Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PCD

“MONITORING EFEK SAMPING OBAT”

Dosen Pengampu :

apt. Ghani Nurfiana Fadma Sari, M. Farm

Disusun Oleh :

Yohanes Nugroho Dwi Saputro (2120414684)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat (Menkes RI, 2014). Pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian
mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk
(drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented)
dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Menkes RI, 2014). Instalasi
Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian di rumah sakit (Menkes RI, 2014).
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit bertujuan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Standar pelayanan kefarmasian
adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan peayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit
meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan
pelayanan farmasi klinik (Menkes RI, 2014).
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan resiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan Farmasi Klinik yang
dilakukan meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsilisasi obat, pelayan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat
(PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO),
dispensing sediaan steril dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD) (Menkes RI,
2014). Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan
perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi
pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang harunya dilakukan dalam melakukan monitoring ?
2. Apa yang harus disarankan dalam melakukan monitoring ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang harus dilakukan ketika monitoring.
2. Mampu memberikan saran saran dalam upaya peningkatan monitoring efek samping
obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


1. Pengertian MESO
Efek Samping Obat merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas di fasilitas perawatan kesehatan di seluruh dunia. Di India, insiden ESO serius
terjadi sekitar 6,7% (Desai,et al 2011). Tumwikirize,et al (2011) menyatakan bahwa
4,5% pasien mengaku mengalami efek samping obat dan efek samping obat merupakan
alasan untuk dirawat inap pada 1,5% pasien. Sebuah studi di Amerika Serikat
menemukan efek samping obat menjadi penyabab kematian keempat dan menyumbang
6,7% dari penerimaan rumah sakit. Di negara barat , diperkirakan reaksi obat merugikan
sebesar 6,7% terjadi pada pasien rumah sakit dan bertanggung jawab pada sekitar 5-9%
dari biaya rawat inap.
Untuk upaya peningkatan kesehatan dilakukan dengan cara memonitoring efek
samping obat dilakukan dengan Form berwarna kuning dan bernama Form MESO.
Program ini dilakukan secara berkesinambungan untuk mendukung upaya jaminan atas
keamanan obat, sejalan pelaksanaan evaluasi aspek efikasi, MESO oleh tenaga kesehatan
di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting). Monitoring tersebut dilakukan
terhadap seluruh obat yang beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di
Indonesia.
2. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat
MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary
reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal
sebagai Form Kuning Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan
digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga
pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu
tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius
dan jarang terjadi (rare). Petugas Yang Terlibat dalam Melakukan MESO DI rumah
sakit Merupakan salah satu tugas PFT Tim Meso dalam PFT adalah : Para Klinisi
Terkait , Ahli Farmakologi , Apoteker dan Perawat.
B. Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah untuk menandakan adanya perpecahan (schism) antara
pikiran, emosi, dan perilaku pada seseorang. Gejala fundamental spesifik untuk
skizofrenia, termasuk suatu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi,
khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif,
autism dan ambivalensi. (Kaplan dkk., 2010).
Dalam DSM-IV dijelaskan gejala karakteristik untuk skizofrenia harus meliputi
dua atau lebih gejala yaitu: (1) waham, (2) halusinasi, (3) bicara terdisorganisasi, (4)
perilaku terdisorganisasi atau katatonik jelas, dan (5) gejala negatif seperti pendataran
afektif, alogia, atau avolition. Skizofrenia juga ditandai dengan adanya disfungsi sosial
seperti: menurunnya pekerjaan, hubungan interpersonal ataupun intrapersonal.
2. Jenis-jenis skizofrenia

Pembagian jenis skizofrenia yaitu terdiri dari :


1. Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai pada usia 30 tahun. Permulaannya subakut tetapi
juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan shizoid.
Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada
orang lain.
2. Skizofrenia hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja
atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir,
gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan
psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering
terdapat pada skizofrenia heberfrenik, waham dan halusinasinya banyak sekali.
3. Skizofrenia katatonik
Timbulnya pertama kali antara usia 15 sampai 30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau
stupor katatonik. Gejala yang penting adalah gejala psikomotor seperti:
a. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup, muka tanpa mimik, seperti topeng,
stupor penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang sangat lama, beberapa hari,
bahkan kadang-kadang beberapa bulan.
b. Bila diganti posisinya penderita menentang.
c. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut dan
meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
d. Terdapat grimas dan katalepsi.
4. Skizofrenia simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis simplex
adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya
sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali ditemukan.
5. Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu
episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kea rah gejala negative yang
lebih menonjol. Gejala negative terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas,
penumpukan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi
nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
3. Patofisiologi

Skizofrenia adalah penyakit kronis dengan gejala heterogen. Skizofrenia dapat digolongkan pada
tiga dimensi, yakni gejala positif, gejala negarif, dan disorganisasi. Perjalanan klinis gangguan
skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan meliputi beberapa fase, dimulai dengan keadaan
prodromal (awal sakit), fase aktif, dan keadaan residual (sisa).
1. Fase prodromal
Fase prodromal adalah tanda dan gejala awal suatu penyakit. Pemahaman pada fase
prodromal menjadi sangat penting untuk deteksi dini, karena dapat memberi kesempatan atau
peluang yang lebih besar untuk mencegah berlarutnya gangguan, disabilitas dan memberi
kemungkinan kesembuhan yang lebih besar jika diberi terapi yang tepat. Tanda dan gejala
prodromal skizofrenia berupa cemas, depresi, keluhan somatik, perubahan perilaku dan
timbulnya minat baru yang tidak lazim. Gejala prodromal tersebut dapat berlangsung beberapa
bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis pasti skizofrenia ditegakkan. Keluhan kecemasan
dapat berupa perasaan khawatir, waswas, tidak berani sendiri, takut keluar rumah, dan merasa
diteror. Keluhan somatik dapat berupa nyeri kepala, nyeri punggung, kelemahan dan gangguan
pencernaan. Perubahan minat, kebiasaan dan perilaku dapat berupa pasien mengembangkan
gagasan abstrak, filsafat dan keagamaan. Munculnya gejala prodromal ini dapat terjadi dengan
atau tanpa pencetus, misalnya trauma emosi, frustasi karena permintaannya tidak terpenuhi,
penyalahgunaan zat, berpisah dengan orang yang dicintai.
2. Fase aktif
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis yakni
kekacauan alam pikir, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien terhadap realita mulai terganggu
dan pemahaman dirinya buruk atau bahkan tidak ada. Diagnosis pada pasien gangguan
skizofrenia dapat ditegakkan pada fase aktif, biasanya terdapat waham, halusinasi, hendaya
penilaian realita, serta gangguan alam pikiran, perasaan dan perilaku.
3. Fase residual
Pada fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia,
hanya tersisa beberapa gejala sisa, misalnya berupa penarikan diri, hendaya fungsi peran,
perilaku aneh, hendaya perawatan diri, afek tumpul afek datar, merasa mampu meramal atau
peristiwa yang belum terjadi, ide atau gagasan yang aneh, tidak masuk akal.
4. Diagnosa
Diagnosis skizofrenia dicapai melalui penilaian tanda dan gejala khusus pasien, seperti
yang dijelaskan dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima (DSM-
5). DSM-5 menyatakan bahwa kriteria diagnostik untuk skizofrenia termasuk persistensi dari
dua atau lebih gejala fase aktif berikut, masing-masing berlangsung selama porsi yang
signifikan setidaknya selama periode satu bulan: delusi, halusinasi, ucapan tidak teratur,
perilaku yang sangat tidak teratur atau katatonik, dan gejala negatif. Setidaknya satu dari gejala
yang memenuhi syarat harus berupa delusi, halusinasi, atau ucapan tidak teratur.
5. Terapi Skizofrenia

Jenis obat pada pasien gangguan skizofrenia terbagi menjadi golonan obat antipsikotik
dua macam, yaitu:
1. Golongan antipsikotik tipikal (FGA)
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaanya disebut antipsikotik
konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan
efek samping yang serius. Antipsikotik konvensional antara lain chlorpromazine,
fluperidol, haloperidol, loxapine, molindone, mesoridazine, perphenazine, thioridazine,
thiothixene, trifluperezine.
Antipsikotik tipikal bekerja dengan cara menghambat reseptor dopamin (D2) di
sistem limbik, termasuk daerah ventral stratum. Akibat blokade dopaminergik di stratum
tersebut menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal. Akibat berbagai efek samping
yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih
merekomendasikan penggunaan antipsikotik atipikal.
2. Golongan antipsikotik atipikal (SGA)
Obat-obat yang tergolong kelompok aripiprazole, clozapin, olanzapine, quetiapine,
risperidone, ziprasidone ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda. Antipsikotik
atipikal bekerja dengan menghambat reseptor dopamin, namun relatif lebih spesifik pada
D1,D4, dan D5, selain itu, lebih selektif sehingga efek ekstrapiramidal dapat
diminimalisir. Beberapa contoh antipsikotik atipikal yang tersedia antara lain risperidon,
quetiapin, olanzapin. Para ahli banyak merekomendasikan obatobat ini untuk menangani
pasien-pasien dengan skizofrenia.
Sedangkan terapi non-farmakologi pada pasien skizofrenia antara lain dengan terapi
psikososial dan terapi psikoreligius. Beberapa macam metode psikososial yang dapat dilakukan,
yaitu :
1. Psikoterapi individual
2. Terapi kelompok
3. Terapi berorientasi-keluarga
4. Terapi perilaku.
Terapi psikoreligius bermaksud untuk pendekatan keagamaan seperti sembahyang,
berdoa, ikut kajian, dan hal-hal positif lainnya dengan tujuan mendapatkan ketenangan dengan
berlindung kepada Sang Pencipta. Selain itu dapat juga dilakukan terapi fisik berupa olahraga,
dan kegiatan lain seperti refreshing ataupun lainnya.
BAB III
PENYELESAIAN KASUS
Skrining Resep

- Skrining administratif

Bagian Resep Ada/Tidak


Nama Dokter Ada
No SIP Ada
Alamat Praktek Ada
Tanggal Penulisan Resep Ada
Tanda R/ Ada
Paraf Dokter Ada
Nama Obat Ada
Jumlah Obat Ada
Aturan Pakai Ada
Nama Pasien Ada
Umur Pasien Ada
Alamat Pasien Ada

- Skrining Farmasetis dan Klinis


1. Alganax

Kandungan : Alprazolam
Indikasi : Antikonvulsan
Dosis : Dewasa: 3 x sehari 0,25-0,5 mg. Dosis dapat ditingkatkan dengan interval
3-4 hari. Dosis maksimal 4 mg dalam dosis terbagi; Lanjut usia, pasien
debil: 2-3 x sehari 0,25 mg. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap.
E.S : Mengantuk, kesulitan koordinasi, kelelahan, kelemahan otot, ataksia,
kepala terasa ringan, nyeri kepala, vertigo, perubahan salivasi, gangguan
saluran cerna, ruam kulit, gangguan penglihatan, depresi pernapasan,
ketergantungan, gangguan mental, amnesia, kebingungan, kelainan
darah dan sakit kuning, retensi urin, dan hipotensi.
Kontraindikasi : Hindari penggunaan obat ini pada orang-orang yang
mengalami myasthenia gravis, insufisiensi pernapasan berat, insufisiensi
hati berat, insufisiensi ginjal berat, insufisiensi pulmoner akut, kondisi
fobia dan obsesi, psikosis kronik, serangan asma akut, sleep apnea
sindrom, dan gangguan kepribadian borderline (dapat menyebabkan
bunuh diri dan kehilangan kontrol).
Interaksi :
 Alprazolam dimetabolisme oleh sitokrom P450 3A (CYP3A). Penggunaan
bersamaan dengan inhibitor CYP3A4 seperti cimetidine, erythromycin,
norfluoxetine, fluvoxamine, itraconazole, ketoconazole, nefazodone, propoxyphene,
dan ritonavir menghambat clearance hepatik dari alprazolam. Hal ini mengakibatkan
terjadinya akumulasi sehingga terjadi peningkatan efek farmakologis alprazolam
secara signifikan.
 Alprazolam dapat menyebakan peningkatan kadar plasma imipramine dan
desipramine.
 Kontrasepsi oral mengurangi clearance alprazolam, sehingga kadar plasmanya
meningkat dan bisa terjadi akumulasi. Hal ini menyebabkan potensi terjadinya efek
samping yang merugikan.
 Alkohol dan obat-obat golongan benzodiazepine memiliki efek sinergis satu sama
lain. Penggunaan secara bersamaan dengan alkohol dapat menyebabkan sedasi berat,
perubahan perilaku, dan keracunan.
 Kombinasi dengan ramuan akar kava-kava dapat mengakibatkan perkembangan
keadaan semi-koma.
 Hypericum menurunkan kadar plasma alprazolam sehingga mengurangi efek
terapeutiknya.
 Dapat meningkatkan kadar obat digoxin dalam darah jika digunakan bersamaan.
 Dapat mengakibatkan ketergantungan apabila digunakan bersamaan dengan obat
sedatif hipnotik (central nervous system depressant).
Perhatian :
 Pemakaian obat harus dihentikan jika muncul ruam kulit atau tanda lain yang
menunjukkan reaksi alergi karena bisa berakibat fatal.
 Alganax Tablet menyebabkan pusing dan mengantuk. Hindari mengemudi,
menyalakan mesin, atau mengerjakan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi tinggi
saat menggunakan obat ini.
 Berikan dengan hati-hati untuk pasien lanjut usia. Kurangi dosis jika diperlukan.
 Jangan menggunakan obat ini dalam jangka panjang karena bisa menyebabkan
ketergantungan. Potensi ketergantungan meningkat pada pasien dengan riwayat
penyalahgunaan alkohol atau narkoba.
 Dosis yang lebih rendah direkomendasikan untuk pasien dengan insufisiensi
pernapasan kronis, karena risiko depresi pernapasan.
 Penghentian pemakaian obat secara mendadak setelah penggunaan jangka panjang
berpotensi berbahaya.
 Dianjurkan untuk menggunakan dosis terbatas pada dosis efektif terkecil untuk
menghalangi perkembangan ataksia atau oversedation yang mungkin terjadi terutama
pada pasien usia lanjut atau lemah.
 Alprazolam masuk ke dalam air susu ibu (ASI). Jangan menggunakan obat ini
selama menyusui. Obat-obat golongan benzodiazepine yang digunakan oleh untuk
ibu menyusui telah dilaporkan menyebabkan bayi mereka menjadi lesu dan
menurunkan berat badan.
 Reaksi kejiwaan dan paradoks diketahui bisa terjadi akibat penggunaan obat-obat
golongan benzodiazepine (lihat bagian Efek Samping). Jika hal ini terjadi,
penggunaan obat harus dihentikan. Efek samping ini lebih sering terjadi pada anak-
anak dan orang tua.
2. Magtral Sirup
Indikasi : Untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam
lambung, gastritis, tukak lambung, tukak usus dua belas jari, dengan
gejala seperti mual, nyeri lambung, nyeri ulu hati, kembung, dan
perasaan penuh pada lambung
Efek Samping : Diare, konstipasi
Komposisi : Al-hidroksida 250mg, mg-hidroksida 250mg dan simetikon 50mg
Dosis : Dewasa: 3-4 kali sehari 5-10ml sendok takar. anak: 3 kali sehari 2.5-5ml
sendok takar.
Kontra Indikasi : Gangguan fungsi ginjal berat, reaksi hipersensitif
Perhatian : Tidak dianjurkan penggunaan pada bayi, Hati-hati penggunaan pada
penderita gangguan ginjal dan diet rendah fosfat, Jangan digunakan
secara terus menerus.
3. Primperan
Indikasi : Untuk menangani gejala gangguan otot lambung (gastroparesis)
menghilangkan rasa panas karena asam lambung yang naik ke
kerongkongan (reflux esophagitis),
menanggulangi mual dan muntah metabolik karena efek samping obat 
atau sesudah operasi.
Efek samping : Mengantuk, lemah, lesu, sembelit, diare, gatal-gatal, mulut kering,
bengkak pada lidah dan mata, reaksi ekstrapiramidal seperti kaku otot,
tremor dan sulit bergerak.
Komposisi : Metoclopramid HCl 10 mg
Dosis : 1 tablet sebanyak 3 kali/hari.
Kontra Indikasi: Pasien epilepsi, pasien dengan pendarahan, sumbatan atau luka pada
saluran cerna.
Aturan Pakai : Dikonsumsi saat perut kosong. Dapat diminum setengah jam sebelum
makan
Perhatian : Tidak untuk penderita gagal ginjal, ibu hamil dan menyusui.
4. Fitboost
Indikasi : Membantu memelihara daya tahan tubuh sehingga mempercepat
pemulihan penyakit & mencegah supaya tidak mudah sakit.
Komposisi : Echinacea purpurea herba dry extract 250 mg; Black elderberry fruit dry
extract 400 mg; Zn. Picolinate 10 mg.
Dosis : Dewasa : 3 kali sehari 1 kaplet
DIALOG MESO APOTEKER DENGAN PASIEN

Pasien laki-laki usia 55 tahun di ruang inap RS yang mengalami skizo. Pasien tersebut sedang
menjalani pengobatan Skizo dan ia ingin menebus resep yang. Pasien mempunyai riwayat sakit
maag akut dan sudah 2 hari mengalami mual muntah
Apoteker : Selamat siang Bu, saya Yohanes selaku apoteker di Rumah Sakit ini mohon izin
untuk mengkonfirmasi keadaan atas nama tn. Paul nggih Bu
Pasien : Selamat siang mas boleh mas
Apoteker : Mohon maaf Bu bisakah saya bicara dengan Ibu mengenai kondisi suami Ibu ?
Sebelumnya mohon maaf Bu untuk menanyakan tentang kondisi Bapak saat ini
hal-hal apa saja yang dirasakan selama pengobatan untuk memonitoring kondisi
Bapak
Pasien : Oh boleh mas silahkan saja
Apoteker : Sebelumnya berapa hari ya Bu kiranya Bapak sudah mengalami penyakit ini ?
Pasien : Sudah 2 hari mas suami saya mengalami mual muntahnya
Apoteker : Baik Bu saya catat, untuk yang selanjutnya apakah suami Ibu memiliki riwayat
penyakit lain njih Bu ?
Pasien : Oh iya mas ada saya baru inget kalau Bapak punya maag mas diagnosa dokter
dulu maag kronis
Apoteker : Baik Bu saya catat terlebih dahulu
Pasien : Baik mas silahkan
Apoteker : Sebelumnya mohon maaf njih Bu kan Bapak sudah hampir sembuh dengan
pengobatannya njih Bu kira kira apa yang selama ini Bapak keluh kan ya Bu
apakah pengobatannya berjalan baik baik saja atau bapak mengeluhkan hal lain ?
Pasien : Ya cukup itu tadi sih mas mual muntahnya aja
Apoteker : Baik Bu, begini di resep tadi sudah ada obat untu anti mualnya obatnya namanya
Primperan Bu diminum 3 kali sehari 1 tablet Bu sebelum makan, lalu
dikarenakan suami Ibu memiliki riwayat maag dokter juga meresepkan obat anti
maag yaitu Magtral Sirup Bu diminum sehari 3 kali 1 sendok takar sebelum
makan. Dikarenakan Bapak sedang menjalani terapi dengan pengobatan Alganax
mungkin nanti sedikit ada gangguan dalam pergerakan tubuh juga Bu, sebisa
mungkin meminum obat ini jangan telat ya Bu diminum sekali sehari
dikhawathirkan memicu kekambuhan suami Ibu. Lalu ada lagi obat multivitamin
untuk menjaga daya tahan tubuh suami Ibu juga mengingat kondisi suami Ibu
perlu asupan viatamin tambahan dari obat obatan diminum 2 kali 1 tablet.
Pasien : Baik mas
Apoteker : Baik Bu, mungkin itu saja ada yang ingin Ibu tanyakan ?
Pasien : Saya rasa cukup mas
Apoteker : Baik Bu untuk menghindari kesalahan pemakaian apakah Ibu bersedia
menjelaskan pemakaian obat yang saya jelaskan tadi?
Pasien : Untuk Primperan diminum 3 kali sehari sebelum makan, untuk magtral diminum
3 kali sehari 1 sendok takar sebelum makan, untuk alganax sebagai terapi
diminum 1 kali sehari 1 tab diusahakan jangan telat, lalu multivitamin diminum
2 kali sehari 1 tab nggih mas ?
Apoteker : Baik Bu penjelasan Ibu sudah benar terima kasih atas bantuannya dalam
melakukan monitoring obat Bu.
Pasien : Baik mas.
FORMULIR MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO)

Nama Apotek : Apotek Rumah Sakit Susilo


Alamat : Jl. X No 1 Solo
Kabupaten/Kota : Solo
Provinsi : Jawa Tengah
Triwulan/Tahun : 2018

Informasi Pasien Informasi Obat KTD/ESO

Obat Riwayat
N yang KTD/ESO
Nama Bentu N
o Nama/ Jenis Umur digun yang pernah
Inisial Kelam Obat k Sedi o
akan Ca Dosis/ Tang Tang Desk Tang Tangg Kesud dialami
pasien in aan
Bet bersa ra Waktu gal gal ripsi gal al Akhir ahan
1. Tn. Paul Laki-laki 55 th Alganax Tab - s maan p.o 1x1 jika 10/8/18 - - - -
perlu
2. Magtral Syr - p.o 3x1 10/8/18 - - - Maag akut
sendok
makan
sebelum
makan
3. Primpera Tab - p.o 3x1 10/8/18 - - - Mual, muntah
n sendok
makan
sebelum
makan
4. Fitboost Tab - p.o 10/8/18 - - -

Solo, 10-08-2018

Apoteker

Yohanes Nugroho Dwi Saputro

Anda mungkin juga menyukai