, 4. Lakukan suction bila 3. Hilangnya refleks
jalan napas bersih, perlu batuk beresiko
respirasi normal, 5. Auskultasi bunyi menimbulkan
irama dan jumlah napas pnemonia.
pernapasan, pasien, 6. Lakukan latihan 4. Pengambilan
mampu melakukan nafas secret dan
reposisi, nilai AGD : 7. Berikan minum menghindari
PaO2 > 80 mmHg, hangat jika tidak aspirasi.
PaCO2 = 35-45 kontraindikasi 5. Mendeteksi
mmHg, PH = 7,35 – 8. Berikan oksigen dan adanya sekret
7,45 monitor analisa gas dalam paru-paru.
darah 6. mengembangkan
9. Monitor tanda vital alveolu dan
setiap 2 jam dan menurunkan
status neurologi prosuksi sekret.
7. Mengencerkan
secret
8. Meninghkatkan
suplai oksigen
dan mengetahui
kadar olsogen

10
dalam darah.
9. Mendeteksi
adanya infeksi
dan status
respirasi.
2. Setelah dilakukan 1. Kaji fungsi-fungsi 1. Menetapkan
tindakan sensori dan motorik kemampuan dan
keperawatan selama pasien setiap 4 jam. keterbatasan
3×24 jam diharapkan 2. Ganti posisi pasien pasien setiap 4
Memperbaiki setiap 2 jam dengan jam.
mobilitas. Dengan memperhatikan 2. Mencegah
kriteria hasil: kestabilan tubuh terjadinya
Mempertahankan dan kenyamanan dekubitus.
posisi fungsi pasien. 3. Mencegah
dibuktikan oleh tak 3. Beri papan penahan terjadinya
adanya kontraktur, pada kaki foodrop
footdrop, 4. Gunakan otot 4. Mencegah
meningkatkan orthopedhi, edar, terjadinya
kekuatan bagian handsplits kontraktur.
tubuh yang sakit 5. Lakukan ROM Pasif 5. Meningkatkan
/kompensasi, stimulasi dan
setelah 48-72 setelah
mendemonstrasikan mencehag
teknik /perilaku yang cedera 4-5 kali /hari kontraktur.
memungkinkan 6. Menunjukan
6. Monitor adanya
melakukan kembali adanya aktifitas
aktifitas. nyeri dan kelelahan yang berlebihan.
7. Memberikan
pada pasien.
pancingan yang
7. Konsultasikan sesuai.
kepada fisiotrepi
untuk latihan dan
penggunaan otot
seperti splints
3. Setelah dilakukan 1. Kaji faktor resiko 1. Salah satunya
tindakan terjadinya gangguan yaitu
keperawatan selama integritas kulit immobilisasi,
3×24 jam diharapkan 2. Kaji keadaan pasien hilangnya sensasi,
Mempertahankan setiap 8 jam Inkontinensia
Intergritas kulit. 3. Gunakan tempat bladder /bowel.
Dengan kriteria tidur khusus (dengan 2. Mencegah lebih
hasil: busa)
dini terjadinya
Keadaan kulit pasien 4. Ganti posisi setiap 2
utuh, bebas dari jam dengan sikap dekubitus.
kemerahan, bebas anatomis
3. Mengurangi

11
dari infeksi pada 5. Pertahankan tekanan 1 tekanan
lokasi yang tertekan. kebersihan dan
sehingga
kekeringan tempat
tidur dan tubuh mengurangi
pasien.
resiko dekubitas
6. Lakukan pemijatan
4. Daerah yang
khusus / lembut
tertekan akan
diatas daerah tulang
menimbulkan
yang menonjol
hipoksia,
setiap 2 jam dengan
perubahan posisi
gerakan memutar.
meningkatkan
7. Kaji status nutrisi
sirkulasi darah.
pasien dan berikan
5. Lingkungan yang
makanan dengan
lembab dan kotor
tinggi protein
mempermudah
8. Lakukan perawatan
terjadinya
kulit pada daerah
kerusakan kulit
yang lecet / rusak
6. Meningkatkan
setiap hari
sirkulasi darah
7. Mempertahankan
integritas kulit
dan proses
penyembuhan
8. Mempercepat
proses
penyembuhan

4. Setelah dilakukan 1. Kaji tanda-tanda 1. Efek dari tidak


tindakan infeksi saluran efektifnya bladder
keperawatan selama kemih adalah adanya
3×24 jam diharapkan 2. Kaji intake dan infeksi saluran
klien mampu output cairan kemih
meningkatkan 3. Lakukan 2. Mengetahui
eliminasi urine. pemasangan kateter adekuatnya gunsi
Dengan kriteria sesuai program gnjal dan
hasil: 4. Anjurkan pasien efektifnya

12
Pasien dpat untuk minum 2-3 blodder.
mempertahankan liter setiap hari 3. Efek trauma
pengosongan blodder 5. Cek bladder pasien medulla spinalis
tanpa residu dan setiap 2 jam adlah adanya
distensi, keadaan 6. Lakukan gangguan refleks
urine jernih, kultur pemeriksaan berkemih
urine negatif, intake urinalisa, kultur dan sehingga perlu
dan output cairan sensitibilitas bantuan dalam
seimbang 7. Monitor temperatur pengeluaran urine
tubuh setiap 8 jam 4. Mencegah urine
lebih pekat
5. Mengetahui
adanya residu
sebagai akibat
autonomic
hyperrefleksia
6. Mengetahui
adanya infeksi
7. Temperatur yang
meningkat
indikasi adanya
infeksi.

5. Setelah dilakukan 1. kaji pola eliminasi 1. Menentukan


tindakan bowel adanya perubahan
keperawatan selama 2. Berikan diet tinggi eliminasi
3×24 jam diharapkan serat 2. Serat
klien mampu 3. Berikan minum 1800 meningkatkan
Memperbaiki fungsi – 2000 ml/hari jika konsistensi feses
usus. Dengan kriteria tidak ada 3. Mencegah
hasil: kontraindikasi konstipasi
Pasien bebas 4. Auskultasi bising 4. Bising usus
konstipasi, keadaan usus, kaji adanya menentukan
feses yang lembek, distensi abdomen pergerakan
berbentuk. 5. Hindari penggunaan perstaltik
laktasif oral 5. Kebiasaan
6. Lakukan mobilisasi menggunakan
jika memungkinkan laktasif akan
7. Berikan suppositoria tejadi
sesuai program ketergantungan
8. Evaluasi dan catat 6. Meningkatkan
adanya perdarah pergerakan
pada saat eliminasi peritaltik
7. Pelunak feses
sehingga
memudahkan
eliminasi
8. Kemungkinan

13
perdarahan akibat
iritasi
penggunaan
suppositoria
6. Setelah dilakukan 1. Kaji terhadap adanya 1. Pasien biasanya
tindakan nyeri, bantu pasien melaporkan nyeri
keperawatan selama mengidentifikasi dan diatas tingkat
3×24 jam diharapkan menghitung nyeri, cedera misalnya
klien mampu Merasa misalnya lokasi, tipe dada / punggung
rasa nyaman. nyeri, intensitas pada atau
Dengan kriteria skala 0 – 1 kemungkinan
hasil: 2. Berikan tindakan sakit kepala dari
Melaporkan kenyamanan, alat stabilizer
penurunan rasa nyeri misalnya, perubahan 2. Tindakan
/ketidak nyaman, posisi, masase, alternatif
mengidentifikasikan kompres hangat / mengontrol nyeri
cara-cara untuk dingin sesuai digunakan untuk
mengatasi nyeri, indikasi. keuntungan
mendemonstrasikan 3. Dorong penggunaan emosionlan,
penggunaan teknik relaksasi, selain
keterampilan misalnya, pedoman menurunkan
relaksasi dan imajinasi visualisasi, kebutuhan otot
aktifitas hiburan latihan nafas dalam. nyeri / efek tak
sesuai kebutuhan 4. kolaborasi diinginkan pada
individu. pemberian obat fungsi pernafasan.
sesuai indikasi, 3. Memfokuskan
relaksasi otot, kembali
misalnya dontren perhatian,
(dantrium); meningkatkan
analgetik; rasa kontrol, dan
antiansietis.misalnya dapat
diazepam (valium) meningkatkan
kemampuan
koping
4. Dibutuhkan untuk
menghilangkan
spasme /nyeri otot
atau untuk
menghilangkan-
ansietas dan
meningkatkan
istrirahat.

4. PELAKSANAAN

14
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan dalam proses keperawatan dan
sangat menuntut kemampuan intelektual, keterampilan dan tehnik keperawatan.

Pelaksanaan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan yang didasari


kebutuhan klien untuk mengurangi atau mencegah masalah serta merupakan
pengelolaan atau perwujudan rencana keperawatan pada seorang klien.

Ada 2 syarat hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan perawatan   yaitu :

a. Adanya bukti bahwa klien dalam proses menuju perawatan atau telah
tercapai tujuan yang diinginkan.
b. Adanya bukti bahwa tindakan keperawatan dapat diterima klien.

Proses pelaksanaan perawatan yaitu :

a. Merencanakan perawatan, segala informasi yang tercakup dalam rencana


keperawatan, merupakan dasar atau pedoman dalam tindakan.
b. Mengidentifikasi reaksi klien, dituntut usaha yang tidak tergesa-gesa dan
teliti agar dapat menemukan reaksi klien sebagai akibat tindakan
keperawatan

5. EVALUASI
1. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
2. Klien dapat memperbaiki mobilitas
3. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
4. klien mengalami peningkatan eliminasi urine
5. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
6. Klien menyatakan rasa nyaman
(Marilyn E. Doenges 1999 ; 340 – 358, Diane C Baurghman, 2000 : 91 – 93)

15
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001).Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu : kecelakaan otomobil,
industri terjatuh, olah-raga, menyelam, luka tusuk, tembak dan tumor. Bila
hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum
terjadi kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi
terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi,
hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting,
karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan
kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus
dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini
disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen
kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula
spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit
lainnya,karena kesalah dalam memberikan asuhan keperawatan dapat
menyebabkan Trauma semakin komplit dan dapat menyebabkan kematian.
B. Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi
dimasyarakat. Tingkat kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa
saja dan dimana saja. Sehingga perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam
melakukan setiap aktivitas agar tidak terjadi suatu kecelakaan yang dapat
mengakibatkan cedera ini.

16

Anda mungkin juga menyukai