Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PELAYANAN KEFARMASIAN

Disusun Oleh :

1. Hanifah Nur Fadhilah (1908020130)


2. Eri Setyaningrum (1908020142)
3. Aprilia Suryani (1908020202)
4. Rabi’atul Muawanah (1908020212)
5. Aditya Yuliandaru P (1908020225)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan
untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum
bagi tenaga kefarmasian; dan melindungi pasien serta masyarakat dari
penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety) (Anonim, 2016).
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian yang
menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obatserta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan
kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada
pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan
komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Apoteker harus
memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah,
serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problems). Untuk
menghindari hal tersebut, apoteker harus menjalankan praktik kefarmasian
sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung
penggunaan obat yang rasional. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pengertian obat berkembang menjadi lebih luas
mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan
obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui
tujuan akhir pengobatan, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.
Disfungsi ereksi adalah kegagalan penis dalam mencapai ereksi yang
cukup untuk melakukan sexual intercourse. Disfungsi ereksi paling banyak
terjadi pada lelaki lebih muda dari 40 tahun tetapi meningkat sesuai usia.
Disfungsi ereksi diasumsikan sebagai gejala proses penuaan pada laki-laki dan
diduga beruhubungan dengan kondisi medis pasien (hipertensi, aterosklerosis,
hiperlipidemia, DM, dan ganggaun psikiatrik) atau efek dari obat yang sedang
dikonsumsi untuk penyakit tersebut (Kharisma, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
masalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit disfungsi ereksi?
2. Bagaimanakah assasment dari penyakit disfungsi ereksi?
3. Bagaimanakah peran seorang apoteker terhadap kasus penyakit disfungsi
ereksi?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang penyakit disfungsi ereksi.
2. Untuk mengetahui bagaimana assessment dari kasus penyakit disfungsi
ereksi.
3. Untuk mengetahui peran seorang apoteker dalam menangani kasus
penyakit disfungsi ereksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Disfungsi Ereksi
Disfungsi seksual pada laki-laki merupakan ketidakmampuan untuk
mencapai kepuasan pada hubungan seksual, dapat berupa masalah ereksi atau
emisi,serta ejakulasi maupun orgasme. Beberapa keadaan lain juga disebut
disfungsi seksual seperti peningkatan atau penuruan libido dan infertil.
Disfungsi ereksi (impotensi) yaitu kegagalan penis dalam mencapai ereksi
yang cukup untuk melakukan sexual intercourse, sedangkan yang dimaksud
dengan ejakulasi prematur adalah ejakulasi tak terkontrol sebelum atau segera
setelah masuk vagina. Hal sebaliknya dapat terjadi yaitu ejakulasi lambat dan
ejakulasi retrogard. Infertil merupakan kondisi insufisiensi jumlah sperma
atau motilitas tidak adekuat sehingga gagal membuahi ovum, pasien dapat
menderita satu atau lebih disfungsi seksual (Lue, 2005).
Disfungsi ereksi dapat diakibatkan oleh faktor psikis dan faktor organik.
Penyebab-penyebab yang bersifat psikis adalah semua faktor dalam periode
kehidupan mulai dari anak hingga usia dewasa. Faktor-faktor dalam
kehidupan ini dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor
presipitasi, dan faktor pembinaan. Beberapa hal yang tergolong faktor
predisposisi adalah pandangan negatif tentang seks, trauma seks, pendidikan
tentang seks yang kurang, hubungan keluarga yang terganggu, dan tipe
kepribadian.Keadaan yang tergolong dalam faktor presipitasi antara lain
akibat psikis karena penyakit atau gangguan fisik, proses penuaan,
ketidaksetiaan terhadap pasangan, harapan yang berlebihan, depresi,
kecemasan dan kehilangan pasangan. Sedangkan hal yang tergolong faktor
pembinaan adalah pengaruh pengalaman sebelumnya, hilangnya daya tarik
pasangan, komunikasi yang tidak baik dan takut yang berkaitan dengan
keintiman.
2.2 Kasus
Bapak Asep dan istrinya ibu Neneng datang ke Apotek dengan wajah
ragu-ragu dan malu-malu seolah ingin menyampaikan sesuatu. Setelah diajak
ke ruang konseling yang tertutup, kedua pasien tersebut bercerita tentang
permasalahan pribadinya. Ternyata bapak Asep ini seringkali dalam
berhubungan intim dengan istrinya tidak mampu memberikan rasa puas dan
seringkali membuat ibu Neneng kecewa. Tentu saja hal tersebut membuat
hubungan keluarga menjadi kurang harmonis, oleh karena itu kedua pasien
tersebut berkonsultasi kepada apoteker yang sedang berpraktek di Apotek
untuk mengatasi permasalahannya. Bapak Asep mengatakan berapun harga
obat yang disarankan akan beliau beli asal istrinya bahagia, terlebih pak asep
typical pekerja keras sehingga penghasilannya lumayan besar. Sebagai
apoteker profesional, asuhan kefarmasian apa yang dapat disarankan kepada
bapak Asep dan ibu Neneng agar permasalahannya dapat segera teratasi?
2.3 Assessment
Anamnesis mengenai penggunaan obat dan aktivitas seksual pasien
merupakan hal yang penting. Pasien dapat diberikan pertanyaan mengenai
fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat dan kepuasan setelah melakukan
hubungan seksual, riwayat penyakit, riwayat keluarga, dan gaya hidup pasien.
Manifestasi klinik dari kasus bapak Asep yang mengalami penurunan fungsi
organ reproduksi laki-laki saat berhubungan intim menyebabkan menurunnya
stamina karena tidak dapat mencapai ereksi atau tidak dapat menahan ereksi,
hal tersebut berpengaruh pada emosional seperti depresi, ansietas atau malu,
hubungan keluarga terganggu, dan menghindari keintiman. Mengidentifikasi
penyebab faktor risiko disfungsi ereksi seperti hipertensi dan diabetes melitus
harus diobati. Pasien juga harus membiasakan hidup yang sehat agar penyakit
dapat teratasi, tetapi jika gagal maka diperlukan terapi yang lebih spesifik.
2.4 Algoritma Terapi

Pasien Disfungsi Ereksi

Drug Induced Impotence Organic Impotence Psycogenic Impotence

1. Discontinue Oral VED 1. Psychoterapy


Offending Drug OR Phosfodiesterase 2. Behavior
2. Reduce Drug Inhibitor Modification

Effective = Continue Ineffective Ineffective Effective = Continue

Intracavernosum Therapy

Effective = Continue Ineffective

Penile Prothesis
2.5 KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
Setelah Apoteker merekomendasikan obat yang tepat dan efektif yang
kemudian akan diserahkan kepada apasien, maka Apoteker hendaklah
melakukan komunikasi dengan pasien, memberi informasi tentang terapi
pengobatan dan memberi edukasi tentang penyakit maupun pengobatan
bilamana ada informasi yang belum diketahui atau harus diketahui oleh
pasien. KIE tersebut dilakukan saat melakukan dispensing kepada pasien di
Apotek.
Apoteker harus menerapkan prinsip komunikasi yang efektif terhadap
pasien, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien dan
melakukan komunikasi dengan bahasa tubuh yang baik.
Kemudian memberikan informasi tentang terapi pengobatannya meliputi
jenis obat, nama obat, dosis, indikasi, aturan pakai, cara penggunaannya, efek
samping, kandungan obatnya hingga cara penyimpanannya.S
Seorang Apoteker juga harus mengedukasi pasien tidak hanya
menjelaskan tentang obat yang akan dikomsumsi tetapi harus juga
memberitahu informasi lain yang menunjang pengobatan seperti terapi non
farmakologis, makanan yang harus dihindari atau gaya hidup yang sehat,
semuanya itu bertujuan untuk membantu meningkatkan kualitas hidup pasien.
BAB III
PEMBAHASAN

2.5 Rekomendasi Obat


Apoteker akan merekomendasikan obat selain obat golongan
Phospodiesterase Inhibitor karena obat-obatan tersebut harus diperoleh
dengan resep Dokter, sedangkan pasien ketika datang ke Apotek belum
periksa ke Dokter, maka Apoteker merekomendasikan golongan obat yang
lain yaitu obat Fitofarmaka.

Deskripsi Obat
Nama Obat : X-GRA
Indikasi : Meningkatkan sttamina dan kesegaran tubuh
Kategori : Vitamin % Suplemen
Komposisi : Ekstrak Ganoderma Lucidum 150 mg
Eurycomae Radix 50 mg
Ekstrak Gingseng 30 mg
Ekstrak Retrofracti Fructus 2,5 mg
Royal Jelly 5 mg
Dosis : 2 kapsul / hari diminum sebelum tidur minimal
selama 1 bulan
Aturan Pakai : Berikan sesudah makan
Kemasan : Kapsul 150 mg x 4 x 10
Kontra Indikasi : Hipersensitivitas
Perhatian : Hipersensitif terhadap bahan obat, kanker prostat,
hipertensi berat dan gagal ginjal
Segmentasi : Vitamin & Suplemen
Manufaktur : Phapros
Fitofarmaka merupakan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan dengan unji klinis yang sudah
dilalui. Saat ini sudah beberapa diproduksi produk Fitofarmaka di Indonesia,
salah satunya adalah X-GRA yaitu campuran dari beberapa bahan alam
(Ekstrak Ganoderma Lucidum 150 mg, Eurycomae Radix 50 mg, Ekstrak,
Gingseng 30 mg, Ekstrak Retrofracti Fructus 2,5 mg) yang dapat mengobati
disfungsi ereksi yang dialamai oleh pasien.
3.1 Terapi Non Farmakologi
Selain pengobatan menggunakan obat untuk mengatasi permasalahan
klinis pasien, perlu juga adanya terapi non-klinis yang akan sangat membantu
unbtuk kesembuhan pasien. Bisa saja penyebab dari penyakit Disfungsi
Ereksi yang dialami pasien adalah karena faktor psikologis (stress, gangguan
mental dll). Untuk itu sangat diperlukan terapi penunjang untuk membantu
kesembuhan pasien.
Terapi Non-Farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu:
1) VED (Vacum Erection Device)
VED merupakan terapi lini pertama yang dipilih untuk pasien yang
sebenarnya sudah memiliki hubungan seksual yang rutin dan stabil
bersama pasangannya. Terapi ini menggunakan vakum yang dihubungkan
dengan penis, onset aksi dari terapi lambat yaitu 3-20 menit, artinya
pasien dapat meningkatkan kemampuan ereksi setelah 3-20 menit vakum
selsesai dilakukan.
2) Modifikasi Gaya Hidup
Pasien yang mengalami disfungsi ereksi harus menjalani gaya
hidup sehat secara berkesinambungan. Adapun gaya hidup yang
bermanfaat untuk menunjang terapi disfungsi ereksi antara lain mengatur
diet makanan (mengurangi makanan berkolestero), rajin berolahraga
untuk menjaga kebugaran fisik, menjaga berat badan ideal, mengurangi
intensitas merokok danb minum-minuman beralkohol, mengendalikan
pikiran agar tidak mengalami stres dan tidak menggunakan obat-obatan
terlarang (Chisholm-Burns, 2008).
3) Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pendekatan pengobatan yang tepat untuk
pasien dengan disfungsi psikogenik atau campuran. Psikoterapi dilakukan
untuk mengatasi penyebab disfungsi dan diharapkan pasangan dapat
berpartisipasi dengan menghadiri sesi psikoterapi. Dalam menghadapi
disfungsi organik, psikoterapi tidak dapat bekerja secara efektif kecuali
dikombinasikan dengan terapi lain (Chisholm-Burns, 2008).
4) Penil Prostesis
Penil prostesis dapat berupa batangan yang semi kaku atau karet yang
lembut yang dimasukkan melalui pembedahan ke dalam corpus
cavernosum (penis) untuk memungkinkan terjadinya ereksi. Resiko utama
dari penyisipan protesis adalah terjadinya infeksi dan kemungkinan
kegagalan prostesis yang dipasang. Rata-rat terjadinya tingkat infeksi
yang tinggi disebabkan oleh adanya penyakit diabetes yang tidak
terkontrol (Chisholm-Burns, 2008).
3.2 Swamedikasi
Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah
pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern maupun obat tradisional
oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya.
Swamedikasi akan memberikan manfaat yang besar berkaitan dengan
penggunaan obat yang rasioal untuk kesehatan jika dilakukan secara tepat.
Namun juga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti tidak
sembuhnya penyakit atau munculnya penyakit baru karena obat tersebut.
Oleh karena iu untuk melakukan swamedikasi secara aman, efektif dan
terjangkau, masyarakat perlu informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang
jelas dan benar.
Dalam kasus ini seorang apoteker harus menggali terlebih dahulu
masalah yang dihadapi oleh pasien yang datang ke pusat pelayanan kesehatan
untuk menemukan solusi yang tepat. Masalah yang dihadapi oleh pasien
adalah seringkali dalam berhubungan intim dengan istrinya, Bapak Asep
tidak mampu memberikan rasa puas sehingga menyebabkan istrinya menjadi
kecewa. Hal ini pula menyebabkan keharmonisan dalam keluarga tersebut
berkurang. Dalam hal ini apoteker menanyakan kepada pasien terkait apakah
ada riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat atau faktor lain yang
menyebabkan hal tersebut terjadi sehingga apoteker dapat membantu
menemukan solusi yang tepat untuk pasien. Namun dalam kasus tidak
disebutkan adanya faktor penunjang yang dapat membuat hal tersebut terjadi.
Asuhan kefarmasian yang direkomendasikan oleh apoteker adalah
memeriksakan ke dokter terlebih dahulu untuk mengetahui penyebab yang
terjadi sehingga bisa langsung dilakukan tindakan medis yang cepat. Selain
itu apoteker juga merekomendasikan pada Bapak Asep dan Ibu Neneng untuk
mengubah gaya hidup yang lebih sehat dengan cara tidak stres, tidak
merokok, mengurangi konsumsi kopi (kafein), rajin berolahraga setiap hari
minimal 30 menit dan makan makanan yang bergizi (banyak sayur dan buah).
Untuk rekomendasi terapi yang dibutuhkan, apoteker merekomendasikan
obat fitofarmaka yaitu X-GRA yang didalamnya mengandung bahan-bahan
alam diantaranya Ekstrak Ganoderma Lucidum 150 mg, Eurycomae Radix 50
mg, Ekstrak, Gingseng 30 mg, Ekstrak Retrofracti Fructus 2,5 mg yang dapat
membantu mengurangi masalah/keluahan yang dialami oleh Bapak Asep.
Obat tersebut diminum 2 kali dalam sehari setelah makan selama minimal 1
bulan. Obat ini berfungsi sebagai peningkat stamina dan kesegaran bagi
tubuh (vitamin). Selain itu juga Bapak Asep dan Ibu Neneng bisa
mempelajari pandangan tentang seks dan memeriksakan diri ke dokter.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Disfungsi ereksi adalah kegagalan penis dalam mencapai ereksi
yang cukup untuk melakukan sexual intercourse. Disfungsi ereksi paling
banyak terjadi pada lelaki lebih muda dari 40 tahun tetapi meningkat
sesuai usia. Anamnesis mengenai penggunaan obat dan aktivitas seksual
pasien merupakan hal yang penting. Pasien dapat diberikan pertanyaan
mengenai fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat dan kepuasan setelah
melakukan hubungan seksual, riwayat penyakit, riwayat keluarga, dan
gaya hidup pasien.

B. SARAN
Apoteker harus menggali terlebih dahulu masalah yang dihadapi
oleh pasien yang datang ke pusat pelayanan kesehatan untuk menemukan
solusi yang tepat, dengan memberikan solusi terapi yang sesuai dengan
swamedikasi dan memberikan informasi serta edukasi yang lengkap
kepada pasien agar meningkatkan efektivitas terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Lue TF, Male Sexual Dysfunction, in Tanagho editor, Smith’s general Urology,
New York, Mc Graw-Hill, 2000, pp. 788-805

Lee M, Erectile Dysfunction, in DiPiro editor, Pharmacotherapy, A


Pathophysiologic Approach, USA, McGraw-Hill, 6 th ed., 2005.pp. 1515-
1531

Katzung BG, Chatterjee K, Vasodilators and The Treatment of Angina Pectoris, in


Katzung editor, Basic and Clinical Pharmacology, Asia, McGraw-Hill,9 th
ed., 2004, p. 189

Campbell WB, Halushka PV, Lipid-derived Autacoids in Hardman editor,


Goodman & Gillman’S The Pharmacological Basis of Therapeutics, USA,
McGraw-Hill, 10th ed.,2001, p. 679

Anda mungkin juga menyukai