Anestesi Lokal
Oleh:
Achyarini Noviola
G1A218056
Pembimbing:
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN
G1A218056
Universitas Jambi
Pembimbing
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Science
Session (CSS) yang berjudul “Tatalaksana Koma Hepatikum” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Achyarini Noviola
BAB I
PENDAHULUAN
Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam
mengatur metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-
bahan yang penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses
katabolisme yaitu dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia,
berbagai jenis hormon, obat obatan, dan sebagainya. Selain itu hati Juga berperan
sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta memelihara
keseimbangan aliran darah splanknikus.1
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang
bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati
tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik
atau Ensefalopati Hepatik (HE).1
Koma Hepatikum adalah komplikasi umum pada pasien dengan penyakit
hati sirosis. Koma hepatikum tidak hanya menghasilkan penurunan kualitas hidup,
tetapi juga memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien dengan sirosis
hati yang mendasarinya, Dalam kasus yang parah, bahkan dapat menyebabkan
koma atau kematian. 2 Koma hepatikum terlihat pada pasien dengan disfungsi hati
dan / atau pirau portosystemic. Sirosis Salah satu komplikasi yang paling
melemahkan, ensefalopati mempengaruhi 30-45% sirosis. Sirosis adalah
penyebab kematian nomor 12 di Amerika Serikat (AS), konflik lebih dari 36.000
kematian dan memiliki angka kematian 11,5 per 100.000 pada tahun 2013.3
Di Indonesia, kejadian koma hepatikum yang berkomplikasi dari sirosis
hepatik hampir mencapai 50% dan perbandingan antara pria dan wanita adalah
2,1:1.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Koma hepatikum atau Ensefalopati Hepatik (HE) adalah komplikasi umum
pada pasien dengan penyakit hati sirosis. HE tidak hanya menghasilkan
penurunan kualitas hidup, tetapi memberikan prognosis yang lebih buruk pada
pasien dengan sirosis hati yang mendasarinya. HE adalah peristiwa penting dalam
riwayat alami sirosis dan merupakan prediktor independen mortalitas pada pasien
dengan akut pada gagal hati kronis. Dalam kasus yang parah, bahkan dapat
menyebabkan koma atau kematian. 2
2.2 Etiologi
koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti hal ini
disebabkan karena:
1. Masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/
neurofisiologis.
2. Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda
dalam jaringan otak.
3. Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan
biokimia saling berkaitan satu dengan lainnya.
Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat
akumulasi dari sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat
tersebut dalam sirkulasi sistemik.1
2.3 Patogenesis
Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun ada beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma
hepatik antara lain adalah:
1. Hipotesis amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein
dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati
amonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin
pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi
dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%),
hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi
gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
amonia sebesar 5-10 kali lipat. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
amonia secara invitro akan mengubah loncatan (fluk) klorida melalui
membran neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel
saraf. Di samping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan
eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan glutamat.
2. Hipotesis toksisitas sinergik
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia
seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan Iain-
Iain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan
berperan menghambat NaK-ATP-ase. Asam lemak rantai pendek terutama
oktanoid mempunyai efek metabolik seperti gangguan oksidasi, fosforilasi
dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktifitas NaK-ATP-
ase sehingga dapat mengakibatkan koma hepatik reversibel. Fenol sebagai
hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan
enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat
dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti
amonia yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut
akan memperkuat sifat sifat neurotoksisitas dari amonia.
3. Hipotesis neurotransmiter palsu.
Pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin
dan noradrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati,
neurotransmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu seperti
oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamin atau
nor-adrenalin (Mullen, 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi
adalah: a). Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi
peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk
ke sirkulasi otak; b). Pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi
penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin,
leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam
amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena
penurunan ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan AAA
(Fisischer'ratio) normal antara 3-3,5 akan menjadi lebih kecil dari 1,0.
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter
pada susunan saraf.
4. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin.
Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang
merangsang dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang
berperan pada terjadinya koma hepatik. Terjadi penurunan transmiter yang
memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat dan dopamin sebagai
akibat meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang
menghambat transmisi impuls. Efek GABA yang meningkat bukan karena
influks yang meningkat ke dalam otak tapi akibat perubahan reseptor
GABA dalam otak akibat suatu substansi yang mirip benzodiazepin
(benzodiazepin-like substance).1
2.4 Klasifikasi2
Koma hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat dijumpai
pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun yang kronik. Sesuai dengan
perjalanan penyakit hati maka koma hepatik dibedakan atas:
1) Koma hepatik akut {fulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien
hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan
hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa
faktor pencetus (presipitasi). Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai
dengan delirium, kejang disertai dengan edema otak. Dengan perawatan
intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%. Kematian terutama
disebabkan edema serebral yang patogenesisnya belum jelas,
kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi
neuronal (Na+ dan K+) ATP-ase, serta perubahan osmolar karena
metabolisme amonia
2) Pada penyakit hati kronik dengan koma portosistemik, perjalanan tidak
progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan
oleh beberapa faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus seperti azotemia,
sedatif, analgetik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik,
kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan
pemakaian diuretik akan dapat mencetuskan koma hepatik.
Penting untuk menilai derajat HE. Dengan cara ini, respons terhadap
intervensi terapeutik dapat dikuantifikasi dan direproduksi dengan cara yang
andal. Meskipun banyak teknik neuroimaging tersedia, skala klinis tetap menjadi
cara terbaik untuk menentukan kemanjuran respon terhadap terapi pada HE.
Klasifikasi West-Haven, yang diformulasikan oleh Harold Conn dan rekannya
sambil menyelidiki kemanjuran terapi laktulosa, adalah metode yang saat ini
populer dalam mengklasifikasikan derajat HE.1
2.6 Diagnosa
Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dibantu
dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain
adalah:
Elektroensefalografi (EEG).
Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan
menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan
frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12 Hz).1
Tabel 3. Tingkat kualitas dari Elektroensefalografi (EEG)
Tingkat Ensefalografi Frekuensi gelombang EEG
Tingakat 0 Frekuensi alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I 7-8 siklus/detik
Tingkat II 5-7 siklus/detik
Tingkat III 3-5 siklus/detik
Tingkat IV 3 siklus/detik atau negatif
Tes psikometri.
Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual
pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat
sederhana dan mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat
dan tidak mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail
Making Test) yang dipergunakan secara luas pada ujian personal millter
Amerika (Conn HO, 1994) kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini
yang disebut sebagai Uji Hubung Angka (UHA) atau Number Connection
Test (NCT). Dengan UHA tingkat ensefalopati dibagi atas 4 kategori1
2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik
yang terjadi adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik primer terjadinya
koma adalah akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor
pencetus (presipitasi), sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya koma
dipicu oleh faktor pencetus. Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma
hepatik adalah:
1). Mengobati penyakit dasar hati;
2). Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus;
3). Mengurangi/mencegah pembentukan influks toksin-toksin nitrogen ke
jaringan otak antara lain dengan cara:
a). Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein,
b). Menggunakan laktulosa dan antibiotika,
c). Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4). Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi
komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna,
dan keseimbangan elektrolit.
Secara umum tatalaksana pasien dengan koma hepatik adalah
memperbaiki oksigenasi jaringan, pemberian vitamin terutama golongan vitamin
B, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan cairan, serta menjaga agar jangan
terjadi dehidrasi. Pemberian makanan berasal dari protein dikurangi atau
dihentikan sementara, dan dapat kembali diberikan setelah terdapat perbaikan.
Protein dapat ditingkatkan secara bertahap, misalnya dari 10 gram menjadi 20
gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan dengan respon klinis, dan bila keadaan
telah stabil dapat diberikan protein 40-60 gram sehari.1
Manajemen Umum Ensefalopati Kronis
Strategi pengobatan yang digunakan dalam HE 7
Tingkat HE: I-II
manajemen Umum
Hiperamonemia
Suplementasi protein diet
Pencahar
(i) Disakarida yang tidak dapat diserap
(ii) Enema
Antibiotik yang tidak dapat diserap
Modulasi amonia interorgan
(i) L-ornithin, L-aspartate (LOLA)
(ii) Sodium benzonat
(iii) Pherylacetate
Lainnya
(i) Flumazenil “Bromocriptine” acarbose
Terapi yang muncul
(i)Probiotik
Pencahar
Nonabsorable Disaccharides
Tidak jelas bagaimana disakarida yang tidak terserap memberikan efek
yang menguntungkan. Ada banyak mekanisme yang diusulkan (1) peningkatan
pertumbuhan bakteri yang tidak memproduksi bakteri, (2) katarsis sekunder akibat
pengasaman usus yang mengurangi penyerapan amonia, (3) proliferasi bakteri
sehat dengan menyediakan karbohidrat tambahan dan dengan demikian nitrogen
(bahkan sebagai amoniak) menjadi protein, dan / atau (4) menyediakan karbon
dan energi sehingga metabolisme bakteri amoniak terbuang. Lebih khusus lagi,
laktulosa (gula) melewati usus kecil yang sama sekali tidak tercerna (tidak seperti
glukosa, sukrosa, dan laktosa, yang mudah difermentasi dalam usus kecil).Setelah
di usus besar, laktulosa difermentasi oleh bakteri anaerob, terutama Bacteroides
spp . Fermentasi laktulosa oleh bakteri kolon menghasilkan asam lemah yang
penting (laktat, asetat & butirat) dan gas (misalnya, hidrogen). Hal ini
menyebabkan pengasaman amonia menjadi amonium yang diserap dengan
buruk. Namun, secara fisiologis dosis harian total 10-20 g kecil dibandingkan
dengan 500-1000 g feses / hari, sehingga dampak pada keasaman / penurunan pH
feses pada flora faecal cenderung terbatas. Ini didukung oleh kegagalan manitol
dan sorbitol, yang keduanya menyebabkan pH rendah, untuk meningkatkan
HE . Produksi hidrogen kolon mungkin lebih penting karena hanya 7 g laktulosa
yang menghasilkan 1 Liter hidrogen yang dapat menyebabkan terburu-buru usus
dan menggeser sejumlah besar bakteri kolon. Namun, mungkin pemberian energi
yang lebih disukai daripada amonia yang memperhitungkan manfaat disakarida
yang tidak terserap.
Sebuah meta-analisis komprehensif dari disakarida yang tidak dapat
diserap telah menyarankan bahwa data saat ini dari uji klinis acak tidak
mendukung penggunaan rutinnya dalam praktik klinis meskipun studi klinis
baru menunjukkan manfaat dengan pemberian laktulosa yang memberikan
peningkatan neuropsikometri dan kualitas hidup skor, yang memberikan
banyak bukti anekdotal bahwa disakarida bermanfaat. Sangat mungkin
bahwa dampak dari terapi lain yang diprakarsai pada saat yang sama sering
mengacaukan manfaat pada keparahan HE oleh efek penurun amonia dari
disakarida yang tidak terserap.
Kepatuhan, efek samping, keamanan klinis, dan efektivitas biaya
adalah masalah yang perlu. Sering diabaikan bahwa penggunaan agresif
laktulosa menyebabkan distensi gas yang signifikan, ketidaknyamanan, dan
diare yang dapat menyebabkan kepatuhan yang buruk. Lebih lanjut, dapat
terjadi dehidrasi, uraemia prerenal, hiponatremia, atau aspirasi
laktulosa. Oleh karena itu, meskipun disakarida yang tidak terserap relatif
murah, efektivitas biaya mereka harus seimbang dengan hasil klinis.
Pencahar lainnya
Enema bermanfaat sebagai cara mengusir flora usus penghasil
amonia dengan pembersihan dan pengasaman kolon tetapi tidak lebih baik
daripada pencahar oral seperti laktulosa. Oleh karena itu, jika gerakan usus
dapat dipertahankan pada ≥2 / hari, maka enema mungkin tidak
menawarkan manfaat tambahan.
Antibiotik nonabsorbrable
Kontribusi bakteri urease-positif usus untuk produksi amonia usus terutama di
usus besar daripada mukosa lambung (misalnya, Helicobacter pylori), karena
jumlah dan lebih banyak pH kolon alkali yang mendukung peningkatan difusi
amonia, sehingga pemberantasan Helicobacter pylori tidak memiliki manfaat
terapi. Agen antibakteri sintetis oral, yang tidak dapat diserap seperti Neomycin
dan Rifaximin telah digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
spesies bakteri amoniak yang rentan, yang menunjukkan kemanjuran yang
sebanding dengan laktulosa. Rifaximin adalah antibiotik sintetis yang terkait
dengan rifamycin, dengan aktivitas antibakteri yang luas terhadap bakteri gram
negatif dan gram positif aerob dan anaerob. Dalam penelitian terkontrol acak,
Rifaximin terbukti berkhasiat (mempertahankan remisi dan mengurangi rawat
inap dengan HE bahkan pada pasien yang sudah menggunakan laktulosa), dan
profil keamanan yang unggul sehingga lebih disukai daripada neomycin,
Meskipun antibiotik yang bermanfaat dan tidak dapat diserap sering dipesan untuk
pasien yang gagal menanggapi disakarida yang tidak terserap.
Pengatur metabolisme amoniak interorgan
Konsep memanipulasi jalur biosintesis endogen untuk menghilangkan
nitrogen limbah nonurea sebagai pengganti sintesis urea yang rusak sudah
ditetapkan. Meskipun fungsi siklus urea abnormal, mengurangi nitrogen total
tubuh dengan mempromosikan sintesis metabolit yang mengandung nitrogen non-
urea dengan tingkat ekskresi yang tinggi tampaknya bermanfaat.
Suplementasi Arginin
L-arginin adalah substrat diet penting untuk siklus urea yang
memungkinkan detoksifikasi amonia menjadi urea (via arginase). L-arginin adalah
asam amino semiessential, karena meskipun diproduksi secara metabolik, di
beberapa negara penyakit mungkin memerlukan suplementasi makanan. Dalam
kasus gangguan siklus urea masa kanak-kanak (misalnya, defisiensi
argininosuccinate synthetase (AS) dan argininosuccinase (AL)), pembatasan diet
L-arginin memicu perkembangan yang cepat (15-68 jam) dari hiperammonaemia
simptomatik (misalnya muntah, lesu, lesu, lesu). , atau lekas marah). Pada
gangguan ini, ada pengurangan yang signifikan dalam produksi urea, dengan
nitrogen malah terakumulasi sebagai glutamin, amonium, dan sampai batas
tertentu alanin dan glutamat. Pada defisiensi AS dan AL, pemberian diet
tambahan L-arginin meningkatkan sintesis sitrulin dan argininosuksinat,
memungkinkan ekskresi nitrogen melalui urin.
Pada ALF, hipotensi sistemik dan edema serebral dapat dikaitkan dengan
peningkatan kadar oksida nitrat plasma (NO). L-arginin adalah substrat pembatas
laju untuk produksi NO tetapi defisiensi ALF karena kemungkinan peningkatan
aktivitas arginase di hati yang mengubahnya menjadi urea dan ornithine. Belum
ada penelitian klinis yang mengevaluasi peran suplementasi L-arginin pada HE,
meskipun penelitian pada hewan menunjukkan bahwa mengoreksi defisiensi L-
arginin dapat mengubah hipertensi portal dan edema serebral melalui pengurangan
arginase yang bergantung pada hiperamonemia dan / atau mekanisme yang tidak
bergantung pada NO. ).
Phenylbutyrate
Phenylbutyrate (dikonversi menjadi phenylacetate in vivo) adalah terapi
untuk hiperammonaemia yang terkait dengan gangguan siklus urea, yang ditandai
dengan peningkatan kadar glutamin. Kelebihan ini dapat diatasi dengan fenil
asetat, yang secara kovalen bergabung dengan glutamin yang bersirkulasi untuk
membentuk fenilasiletilglutamin yang diekskresikan secara eksternal,
menghilangkan glutamin sebagai substrat untuk amonioniagenesis. Sejauh ini
fenilbutirat terbukti tidak efektif dalam pengobatan HE yang berhubungan dengan
gagal hati, mungkin karena keadaan glutamat yang tinggi, prasyarat fenil asetat
untuk bekerja, tidak ada pada gagal hati.
Sodium Benzoate
Demikian pula natrium benzoat meningkatkan ekskresi amonia ginjal tetapi
sebagai asam hippuric (hippurate), konjugat glisin dari asam benzoat. Sodium
benzoate juga meningkatkan ensefalopati dengan kesalahan metabolisme bawaan
dan sama efektifnya dengan laktulosa dalam pengobatan HE portosystemic akut.
Gabungan Sodium Phenylbutyrate dan Benzoate Intravena (Ammonul,
Ucyclyd Pharma)
Pada gangguan siklus urea, terapi kombinasi menghasilkan 79%
penurunan amonia plasma, dan 84-98% meningkatkan kelangsungan hidup
dengan penyakit onset lanjut, meskipun buruk pada neonatus dan nilai-nilai
amonia puncak tinggi. Jika tidak diobati, hanya 16% neonatus yang bertahan
hidup, dibandingkan dengan 72% dengan penyakit onset lanjut. Namun, karena
N-asiltransferase yang mengkonjugasikan glutamin menjadi fenilasetat dan glisin
menjadi benzoat terletak di hati dan ginjal, hepatotoksisitas ALF yang parah pada
akhirnya dapat menyebabkan kegagalan respons, terutama dengan saturasi
kapasitas enzim (misalnya, fenilasetat dengan PAG).
L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA menyediakan L-ornithine dan L-aspartate sebagai substrat untuk
produksi glutamat dalam otot yang mengarah ke pengurangan amonia yang
bersirkulasi dan dalam model-model gagal hati lebih lanjut menunjukkan bahwa
LOLA mengurangi edema otak HE lanjut. Dalam sebuah studi kontrol acak
ganda-buta sirosis dengan HE ringan, satu minggu LOLA mengurangi amonia dan
meningkatkan fungsi mental. Sebuah studi cross-over menunjukkan bahwa 20-40
g / hari infus LOLA memperbaiki peningkatan postprandial amonia setelah
pemuatan protein oral. Namun, pada dosis yang lebih tinggi, penelitian ini
meningkatkan glutamat plasma, glutamin yang tidak berubah, dan meningkatkan
produksi urea yang bertentangan dengan hipotesis detoksifikasi amonia
otot. Selanjutnya, 40g dosis diinduksi hiperglikemia dan
hiperinsulinemia . Sampai saat ini, belum ada penelitian pada pasien dengan ALF,
dan penggunaannya dalam ALF saat ini tidak direkomendasikan. Secara kritis,
ada kekhawatiran bahwa efek penurun amonia LOLA mungkin hanya bersifat
sementara, karena rebound hyperammonaemia saat menghentikan LOLA, karena
peningkatan kadar glutamin yang signifikan akhirnya menjadi sumber
amonioniagenesis oleh ginjal dan usus (melalui glutaminase). Selain itu, aspartat
tidak mungkin menawarkan manfaat tambahan seperti pada model hewan yang
gagal mengurangi amonia.
L-Ornithine Phenylacetate (OP)
OP adalah terapi baru yang menargetkan interorgan ammonia dan
metabolisme asam amino. OP mengurangi kadar toksik amonia oleh ornithine
yang bertindak sebagai substrat untuk sintesis glutamin dari amonia pada otot
rangka. Kombinasi ini tidak seperti terapi lain yang menargetkan metabolisme
interorgan ammonia (misalnya, LOLA), dengan menghentikan daur ulang
ammonia (terperangkap sebagai ornithine-glutamin) melalui phenylacetate yang
mengekskresikan glutamin yang terkait dengan ornithine sebagai
phenylacetylglutamine dalam ginjal. Telah terbukti memperbaiki keadaan
hyperammonemic pada model hewan sirosis dan ALF, membatasi edema otak dan
meningkat pada ICP. Studi klinis saat ini sedang berlangsung.
Lainnya
Acarbose
Acarbose agen hipoglikemik yang merangsang motilitas usus, melalui
penghambatan penyerapan glukosa usus dengan mempromosikan flora bakteri
sakarolitik usus dalam preferensi untuk flora proteolitik, sehingga mengurangi
substrat untuk produksi amonia. Dalam uji coba silang secara acak terhadap
pasien sirosis dengan diabetes mellitus derajat rendah dan DM tipe-2, 8 minggu
asbbose (100 mg TDS) secara signifikan menurunkan kadar darah amonia, dan
fungsi intelektual, selain dari penurunan puasa dan glukosa postprandial, dan
mengurangi kadar hemoglobin glikosilasi. Namun, acarbose tidak mungkin
menjadi pilihan kecuali pada mereka dengan diabetes mellitus tipe-2 yang hidup
berdampingan.
Bromokriptin
Bromocriptine, agonis dopamin, telah digunakan dengan keberhasilan
yang terbatas untuk gangguan dalam neurotransmisi dopaminergik terkait dengan
HE yang tidak terobati kronis, tetapi penelitian tersebut gagal menunjukkan
manfaat yang jelas atas terapi standar. Lebih lanjut, pada pasien sirosis dengan
asites, ini dapat menginduksi hiponatremia. Namun, ada bukti anekdotal untuk
menyarankan manfaat dalam sejumlah kecil pasien sirosis dengan ensefalopati
tingkat rendah dan cedera ganglia basal dengan defisiensi dopamin terkait.
Probiotik
Sebagian besar amonia yang diproduksi oleh usus adalah dari deaminasi
asam amino diet oleh bakteri, dengan kontribusi kecil dari urea yang dihasilkan
oleh bakteri urease-positif. Pada pasien yang sakit kritis dan kurang gizi, kadar
strain bakteri defensif dominan (Bifidobacterium dan Lactobacillus)
menurun.Antibiotik selanjutnya dapat menyebabkan bakteri penghasil amonia
memperbaiki hiperamonemia.Probiotik adalah mikroorganisme hidup
nonpathogenik yang digunakan sebagai bahan makanan yang mungkin memiliki
peran dalam pengobatan HE. Probiotik dianggap memberikan efek pada HE
dengan mengurangi produksi amonia usus oleh enterocyte glutaminase dan
mengurangi translokasi bakteri, memodulasi respons proinflamasi, dan
memodulasi permeabilitas usus. Selain itu, probiotik memintas usus kecil dan
difermentasi oleh bakteri kolon untuk membentuk asam laktat, asetat, dan butirat,
serta gas (terutama hidrogen); setiap terburu-buru usus yang dihasilkan dapat
meningkatkan pengusiran bakteri amoniak. Dalam uji coba terkontrol plasebo
acak , probiotik telah terbukti mengurangi produksi dan peradangan usus
amonia . Perlu dicatat bahwa serat yang difermentasi saja juga bermanfaat dalam
penelitian itu. Ini tidak terduga karena efek umum probiotik, selain dari
penurunan substrat untuk bakteri lain dan pengurangan translokasi, adalah
fermentasi gula yang tidak diserap (misalnya, mono, di- dan
oligosakarida). Fermentasi gula ini mengarah pada produksi jumlah diferensial
asam laktat, etanol, dan CO 2 untuk memodulasi keasaman usus dan produksi gas.
BAB III
KESIMPULAN
1. Setiati S, Idrus A, dll (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,
Edisi VI : Interna Publishing; Jakarta: 2014; Hal 1987
2. Poh Z, Chang PEJ. A Current Review of the Diagnostic and Treatment
Strategies of Hepatic Encephalopathy: International Journal of
Hepatology; 2012.
3. Elwir S, Rahimi SR. Hepatic Encephalopathy: An Update on the
Pathophysiology and Therapeutic Options: Journal of Clinical and
Translational Hepatology 2017 vol. 5 | 142–151
4. A Prayudo P, Wibowo A. Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis
Hepatik: J Medula Unila; 2017: 7 (2)
5. Wright G, Chattree A, Jalan R. ManagementofHepaticEncephalopathy:
International Journal of Hepatology; 2011