Anda di halaman 1dari 4

KONSELING PADA PASIEN GERIATRI

 3 Maret 2021  hisfarsidiy  0 Komentar geriatri, lansia


Oleh : apt . Martina Nur Laeli, S Farm
Rumah Sakit Nur Rohmah Gunungkidul

Pelayanan informasi obat sangat diperlukan, terlebih lagi banyak pasien yang belum
mendapatkan informasi obat secara memadai tentang obat yang digunakan, karena
penggunaan obat yang tidak benar dan ketidakpatuhan meminum obat bisa membahayakan.
Pelayanan informasi obat berupa konseling ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan
memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat. Salah satu manfaat dari konseling
adalah meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka kematian
dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan (Tumiwa dkk.,
2014)

 Penggolongan warga usia lanjut dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang Kesejahteraan
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih. Pada usia tersebut
terjadi proses penuaan yang bersifat universal antara lain kemunduran dari fungsi biosel,
jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif, dan intrinsik.
Proses penuaan mengakibatkan terjadinya pembahan pada berbagai organ di dalam tubuh
seperti sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem immunologis,
sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut perlu
dilakukan penyesuaian terhadap terapi pengobatan pada pasien usia lanjut. Farmakokinetika
dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda dari pasien muda karena beberapa
hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi tubuh, perubahan faal hati terkait
metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait ekskresi obat serta kondisi multipatologi.

A. Perubahan farmakokinetik
Usia yang semakin bertambah dapat meningkatkan terjadinya akiorhidria (berkurangnya
produksi asam lambung). Hal tersebut mempengaruhi obat-obat yang absorbsinya
dipengaruhi oleh keasaman lambung sebagai contoh ketokonazol, flukonazol, indometasin,
tetrasiklin dan siprofloksasin.

Distribusi obat
Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh yaitu terjadi
peningkatan komposisi lemak tubuh. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi
obat di dalam plasma. Distribusi obat larut lemak (lipofilik) akan meningkat dan distribusi
obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik di plasma akan
meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis obat hidrofilik mungkin harus
diturunkan sedangkan interval waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan.
Kadar albumin dan a1 -acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi distribusi obat dalam
tubuh.

Tinggi rendahnya kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-obat yang afinitasnya
terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen. Kadar naproxen bebas dalam plasma
sangat dipengaruhi oleh afinitasnya pada albumin. Pada kadar albumin normal maka kadar
obat bebas juga normal; pada kadar albumin yang rendah maka kadar obat bebas akan sangat
meningkat sehingga berbahaya efek samping menjadi lebih besar.

Faal hepar
Massa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran darah ke hepar juga
berkurang. Secara umum metabolisme obat di hepar (biotransformasi) terjadi di retikulum
endoplasmik dengan bantuan enzim mikrosom. Biotransformasi biasanya mengakibatkan
molekul obat menjadi lebih polar sehingga kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan
melalui ginjai. Reaksi kimia yang terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1) dan reaksi
konyugasi (fase 2). Reaksi fase satu biasanya terganggu dengan bertambahnya umur, gaya
hidup tidak sehat dan penyakit yang diderita pasien. Keadaan-keadaan tersebut dapat
mengakibatkan kecepatan biotransformasi obat berkurang dengan kemungkinan terjadinya
peningkatan efek toksik obat.

Faal ginjal
 Fungsi ginjai akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur. Menurunnya
GFR pada usia lanjut maka diperlukan penyesuaian dosis obat. Pemberian obat pada pasien
geriatri tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai organ yang akan mengekskresikan sisa
obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya akumulasi obat yang pada akhirnya bisa
menimbulkan efek toksik. Patokan penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari informasi
tentang waktu paruh obat (t ½) contohnya : antipyrine, distribusi plasma menurun, clearance
juga menurun sehingga hasil akhir t ½ tidak berubah. Sebaliknya pada obat flurazepam,
terdapat sedikit peningkatan volume distribusi dan sedikit penurunan clearance maka hasil
akhirnya adalah meningkatnya waktu paruh yang cukup besar.

B. PERUBAHAN FARMAKODINAMIKA
Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang
mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang. Warfarin:
perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah akibat perubahan
farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis faktor-
faktor pembekuan pada usia lanjut. Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa
perubahan farmakokinetik yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut
sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa
pemberian diazepam intravena pada pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih kecil
dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat
dibandingkan pada usia dewasa muda. Triazolam: pemberian obat ini pada warga usia lanjut
dapat mengakibatkan postural swaynya bertambah besar secara signifikan dibandingkan
dewasa muda. Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada pemakaian
obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada usia
50 – 65 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25 – 30 tahun.
C. KARAKTERISTIK LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TERAPI OBAT
Pada kelompok pasien berusia lanjut juga terjadi apa yang disebut sebagai multipatologi; satu
pasien menderita beberapa penyakit. Kondisi akut yang teijadi pada seseorang dengan
berbagai penyakit kronik degeneratif acap kali menambah daftar obat yang harus dikonsumsi
pasien. Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada pasien bisa lebih
dari dua macam(polifarmas). Hal ini terkait dengan multipatologi yang merupakan salah satu
karakteristik pasien geriatri. Semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula
risiko untuk terjadinya efek samping; dan yang lebih berbahaya lagi adalah bertambah pula
kemungkinan terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut.

Kegiatan konseling obat dilakukan oleh tenaga profesi dalam hal ini Apoteker yang
mempunyai kompetensi dalam pemberian konseling obat. Apoteker yang melaksanakan
kegiatan konseling harus memahami baik aspek farmakoterapi obat maupun teknik
berkomunikasi dengan pasien. Dalam mewujudkan pelayanan konseling yang baik maka
kemampuan komunikasi harus ditingkatkan agar terjalin komunikasi yang efektif dan intensif
antara apoteker dengan pasien khususnya pasien geriatri.

Strategi komunikasi yang dapat dipakai oleh apoteker dalam melaksanakan konseling adalah
sebagai berikut:

1. Membantu dengan cara bersahabat: Pasien yang pasif akan mempersulit apoteker untuk
membuat kesepakatan dan memberikan bantuan pengobatan. Sangat penting bagi apoteker
untuk menciptakan suasana yang bersahabat dengan pasien, ini akan mempengaruhi suasana
hati pasien dan pasien menjadi percaya kepada apoteker. Apoteker dapat memulai konseling
dengan menyapa pasien dengan namanya, memperkenalkan diri, memberikan sedikit waktu
untuk pembicaiaan umum sebelum memulai pembicaraan tentang pengobatan. Selama
konseling berlangsung maka apoteker harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap
perkataan pasien. Selain itu apoteker juga harus memperhatikan bahasa tubuhnya agar pasien
merasa lebih dihargai.
2. Menunjukkan rasa empati pada pasien Sangat penting adanya perasaan empati pada pasien
selama sesi konseling dilakukan. Ketika apoteker menunjukkan rasa empati maka pasien akan
merasa apoteker peduli kepadanya. Penting bagi apoteker untuk tahu tentang kebutuhan
pasien, ketertarikan pasien, motivasi, tingkat pendidikan agar dapat disesuaikan dengan
informasi yang akan diberikan oleh apoteker. Menunjukkan rasa empati berarti bahwa
komunikasi berjalan dengan baik.
3. Kemampuan nonverbal dalam berkomunikasi
Ada beberapa kemampuan nonverbal yang sangat membantu keberhasilan konseiing antara
apoteker dan pasien, yaitu :

 Senyunan dan wajah yang bersahabat, apoteker harus menunjukkan perasaan yang bahagia
saat akan melakukan konseiling, karena ekspresi wajah apoteker akan mempengamhi suasana
hati pasien.
 Kontak mata, kontak mata langsung boleh terjadi 50% sampai 75% selama sesi konseiling.
 Gerakan tubuh, hams dilakukan seefektif mungkin. Jika terlalu berlebihan kadang akan
mempengamhi mood pasien. Sentuhan pada pasien juga kadang dibutuhkan untuk
membuarnya merasa tenang.
 Jarak antara apoteker dan pasien, jarak yang terlalu jauh membuat komunikasi menjadi tidak
efektif, begitu juga dengan jarak yang terlalu dekat. Sehinggga posisi dan jarak duduk antara
apoteker dan pasien diatur agar pasien merasa nyaman.
 Intonasi Suara, selama komunikasi berlangsung intonasi suara apoteker hams diperhatikan.
Suara yang terlalu pelan atau keras membuat komunikasi menjadi tidak efektif.
 Penampilan apoteker yang bersih dan rapih membuat pasien merasa lebih nyaman.
Alat Bantu Konseling
Agar konseling menjadi lebih efektif ada beberapa alat bantu yang dapat digunakan. Alat
bantu yang digunakan terdiri dari perlengkapan yang diperlukan oleh apoteker sebagai
konselor dalam melakukan konseling maupun alat bantu yang diberikan kepada pasien.
Perlengkapan Apoteker dalam melaksanakan konseling :

1. Panduan konseling, berisi daftar (check list) untuk mengingatkan Apoteker point-point
konseling yang penting.
2. Kartu Pasien, berisi identitas pasien dan catatan kunjungan pasien
3. Literatur pendukung
4. Brosur tentang obat-obat tertentu, memberikan kesempatan kepada pasien untuk membaca
lagi jika lupa.
5. Alat peraga, dapat menggunakan audiovisual, gambar-gambar, poster, maupun sediaan yang
berisi placebo.
6. Alat komunikasi untuk mengingatkan pasien untuk mendapatkan lanjutan pengobatan.2
Alat bantu yang diberikan kepada pasien

Alat bantu pengingat pasien minum obat biasanya diperlukan pada pengobatan penyakit
kronis atau penyakit-penyakit lain yang membutuhkan terapi jangka panjang memerlukan
kepatuhan dalam penggunaannya. Misalnya: penggunaan analgesik untuk nyeri kanker,
penggunaan obat anti TBC, penggunaan obat anti retroviral, terapi stroke, diabetes, dll. Alat
bantu yang diberikan berupa:

1. Kartu pengingat pengobatan, kartu ini diberikan Apoteker kepada pasien untuk memantau
penggunaan obat pasien. Pasien dapat memberikan tanda pada kartu tersebut setiap harinya
sesuai dengan dosis yang diterimanya. Kartu tersebut memuat nama pasien, nama obat, jam
minum obat, tanggal pasien hams mengambil (refill) obat kembali.
2. Pemberian Label, sebagian pasien membutuhkan bantuan untuk membaca label instruksi
pengobatan yang terdapat pada obamya.
3. Medication chart, bempa bagan waktu minum obat. Biasanya dibuat untuk pasien dengan
regimen pengobatan yang kompleks atau pasien yang sulit memahami regimen pengobatan.
4. Pil dispenser, akan membantu pasien untuk mengingat jadwal minum obat dan menghindari
kelupaan jika pasien melakukan perjalanan jauh dari rumah. Wadah pil dispenser bisa untuk
persediaan harian maupun mingguan.
5. Kemasan penggunaan obat per dosis unit, pengemasan obat per unit dosis membutuhkan
peralatan yang mahal. Dapat dilaksanakan jika regimen pengobatan terstandar dan mempakan
program pemerintah.
Daftar Pustaka
Tumiwa, N.G, Paulina V.Y. Yamlean, Gayatri Citraningtyas,. 2014. Pelayanan Informasi
Obat Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Geriatri Di Instalasi Rawat Inap Rsup Prof.
Dr. R.D. Kandou.PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 3 No. 3:Manado.
Undang-undang No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

Departemen Kesehatan Rl.2004. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat)


Untuk Pasien Geriatri. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan:Jakarta
Departemen Kesehatan Rl.2004. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Dl Sarana
Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian Dan Alat Kesehatan:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai