Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

COMPOUNDING DAN DISPENSING

Disusun Oleh :

1. Efeline Freliana Z (1908020196)


2. Nuril Hardani (1908020198)
3. Isti Wilda Safitri (1908020200)
4. Aprilia Suryani (1908020202)
5. Puji Apriliani (1908020204)
6. Taufik Detuage (1908020220)
7. Aditya Yuliandaru P (1908020225)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Obat memiliki peran yang penting dalam kesehatan khususnya
dalam mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh manusia. Oleh karena itu
menjadi tuntunan bagi Industri farmasi untuk menghasilkan obat yang
berkualitas, aman dan memiliki efikasi yang terjamin. Banyaknya produk
farmasi yang beredar di Indonesia menuntut adanya penanganan khusus
untuk menangani masalah mutu dan kualitas produk sehingga dapat
melindungi konsumen dari kerugian akibat permasalahan produk yang
tidak bermutu. Mutu suatu obat tidak hanya dapat dilihat melalui
serangkaian pengujian laboratorium saja melainkan harus melekat pada
produk tersebut. Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 pasal 98 bahwa
sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat atau
bermanfaat, bermutu, serta terjangkau. Suatu produk farmasi dapat
dikatakan memiliki mutu yang baik dan aman saat digunakan.
Menurut UU No 36 tahun 2009 pasal 105, dinyatakan bahwa
sediaan farmasi berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. Selain harus
memperhatikan mutu, obat yang akan beredar juga harus memiliki syarat
mutlak yaitu aman dan bermanfaat. Oleh karena itu diperlukan adanya
sistem yang menjamin syarat mutlak tersebut terpenuhi bukan hanya saat
obat didaftarkan atau setelah diproduksi dipabrik namun saat obat
didistribusikan hingga saat digunakan oleh pasien. Pada faktanya obat
tidak akan digunakan secara langsung setelah obat dibuat. Distribusi obat
dari tempat penyimpanan hingga ketangan pasien memerlukan waktu
yang lama biasanya dalam hitungan bulan bahkan tahun. Dalam proses
pendistribusian, banyak faktor yang berpengaruh terhadap mutu obat,
salah satunya adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi mutu
suatu obat seperti cahaya, suhu dan kelembapan. Penyimpanan obat pada
suhu yang relatif panas, pada ruangan yang memiliki kelembapan tinggi
dan ruangan yang terpapar cahaya mempengaruhi mutu suatu obat.
Perubahan suhu merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi
mutu obat. Pengendalian menyeluruh dalam pembuatan obat sangat
esensial untuk menjamin konsumen menerima obat yang bermutu tinggi.
Pembuatan secara sembarangan tidak dibenarkan bagi produk yang
digunakan untuk menyelamatkan jiwa atau memulihkan atau memelihara
kesehatan. Tidaklah cukup bagi produk obat dibuat untuk sekedar lulus
dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu
harus dibentuk kedalam produk tersebut.

I.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan pokok
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan pengendalian mutu menurut
peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimanakah kontrol kualitas sediaan maupun pelayanan
kefarmasian?

I.3. Tujuan
Makalah dibuat bertujuan untuk :
1. Mengetahui apakah yang dimaksud dengan pengendalian mutu
menurut perundang-undangan.
2. Mengetahui dan memahami keseluruhan aspek kontrol kualitas baik
sediaan maupun pelayanan kefarmasian.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengendalian Mutu Menurut PMK 72 Tahun 2016


Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian harus dilakukan
pengendalian mutu dengan cara monitoring dan evaluasi. Pengelolaan sediaan
farmasi dan bahan medis habis pakai dilaksanakan secara multidisiplin,
terkoordinir, dan menggunakan proses yang efektif. Dalam ketentuan pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
menyatakan bahwa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai di Rumah Sakit harus menggunakan sistem satu pintu. Alat
kesehatan yang dikelola oleh instalasi farmasi sistem satu pintu berupa alat
medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kotrasepsi
(IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent.
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan
formularium, pengadaan, dan pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan
kepentingan pasien melalui instalasi farmasi. Dengan demikian semua
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang beredar di
Rumah Sakit merupakan tanggung jawab instalasi farmasi, sehingga tidak ada
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di
Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh instalasi farmasi.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, instalasi farmasi sebagai
satu-satunya penyelenggara pelayanan kefarmasian, sehingga fumah Sakit
akan mendapatkan manfaat termasuk dalam hal penjaminan mutu sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, serta peningkatan mutu
pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit. Sediaan yang dibuat di
Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam
penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung
jawabnya. Rumah Sakit harus mempunyai ruang penyimpanan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan, serta harus memperhatikan kondisi sanitasi,
temperatur, sinar/cahaya, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin
mutu produk dan keamanan petugas.
Kegiatan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian meliputi :
a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan
evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan.
b. Pelaksanaan, yaitu:
1) Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja);
2) memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu :
1) melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai target yang
ditetapkan;
2) meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Tahapan program pengendalian mutu :
a. Mendefinisikan kualitas Pelayanan Kefarmasian yang diinginkan dalam
bentuk kriteria;
b. Penilaian kualitas Pelayanan Kefarmasian yang sedang berjalan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan;
c. Pendidikan personel dan peningkatan fasilitas pelayanan bila diperlukan;
d. Penilaian ulang kualitas Pelayanan Kefarmasian;
e. Up date kriteria.
Langkah–langkah dalam aplikasi program pengendalian mutu, meliputi :
a. memilih subyek dari program;
b. tentukan jenis Pelayanan Kefarmasian yang akan dipilih berdasarkan
prioritas;
c. mendefinisikan kriteria suatu Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan
kualitas pelayanan yang diinginkan;
d. mensosialisasikan kriteria Pelayanan Kefarmasian yang dikehendaki;
e. dilakukan sebelum program dimulai dan disosialisasikan pada semua
personil serta menjalin konsensus dan komitmen bersama untuk
mencapainya;
f. melakukan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang sedang berjalan
menggunakan kriteria;
g. apabila ditemukan kekurangan memastikan penyebab dari kekurangan
tersebut;
h. merencanakan formula untuk menghilangkan kekurangan;
i. mengimplementasikan formula yang telah direncanakan;
j. reevaluasi dari mutu pelayanan.
Dalam pelaksanaan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian dilakukan
melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang harus dapat dilaksanakan oleh
instalasi farmasi sendiri atau dilakukan oleh tim audit internal. Monitoring
dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian secara terencana,
sistematis dan terorganisir sebagai umpan balik perbaikan sistem dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan.

2.2 Pengendalian Mutu Menurut PMK Nomor 73 Tahun 2016


Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di Apotek, harus dilakukan
evaluasi mutu pelayananan kefarmasian. Evaluasi mutu di Apotek dilakukan
terhadap :
a. Mutu Manajerial
1) Metode Evaluasi
- Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas
pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan
pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan
standar yang dikehendaki. Oleh karena itu, audit merupakan alat
untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan Pelayanan
Kefarmasian secara sistematis.
- Review
Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan Pelayanan
Kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Review
dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap
pengelolaan Sediaan Farmasi dan seluruh sumber daya yang
digunakan.
- Observasi
Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan Farmasi.
2) Indikator Evaluasi Mutu
- kesesuaian proses terhadap standar
- efektifitas dan efisiensi
b. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik
1) Metode Evaluasi Mutu
- Audit
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap proses dan hasil pelayanan farmasi klinik.
- Review
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap pelayanan farmasi klinik dan seluruh sumber daya yang
digunakan.
- Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Survei dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap mutu pelayanan dengan menggunakan angket/kuesioner
atau wawancara langsung
- Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan
menggunakan cek list atau perekaman. Observasi dilakukan oleh
berdasarkan hasil monitoring terhadap seluruh proses pelayanan
farmasi klinik.
2) Indikator Evaluasi Mutu
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan
adalah :
- Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication
error;
- Standar Prosedur Operasional (SPO): untuk menjamin mutu
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan;
- Lama waktu pelayanan Resep antara 15-30 menit;
- Keluaran Pelayanan Kefarmasian secara klinik berupa
kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya gejala
penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala,
memperlambat perkembangan penyakit.
Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas, harus
dilakukan evaluasi mutu pelayananan kefarmasian. Evaluasi mutu di
Puskesmas dilakukan :
a. monitoring
b. evaluasi
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan
Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan
Kefarmasian (pharmaceutical care).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan
kerja sama.
3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen,
budaya, respon dan tingkat pendidikan masyarakat.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan
evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar.
2. Pelaksanaan, yaitu:
a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan
b. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
a. Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan
b. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah
memuaskan.

2.3 Pengendalian Mutu Menurut CPOB 2012


Kualitas pelayanan meliputi: teknis pelayanan, proses pelayanan, tata
cara/standar prosedur operasional, waktu tunggu untuk mendapatkan
pelayanan.
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan
tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang
membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak
efektif.
Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu
Kebijakan Mutu, yang memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di
semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor.
Unsur dasar manajemen mutu adalah:

a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur


organisasi, prosedur, proses dan sumber daya;
b. Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan
tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan)
yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu.

Semua bagian sistem Pemastian Mutu hendaklah didukung dengan


ketersediaan personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan
yang cukup dan memadai. Tambahan tanggung jawab legal hendaklah
diberikan kepada kepala Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB),
Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek manajemen
mutu yang saling terkait. Konsep tersebut diuraikan di sini untuk menekankan
hubungan dan betapa penting konsep tersebut dalam produksi dan pengawasan
produk.

Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal baik
secara tersendiri maupun secara kolektif, yang akan memengaruhi mutu dari
obat yang dihasilkan. Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang
dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu
yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Karena itu Pemastian Mutu
mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain di luar Pedoman ini, seperti
desain dan pengembangan produk.Sistem Pemastian Mutu yang benar dan
tepat bagi pembuatan obat hendaklah memastikan bahwa:

a. Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang


memerhatikan persyaratan CPOB
b. Semua langkah produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas dan
CPOB diterapkan;
c. Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan;
d. Pengaturan disiapkan untuk pembuatan, pemasokan dan penggunaan
bahan awal dan pengemas yang benar;
e. Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama-proses
lain serta dilakukan validasi;
f. Pengkajian terhadap semua dokumen terkait dengan proses, pengemasan
dan pengujian tiap bets, dilakukan sebelum memberikan pengesahan
pelulusan untuk distribusi produk jadi. Penilaian hendaklah meliputi
semua faktor yang relevan termasuk kondisi produksi, hasil pengujian
selama-proses, pengkajian dokumen pembuatan (termasuk pengemasan),
pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan
persyaratan dari Spesifikasi Produk Jadi dan pemeriksaan produk dalam
kemasan akhir;
g. Obat tidak dijual atau didistribusikan sebelum kepala Manajemen Mutu
(Pemastian Mutu) menyatakan bahwa tiap bets produksi dibuat dan
dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar
dan peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan
mutu dan pelulusan produk;
h. Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa, sedapat
mungkin, produk disimpan, didistribusikan dan selanjutnya ditangani
sedemikian rupa agar mutu tetap dijaga selama masa simpan obat;
i. Tersedia prosedur inspeksi diri dan/atau audit mutu yang secara berkala
mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem Pemastian Mutu;
j. Pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk
memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan;
k. Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat;
l. Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada
mutu produk;
m. Posedur pengolahan ulang produk dievaluasi dan disetujui; dan
n. Evaluasi berkala mutu obat dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses
dan memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan.

2.4 Pengendalian mutu sediaan menurut USP tahun 2014


Berdasarkan USP (2014) Kontrol kualitas dapat dikategorikan menjadi
tiga yaitu,
1. Sediaan steril
Sediaan steril ini mengupayakan mempertahankan sterilitas dan
kebebasan keseluruhan dari kontaminasi CSP. Hal yang diperhatikan yaitu
penanganan keluhan dan pelaporan kejadian efek samping
2. Sediaan non steril, dan
Hal ini dilakukan pada pemeriksaan terakhir, peracik harus meninjau
setiap prosedur dalam proses compounding/ pencampuran. Kontrol
peracikan mencakup:
- Catatan master formula, catatan pencampuran dihubungkan dengan
prosedur tertulis yang seharusnya diikuti saat melakukan proses
pencampuran.
- Peracik harus selalu mengecek dan re-check kembali prosedur pada setiap
tahapan proses.
- Peracik harus menetapkan prosedur tertulis yang menjelaskan tes atau
pemeriksaan yang dilakukan pada persiapan peracikan.
- Prosedur kontrol yang tepat harus ditetapkan untuk memonitor output dan
untuk memverifikasi kinerja
3. Obat berbahaya (Hazardous drug/HD)
Pembersihan residu permukaan HD harus dilakukan secara rutin (setidaknya
setiap 6 bulan, atau lebih sering sesuai kebutuhan, untuk memverifikasi
kontaminasi).

2.5 Pengendalian mutu sediaan menurut NAPRA


Berdasarkan NAPRA kontrol kualitas dapat dikategorikan menjadi tiga
yaitu,
1. Sediaan Non-Steril, meliputi
- Menentukan prosedur untuk mengetahui jumlah lot dari persiapan
campuran akhir.
- Menentukan semua prosedur kontrol kualitas yang dilakukan selama
peracikan dan didokumentasikan oleh teknisi farmasi dan / atau
apoteker
- Menentukan semua kontrol kualitas yang dilakukan oleh apoteker pada
persiapan akhir non-steril.
- Menunjukkan spesifikasi yang diharapkan. Dimana spesifikasi ini
meliputi Bersih, larutan tidak berwarna tanpa partikel yang terlihat.
2. Sediaan Steril Tidak Berbahaya
Menghasilkan informasi yang menunjukkan bahwa personel, fasilitas,
dan peralatan (PEC, dll) mencapai dan memelihara kondisi yang
diperlukan untuk peracikan sediaan steril yang bebas kontaminasi dan
persiapan steril tersebut diracik sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
3. Sediaan Steril Berbahaya
Jika tidak ada pengujian sterilitas yang spesifik, supervisior harus
menetapkan BUD berdasarkan kriteria berikut :
- Tanggal kadaluarsa berdasarkan stabilitas fisik dan kimia
- Waktu penyimpanan terkait dengan resiko kontaminasi oleh mikroba
Verifikasi dapat dilakukan dalam satu dari tiga cara:
1. pengamatan langsung selama peracikan;
2. melihat identitas dan jumlah bahan melalui jendela observasi yang
terletak dekat dengan C-PEC;
3. pengamatan jarak jauh menggunakan kamera digital yang terhubung
ke monitor
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengendalian Mutu adalah suatu kegiatan untuk menjamin mutu pelayanan
kefarmasian yang dilakukan dengan cara monitoring dan evaluasi yang
meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir, dan menggunakan proses yang
efektif.
2. Kontrol kualitas berdasarkan USP (2014) dapat dikategorikan menjadi tiga
yaitu, Sediaan steril yang mengupayakan mempertahankan sterilitas dan
kebebasan keseluruhan dari kontaminasi CSP; Sediaan non steril meliputi
peracik harus meninjau setiap prosedur dalam proses compounding/
pencampuran; Obat berbahaya (Hazardous drug/HD) meliputi pembersihan
residu permukaan HD harus dilakukan secara rutin (setidaknya setiap 6 bulan.
Kemudian kontrol kualitas berdasarkan NAPRA dapat dikategorikan menjadi
tiga yaitu Sediaan Non-Steril, meliputi penentuan semua prosedur kontrol
kualitas yang dilakukan selama peracikan dan didokumentasikan oleh teknisi
farmasi dan / atau apoteker; Sediaan Steril Tidak Berbahaya yang meliputi
persiapan steril tersebut diracik sesuai dengan prosedur yang ditetapkan;
Sediaan Steril Berbahaya yang meliputi verifikasi yang dapat dilakukan dalam
satu dari tiga cara yaitu pengamatan langsung selama peracikan; melihat
identitas dan jumlah bahan melalui jendela observasi yang terletak dekat
dengan C-PEC; pengamatan jarak jauh menggunakan kamera digital yang
terhubung ke monitor.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tentang Standar


Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Kementrian Kesehatan. Jakarta.
Anonim. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tentang Standar
Pelayanan Kesehatan di Apotek. Kementrian Kesehatan. Jakarta.
BPOM. 2012. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat Yang Baik.
Jakarta.
National Association of Pharmacy Regulatory Authorities, 2017, Online
Pharmacies, http://napra.ca/online-pharmacies, 17 Oktober 2017.
USP. The United States Pharmacopeia : the National Formulary, USP 37 NF 32
Supplement 1. 2014. Rockville, Md: United States Pharmacopeial
Conventio.

Anda mungkin juga menyukai