Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spondilitis tuberkulosis (spondilitis TB) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang, Spondilitis TB masih menjadi masalah kesehatan yang utama di
Negara berkembang. Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih
dari 8 juta per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 1-2% dari total kasus tuberculosis
berhubungan dengan spondilitis TB. Sumber lain mengatakan bahwa 10% dari
TB ekstrapulmonal adalah Spondilitis TB.
TB dapat mengakibatkan deformitas serta deficit neurologis yang dapat
timbul secara cepat ataupun lambat. Defisit neurologis yang timbul secara
cepat dapat berupa paralisis akibat abses sedangkan secara lambat oleh karena
perkembangan dari kiposis, kolaps vertebra dengan retro pulsi dari tulang dan
debris. Gejala lain yang dapat timbul antara lain demam tanpa sebab yang
jelas, nyeri punggung, berat badan yang menurun, pembesaran limfonodi, dan
gejala khas TB lain.
Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada daerah vertebra torakal
bawah dan daerah lumbal (T8-L3), kemudian daerah torakal atas, servikal dan
daerah sacrum. Oleh sebab itu, penderita spondilitis TB dapat mengalami
perubahan-perubahan bentuk tulang ataupun tanda dan gejala lainnya.
Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya
infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah dengan menggunakan uji
tuberculin (tes Mantoux. LED yang meningkat dengan basil >100 mm/jam
juga dapat mengarahkan pada diagnosis tuberculosis. Pada fotopolos
vertebrae, dapat ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus
vertebrae, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara
korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses
paravertebral

1
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. Dasmina
2. Umur : 35 Tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : RT 08 Sei. Dingin
6. Pekerjaan : IRT
7. Suku Bangsa : WNI
8. MRS : 22 November 2019

DAFTAR MASALAH
No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal

1. Kelemahan 22 November 8 November 2019


Kesemutan
tungkai bawah 2019

2. 22 November
Nyeri Pinggang
2019

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis. Anamnesis


dilakukan pada hari Sabtu, 23 November 2019.

Keluhan Utama : Nyeri pinggang yang menjalar hingga ke pergelangan


kaki sejak 2 minggu SMRS.

2
Riwayat Penyakit Sekarang

1. Lokasi : Pinggang
2. Kualitas : Nyeri yang dirasakan menjalar dari
pinggang hinga ke pergelangan kaki
3. Kuantitas : Nyeri berat sehingga pasien membutuhkan
bantuan orang lain untuk beraktivitas (berjalan)
4. Kronologis :

- Pada tanggal 21 November 2019 pasien datang ke RSJ dan


dilakukan pemeriksaan penunjang berupa rontgen kemudian di rujuk ke
R.S Raden Mattaher
- 23 November 2019 pasien masuk ke R.S Raden Mattaher dengan
keluhan nyeri pada pinggang kanan yang menjalar hingga ke pergelangan
kaki. Keluhan sudah dirasakan ±6 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri hilang timbul dan semakin memberat sejak ±2 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan ketika pasien beraktifitas (berjalan
dan duduk) dan keluhan mereda ketika beristirahat (berbaring). Pasien
juga mengeluhkan kesemutan pada kedua ujung kaki sejak ±2 minggu
yang dirasakan hilang timbul.
- Keluhan lemah pada kaki kiri dan kanan juga dirasakan sejak 1
bulan sebelum masuk rumah sakit. Kelemahan dirasakan semakin
memberat setiap harinya sehingga membuat pasien sulit berjalan dan
butuh bantuan orang lain.
- Dan juga pasien mengeluh demam hilang timbul sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasakan timbul pada sore hari
dan disertai keringat pada malam hari. Pasien meminum obat warung
untuk mengurangi demam nya.
- Pasien mengeluhkan adanya penurunan nafsu makan dan berat
badan menurun ± 5 Kg sejak 1 bulan lalu.

3
- Keluhan lain seperti gangguan BAB dan BAK disangkal, gangguan
aktivitas seksual disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat nyeri pinggang sebelumnya (-)


- Riwayat kelemahan kaki kiri dan kanan sebelumnya (-)
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat batuk lama disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:

- Riwayat keluarga dengan keluhan nyeri pinggang (-)


- Riwayat keluarga dengan kelemahan kaki kiri dan kanan (-)
- Riwayat keluarga dengan batuk lama (-)

Riwayat Sosial Ekonomi:

Ekonomi menengah ke bawah, mempunyai anak 1, bekerja sebagai petani


sawit, tinggal di lingkungan kebun sawit dan pasien sering bekerja dengan
posisi membungkuk.

PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 November 2019

Keadaan Umum
1. Kesadaran : Compos Mentis, GCS:
E4V5M6
2. Kesan Sakit : Tampak Sakit
Sedang
3. Kesan Gizi : Gizi cukup

4
Tanda Vital
1. Tekanan Darah : 130/100 mmHg
2. Nadi : 84 kali/ menit
3. Respirasi : 18 kali/ menit, pernapasan
reguler
4. Suhu : 36,5°C
5. Status Gizi : Normal
Status Generalis
Kepala :
1. Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,  ± 3 mm/± 3 mm,
refleks cahaya (+)/(+), katarak -/-
2. THT : dalam batas normal
3. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-), lidah
hiperemis (-), T1-T1, faring hiperemis (-).
4. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Dada
Jantung:
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra
3. Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
4. Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-), murmur (-)
Paru:
1. Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
2. Palpasi : Massa (-), Nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus
taktil sama kanan dan kiri
3. Perkusi : Vocal fremitus sama kiri dan kanan, Sonor +/+
4. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

5
Perut :
1. Inspeksi : Tampak datar, Distensi (-), masa (-).
2. Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (-),
shifting dullness (-), hepar dan lien tidak teraba
3. Perkusi : Timpani (+)
4. Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)/(-), sianosis (-)/(-)

Status Neurologis
1. Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
2. Kesadaran kuantitatif (GCS) : E4 V5 M6
3. Tanda Rangsang meningeal :
1. Kaku kuduk :-
2. Brudzinsky 1 :-
3. Brudzinsky 2 : -|-
4. Brudzinsky 3 : -|-
5. Brudzinsky 4 : -|-
Tanda Rangsang Radikuler :
1. Laseque : -/-
2. Kontra laseque : -/-
3. Pattrick : -/-
4. Kontra Patrick : -/-

Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Daya pembau Kanan Kiri Keterangan

Subjektif Dbn Dbn Dbn

Objektif (dengan Bahan) Dbn Dbn Dbn

6
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan

Daya penglihatan Dbn Dbn Dbn

Lapang pandang Dbn Dbn

Pengenalan warna Dbn Dbn


Dbn
Funduskopi Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

3. N.III (Oculomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola Normal Normal
mata
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil
Bentuk, besar Bulat, isokor,  3 Bulat, isokor,  3
mm mm
reflex cahaya + +
langsung
reflex konvergensi + +
reflex konsensual
+ +
Diplopia Tidak ada Tidak ada

4. N. IV (Trokhlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal

7
bawah-dalam
Diplopia Tidak ada Tidak ada

5. N. V (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut Normal
Mengunyah Normal
Mengigit Normal
Sensibilitas Muka
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
Reflek Kornea Normal Normal

6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan

Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas

Strabismus (-) (-) normal

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan

Motorik Saat diam simetris simetris

8
Mengerutkan dahi Dbn Dbn

Senyum memperlihatkan Dbn Dbn


gigi

Daya perasa 2/3 anterior


Dbn Dbn
lidah

8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan

Pendengaran

Tuli konduktif (-) (-) Dalam batas


normal
Tuli sensorieural (-) (-)

Vestibular
Dalam batas
Nistagmus (-) (-)
normal

9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri

Arkus farings Dbn Dbn

Daya perasa 2/3 posterior lidah Dbn Dbn

10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan

Arkus farings Dbn Dbn

9
Disfonia dbn Dbn Dalam batas
normal
Refleks muntah dbn Dbn

11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan

Motorik

Menoleh dbn dbn Dalam batas

Mengangkat bahu dbn dbn normal

Trofi Eutrofi Eutrofi

12. N. XII (Hipoglossus)


Kanan Kiri Keterangan

Motorik Dbn Dbn

Trofi eutrofi eutrofi Dalam batas


normal
Tremor (-) (-)

Disartri (-) (-)

4. Sistem Motorik
Kanan Kiri Keterangan

Ekstremitas atas

Kekuatan 5 5

Tonus N N

10
Trofi Eu Eu

Ger.involunter (-) (-)

Ekstremitas bawah

Kekuatan 2 2

Tonus N N

Trofi Eu Eu

Ger.involunter (-) (-)

5. Sistem Sensorik
Sensasi Tangan Kanan Tangan Kiri Keterangan

Raba Normal Normal

Nyeri Normal Normal


Normal
Suhu Normal Normal

Propioseptif Normal Normal

Sensasi Kaki Kanan Kaki Kiri Keterangan

Raba Hipoestesi L4, L5 Hipoestesi L4, L5

Nyeri Normal Normal

Suhu Normal Normal

Propioseptif Terganggu Terganggu

6. Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan

Fisiologis Hiporefleks

11
Biseps (++) (++)

Triseps (++) (++)


Inferior
Patella (+) (+)

Achilles (+) (+)

Patologis

Hoffman Tromer (-) (-)

Babinski (-) (-) Reflek patologis


(-)
Chaddock (-) (-)

Openheim (-) (-)

Gordon (-) (-)

Schaeffer (-) (-)

Klonus kaki (-) (-)

7. Fungsi Koordinasi dan Keseimbangan


Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan

Disdiadokokinesia Tidak Diakukan Tdak Dilakukan

Dismetri tangan Tidak Dilakukan

Dismetri kaki

Rebound

Romberg Test dipertajam

Tes tandem gait

12
Tes Heel to toe

8. Sistem Otonom
Berkemih : Tidak ada keluhan ( Inkontinensia dan retensio urin (-) )

Defekasi : Tidak ada keluhan ( Inkontinensia feses (-) )

Keringat : Tidak ada keluhan

9. Fungsi Luhur : Dbn

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin
- WBC : 9.13 x 10*9/L (4.0-10.0)
- RBC : 5.22 x 10*12/L (3.50-5.50)
- HGB : 14.7 g/dl (11.0-16.0)
- HCT : 44.4 % (36.0-48.0)
- PLT : 296 x 10*9/L (100-300)

Faal Ginjal
- Ureum : 14 mg/dl
- Kreatinin : 0.8 mg/dl
- As.Urat : 3.4 mg/dl
- Cholesterol : 250 mg/dl
- Trigliserida : 135 mg/dl
- HDL : 82 mg/dl
- LDL : 141 mg/dl
- GDS : 138 mg/dl

Elektrolit
- Na : 138.15 mmol/L

13
- K : 3.87 mmol/L
- Cl : 107.89 mmol/L
- Ca : 1.15 mmol/L

Hasil Pemeriksaan MRI Spine Lumbal

14
15
Hasil Pemeriksaan Foto Polos Abdomen

16
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja : Diagnosis Neurologi
Diagnosa Klinis : Paraparese dan Hipoestesi inferior tipe LMN

Diagnosa Topis : Lesi Medulla Spinalis Lumbal L4-L5

Diagnosa Etiologi : Spondylitis TB

17
TERAPI

- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + ketorolac 30 mg 1 ampul


- PO Simvastatin 20 mg 1x1 malam
- PO Mecobalamine 500 mg 2x1
- Inj. Omeprazole 40 mg 1x1
- PO Paracetamol 500 mg 3x1
- PO Methylprednisolone 16 mg 3x1
- PO B6 10 mg 1x1
- OAT kategori 1 (2RHZE/4R3H3)
- Inj. Streptomycin 1 g 1x1

PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam

2. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

3. Quo ad sanationam : dubia ad bonam

18
Follow up Pasien

Tanggal 25 November 2019

S : Nyeri Pinggang dirasakan semakin memberat, kesemutan dirasakan


semakin sering, VAS = 8

O : KU tampak sakit, TD : 130/90 mmHg, Motorik tungkai bawah 2/2

A : Lower Back Pain e.c Osteoarthritis Lumbal

P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Ketorolac

- Inj. Omeprazole 40 mg 1x1


- PO Paracetamol 500 mg 3x1
- PO Mecobalamine 500 mg 2x1
Tanggal 25-11-2019 dilakukan pemeriksaan laboratorium darah
dan didapatkan hasil nilai kolesterol 250 mg/dl (meningkat)

Tanggal 28 November 2019

S : Nyeri Pinggang dirasakan berkurang, VAS = 6 , Pasien belum bisa


mengangkat anggota gerak bawah.

O : KU tampak sakit, TD : 130/90 mmHg, Motorik tungkai bawah 2/2

A : Lower Back Pain e.c Osteoarthritis Lumbal

P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Ketorolac

- Inj. Omeprazole 40 mg 1x1


- PO Paracetamol 500 mg 3x1
- PO Mecobalamine 500 mg 2x1
- PO Simvastatin 20 mg 1x1 malam
Tanggal 28-11-2019 Pasien melakukan pemeriksaan MRI Lumbal
di RS Siloam.

19
Tanggal 30 November 2019

S : Nyeri Pinggang berkurang , VAS = 5

O : KU baik, TD : 130/80 mmHg, Motorik tungkai bawah 2/2

A : Paraparese dan Hipoestesi inferior tipe LMN e.c Spondylitis TB

P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Ketorolac

- Inj. Omeprazole 40 mg 1x1


- PO Paracetamol 500 mg 1x1
- PO Mecobalamine 500 mg 2 x 1
- PO Simvastatin 20 mg 1x1 malam
Tanggal 30-11-2019 Hasil pemeriksaan MRI Lumbal dari RS
Siloam sudah diambil oleh keluarga pasien dengan kesan
Spondylitis TB.

Tanggal 02-03 Desember 2019

S : Anggota gerak bagian bawah mengalami perbaikan, pasien dapat


mengangkat kaki nya namun tidak dapat menahan tahanan yang diberikan.

O : KU baik, TD : 130/80 mmHg, Motorik tungkai bawah 3/3

A : Paraparese dan Hipoestesi inferior tipe LMN e.c Spondylitis TB

P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm + Ketorolac

- Inj. Omeprazole 40 mg 1x1


- PO Paracetamol 500 mg 1x1
- PO Mecobalamine 500 mg 2 x 1
- PO Simvastatin 20 mg 1x1 malam
- Inj. Streptomycin 1 g 1x1

20
- PO Methylprednisolone 16 mg 3x1

Tanggal 04 Desember 2019

S : Pasien direncanakan pulang pada hari ini. Nyeri Pinggang VAS = 4

O : KU baik, TD : 120/80 mmHg, Motorik tungkai bawah 3/3

A : Paraparese dan Hipoestesi inferior tipe LMN e.c Spondylitis TB

P: - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

- PO Mecobalamine 500 mg 2 x 1
- PO Simvastatin 20 mg 1x1 malam
- PO Methylprednisolone 16 mg 3x1
- OAT kategori 1 (2RHZE/4R3H3)
- Inj. Streptomycin 1 g 1x1
- PO B6 10 mg 1x1

21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

SPONDYLITIS TB
3.1 DEFINISI
Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi yang kronis dan
progresif dan selalu bersifat sekunder dari infeksi primer tuberkulosis pada
bagian tubuh yang lain.1 Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang
dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous
vertebral osteomyelitis terjadi peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis.2,3
Infeksi ini mendestruksi tulang vertebra pada bagian anterior yang
kemudian disertai dengan osteoporosis regional. Dengan meluasnya infeksi,
regenerasi dari tulang baru tidak dapat terjadi dan pada saat yang bersamaan
menyebabkan avaskularisasi dari tulang, sehingga membentuk tuberculous
sequestrae khususnya pada segmen vertebra yang sering terkena, yaitu
segmen torakal.1

3.2 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian yang sering
ditemukan menurut penelitian global TB report 2010, yang diteliti oleh World
Health Organization pada 2009. Sebanyak 55% kasus tuberkulosis ditemuka
di Asia, 30% di Afrika, 7% di Mediterania Timur, 4% di Eropa dan 3% di
Amerika. Dari 9,4 juta kasus pada 2009, sekitar 11-13% adalah HIV positif.
Penyakit tersebut sering ditemukan pada Negara berkembang oleh karena
kemiskinan, nutrisi dan tempat tinggal yang buruk. Kondisi akan diperburuk
dengan M. tuberculosis yang bersifat multidrug-resistent, HIV dan usia tua.
Usia rata-rata penderita spondilytis tuberkulosis adalah usia 30-40 tahun dan

22
lebih sering ditemukan pada usia dibawah 40 tahun dibanding diatas 40
tahun. Faktor resiko yang ditemukan pada penyakit spondylitis tuberkulosis
adalah diabetes melitus (5-25%), gagal ginjal (2-31%) dan penggunaan
kortikosteroid jangka (3-13%).1
Angka kejadian 1-5% dari semua kasus TB dan 50% dari infeksi TB
tulang, Spondilitis TB paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan
paling jarang pada vertebra C1-2. Sering mengenai korpus vertebra.1,2,3

3.3 ETIOLOGI
Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi sekunder dari infeksi
tuberculosis di tempat lain, dimana asal infeksi primer paling sering yaitu dari
infeksi Tuberkulosis pada paru-paru, yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis. Infeksi tuberculosis dapat juga terjadi pada traktus uranaria
sehingga menyebabkan infeksi sekunder pada tulang vertebrata segmen
torako-lumbalis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk
batang yang bersifat acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pewarnaan,
sehingga dapat juga disebut sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)) dan tidak
dapat diwarnai dengan cara pewarnaan yang konvensional.1
Walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung
jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun
non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).2,3

3.4 ANATOMI
Tulang belakang manusia berfungsi sebagai pilar untuk menopang berat
tubuh dan tempat dimana terletaknya medulla spinalis. Tulang belakang juga
berfungsi untuk menyangga kepala dan sebagai titik sambungan terhadap
tulang iga, pelivs dan otot-otot punggung. Susunan tulang belakang manusia
terdiri dari tulang vertebra dan discus intervertebralis. Fungsi dari discus
intervertebralis di antara tulang vertebra adalah sebagai bantalan untuk
memberikan sifat fleksibel terhadap pergerakkan tubuh, baik ke arah anterior,

23
posterior, lateral maupun rotasi dan juga berfungsi agar tulang vertebra tidak
bertabrakkan satu dengan yang lainnya.

Terdapat 33 tulang vertebra yang dibagi menjadi 5 segmen berdasarkan


morfologi dan lokasi, antara lain :

• 7 vertebra servikalis yang terletak di antara thorax dan tengkorak,


dengan karakteristik bentuk yang kecil, prosesus spinosus yang terbagi
dua, dan foramen pada prosesus tranversus ;
• 12 vertebra torakalis ;
• 5 vertebra lumbalis yang terletak dibawah vertebra thorakalis, dimana
berfungsi sebagai penyanga bagian posterior dari dinding abdomen dan
dengan karkteristik bentuk yang besar ;
• 5 vertebra sakrum yang tergabung menjadi 1 tulang sakrum ;
• 4 vertebra coccygeal yang tergabung menjadi 1 tulang coccyx yang
terbentuk seperti segitiga kecil.

24
Gambar 2. Susunan Tulang Vertebra

Tulang vertebra pada segmen cervikalis, torakalis maupun lumbalis


memiliki struktur dasar yang sama satu dengan yang lainnya. Pada sisi
anterior terdapat tubuh dari tulang vertebra (vertebrae body) yang berfungsi
untuk menahan berat yang paling banyak. Pada bagian posterior terdapat 3
prosesus, antara lain 1 prosesus spinosus pada bagian medial dan & 2
prosesus transversus pada bagian lateral. Bagian anterior dan posterior dari
tulang vertebra digabungkan kaki-kaki yang disebut dengan pedicle. Pada
vertebra torakalis, terdapat yang disebut dengan facet dimana titik pertemuan
vertebra torakalis dengan tulang iga.
Foramen vertebralis terletak di tengah-tengah antara bagian anterior
dan posterior dari tulang vertebra. Foramen vertebralis berfungsi sebagai
tempat letaknya medulla spinalis yang dimulai dari dasar basis cranii hingga
vertebra lumbalis 1, yang kemudian diakhiri pada bagian distal dengan
kumpulan ujung saraf spinalis yang disebut dengan cauda equina.

Colum vertebralis memiliki & kurvatur normal, antara lain ;

25
• Kurvatur Primer melengkung ke arah anterior (concave anteriorly) :
Segmen Torakalis & Sakral

• Kurvatur Sekunder melengkung ke arah posterior (concave posteriorly) :


Segmen Servikalis & Lumbalis.

Pembuluh darah yang memperdarahi tulang-tulang vertebralis berasal


dari Aorta asenden yang memperdarahi vertebra servikalis dan desenden yang
memperdarahi sisa vertebra lainnya. Aorta asenden akan bercabang menjadi
Brachiocephalic trunk , common carotid dan arteri subklavian.
Brachiocephalic trunk akan terbagi menjadi arteri subklavian dan common
carotid. Aorta desenden berjalan bersamaan dengan kolum vertebralis, dimana
pada setiap vertebralis akan terdapat percabangan dari Aorta desenden, seperti
Thoracic segmental arteries dan Lumbal segmental arteries yang juga
memperdarahi medula spinalis dan tulang iga.

26

Gambar 4. Arteri yang Memperdarahi tulang


Vena yang memperdarahi tulang vertebra servikalis adalah vena
Jugularis interna dan externa yang merupakan percabangan dari Vena Cava
Superior. Sedangkan vena yang memperdarahi tulang vertebra lainnya berasal
dari Vena Cava Inferior. Selain itu, vena azigos berkomunikasi dengan plexus
Batson yang befungsi sebagai jalur alternatif ketika Vena Cava Superior
teroklusi, maupun secara parsial ataupun total. Batson plexus berjalan pada
foramen vertebralis. Batson plexus merupakan vena yang tidak memiliki
katup.1,4,5

27
Gambar 5. Vena yang Memperdarahi Tulang

Gambar 6. Baston
Plexus pada
vertebra

28
3.5 PATOFISIOLOGI
Infeksi tuberkulosis pada tulang vertebra terjadi akibat infeksi
sekunder dari infeksi primer di bagian tubuh lainnya. Cara penyebaran utama
bakteri ke bagian tulang vertebra adalah melalui aliran darah pada arteri
maupun vena. Oleh sebab itu spondylitis TB disebut sebagai blood-borne
disease dimana penyebaran terjadi secara hematogen. Sumber infeksi primer
paling sering terjadi pada organ paru dan traktus urinaria. Jika infeksi
menyerang segmen torakalis atas maka sumber infeksi primer cenderung
berasal dari infeksi TB paru, sedangkan jika infeksi terjadi pada segmen
torako-lumbal maka sumber infeksi primer 1enderung lebih berasal dari
infeksi pada traktus urinaria.
Pada awal infeksi, akan terjadi destruksi tulang vertebra bagian
anterior atau korpus vertebra yang disebut dengan proses osteolysis lokal dan
disertai dengan osteoporosis regional. Kemudian infeksi akan menyebar dan
terjadi avaskularisasi sehingga pada saat yang bersamaan produksi tulang baru
terhambat. Tuberculous sequestra akhirnya terbentuk pada segmen tulang
vertebra yang terinfeksi. Se1ara perlahan jaringan tuberculous sequestrae ini
akan mulai mempenetrasi dinding tipis dari bagian tulang vertebra sehingga
terbentuk yang disebut dengan abses paravertebra. Abses paravetebra akan
menyebar ke arah muskulus psoas. Akan tetapi, abses ini akan menunjukkan
tanda-tanda inflamasi yang minimal, oleh sebab itu abses ini sering dikenal
sebagai “cold abcess”.
Infeksi tersebut kemudian akan menjalar ke tulang vertebra lainnya
secara anterior maupun posterior melalui ligamen longitudinal. Diskus
intervertebralis tidak dapat terinfeksi sebab tidak ada aliran vaskular yang
melaluinya. Akan tetapi diskus intervertebralis secara perlahan akan terdesak
oleh jaringan granulasi tuberkulosis dan menjadi hancur. Pada anak-anak,
diskus intervertebralis dapat terinfeksi oleh sebab masih adanya aliran
vaskular yang melalui diskus intervertebralis. Ketika infeksi menyerang tulang
vertebra beserta dengan diskus intervertebralis, maka penyakit tersebut bukan
disebut sebagai spondylitis, akan tetapi disebut sebagai spondylodiscitis.

29
Oleh karena destruksi tulang terjadi pada bagian anterior tulang
vertebra, maka secara progresif terjadi kolaps dari tulang vertebra pada regio
anterior sehingga membuat postur tidak normal pada penderitanya, dimana
wedging pada tulang vertebra sisi anterior terjadi dan membentuk angulasi dan
gibbus. Maka secara klinis, pasien akan datang dengan postur bungkuk atau
yang dikenal sebagai postur kyphosis.
Ketika terjadi kolaps pada tulang vertebra dan penjepitan diskus
intervertebralis, maka struktur yang berada di dalam foramen vertebralis, yaitu
medulla spinalis akan tertekan sehingga akan tampak keluhan neurologis.
Keluhan neurologis oleh karena penekanan mekanik terhadap medulla spinalis
yang paling sering ditemukan pada penderita spondylitis TB adalah
paraplegia.1,5
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosa sekunder.
Penyebarannya secara hematogen nodus limfatikus para aorta atau melalui
jalur limfatik ke tulang. Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari
lima stadium yaitu :
a. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
b. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus
vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini
berlangsung selama 3-6 minggu.
c. Stadium destruksi lanjut.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses , yang
tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada

30
saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
d. Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis
spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis
yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi
pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat
derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan


aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan
saraf sensoris.

Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita


masih dapat melakukan pekerjaannya.

Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan


defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit
yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan
tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif
dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan
vaskuler vertebra.

31
e. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena
kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

3.6 MANEFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan


sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar
limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare
berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang
yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan
menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan
menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari
lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan
deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai
oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk
sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara pro-
gresif. Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus,
terjadi kiposis 100, 20% kasus memiliki kiposis lebih dari 10 dan hanya 4%
kasus lebih dari 300. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat
menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal.
Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang
dikenal dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe deisit neurologi
ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal,
dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang
beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset
lambat.

32
1. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3
bentuk spondilitis TB:
1) Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan
pada orang dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.
2) Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra.
Dapat menyebabkan kolaps vertebra dan sering dijumpai pada anak.
3) Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari
vertebra di atasnya dengan lokus awal di korpus vertebra bagian
anterior (Moesbar, 2006)

Uraian mengenai gejala-gejala yang sering ditemukan pada penderita


spondylitis tuberkulosis, antara lain :

• Nyeri punggung bersifat kronik progresif, terlokalisir, diperburuk dengan


gerakan atau batuk, disertai kaku dan spasme pada otot punggung
(“night cry”)
• Deformitas pada tulang punggung postur tubuh kyphosis yang tampak
seperti orang bungkuk atau tampak gibbus.
• Gejala neurologis paraplegia, paraparesis, gejala LMN, cauda equina
syndrome
• Gejala khas tuberkulosis non-spesifik malaise, anorexia, demam, keringat
malam, berat badan turun, lemas, nyeri di seluruh tubuh
• Abses abses pada penderita spondylitis TB sangat khas oleh karena
tanda-tanda inflamasi pada abses akan tampak sangat minimal.
Abses terbentuk secara perlahan tanpa disadari penderita sampai mulai
terlihat jelas atau memberikan keluhan yang signifikan
• Pada daerah cervical akan terbentuk abses retropharyngeal sehingga
menimbulkan gejala disfagia, sesak atau perubahan suara.

33
• Pada daerah torakal dan lumbalis akan tampak benjolan di
regioparavertebral atau jika abses pada daerah torakal terbentuk ke arah
anterior, akan terbentuk abses di daerah mediastinal.1
• Badan lemah, lesu, dan berat badan menurun
• Suhu subfebril terutama pada malam hari
• Pembengkakan setempat (abses)
• Defisit sensorik setingkat tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal
a. Anamnesis dan Inspeksi :
1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan,
keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten
terutama sore dan malam hari dan sakit (kaku) pada punggung.
Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya
keinginan bermain di luar rumah. Demam (terkadang demam
tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan
akan terlihat dengan jelas.
2) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau
berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus terjadi
pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan
pembesaran hati dan limpa.
3) Pada awal dijumpai nyeri interkostal, berupa nyeri yang menjalar
dari tulang belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang
interkostal. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak
sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke
tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa
di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka
nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini
hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi
nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang.
Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di
punggung.

34
5) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat
menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi
ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu
tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada
leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa
nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak
pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama
pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga
akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor
respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial
karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu
penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang
berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran
klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
6) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak
menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan
mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari
lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku mengelilingi rongga dada dan tampak
sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses
ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis.
7) Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan
lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali
pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai
permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan
dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya

35
kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi
panggul.
8) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis
(gibbus/angulasi tulan belakang, skoliosis, bayonet deformity,
spondilolistesis, dan dislokasi.
9) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit
neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi
paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi
di area torakal dan servikal.
b. Palpasi :
Sesuai dengan inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya
gibbus pada area tulang yang mengalami infeksi. Bila terdapat abses
maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di
daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di
belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak
ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam
cold abscess.
Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen
yang terkena.
c. Perkusi :
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus
spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.

36
3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih
dari 100mm/jam serta didapatkan leukositosis.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada
kondisi pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh
mycobacterium tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak
area berindurasi, kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar
tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif
tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis
milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti
baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain).
c. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara
serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak:
 Xantokrom
 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada
tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada
meningitis piogenik
 Kandungan protein meningkat.
 Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran
klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
 Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis),
punksi lumbal akan menunjukkan genuine dry tap. Pada
pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein
menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan

37
sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid
akan mencegah timbulnya hal ini.
Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal
terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml. Kultur cairan
serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi
yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa
dan tahap infeksi.

 Pemeriksaan gambaran radiologis.


o Foto polos thorax dilakukan pada seluruh penderita yang dicurigai
terkena infeksi tuberculosis untuk mencari bukti infeksi primer
tuberkulosa pada paru.
o Foto polos seluruh vertebra diperlukan untuk menguatkan bukti
terdapat kelainan pada struktur vertebra dan sekitarnya yang mengarah
pada infeksi tuberkulosa pada vertebra. Tanda-tanda radiologis baru
dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit. Foto polos vertebra
dilakukan secara antero-posterior dan lateral. Gambaran yang dapat
ditemukan pada foto polos vertebra antara lain ; penyempitan ruang
diskus intervertebralis, kolaps corpus anterior, erosi end-plate
vertebra, keterlibatan lebih dari 1 tulang vertebra, dan pembentukkan
cold abcess. Kerugian pada foto polos vertebra adalah dimana ketika
pada fase awal penyakit hasil gambaran foto vertebra akan tampak
normal. Sekitar 1/3 dari kalsium harus hilang dari suatu bagian agar
gambaran osteolisis dapat tampak. Selain itu, sulit untuk menilai
kompresi dari tulang belakang, kelainan pada jaringan ikat dan abses
pada foto polos. Apabila kelainan tampak jelas pada foto polos, maka
penyakit tersebut sudah dalam fase lanjut dimana sudah terdapat
kerusakan pada tulang vertebra dan gangguan neurologis.
o Foto Computed Tomography (CT Scan) yang bermanfaat untuk
melihat adanya keterlibatan infeksi pada tulang iga yang tidak tampak
pada foto polos vertebra. Keterlibatan infeksi pada bagian pedikel

38
akan tampak juga dengan CT-Scan. Foto CT-Scan juga dapat
memberikan gambaran kelainan pada fase awal dari penyakit karena
kerusakan-kerusakan tulang yang minimal akan terlihat lebih jelas
dibandingkan dengan foto polos vertebra. Abses paravertebral juga
akan tampak lebih jelas terlihat.
o Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan kelainan
pada jaringan lunak seperti medula spinalis, destruksi/degenerasi pada
tulang vertebra dan diskus intervertebralis, pembentukkan abscess dan
kavitasi pada medula spinalis. Mengevaluasi infeksi diskus
intervertebralis, osteomyelitis dan penekanan saraf.

o Mielografi yaitu filling defect sepanjang medulla spinalis. Melalui


punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural.
Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan
pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medulla spinalis. 1,2,3,6

3.8 PENATALAKSANAAN

TERAPI NON-OPERATIF

Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat dibunuh atau dihambat


dengan pemberian obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH,
ethambutol, pyrazinamid dan rifampicin. Namun karena vertebra yang
terinfeksi mengalami destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkejuan,
maka tindakan bedah menjadi penting untuk dapat mengevakuasi sumber
infeksi dan jaringan nekrotik. Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan
kompresi terhadap medulla spinalis dan menyebabkan defisit neurologik,
sehingga memerlukan tindakan bedah. Dasar penatalaksanaan spondilitis
tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit, obat-oabat anti
tuberkulosa dan pengeluaran abses.

a. Terapi Konservatif

39
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang
cukup baik.
1) Tirah baring (bed rest)
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama
pada keadaan akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat
berlangsung 3 – 4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang
secara klinis, radiologis dan laboratoris. Nyeri akan berkurang,
spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu makan pulih
dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara
laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10
mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan
destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
b. Anti Tuberkulosa
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),
rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan
ethambutol (EMB).
Pemberian terapi anti tuberculosis merupakan prinsip utama dalam
penatalaksanaan seluruh kasus infeksi tuberculosis, termasuk tuberculosi
pada tulang belakang. Menurut WHO, terapi anti tuberculosis harus
diberikan minimal selama 9 bulan, khususnya pada kasus infeksi
tuberculosis tulang. Pengobatan ini terbagi menjadi dua fase, antara lain :

 Fase awal (2 bulan Pertama)


• Isoniazid
• Rifampisin
• Streptomisin
• Pyrazinamide
 Fase Lanjut (4 Bulan setelah)
• Isoniazid
• Rifampisin

40
Terapi anti tuberculosis diberikan hingga foto rontgen
menunjukkan adanya resolusi pada tulang belakang. Masalah yang sering
timbul dari pemberian tatalaksana anti tuberculosis ini adalah mengenai
ketaatan pasien dalam menjalani terapi yang berdurasi panjang ini. Jika
terapi dijalankan terlalu singkat dari waktu yang ditetapkan, maka akan
menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat
mengalami resistensi obat.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa
yang primer:
I. Isoniazid (INH)
 Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
 Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
 Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
 Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
 Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai
lebih banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral
neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif
(bersifat reversibel dengan pemberian suplemen
piridoksin).
 Relatif aman untuk kehamilan
 Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari

II. Rifampin (RMP)


 Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat
ataupun lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
 Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik
yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
 Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan
tersedia dalam bentuk sediaan oral dan intravena.

41
 Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh
termasuk cairan serebrospinal.
 Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan
pada traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice,
trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
 Relatif aman untuk kehamilan
 Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.

III. Pyrazinamide (PZA)


 Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam
lingkungan yang bersifat asam dan paling efektif di
intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
 Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
 Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat
ini yang dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi
bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout
jarang tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak
berhubungan dengan kadar asam urat.
 Dosis : 15-30mg/kg/hari
IV. Ethambutol (EMB)
 Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
 Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan
timbulnya kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman
penglihatan dan adanya central scotoma.
 Relatif aman untuk kehamilan

42
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi
ginjal
 Dosis : 15-25 mg/kg/hari
V. Streptomycin (STM)
 Bersifat bakterisidal
 Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa
sehingga dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
 Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII),
nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut
usia)
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi
ginjal
 Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

OAT berdasarkan berat ringannya penyakit;


1) Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis
paru yang luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata,
tuberkulosis disertai diabetes mellitus dan tuberkulosis
ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa.
2) Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal
dalam pengobatan.
3) Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.
Paduan OAT untuk spondilitis tuberkulosa sesuai dengan
Kategori I seperti dalam Tabel 1. INH diberikan sampai 12 bulan.
Streptomycin hanya sebagai kombinasi terakhir atau tambahan
pada regimen yang ada. Di samping itu ada OAT tambahan tetapi
kemampuannya lemah misalnya kanamycin, PAS, thiazetazone,
ethionamide, dan quinolone.

43
c. Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, Pemberian gips
ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan
deformitas lebih lanjut. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada
daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah
vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast
jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral
dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai
dengan fiksasi salah satu sisi panggul.
Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak
penderita diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita menjalani
kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris.
Bila dalam pengamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan
kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester,
nutrisi yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita
harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu
dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulosa, jaringan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.1,2,3

TERAPI OPERATIF
Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi,
mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan

44
kerusakan lebih lanjut. Salah satu tindakan bedah yang penting adalah
debridement yang bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara
menbuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-
organisme.
Indikasi operasi:
1) Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan,
secara klinis dan radiologis memburuk.
2) Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
3) Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak
dengan defisit neurologik, terdapat abses paravertebral
4) Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada
penderita anak. Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas
berat pada anak dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.
Terapi operatif dilakukan hanya pada penderita dengan lesi
kompresif secara radiologis dan yang sudah tampak kelainan-kelainan
secara neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di
tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operatif juga dilakukan bila
setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat anti tuberkulosa dengan terapi
konservatif telah dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik.
Tatalaksana operatif dilakukan dengan tujuan untuk debridement
dan drainase dari “Cold Abses”, begitu juga untuk dekompresi dari
medulla spinalis dan strukturnya, men1egah instabilasi dari struktur tulang
belakang, dan memperbaiki dan mencegah deformitas pada struktur tulang
belakang. Teknik operatif untuk terapi Spondylitis TB ada dua, antara lain
anterior dekompresi dan posterior dekompresi. Pilihan tindakan operasi
dekompresi secara anterior atau posterior bergantung pada lokasi lesi pada
tulang vertebra. Jika lesi terletak pada bagian anterior maka tindakan
operatif yang dipilih adalah anterior dekompresi, begitu juga sebaliknya
jika lesi terdapat pada posterior, maka tindakan operasi dekompresi
posterior akan dipilih.

45
Anterior dekompresi menjadi pilihan terapi operatif paling sering
sebab spondylitis TB umumnya menyerang bagian kolum anterior dari
tulang belakang. Oleh sebab itu, dengan melakukan anterior dekompresi
akan mempermudah tindakan debridement yang dilakukan supaya adekuat
dan sesuai, begitu juga tindakan rekonstruksi deformitas yang terjadi dapat
dilakukan secara maksimal. Debridement saja dapat dilakukan untuk
membersihkan infeksi setempat, akan tetapi jika tidak dilakukan
rekontruksi maka progress untuk terjadinya deformitas tetap dapat
berlangsung.
Pada tindakan operatif, debridement dilakukan dengan
membersihkan area nekrotik yang mengandung tulang mati beserta
jaringan granulasi agar lesi bersih dan jaringan nekrotik tidak akan
menyebar lebih luas. Setelah itu akan terdapat rongga yang kemudian akan
diisi dengan autogenous bone graft dari tulang iga atau tulang ilika.
Pemilihan terapi operatif seperti ini akan mendorong penyembuhan
dengan cepat dan stabilisasi tulang belakang akan tercapai dengan
memfusikan tulang vertebra yang terkena. Fusi tulang vertebra posterior
hanya dilakukan bila terdapat destruksi dua atau lebih dari korpus bertebra,
adanya instabilitas karena destruksi tulang vertebra bagian posterior, dan
jika tindakan prosedur dekompresi anterior tidak memungkinkan. Akan
tetapi, pemberian obat antituberkulosa tetap menjadi terapi wajib bagi
penderita spondylitis TB walaupun tindakan operatif telah dilakukan.1,2,3

3.8 DIAGNOSIS BANDING


- Osteomielitis piogenik atau fungal, secara klinis dan radiologis sulit
dibedakan dari spondylitis TB. Pada ostemielitis piogenik, hanya 50%
kasus kultur darah yang positif untuk Staphylococcus aureus,
Streptococcus sp dan bakteri gram negative lainnya. Sementara itu,
osteomilitis fungal dapat dibedakan melalui biopsy specimen vertebra.
- Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau

46
lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
- Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
- Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda
dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap
dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai
bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang
berbatas jelas.
- Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
- Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
- Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat
karsinoma prostat.
- Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
- Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
- Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
- Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh
kerangka.
- Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.
- Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).
- Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa scoliosis.2,7

47
3.9 PROGNOSIS
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari
usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit
neurologis serta terapi yang diberikan. Prognosis spondilitis TB bervariasi
tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi. Prognosis yang buruk
berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat terjadi sekuele
antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan
lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan.
Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun
sampai 30%
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik
dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir
mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi
kosmetissecara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya
defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena
keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik
secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum,
prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

48
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan
permanen spondilitis tuberkulosa.7,8

3.10 KOMPLIKASI
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik
yang terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan
meningitis TB, dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi
mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila
pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak
dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30%.

a) Pott’s paraplegia
 Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh
pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula
spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan
cara dekompresi medula spinalis dan saraf.
 Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis
dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas
kanalis spinalis.
b) Ruptur abses paravertebra
 Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis
 Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces.
c) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia “
prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda
spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :menigomyelitis,
prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda

49
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi
dura dan corda spinalis.

50
BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis terhadap pasien didapatkan bahwa nyeri pinggang


yang menjalar hingga ke pergelangan kaki, disertai kesemutan yang hilang timbul.
Pasien juga merasakan keluhan kelemahan pada kaki kanan dan kiri yang semakin
memberat setiap harinya. Pasien mengeluhkan demam hilang timbul yang
dirasakan pada sore hari dan disertai keringat pada malam hari. Penurunan nafsu
makan juga dirasakan oleh pasien dan mengakibatkan penurunan berat badan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan kekuatan motorik bawah 2/2,
pemeriksaan rangsang meningeal tidak ditemukan, pemeriksaan nervus kranial
tidak ditemukan kelainan berarti, pada pemeriksaan refleks patella dan Achilles
didapatkan penurunan refleks, pemeriksaan refleks patologis tidak didapatkan,
pemeriksaan sensorik raba pada kaki kanan dan kiri ditemukan kelainan
hipoestesi L4-L5,dan pada pemeriksaan propioseptif kaki kanan dan kiri
terganggu, serta tidak terdapat gangguan pada BAK dan BAB.
Dari pemeriksaan penunjang berupa MRI Lumbal, didapatkan hasil
destruksi endplate corpus vertebrae pada L4-L5 mengesankan infective
spondylitis etiologi TB. Hal ini sesuai dengan apa yang telah didapatkan pada
anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, hal tersebut mengindikasikan bahwa pasien
mengalami Paraparese & Hipoestesi Inferior tipe LMN e.c Spondylitis TB.
Serta untuk pemberian terapi sudah sesuai dengan keluhan yang dialami
pasien yaitu pemberian kortikosteroid, vitamin pada saraf dan juga pemberian
OAT.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Octavia, Bellyana. 2015. Spondilitis Tuberkulosis. Didapat dari


https://www.scribd.com/doc/307149133/Referat-SPondilitis-TB#
Diakses tanggal 10 Februari 2019.

2. Budhi, Badrul. Buku Ajar Neurologi Dasar Edisi II. Jakarta:


Sagung Seto; 2015

3. Munir, Badrul. Neurologi Dasar Edisi II. Jakarta: Sagung Seto;


2017

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Panduan Praktik


Klinis Neurologi. Jakarta. 2016

5. Tanto, C. (2014). kapita selekta kedokteran: edisi 4 jilid 1.


jakarta: media aesculapius

6. Snell, R. S., 2006, Anatomi Klinik , EGC, Jakarta

7. Vivi,dr. 2009. Spondilitis TB. Didapat dari :


http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/05/spondilitis_t
uberkulosa.pdf . Diakses tanggal 11 Februari 2019

8. Gede, putu. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. Didapat dari :


https://www.researchgate.net/publication/312403150_Spondilitis_
Tuberkulosis. Diakses tanggal 11 Februari 2019

9. Wim de Jong, 2002. Spondilitis TB, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 1226-1229
10. Batra V. 2009. Tuberculosis. Didapat dari
http://www.emedicine.com/ped/topic2321.htm. Diakses tanggal 11
Februari 2019.
11. Harsono, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta
Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. P.

12. Herchline T. 2007. Tuberculosis. Didapat dari


http://www.emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal
11 Februari 2019.

13. Hidalgo A. 2006. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat


dari http:// www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses
tanggal18 Februari 2019.

52

Anda mungkin juga menyukai