Anda di halaman 1dari 3

Kurang lebih seluas 194 hektare lahan di Desa Pelang, Kecamatan Matan Hilir Selatan (MHS),

Kabupaten Ketapang ludes terbakar. Kebakaran muncul sejak Kamis (15/08/2019) yang
terjadi di lima titik berbeda di lokasi yang sama secara sekaligus

Jika diakumulasikan, luas lahan yang terbakar pada hari pertama sekitar 36 ha, hari kedua 45
ha, dengan total 81 ha. Sedangkan area yang bisa dipadamkan selama dua hari berjumlah 13
ha," kata Kepala Daops Manggala Agni Ketapang, Rudi Windra, Sabtu (17/08).
Menurutnya, kebakaran yang terjadi letaknya di bagian selatan jalan Pelang - Tumbang Titi,
sertaan angin kencang membuat api menjalar begitu cepat hingga menyeberangi jalan

lima orang yang ditetapkan sebagai tersangka karena membakar lahan dengan sengaja
Kebakaran lahan di Desa Sungai Pelang Kecamatan Matan Hilir Selatan, terus meluas.
Memasuki hari keempat, lahan yang terbakar di kawasan ini sudah mencapai 194 hektare.
Sementara petugas gabungan yang diterjunkan ke lokasi untuk memadamkan api baru
mampu memadamkan sekitar 36 hektare.
Kepala Manggala Agni Daerah Operasi Ketapang, Rudi Windra Darisman, mengatakan
kebakaran di Sungai Pelang cukup sulit untuk dipadamkan. Untuk mencegah agar kebakaran
tidak semakin meluas lagi, ratusan personil gabungan dikerahkan ke lokasi kebakaran.
“Hingga saat ini sebanyak 194 hektare lahan gambut di Desa Pelang yangterbakar. Yang baru
dipadamkan baru sekitar 36 hektare,” kata Rudi, kemarin (19/8).
Kawasan yang terbakar tersebut merupakan daerah gambut yang cukup dalam. Api tidak
hanya membakar rumput di permukaan tanah, namun api sudah masuk ke dalam tanah,
sehingga menyulitkan untuk dipadamkan. Meski baru empat hari terbakar, namun luas lahan
yang terbakar sudah mencapai 194 hektare. Luasan lahan yang terbakar tersebut bisa saja
bertambah, mengingat kondisi lahan yang kering membuat api mudah menjalar.
Dia merincikan, api pertama kali terlihat pada Kamis (15/8). Di hari pertama, api sudah
menghanguskan 36 hektare. Di hari kedua api kembali melahap 45 hektare. Di hari ketiga, 52
hektare lahan kembali terbakar dan di hari keempat seluas 61 hektare lahan kembali
terbakar. Hingga saat ini pihaknya masih terus melakukan upaya pemadaman. “Lahan
berhasil dipadamkan mencapai 36 hektare. Personil gabungan yang terjun melakukan
pemadaman sebanyak 280 orang,” jelasnya.
Dia menambahkan, saat ini kendala pihaknya dalam melakukan upaya pemadaman yakni
angin yang kencang serta kesulitan sumber air, ditambah kondisi kabut yang pekat akibat
dari lahan gambut yang terbakar. “Tadi sempat diguyur hujan, tapi hanya sekitar lima menit,
jadi api tidak benar-benar padam,” ungkapnya.
Wakil Bupati Ketapang, Suprapto, menyayangkan kebakaran lahan yang telah terjadi
tersebut. Dia meminta agar lahan tidur yang ditumbuhi semak belukar yang menjadi
langganan kebakaran agar diolah menjadi lahan produktif. “Tragedi kebakaran di sini sudah
menjadi rutinitas setiap tahun. Kepala desa sudah selayaknya berfikir lahan yang luas ini
jangan dibiarkan lagi menjadi belukar yang subur. Harusnya ditanami nanas atau apa saja
yang bernilai jual sehingga tahun mendatang tidak ada lagi kebakaran,” pesannya.
Suprapto juga meminta kepada pejabat terkait untuk mengeduaksikan kepada masyarakat
untuk meminimalisirkan terjadinya kebakaran. “Mari kita berkerjasama dengan baik, begitu
juga aparat dan pemerintah yang ada di kecamatan seperti, Camat, Babinkamtibmas,
kepolisian dan Masyarakat Peduli Api (MPA), serta perusahaan perkebunan agar dapat
mengedukasi masyarakatnya tentang bahaya karhutla. Sehingga dapat meminimalkan kecil
terjadinya angka kebakaran hutan dan lahan di wilayah Ketapang,” lanjutnya.
Pihaknya juga akan melakukan mobilisasi menggunakan alat berat dengan pembuatan kolam
untuk mendapat sumber air. “Yang jadi masalah saat ini yaitu susahnya sumber air untul
memadamkan lahan gambut yang terbakar. Selain itu saya juga meminta Dinas Kesehatan
untuk menyiapak mobil ambulance dan posko kesehatan untuk mengatisipasi segela
kemungkinan yang terjadi saat memadamkan api,” pungkasnya.
Menanggapi kebakaran lahan di Sungai Pelang Kecamatan Matan Hilir Selatan, anggota
DPRD Ketapang, Antoni Salim, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Pasalnya, hampir
setiap tahun di daerah tersebut selalu terjadi kebakaran. Parahnya lagi pembakaran lahan
tersebut diduga sengaja dilakukan oleh warga untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
“Sebenarnya negara harus bertanggung jawab dengan lahan ini, karena status lahan ini
adalah huntan produksi (HP). Kawasan ini juga merupakan kawasan gambut dalam. Sesuai
undang-undang tidak boleh dikelola masyarakat,” kata Antoni, kemarin (19/8).
Antoni yang juga aktif di badan pemadam kebakaran swasta ini juga menyayangkan langkah
Pemerintah Pusat dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Kalbar, termasuk di
Ketapang. Pemerintah Pusat lebih memilih mengalokasikan dana untuk menerjunkan
helikopter untuk memadamkan api.
“Pemerintah pusat jangan hanya kirim helikopter buat waterbooming. Coba kirim bantuan
untuk pemdam swadaya. Peralatan pemadam lebih murah ongkosnya dari waterbooming,”
jelasnya.
Namun demikian, meski tidak mendapatkan bantuan, pemadam swasta tetap berupaya
sebisa mungkin memadamkan kebakaran yang terjadi. Dia juga mengaku ikut prihatin
dengan polisi dan tentara yg tidak punya apa-apa untuk melaksanakan pemadaman. “Kami
siapkan perlatan seadanya yang kami miliki untuk ikut memadamkan api. Kalau kami
pemdam swadaya ini tidak turun, apa yang bisa dilakukan oleh polisi dan tentara yang
tugasnya bukan pemadam,” tegasnya
Kebakaran yang terjadi di lahan warga dan perusahaan di Desa Pelang membuktikan
bahwa laju konversi lahan (termasuk hutan) sangat tinggi dan menyebabkan
tingginya intensitas kebakaran lahan. Kebakaran terjadi di lahan gambut sangat
memperparah keadaan. Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar
karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara
maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan
kondisi yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai
terganggu akibatnya adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka
keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Pada musim kemarau, lahan gambut
akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut
mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga
api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit
dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan
sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan). Dan, baru bisa mati total setelah
adanya hujan yang intensif.

Cara adaptasi dengan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada, mulai
dengan penyesuaian pola tanam di sektor pertanian. WWF-Indonesia juga sedang
melakukan riset estimasi emisi karbon dari kebakaran hutan dan lahan selama 10
tahun terakhir dan prediksi 10 tahun ke depan. Tak hanya itu, WWF-Indonesia telah
membuat MoU dengan 3 perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah untuk
mengadopsi dan mengimplementasi Zero Burning Method (ZBM) pada proses land
clearing.

Anda mungkin juga menyukai