CRS Neuroo
CRS Neuroo
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. Dasmina
2. Umur : 35 Tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : RT 08 Sei. Dingin
6. Pekerjaan : IRT
7. Suku Bangsa : WNI
8. MRS : 22 November 2019
DAFTAR MASALAH
No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
2. 22 November
Nyeri Pinggang
2019
Anamnesis
2
Riwayat Penyakit Sekarang
1. Lokasi : Pinggang
2. Kualitas : Nyeri yang dirasakan menjalar dari
pinggang hinga ke pergelangan kaki
3. Kuantitas : Nyeri berat sehingga pasien membutuhkan
bantuan orang lain untuk beraktivitas (berjalan)
4. Kronologis :
3
- Keluhan lain seperti gangguan BAB dan BAK disangkal, gangguan
aktivitas seksual disangkal
Keadaan Umum
1. Kesadaran : Compos Mentis, GCS:
E4V5M6
2. Kesan Sakit : Tampak Sakit
Sedang
3. Kesan Gizi : Gizi cukup
4
Tanda Vital
1. Tekanan Darah : 130/100 mmHg
2. Nadi : 84 kali/ menit
3. Respirasi : 18 kali/ menit, pernapasan
reguler
4. Suhu : 36,5°C
5. Status Gizi : Normal
Status Generalis
Kepala :
1. Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, ± 3 mm/± 3 mm,
refleks cahaya (+)/(+), katarak -/-
2. THT : dalam batas normal
3. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-), lidah
hiperemis (-), T1-T1, faring hiperemis (-).
4. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Dada
Jantung:
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra
3. Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
4. Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-), murmur (-)
Paru:
1. Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
2. Palpasi : Massa (-), Nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus
taktil sama kanan dan kiri
3. Perkusi : Vocal fremitus sama kiri dan kanan, Sonor +/+
4. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
5
Perut :
1. Inspeksi : Tampak datar, Distensi (-), masa (-).
2. Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (-),
shifting dullness (-), hepar dan lien tidak teraba
3. Perkusi : Timpani (+)
4. Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)/(-), sianosis (-)/(-)
Status Neurologis
1. Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
2. Kesadaran kuantitatif (GCS) : E4 V5 M6
3. Tanda Rangsang meningeal :
1. Kaku kuduk :-
2. Brudzinsky 1 :-
3. Brudzinsky 2 : -|-
4. Brudzinsky 3 : -|-
5. Brudzinsky 4 : -|-
Tanda Rangsang Radikuler :
1. Laseque : -/-
2. Kontra laseque : -/-
3. Pattrick : -/-
4. Kontra Patrick : -/-
Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Daya pembau Kanan Kiri Keterangan
6
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
3. N.III (Oculomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola Normal Normal
mata
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil
Bentuk, besar Bulat, isokor, 3 Bulat, isokor, 3
mm mm
reflex cahaya + +
langsung
reflex konvergensi + +
reflex konsensual
+ +
Diplopia Tidak ada Tidak ada
4. N. IV (Trokhlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
7
bawah-dalam
Diplopia Tidak ada Tidak ada
5. N. V (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut Normal
Mengunyah Normal
Mengigit Normal
Sensibilitas Muka
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
Reflek Kornea Normal Normal
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
8
Mengerutkan dahi Dbn Dbn
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Vestibular
Dalam batas
Nistagmus (-) (-)
normal
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
9
Disfonia dbn Dbn Dalam batas
normal
Refleks muntah dbn Dbn
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
4. Sistem Motorik
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 5 5
Tonus N N
10
Trofi Eu Eu
Ekstremitas bawah
Kekuatan 2 2
Tonus N N
Trofi Eu Eu
5. Sistem Sensorik
Sensasi Tangan Kanan Tangan Kiri Keterangan
6. Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis Hiporefleks
11
Biseps (++) (++)
Patologis
Dismetri kaki
Rebound
12
Tes Heel to toe
8. Sistem Otonom
Berkemih : Tidak ada keluhan ( Inkontinensia dan retensio urin (-) )
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
- WBC : 9.13 x 10*9/L (4.0-10.0)
- RBC : 5.22 x 10*12/L (3.50-5.50)
- HGB : 14.7 g/dl (11.0-16.0)
- HCT : 44.4 % (36.0-48.0)
- PLT : 296 x 10*9/L (100-300)
Faal Ginjal
- Ureum : 14 mg/dl
- Kreatinin : 0.8 mg/dl
- As.Urat : 3.4 mg/dl
- Cholesterol : 250 mg/dl
- Trigliserida : 135 mg/dl
- HDL : 82 mg/dl
- LDL : 141 mg/dl
- GDS : 138 mg/dl
Elektrolit
- Na : 138.15 mmol/L
13
- K : 3.87 mmol/L
- Cl : 107.89 mmol/L
- Ca : 1.15 mmol/L
14
15
Hasil Pemeriksaan Foto Polos Abdomen
16
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja : Diagnosis Neurologi
Diagnosa Klinis : Paraparese dan Hipoestesi inferior tipe LMN
17
TERAPI
PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
18
Follow up Pasien
19
Tanggal 30 November 2019
20
- PO Methylprednisolone 16 mg 3x1
- PO Mecobalamine 500 mg 2 x 1
- PO Simvastatin 20 mg 1x1 malam
- PO Methylprednisolone 16 mg 3x1
- OAT kategori 1 (2RHZE/4R3H3)
- Inj. Streptomycin 1 g 1x1
- PO B6 10 mg 1x1
21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SPONDYLITIS TB
3.1 DEFINISI
Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi yang kronis dan
progresif dan selalu bersifat sekunder dari infeksi primer tuberkulosis pada
bagian tubuh yang lain.1 Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang
dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous
vertebral osteomyelitis terjadi peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis.2,3
Infeksi ini mendestruksi tulang vertebra pada bagian anterior yang
kemudian disertai dengan osteoporosis regional. Dengan meluasnya infeksi,
regenerasi dari tulang baru tidak dapat terjadi dan pada saat yang bersamaan
menyebabkan avaskularisasi dari tulang, sehingga membentuk tuberculous
sequestrae khususnya pada segmen vertebra yang sering terkena, yaitu
segmen torakal.1
3.2 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian yang sering
ditemukan menurut penelitian global TB report 2010, yang diteliti oleh World
Health Organization pada 2009. Sebanyak 55% kasus tuberkulosis ditemuka
di Asia, 30% di Afrika, 7% di Mediterania Timur, 4% di Eropa dan 3% di
Amerika. Dari 9,4 juta kasus pada 2009, sekitar 11-13% adalah HIV positif.
Penyakit tersebut sering ditemukan pada Negara berkembang oleh karena
kemiskinan, nutrisi dan tempat tinggal yang buruk. Kondisi akan diperburuk
dengan M. tuberculosis yang bersifat multidrug-resistent, HIV dan usia tua.
Usia rata-rata penderita spondilytis tuberkulosis adalah usia 30-40 tahun dan
22
lebih sering ditemukan pada usia dibawah 40 tahun dibanding diatas 40
tahun. Faktor resiko yang ditemukan pada penyakit spondylitis tuberkulosis
adalah diabetes melitus (5-25%), gagal ginjal (2-31%) dan penggunaan
kortikosteroid jangka (3-13%).1
Angka kejadian 1-5% dari semua kasus TB dan 50% dari infeksi TB
tulang, Spondilitis TB paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan
paling jarang pada vertebra C1-2. Sering mengenai korpus vertebra.1,2,3
3.3 ETIOLOGI
Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi sekunder dari infeksi
tuberculosis di tempat lain, dimana asal infeksi primer paling sering yaitu dari
infeksi Tuberkulosis pada paru-paru, yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis. Infeksi tuberculosis dapat juga terjadi pada traktus uranaria
sehingga menyebabkan infeksi sekunder pada tulang vertebrata segmen
torako-lumbalis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk
batang yang bersifat acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pewarnaan,
sehingga dapat juga disebut sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)) dan tidak
dapat diwarnai dengan cara pewarnaan yang konvensional.1
Walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung
jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun
non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).2,3
3.4 ANATOMI
Tulang belakang manusia berfungsi sebagai pilar untuk menopang berat
tubuh dan tempat dimana terletaknya medulla spinalis. Tulang belakang juga
berfungsi untuk menyangga kepala dan sebagai titik sambungan terhadap
tulang iga, pelivs dan otot-otot punggung. Susunan tulang belakang manusia
terdiri dari tulang vertebra dan discus intervertebralis. Fungsi dari discus
intervertebralis di antara tulang vertebra adalah sebagai bantalan untuk
memberikan sifat fleksibel terhadap pergerakkan tubuh, baik ke arah anterior,
23
posterior, lateral maupun rotasi dan juga berfungsi agar tulang vertebra tidak
bertabrakkan satu dengan yang lainnya.
24
Gambar 2. Susunan Tulang Vertebra
25
• Kurvatur Primer melengkung ke arah anterior (concave anteriorly) :
Segmen Torakalis & Sakral
26
27
Gambar 5. Vena yang Memperdarahi Tulang
Gambar 6. Baston
Plexus pada
vertebra
28
3.5 PATOFISIOLOGI
Infeksi tuberkulosis pada tulang vertebra terjadi akibat infeksi
sekunder dari infeksi primer di bagian tubuh lainnya. Cara penyebaran utama
bakteri ke bagian tulang vertebra adalah melalui aliran darah pada arteri
maupun vena. Oleh sebab itu spondylitis TB disebut sebagai blood-borne
disease dimana penyebaran terjadi secara hematogen. Sumber infeksi primer
paling sering terjadi pada organ paru dan traktus urinaria. Jika infeksi
menyerang segmen torakalis atas maka sumber infeksi primer cenderung
berasal dari infeksi TB paru, sedangkan jika infeksi terjadi pada segmen
torako-lumbal maka sumber infeksi primer 1enderung lebih berasal dari
infeksi pada traktus urinaria.
Pada awal infeksi, akan terjadi destruksi tulang vertebra bagian
anterior atau korpus vertebra yang disebut dengan proses osteolysis lokal dan
disertai dengan osteoporosis regional. Kemudian infeksi akan menyebar dan
terjadi avaskularisasi sehingga pada saat yang bersamaan produksi tulang baru
terhambat. Tuberculous sequestra akhirnya terbentuk pada segmen tulang
vertebra yang terinfeksi. Se1ara perlahan jaringan tuberculous sequestrae ini
akan mulai mempenetrasi dinding tipis dari bagian tulang vertebra sehingga
terbentuk yang disebut dengan abses paravertebra. Abses paravetebra akan
menyebar ke arah muskulus psoas. Akan tetapi, abses ini akan menunjukkan
tanda-tanda inflamasi yang minimal, oleh sebab itu abses ini sering dikenal
sebagai “cold abcess”.
Infeksi tersebut kemudian akan menjalar ke tulang vertebra lainnya
secara anterior maupun posterior melalui ligamen longitudinal. Diskus
intervertebralis tidak dapat terinfeksi sebab tidak ada aliran vaskular yang
melaluinya. Akan tetapi diskus intervertebralis secara perlahan akan terdesak
oleh jaringan granulasi tuberkulosis dan menjadi hancur. Pada anak-anak,
diskus intervertebralis dapat terinfeksi oleh sebab masih adanya aliran
vaskular yang melalui diskus intervertebralis. Ketika infeksi menyerang tulang
vertebra beserta dengan diskus intervertebralis, maka penyakit tersebut bukan
disebut sebagai spondylitis, akan tetapi disebut sebagai spondylodiscitis.
29
Oleh karena destruksi tulang terjadi pada bagian anterior tulang
vertebra, maka secara progresif terjadi kolaps dari tulang vertebra pada regio
anterior sehingga membuat postur tidak normal pada penderitanya, dimana
wedging pada tulang vertebra sisi anterior terjadi dan membentuk angulasi dan
gibbus. Maka secara klinis, pasien akan datang dengan postur bungkuk atau
yang dikenal sebagai postur kyphosis.
Ketika terjadi kolaps pada tulang vertebra dan penjepitan diskus
intervertebralis, maka struktur yang berada di dalam foramen vertebralis, yaitu
medulla spinalis akan tertekan sehingga akan tampak keluhan neurologis.
Keluhan neurologis oleh karena penekanan mekanik terhadap medulla spinalis
yang paling sering ditemukan pada penderita spondylitis TB adalah
paraplegia.1,5
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosa sekunder.
Penyebarannya secara hematogen nodus limfatikus para aorta atau melalui
jalur limfatik ke tulang. Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari
lima stadium yaitu :
a. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
b. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus
vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini
berlangsung selama 3-6 minggu.
c. Stadium destruksi lanjut.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses , yang
tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada
30
saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
d. Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis
spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis
yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi
pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat
derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit
yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan
tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif
dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan
vaskuler vertebra.
31
e. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena
kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
32
1. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3
bentuk spondilitis TB:
1) Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan
pada orang dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.
2) Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra.
Dapat menyebabkan kolaps vertebra dan sering dijumpai pada anak.
3) Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari
vertebra di atasnya dengan lokus awal di korpus vertebra bagian
anterior (Moesbar, 2006)
33
• Pada daerah torakal dan lumbalis akan tampak benjolan di
regioparavertebral atau jika abses pada daerah torakal terbentuk ke arah
anterior, akan terbentuk abses di daerah mediastinal.1
• Badan lemah, lesu, dan berat badan menurun
• Suhu subfebril terutama pada malam hari
• Pembengkakan setempat (abses)
• Defisit sensorik setingkat tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal
a. Anamnesis dan Inspeksi :
1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan,
keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten
terutama sore dan malam hari dan sakit (kaku) pada punggung.
Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya
keinginan bermain di luar rumah. Demam (terkadang demam
tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan
akan terlihat dengan jelas.
2) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau
berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus terjadi
pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan
pembesaran hati dan limpa.
3) Pada awal dijumpai nyeri interkostal, berupa nyeri yang menjalar
dari tulang belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang
interkostal. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak
sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke
tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa
di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka
nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini
hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi
nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang.
Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di
punggung.
34
5) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat
menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi
ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu
tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada
leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa
nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak
pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama
pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga
akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor
respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial
karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu
penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang
berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran
klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
6) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak
menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan
mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari
lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku mengelilingi rongga dada dan tampak
sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses
ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis.
7) Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan
lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali
pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai
permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan
dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya
35
kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi
panggul.
8) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis
(gibbus/angulasi tulan belakang, skoliosis, bayonet deformity,
spondilolistesis, dan dislokasi.
9) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit
neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi
paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi
di area torakal dan servikal.
b. Palpasi :
Sesuai dengan inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya
gibbus pada area tulang yang mengalami infeksi. Bila terdapat abses
maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di
daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di
belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak
ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam
cold abscess.
Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen
yang terkena.
c. Perkusi :
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus
spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
36
3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih
dari 100mm/jam serta didapatkan leukositosis.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada
kondisi pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh
mycobacterium tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak
area berindurasi, kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar
tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif
tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis
milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti
baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain).
c. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara
serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada
tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada
meningitis piogenik
Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran
klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis),
punksi lumbal akan menunjukkan genuine dry tap. Pada
pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein
menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan
37
sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid
akan mencegah timbulnya hal ini.
Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal
terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml. Kultur cairan
serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi
yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa
dan tahap infeksi.
38
akan tampak juga dengan CT-Scan. Foto CT-Scan juga dapat
memberikan gambaran kelainan pada fase awal dari penyakit karena
kerusakan-kerusakan tulang yang minimal akan terlihat lebih jelas
dibandingkan dengan foto polos vertebra. Abses paravertebral juga
akan tampak lebih jelas terlihat.
o Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan kelainan
pada jaringan lunak seperti medula spinalis, destruksi/degenerasi pada
tulang vertebra dan diskus intervertebralis, pembentukkan abscess dan
kavitasi pada medula spinalis. Mengevaluasi infeksi diskus
intervertebralis, osteomyelitis dan penekanan saraf.
3.8 PENATALAKSANAAN
TERAPI NON-OPERATIF
a. Terapi Konservatif
39
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang
cukup baik.
1) Tirah baring (bed rest)
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama
pada keadaan akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat
berlangsung 3 – 4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang
secara klinis, radiologis dan laboratoris. Nyeri akan berkurang,
spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu makan pulih
dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara
laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10
mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan
destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
b. Anti Tuberkulosa
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),
rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan
ethambutol (EMB).
Pemberian terapi anti tuberculosis merupakan prinsip utama dalam
penatalaksanaan seluruh kasus infeksi tuberculosis, termasuk tuberculosi
pada tulang belakang. Menurut WHO, terapi anti tuberculosis harus
diberikan minimal selama 9 bulan, khususnya pada kasus infeksi
tuberculosis tulang. Pengobatan ini terbagi menjadi dua fase, antara lain :
40
Terapi anti tuberculosis diberikan hingga foto rontgen
menunjukkan adanya resolusi pada tulang belakang. Masalah yang sering
timbul dari pemberian tatalaksana anti tuberculosis ini adalah mengenai
ketaatan pasien dalam menjalani terapi yang berdurasi panjang ini. Jika
terapi dijalankan terlalu singkat dari waktu yang ditetapkan, maka akan
menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat
mengalami resistensi obat.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa
yang primer:
I. Isoniazid (INH)
Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai
lebih banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral
neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif
(bersifat reversibel dengan pemberian suplemen
piridoksin).
Relatif aman untuk kehamilan
Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
41
Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh
termasuk cairan serebrospinal.
Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan
pada traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice,
trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
Relatif aman untuk kehamilan
Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
42
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi
ginjal
Dosis : 15-25 mg/kg/hari
V. Streptomycin (STM)
Bersifat bakterisidal
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa
sehingga dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII),
nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut
usia)
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi
ginjal
Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
43
c. Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, Pemberian gips
ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan
deformitas lebih lanjut. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada
daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah
vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast
jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral
dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai
dengan fiksasi salah satu sisi panggul.
Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak
penderita diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita menjalani
kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris.
Bila dalam pengamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan
kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester,
nutrisi yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita
harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu
dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulosa, jaringan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.1,2,3
TERAPI OPERATIF
Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi,
mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan
44
kerusakan lebih lanjut. Salah satu tindakan bedah yang penting adalah
debridement yang bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara
menbuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-
organisme.
Indikasi operasi:
1) Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan,
secara klinis dan radiologis memburuk.
2) Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
3) Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak
dengan defisit neurologik, terdapat abses paravertebral
4) Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada
penderita anak. Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas
berat pada anak dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.
Terapi operatif dilakukan hanya pada penderita dengan lesi
kompresif secara radiologis dan yang sudah tampak kelainan-kelainan
secara neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di
tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operatif juga dilakukan bila
setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat anti tuberkulosa dengan terapi
konservatif telah dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik.
Tatalaksana operatif dilakukan dengan tujuan untuk debridement
dan drainase dari “Cold Abses”, begitu juga untuk dekompresi dari
medulla spinalis dan strukturnya, men1egah instabilasi dari struktur tulang
belakang, dan memperbaiki dan mencegah deformitas pada struktur tulang
belakang. Teknik operatif untuk terapi Spondylitis TB ada dua, antara lain
anterior dekompresi dan posterior dekompresi. Pilihan tindakan operasi
dekompresi secara anterior atau posterior bergantung pada lokasi lesi pada
tulang vertebra. Jika lesi terletak pada bagian anterior maka tindakan
operatif yang dipilih adalah anterior dekompresi, begitu juga sebaliknya
jika lesi terdapat pada posterior, maka tindakan operasi dekompresi
posterior akan dipilih.
45
Anterior dekompresi menjadi pilihan terapi operatif paling sering
sebab spondylitis TB umumnya menyerang bagian kolum anterior dari
tulang belakang. Oleh sebab itu, dengan melakukan anterior dekompresi
akan mempermudah tindakan debridement yang dilakukan supaya adekuat
dan sesuai, begitu juga tindakan rekonstruksi deformitas yang terjadi dapat
dilakukan secara maksimal. Debridement saja dapat dilakukan untuk
membersihkan infeksi setempat, akan tetapi jika tidak dilakukan
rekontruksi maka progress untuk terjadinya deformitas tetap dapat
berlangsung.
Pada tindakan operatif, debridement dilakukan dengan
membersihkan area nekrotik yang mengandung tulang mati beserta
jaringan granulasi agar lesi bersih dan jaringan nekrotik tidak akan
menyebar lebih luas. Setelah itu akan terdapat rongga yang kemudian akan
diisi dengan autogenous bone graft dari tulang iga atau tulang ilika.
Pemilihan terapi operatif seperti ini akan mendorong penyembuhan
dengan cepat dan stabilisasi tulang belakang akan tercapai dengan
memfusikan tulang vertebra yang terkena. Fusi tulang vertebra posterior
hanya dilakukan bila terdapat destruksi dua atau lebih dari korpus bertebra,
adanya instabilitas karena destruksi tulang vertebra bagian posterior, dan
jika tindakan prosedur dekompresi anterior tidak memungkinkan. Akan
tetapi, pemberian obat antituberkulosa tetap menjadi terapi wajib bagi
penderita spondylitis TB walaupun tindakan operatif telah dilakukan.1,2,3
46
lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
- Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
- Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda
dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap
dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai
bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang
berbatas jelas.
- Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
- Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
- Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat
karsinoma prostat.
- Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
- Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
- Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
- Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh
kerangka.
- Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.
- Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).
- Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa scoliosis.2,7
47
3.9 PROGNOSIS
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari
usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit
neurologis serta terapi yang diberikan. Prognosis spondilitis TB bervariasi
tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi. Prognosis yang buruk
berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat terjadi sekuele
antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan
lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan.
Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun
sampai 30%
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik
dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir
mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi
kosmetissecara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya
defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena
keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik
secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum,
prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
48
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan
permanen spondilitis tuberkulosa.7,8
3.10 KOMPLIKASI
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik
yang terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan
meningitis TB, dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi
mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila
pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak
dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30%.
a) Pott’s paraplegia
Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh
pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula
spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan
cara dekompresi medula spinalis dan saraf.
Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis
dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas
kanalis spinalis.
b) Ruptur abses paravertebra
Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis
Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces.
c) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia “
prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda
spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :menigomyelitis,
prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
49
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi
dura dan corda spinalis.
50
BAB IV
ANALISA KASUS
51
DAFTAR PUSTAKA
9. Wim de Jong, 2002. Spondilitis TB, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 1226-1229
10. Batra V. 2009. Tuberculosis. Didapat dari
http://www.emedicine.com/ped/topic2321.htm. Diakses tanggal 11
Februari 2019.
11. Harsono, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta
Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. P.
52