Anda di halaman 1dari 28

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218056/Agustus 2019


**Pembimbing/dr.Hasan Basri, SpPD-KGH. FINASIM

Tatalaksana Koma Hepatikum

Anestesi Lokal

Oleh:

Achyarini Noviola
G1A218056

Pembimbing:

dr.Hasan Basri, SpPD-KGH. FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Clinical Science Session (CSS)

Tatalaksana Koma Hepatikum

Disusun Oleh : Achyarini Noviola

G1A218056

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada September 2019

Pembimbing

dr.Hasan Basri, SpPD-KGH. FINASIM


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Science
Session (CSS) yang berjudul “Tatalaksana Koma Hepatikum” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hasan Basri SpPD-KGH.


FINASIM, yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi
Jambi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Laporan Kasus


ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga Laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, September 2019

Achyarini Noviola
BAB I
PENDAHULUAN

Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam
mengatur metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-
bahan yang penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses
katabolisme yaitu dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia,
berbagai jenis hormon, obat obatan, dan sebagainya. Selain itu hati Juga berperan
sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta memelihara
keseimbangan aliran darah splanknikus.1
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang
bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati
tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik
atau Ensefalopati Hepatik (HE).1
Koma Hepatikum adalah komplikasi umum pada pasien dengan penyakit
hati sirosis. Koma hepatikum tidak hanya menghasilkan penurunan kualitas hidup,
tetapi juga memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien dengan sirosis
hati yang mendasarinya, Dalam kasus yang parah, bahkan dapat menyebabkan
koma atau kematian. 2 Koma hepatikum terlihat pada pasien dengan disfungsi hati
dan / atau pirau portosystemic. Sirosis Salah satu komplikasi yang paling
melemahkan, ensefalopati mempengaruhi 30-45% sirosis. Sirosis adalah
penyebab kematian nomor 12 di Amerika Serikat (AS), konflik lebih dari 36.000
kematian dan memiliki angka kematian 11,5 per 100.000 pada tahun 2013.3
Di Indonesia, kejadian koma hepatikum yang berkomplikasi dari sirosis
hepatik hampir mencapai 50% dan perbandingan antara pria dan wanita adalah
2,1:1.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Koma hepatikum atau Ensefalopati Hepatik (HE) adalah komplikasi umum
pada pasien dengan penyakit hati sirosis. HE tidak hanya menghasilkan
penurunan kualitas hidup, tetapi memberikan prognosis yang lebih buruk pada
pasien dengan sirosis hati yang mendasarinya. HE adalah peristiwa penting dalam
riwayat alami sirosis dan merupakan prediktor independen mortalitas pada pasien
dengan akut pada gagal hati kronis. Dalam kasus yang parah, bahkan dapat
menyebabkan koma atau kematian. 2

2.2 Etiologi
koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti hal ini
disebabkan karena:
1. Masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/
neurofisiologis.
2. Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda
dalam jaringan otak.
3. Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan
biokimia saling berkaitan satu dengan lainnya.
Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat
akumulasi dari sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat
tersebut dalam sirkulasi sistemik.1

2.3 Patogenesis
Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun ada beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma
hepatik antara lain adalah:
1. Hipotesis amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein
dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati
amonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin
pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi
dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%),
hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi
gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
amonia sebesar 5-10 kali lipat. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
amonia secara invitro akan mengubah loncatan (fluk) klorida melalui
membran neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel
saraf. Di samping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan
eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan glutamat.
2. Hipotesis toksisitas sinergik
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia
seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan Iain-
Iain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan
berperan menghambat NaK-ATP-ase. Asam lemak rantai pendek terutama
oktanoid mempunyai efek metabolik seperti gangguan oksidasi, fosforilasi
dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktifitas NaK-ATP-
ase sehingga dapat mengakibatkan koma hepatik reversibel. Fenol sebagai
hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan
enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat
dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti
amonia yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut
akan memperkuat sifat sifat neurotoksisitas dari amonia.
3. Hipotesis neurotransmiter palsu.
Pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin
dan noradrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati,
neurotransmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu seperti
oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamin atau
nor-adrenalin (Mullen, 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi
adalah: a). Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi
peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk
ke sirkulasi otak; b). Pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi
penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin,
leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam
amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena
penurunan ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan AAA
(Fisischer'ratio) normal antara 3-3,5 akan menjadi lebih kecil dari 1,0.
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter
pada susunan saraf.
4. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin.
Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang
merangsang dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang
berperan pada terjadinya koma hepatik. Terjadi penurunan transmiter yang
memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat dan dopamin sebagai
akibat meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang
menghambat transmisi impuls. Efek GABA yang meningkat bukan karena
influks yang meningkat ke dalam otak tapi akibat perubahan reseptor
GABA dalam otak akibat suatu substansi yang mirip benzodiazepin
(benzodiazepin-like substance).1

2.4 Klasifikasi2
Koma hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat dijumpai
pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun yang kronik. Sesuai dengan
perjalanan penyakit hati maka koma hepatik dibedakan atas:
1) Koma hepatik akut {fulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien
hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan
hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa
faktor pencetus (presipitasi). Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai
dengan delirium, kejang disertai dengan edema otak. Dengan perawatan
intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%. Kematian terutama
disebabkan edema serebral yang patogenesisnya belum jelas,
kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi
neuronal (Na+ dan K+) ATP-ase, serta perubahan osmolar karena
metabolisme amonia
2) Pada penyakit hati kronik dengan koma portosistemik, perjalanan tidak
progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan
oleh beberapa faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus seperti azotemia,
sedatif, analgetik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik,
kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan
pemakaian diuretik akan dapat mencetuskan koma hepatik.
Penting untuk menilai derajat HE. Dengan cara ini, respons terhadap
intervensi terapeutik dapat dikuantifikasi dan direproduksi dengan cara yang
andal. Meskipun banyak teknik neuroimaging tersedia, skala klinis tetap menjadi
cara terbaik untuk menentukan kemanjuran respon terhadap terapi pada HE.
Klasifikasi West-Haven, yang diformulasikan oleh Harold Conn dan rekannya
sambil menyelidiki kemanjuran terapi laktulosa, adalah metode yang saat ini
populer dalam mengklasifikasikan derajat HE.1

Tabel 1. Kriteria West-Haven untuk koma hepatikum2


Tahap Kesadaran Kecerdasan dan Temuan neurologis
perilaku

0 Normal Normal Pemeriksaan normal; jika gangguan


pengujian psikomotorik,
pertimbangkan MHE
1 Kurang Rentang perhatian Penambahan atau pengurangan
kesadaran yang diperpendek yang terganggu 
Asterixis ringan atau tremor
Tahap Kesadaran Kecerdasan dan Temuan neurologis
perilaku

2 Lesu Bingung; perilaku Asteriksis yang jelas; bicara cadel


yang tidak pantas

3 Somnolent Disorientasi Kekakuan otot dan


tapi kotor;perilaku clonus; hiperrefleksia
bergairah aneh
4 Koma Koma Postur dekerebrasi

2.5 Manifestasi Klinis


Pada umumnya gambaran klinis berupa kelainan mental, kelainan neurologis,
terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium.
Pada permulaan perjalanan koma hepatikum (ensefalopati subklinis) gambaran
gangguan mental mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan
gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotoratau pada
pasien dengan intelektual cukup dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau
dengan uji hubung angka (UHA), Reitan trail making test, dengan
menghubungkan angka-angka dari 1 sampai 25, kemudian diukur lama
penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik (Tabel 2).1
Tabel 2. Tingkat Derajat Koma Hepatik
Tingkat Gajala-gejala Tanda-tanda Elektroensefalografi
(EEG)
Prodromal Afektif hilang, Asteriksis, (+)
eufori depresi, kesulitan bicara,
apati, kelakuan kesulitan menulis
tak wajar,
perubahan
kebiasaan tidur
Koma Kebingungan, Asteriksis, fetor
mengancam disorientasi, hepatik (++)
mengantuk
Koma ringan Kebingungan Asteriksis, fetor (+++)
nyata, dapat hepatik, lengan
bangun dari tidur, kaku, hiperefiek,
bereaksi terhadap klonus, refiek
rangsangan menggenggam,
mengisap
Koma dalam Tidak sadar, Fetor hepatik, (++++)
hilang reaksi tonus otot hilang
rangsangan

2.6 Diagnosa
Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dibantu
dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain
adalah:
 Elektroensefalografi (EEG).
Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan
menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan
frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12 Hz).1
Tabel 3. Tingkat kualitas dari Elektroensefalografi (EEG)
Tingkat Ensefalografi Frekuensi gelombang EEG
Tingakat 0 Frekuensi alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I 7-8 siklus/detik
Tingkat II 5-7 siklus/detik
Tingkat III 3-5 siklus/detik
Tingkat IV 3 siklus/detik atau negatif

 Tes psikometri.
Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual
pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat
sederhana dan mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat
dan tidak mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail
Making Test) yang dipergunakan secara luas pada ujian personal millter
Amerika (Conn HO, 1994) kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini
yang disebut sebagai Uji Hubung Angka (UHA) atau Number Connection
Test (NCT). Dengan UHA tingkat ensefalopati dibagi atas 4 kategori1

Tabel 4. Tingkat uji hubungan angka (UHA)


Tingkat ensefalopati Hasil uji hubungan angka (UHA)
dalam detik
Normal 15-30 detik
Tingkat I 31-50 detik
Tingkat II 51-80 detik
Tingkat III 81-120 detik
Tingkat IV >120 detik

Tes psikometri UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat


ensefalopati hepatik terutama pada pasien sirosis hati yang rawat jalan.
 Pemeriksaan Amonia Darah.
Amonia merupakan hasil akhir dari metabolisme asam amino baik
yang berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin
pada usus dari hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal
amonia dikeluarkan oleh hati dengan pembentukan urea. Pada kerusakan
sel hati seperti sirosis hati, terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah
karena gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi amonia serta adanya
pintas (shunt) porto-sistemik (Tabel 5).1

Tabel 5. Hubungan ensefalopati hepatik dengan Amonia darah


Tingkat Ensefalopati Kadar amonia darah dalam μg/dl
Tingkat 0 <150
Tingak 1 151-200
Tingkat 2 201-250
Tingkat 3 251-300
Tingkat 4 >300

2.7 Diagnosis Banding


1. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan
subdural, dan perdarahan epidural
3. Tumor otak
4. Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia,koma
hipoglikemia, koma hiperglikemia. 1

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik
yang terjadi adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik primer terjadinya
koma adalah akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor
pencetus (presipitasi), sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya koma
dipicu oleh faktor pencetus. Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma
hepatik adalah:
1). Mengobati penyakit dasar hati;
2). Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus;
3). Mengurangi/mencegah pembentukan influks toksin-toksin nitrogen ke
jaringan otak antara lain dengan cara:
a). Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein,
b). Menggunakan laktulosa dan antibiotika,
c). Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4). Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi
komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna,
dan keseimbangan elektrolit.
Secara umum tatalaksana pasien dengan koma hepatik adalah
memperbaiki oksigenasi jaringan, pemberian vitamin terutama golongan vitamin
B, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan cairan, serta menjaga agar jangan
terjadi dehidrasi. Pemberian makanan berasal dari protein dikurangi atau
dihentikan sementara, dan dapat kembali diberikan setelah terdapat perbaikan.
Protein dapat ditingkatkan secara bertahap, misalnya dari 10 gram menjadi 20
gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan dengan respon klinis, dan bila keadaan
telah stabil dapat diberikan protein 40-60 gram sehari.1
 Manajemen Umum Ensefalopati Kronis
Strategi pengobatan yang digunakan dalam HE 7
Tingkat HE: I-II
manajemen Umum
Hiperamonemia
Suplementasi protein diet
Pencahar
(i) Disakarida yang tidak dapat diserap
(ii) Enema
Antibiotik yang tidak dapat diserap
Modulasi amonia interorgan
(i) L-ornithin, L-aspartate (LOLA)
(ii) Sodium benzonat
(iii) Pherylacetate
Lainnya
(i) Flumazenil “Bromocriptine” acarbose
Terapi yang muncul
(i)Probiotik

Tingkat HE: III-IV


Edema serebral dan peningkatan ICP
Umum
(i) Ventilasi
(ii) Sedasi (mis,propofol)
Spesifik
(i) Antimikroba
(ii) Saline hipertonik
(iii) Mannitol
(iv) Deksametason
(v) Hipotermia terinduksi
(vi) Thipenton
(vii) Indometasin
(viii) Obat antiepilepsi (AED’S)
(ix) N-asetilsistein (NAC)
Trasplantasi

Transplantasi hati ortopok (OLT)


Hepatektomi parsial
Alat bantu hati

Tingkat HE: I-II


Hiperamonemia
 Strategi Menurunkan Amonia
 Suplementasi Protein Diet
Pasien dengan sirosis sering memiliki cadangan gizi yang buruk
karena anoreksia, pola makan yang buruk, malabsorpsi, dan perubahan
status metabolisme. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mengalami
hipermetabolik dan hiperkatabolik, diperburuk oleh komplikasi seperti
perdarahan gastrointestinal, anoreksia lanjutan, dan puasa untuk
pemeriksaan. Namun protein makanan memiliki potensi untuk mendorong
ammoniagenesis lebih lanjut, dan sebelumnya pembatasan protein makanan
adalah praktik umum. Namun, pembatasan protein tidak lagi dianjurkan
karena tidak meningkatkan HE dan mungkin berbahaya. Faktanya diet
tinggi protein dapat ditoleransi dengan baik pada pasien sirosis, dengan
konsensus yang mendukung kebutuhan protein diet normal atau tinggi (1-
1,5 g / kg protein dan 25-40 kkal / kg per hari). Pengecualian yang jarang
timbul kadang-kadang dengan kesalahan metabolisme bawaan atau gagal
hati akut (ALF) pasien diintubasi untuk kelas 3-4 HE terkait dengan amonia
bersirkulasi tinggi ketika pembatasan protein dengan asupan kalori
dipertahankan (misalnya, infus dekstrosa) diperlukan.

 Asam Amino Berantai-Cabang (BCAA)


BCAA terutama berasal dari produk susu dan sayuran dan
menyumbang 25% dari total protein makanan. Mereka adalah substrat yang
baik untuk sintesis protein, baik melestarikan dan mengembalikan massa
otot pada penyakit hati lanjut. Pada sirosis, asupan makanan yang buruk
menyebabkan defisiensi BCAA dan akumulasi asam amino aromatik,
keduanya memburuknya defisit energi-protein dan neurotransmisi
glutaminergik (peningkatan prekursor neurotransmitter palsu).Pada pasien
"diet protein tinggi" yang tidak toleran dan kurang gizi, suplemen BCAA
mungkin berguna untuk memberikan asupan nitrogen yang diperlukan
tanpa penurunan kondisi mental, dengan protein nabati yang cenderung
ditoleransi lebih baik karena kandungan BCAA yang lebih tinggi. Karena
BCAA berada di bawah pengaruh sirkulasi insulin, keadaan resistensi
insulin sirosis dapat membatasi manfaat gizi kecuali penggantian insulin
sistemik diterapkan. Namun, sejumlah meta-analisis telah gagal untuk
menemukan konsensus tentang penggunaan BCAA dalam sirosis dari
banyak data yang saling bertentangan.
 Kontrol Glikemik
Kontrol glikemik dan lipid yang terganggu sering terjadi pada penyakit
hati progresif dan hanya diperburuk oleh respons stres pada pasien yang tidak
sehat. Oleh karena itu, setelah pemberian makan dimulai, kontrol glikemik ketat
menggunakan insulin mungkin diperlukan untuk mengurangi stres oksidatif (yang
memicu resistensi insulin), membatasi kerusakan hati mitokondria, dan
meningkatkan aktivasi endotel (misalnya, NO produksi), yang akan meningkatkan
aliran darah, membatasi jaringan cedera, dan meningkatkan hasil.
 Vitamin dan Nutrisi
Sirosis juga menyebabkan defisiensi vitamin, mineral, dan zat gizi mikro
yang larut dalam lemak. Sebagai contoh, Seng adalah kofaktor dalam siklus urea
dan juga ditemukan dalam vesikel terminal presinaptik glutamatergik yang
dominan sehingga memiliki peran dalam pengiriman
neurotransmisi. Suplementasi zinc (600 mg / hari) telah dipelajari tanpa manfaat
yang jelas meskipun penggantian harus dipertimbangkan jika pasien
kekurangan. Spesimen otopsi dari pasien dengan koma hepatik dan gambar MR
pallidal pasien dengan HE menunjukkan bahwa deposisi mangan di ganglia basal
mungkin menjadi faktor. Namun, seperti halnya penelitian sebelumnya yang
mengevaluasi peran produk bakteri usus seperti merkaptan, fenol, dan asam lemak
rantai pendek, hanya ada sedikit bukti kumulatif untuk mendukung strategi
pengobatan yang ditargetkan.

 Pencahar
 Nonabsorable Disaccharides
Tidak jelas bagaimana disakarida yang tidak terserap memberikan efek
yang menguntungkan. Ada banyak mekanisme yang diusulkan (1) peningkatan
pertumbuhan bakteri yang tidak memproduksi bakteri, (2) katarsis sekunder akibat
pengasaman usus yang mengurangi penyerapan amonia, (3) proliferasi bakteri
sehat dengan menyediakan karbohidrat tambahan dan dengan demikian nitrogen
(bahkan sebagai amoniak) menjadi protein, dan / atau (4) menyediakan karbon
dan energi sehingga metabolisme bakteri amoniak terbuang. Lebih khusus lagi,
laktulosa (gula) melewati usus kecil yang sama sekali tidak tercerna (tidak seperti
glukosa, sukrosa, dan laktosa, yang mudah difermentasi dalam usus kecil).Setelah
di usus besar, laktulosa difermentasi oleh bakteri anaerob, terutama Bacteroides
spp . Fermentasi laktulosa oleh bakteri kolon menghasilkan asam lemah yang
penting (laktat, asetat & butirat) dan gas (misalnya, hidrogen). Hal ini
menyebabkan pengasaman amonia menjadi amonium yang diserap dengan
buruk. Namun, secara fisiologis dosis harian total 10-20 g kecil dibandingkan
dengan 500-1000 g feses / hari, sehingga dampak pada keasaman / penurunan pH
feses pada flora faecal cenderung terbatas. Ini didukung oleh kegagalan manitol
dan sorbitol, yang keduanya menyebabkan pH rendah, untuk meningkatkan
HE . Produksi hidrogen kolon mungkin lebih penting karena hanya 7 g laktulosa
yang menghasilkan 1 Liter hidrogen yang dapat menyebabkan terburu-buru usus
dan menggeser sejumlah besar bakteri kolon. Namun, mungkin pemberian energi
yang lebih disukai daripada amonia yang memperhitungkan manfaat disakarida
yang tidak terserap.
Sebuah meta-analisis komprehensif dari disakarida yang tidak dapat
diserap telah menyarankan bahwa data saat ini dari uji klinis acak tidak
mendukung penggunaan rutinnya dalam praktik klinis meskipun studi klinis
baru menunjukkan manfaat dengan pemberian laktulosa yang memberikan
peningkatan neuropsikometri dan kualitas hidup skor, yang memberikan
banyak bukti anekdotal bahwa disakarida bermanfaat. Sangat mungkin
bahwa dampak dari terapi lain yang diprakarsai pada saat yang sama sering
mengacaukan manfaat pada keparahan HE oleh efek penurun amonia dari
disakarida yang tidak terserap.
Kepatuhan, efek samping, keamanan klinis, dan efektivitas biaya
adalah masalah yang perlu. Sering diabaikan bahwa penggunaan agresif
laktulosa menyebabkan distensi gas yang signifikan, ketidaknyamanan, dan
diare yang dapat menyebabkan kepatuhan yang buruk. Lebih lanjut, dapat
terjadi dehidrasi, uraemia prerenal, hiponatremia, atau aspirasi
laktulosa. Oleh karena itu, meskipun disakarida yang tidak terserap relatif
murah, efektivitas biaya mereka harus seimbang dengan hasil klinis.
 Pencahar lainnya
Enema bermanfaat sebagai cara mengusir flora usus penghasil
amonia dengan pembersihan dan pengasaman kolon tetapi tidak lebih baik
daripada pencahar oral seperti laktulosa. Oleh karena itu, jika gerakan usus
dapat dipertahankan pada ≥2 / hari, maka enema mungkin tidak
menawarkan manfaat tambahan.
 Antibiotik nonabsorbrable
Kontribusi bakteri urease-positif usus untuk produksi amonia usus terutama di
usus besar daripada mukosa lambung (misalnya, Helicobacter pylori), karena
jumlah dan lebih banyak pH kolon alkali yang mendukung peningkatan difusi
amonia, sehingga pemberantasan Helicobacter pylori tidak memiliki manfaat
terapi. Agen antibakteri sintetis oral, yang tidak dapat diserap seperti Neomycin
dan Rifaximin telah digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
spesies bakteri amoniak yang rentan, yang menunjukkan kemanjuran yang
sebanding dengan laktulosa. Rifaximin adalah antibiotik sintetis yang terkait
dengan rifamycin, dengan aktivitas antibakteri yang luas terhadap bakteri gram
negatif dan gram positif aerob dan anaerob. Dalam penelitian terkontrol acak,
Rifaximin terbukti berkhasiat (mempertahankan remisi dan mengurangi rawat
inap dengan HE bahkan pada pasien yang sudah menggunakan laktulosa), dan
profil keamanan yang unggul sehingga lebih disukai daripada neomycin,
Meskipun antibiotik yang bermanfaat dan tidak dapat diserap sering dipesan untuk
pasien yang gagal menanggapi disakarida yang tidak terserap.
 Pengatur metabolisme amoniak interorgan
Konsep memanipulasi jalur biosintesis endogen untuk menghilangkan
nitrogen limbah nonurea sebagai pengganti sintesis urea yang rusak sudah
ditetapkan. Meskipun fungsi siklus urea abnormal, mengurangi nitrogen total
tubuh dengan mempromosikan sintesis metabolit yang mengandung nitrogen non-
urea dengan tingkat ekskresi yang tinggi tampaknya bermanfaat.
 Suplementasi Arginin
L-arginin adalah substrat diet penting untuk siklus urea yang
memungkinkan detoksifikasi amonia menjadi urea (via arginase). L-arginin adalah
asam amino semiessential, karena meskipun diproduksi secara metabolik, di
beberapa negara penyakit mungkin memerlukan suplementasi makanan. Dalam
kasus gangguan siklus urea masa kanak-kanak (misalnya, defisiensi
argininosuccinate synthetase (AS) dan argininosuccinase (AL)), pembatasan diet
L-arginin memicu perkembangan yang cepat (15-68 jam) dari hiperammonaemia
simptomatik (misalnya muntah, lesu, lesu, lesu). , atau lekas marah). Pada
gangguan ini, ada pengurangan yang signifikan dalam produksi urea, dengan
nitrogen malah terakumulasi sebagai glutamin, amonium, dan sampai batas
tertentu alanin dan glutamat. Pada defisiensi AS dan AL, pemberian diet
tambahan L-arginin meningkatkan sintesis sitrulin dan argininosuksinat,
memungkinkan ekskresi nitrogen melalui urin.
Pada ALF, hipotensi sistemik dan edema serebral dapat dikaitkan dengan
peningkatan kadar oksida nitrat plasma (NO). L-arginin adalah substrat pembatas
laju untuk produksi NO tetapi defisiensi ALF karena kemungkinan peningkatan
aktivitas arginase di hati yang mengubahnya menjadi urea dan ornithine. Belum
ada penelitian klinis yang mengevaluasi peran suplementasi L-arginin pada HE,
meskipun penelitian pada hewan menunjukkan bahwa mengoreksi defisiensi L-
arginin dapat mengubah hipertensi portal dan edema serebral melalui pengurangan
arginase yang bergantung pada hiperamonemia dan / atau mekanisme yang tidak
bergantung pada NO. ).
 Phenylbutyrate
Phenylbutyrate (dikonversi menjadi phenylacetate in vivo) adalah terapi
untuk hiperammonaemia yang terkait dengan gangguan siklus urea, yang ditandai
dengan peningkatan kadar glutamin. Kelebihan ini dapat diatasi dengan fenil
asetat, yang secara kovalen bergabung dengan glutamin yang bersirkulasi untuk
membentuk fenilasiletilglutamin yang diekskresikan secara eksternal,
menghilangkan glutamin sebagai substrat untuk amonioniagenesis. Sejauh ini
fenilbutirat terbukti tidak efektif dalam pengobatan HE yang berhubungan dengan
gagal hati, mungkin karena keadaan glutamat yang tinggi, prasyarat fenil asetat
untuk bekerja, tidak ada pada gagal hati.
 Sodium Benzoate
Demikian pula natrium benzoat meningkatkan ekskresi amonia ginjal tetapi
sebagai asam hippuric (hippurate), konjugat glisin dari asam benzoat. Sodium
benzoate juga meningkatkan ensefalopati dengan kesalahan metabolisme bawaan
dan sama efektifnya dengan laktulosa dalam pengobatan HE portosystemic akut.
 Gabungan Sodium Phenylbutyrate dan Benzoate Intravena (Ammonul,
Ucyclyd Pharma)
Pada gangguan siklus urea, terapi kombinasi menghasilkan 79%
penurunan amonia plasma, dan 84-98% meningkatkan kelangsungan hidup
dengan penyakit onset lanjut, meskipun buruk pada neonatus dan nilai-nilai
amonia puncak tinggi. Jika tidak diobati, hanya 16% neonatus yang bertahan
hidup, dibandingkan dengan 72% dengan penyakit onset lanjut. Namun, karena
N-asiltransferase yang mengkonjugasikan glutamin menjadi fenilasetat dan glisin
menjadi benzoat terletak di hati dan ginjal, hepatotoksisitas ALF yang parah pada
akhirnya dapat menyebabkan kegagalan respons, terutama dengan saturasi
kapasitas enzim (misalnya, fenilasetat dengan PAG).
 L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA menyediakan L-ornithine dan L-aspartate sebagai substrat untuk
produksi glutamat dalam otot yang mengarah ke pengurangan amonia yang
bersirkulasi dan dalam model-model gagal hati lebih lanjut menunjukkan bahwa
LOLA mengurangi edema otak HE lanjut. Dalam sebuah studi kontrol acak
ganda-buta sirosis dengan HE ringan, satu minggu LOLA mengurangi amonia dan
meningkatkan fungsi mental. Sebuah studi cross-over menunjukkan bahwa 20-40
g / hari infus LOLA memperbaiki peningkatan postprandial amonia setelah
pemuatan protein oral. Namun, pada dosis yang lebih tinggi, penelitian ini
meningkatkan glutamat plasma, glutamin yang tidak berubah, dan meningkatkan
produksi urea yang bertentangan dengan hipotesis detoksifikasi amonia
otot. Selanjutnya, 40g dosis diinduksi hiperglikemia dan
hiperinsulinemia . Sampai saat ini, belum ada penelitian pada pasien dengan ALF,
dan penggunaannya dalam ALF saat ini tidak direkomendasikan. Secara kritis,
ada kekhawatiran bahwa efek penurun amonia LOLA mungkin hanya bersifat
sementara, karena rebound hyperammonaemia saat menghentikan LOLA, karena
peningkatan kadar glutamin yang signifikan akhirnya menjadi sumber
amonioniagenesis oleh ginjal dan usus (melalui glutaminase). Selain itu, aspartat
tidak mungkin menawarkan manfaat tambahan seperti pada model hewan yang
gagal mengurangi amonia.
 L-Ornithine Phenylacetate (OP)
OP adalah terapi baru yang menargetkan interorgan ammonia dan
metabolisme asam amino. OP mengurangi kadar toksik amonia oleh ornithine
yang bertindak sebagai substrat untuk sintesis glutamin dari amonia pada otot
rangka. Kombinasi ini tidak seperti terapi lain yang menargetkan metabolisme
interorgan ammonia (misalnya, LOLA), dengan menghentikan daur ulang
ammonia (terperangkap sebagai ornithine-glutamin) melalui phenylacetate yang
mengekskresikan glutamin yang terkait dengan ornithine sebagai
phenylacetylglutamine dalam ginjal. Telah terbukti memperbaiki keadaan
hyperammonemic pada model hewan sirosis dan ALF, membatasi edema otak dan
meningkat pada ICP. Studi klinis saat ini sedang berlangsung.
 Lainnya
 Acarbose
Acarbose agen hipoglikemik yang merangsang motilitas usus, melalui
penghambatan penyerapan glukosa usus dengan mempromosikan flora bakteri
sakarolitik usus dalam preferensi untuk flora proteolitik, sehingga mengurangi
substrat untuk produksi amonia. Dalam uji coba silang secara acak terhadap
pasien sirosis dengan diabetes mellitus derajat rendah dan DM tipe-2, 8 minggu
asbbose (100 mg TDS) secara signifikan menurunkan kadar darah amonia, dan
fungsi intelektual, selain dari penurunan puasa dan glukosa postprandial, dan
mengurangi kadar hemoglobin glikosilasi. Namun, acarbose tidak mungkin
menjadi pilihan kecuali pada mereka dengan diabetes mellitus tipe-2 yang hidup
berdampingan.
 Bromokriptin
Bromocriptine, agonis dopamin, telah digunakan dengan keberhasilan
yang terbatas untuk gangguan dalam neurotransmisi dopaminergik terkait dengan
HE yang tidak terobati kronis, tetapi penelitian tersebut gagal menunjukkan
manfaat yang jelas atas terapi standar. Lebih lanjut, pada pasien sirosis dengan
asites, ini dapat menginduksi hiponatremia. Namun, ada bukti anekdotal untuk
menyarankan manfaat dalam sejumlah kecil pasien sirosis dengan ensefalopati
tingkat rendah dan cedera ganglia basal dengan defisiensi dopamin terkait.
 Probiotik
Sebagian besar amonia yang diproduksi oleh usus adalah dari deaminasi
asam amino diet oleh bakteri, dengan kontribusi kecil dari urea yang dihasilkan
oleh bakteri urease-positif. Pada pasien yang sakit kritis dan kurang gizi, kadar
strain bakteri defensif dominan (Bifidobacterium dan Lactobacillus)
menurun.Antibiotik selanjutnya dapat menyebabkan bakteri penghasil amonia
memperbaiki hiperamonemia.Probiotik adalah mikroorganisme hidup
nonpathogenik yang digunakan sebagai bahan makanan yang mungkin memiliki
peran dalam pengobatan HE. Probiotik dianggap memberikan efek pada HE
dengan mengurangi produksi amonia usus oleh enterocyte glutaminase dan
mengurangi translokasi bakteri, memodulasi respons proinflamasi, dan
memodulasi permeabilitas usus. Selain itu, probiotik memintas usus kecil dan
difermentasi oleh bakteri kolon untuk membentuk asam laktat, asetat, dan butirat,
serta gas (terutama hidrogen); setiap terburu-buru usus yang dihasilkan dapat
meningkatkan pengusiran bakteri amoniak. Dalam uji coba terkontrol plasebo
acak , probiotik telah terbukti mengurangi produksi dan peradangan usus
amonia . Perlu dicatat bahwa serat yang difermentasi saja juga bermanfaat dalam
penelitian itu. Ini tidak terduga karena efek umum probiotik, selain dari
penurunan substrat untuk bakteri lain dan pengurangan translokasi, adalah
fermentasi gula yang tidak diserap (misalnya, mono, di- dan
oligosakarida). Fermentasi gula ini mengarah pada produksi jumlah diferensial
asam laktat, etanol, dan CO 2 untuk memodulasi keasaman usus dan produksi gas.

Tingkat HE: III-IV


Edema serebral dan peningkatan ICP
 Umum
Pemeliharaan jalan napas dini diperlukan untuk melindungi jalan napas
dan mencegah ketegangan karbon dioksida dan hipoksia yang tinggi yang dapat
menyebabkan hiperemia serebral. Sedasi dan ventilasi mekanis juga penting untuk
mengelola agitasi dengan aman. Setelah diintubasi, kepala harus ditinggikan 10-
20 ° dengan intervensi dan perawatan minimal ketika memindahkan pasien dan
mengoptimalkan tekanan intrakranial (ICP) tanpa mengurangi tekanan perfusi
otak. Perlindungan jalan napas juga akan mengurangi kemungkinan aspirasi,
pneumonia, pertukaran gas yang rusak, dan infeksi. Persyaratan obat penenang
(misalnya, fentanyl, midazolam, atau propofol) rendah dengan keparahan HE
yang memburuk tetapi cenderung meningkat dengan pemulihan. Propofol adalah
obat penenang yang berguna karena akan mengurangi ICP, dan karena
metabolisme non-hepatiknya tidak akan menumpuk. Namun, hal itu dapat
menyebabkan hipotensi.
 Dukungan Peredaran Darah dan Manajemen Cairan
ALF adalah keadaan hyperdynamic dengan curah jantung tinggi, tekanan
arteri rerata rendah, dan resistensi vaskular sistemik yang rendah. Vasodilatasi
umum, yang menghasilkan aktivasi mendalam dari sistem neurohormonal,
memuncak pada vasokonstriksi tempat vaskular regional. Tekanan arteri rata-rata
harus dijaga pada tingkat yang sama untuk menjaga tekanan perfusi otak antara 50
dan 65 mmHg. Permulaan kegagalan multiorgan sering mengharuskan
penggunaan inotrop. Kegagalan peredaran darah sering menjadi refrakter terhadap
inotrop dan hingga 70% pasien meninggal. Tes synacthen pendek rutin pada saat
masuk untuk memandu penggunaan steroid adalah penting karena insufisiensi
adrenal adalah komplikasi umum dari ALF.
 Dukungan Ginjal
Disfungsi ginjal sering terjadi karena cedera prerenal, hepatorenal, atau
nefrotoksik (misalnya, asetaminofen). Ini sering membutuhkan penggantian ginjal
dengan hemofiltrasi kontinu (dibandingkan intermiten). Ini menghindari
pergeseran air yang cepat terlihat dengan terapi intermiten, memberikan stabilitas
hemodinamik yang lebih besar dan peningkatan tekanan perfusi otak. Lebih
lanjut, karena gangguan metabolisme laktat hati, dialisat bebas laktat lebih
disukai.
 Ketidakseimbangan elektrolit
Ketidakseimbangan elektrolit harus diperbaiki secara
agresif. Hiponatremia ≤125 mmol / L dapat memicu edema serebral dan
merupakan kontraindikasi untuk transplantasi hati ortotopik (OLT).
Hypernatraemia terinduksi telah terbukti meningkatkan ICP dan mengurangi
kebutuhan inotropik pada cedera otak traumatis dan ALF.
 Agen antimikroba
Insiden sepsis pada ALF merupakan faktor signifikan dalam mortalitas
dan kontraindikasi transplantasi.Sekitar 75% mengalami infeksi bakteri dan 30%
jamur. Pemberian antibiotik spektrum luas / terapi antijamur harus dimulai pada
tanda pertama infeksi, dengan pengobatan terfokus setelah organisme
diidentifikasi. Meskipun tidak adanya uji coba kontrol acak dari antimikroba
sistemik profilaksis di ALF, penggunaannya tersebar luas.
 Kontrol Glikemik
Baik hiper dan hipoglikemia perlu koreksi cepat karena dapat
memperburuk edema otak. Peran kontrol glikemik yang ketat dalam ALF belum
dipastikan tetapi harus dilembagakan dengan hati-hati karena kecenderungan
perkembangan hipoglikemia.
 Khusus
 Mannitol
Mannitol (sebuah diuretik osmotik) meningkatkan osmolalitas kapiler
otak, menarik air dari jaringan otak ke dalam kapiler, dan telah terbukti secara
signifikan mengurangi tingkat edema serebral dan meningkatkan kelangsungan
hidup. Dosis bolus manitol 20% pada 1 g / kg lebih disukai. Osmolalitas plasma
harus dijaga <320 Osm / L, karena manitol kurang efektif dengan meningkatnya
osmolalitas. Jika pasien oliguria, manitol dapat menumpuk dan hanya dapat
digunakan dengan hemofiltrasi secara bersamaan.
 Deksametason
Dalam ALF, mengurangi peradangan (baik sistemik atau lokal) dengan
memanfaatkan efek antiinflamasi steroid dapat meningkatkan hemodinamik
serebral dan mencegah / mengobati hipertensi intrakranial. Namun, uji coba
menggunakan deksametason pada ALF lanjut telah menunjukkan sedikit efek
pada frekuensi edema serebral atau kelangsungan hidup.
 Hipotermia ringan
Dalam model ALF, hipotermia terinduksi secara signifikan mengurangi air
otak, durasi ensefalopati, dan peningkatan hasil. Menggunakan selimut pendingin
untuk menginduksi hipotermia moderat (target core temp. 32-33 ° C) dapat
menyebabkan penurunan ICP, bahkan pada pasien yang tidak responsif terhadap
manitol dan / atau ultrafiltrasi. Hipotermia juga secara signifikan meningkatkan
hemodinamik kardiovaskular dengan mengurangi persyaratan noradrenalin,
kemungkinan terkait dengan pengurangan amonia arteri dan juga ekstraksi dan
fluks amonia otak. Sampai saat ini, belum ada data dari uji coba kontrol acak
tentang penggunaan hipotermia pada ALF tetapi layak dipertimbangkan pada
pasien dengan hipertensi intrakranial yang tidak terkontrol.
 Sodium Thiopental
Dengan menginduksi vasokonstriksi serebral melalui penghambatan nitrat
oksida sintetase, injeksi bolus intermiten thiopental (1,5-3,5 mg / kg) mengurangi
peningkatan ICP. Namun, penggunaannya terbatas pada peningkatan ICP yang
tidak dapat ditanggapi yang tidak responsif terhadap terapi lain.Karena efek
negatif yang mendalam pada hemodinamik sistemik, penggunaannya terbatas.
 Indometasin
Antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dapat memodulasi fungsi otak (dengan
efek yang mungkin pada fungsi kognitif melalui modulasi jalur GMP glutamat-
nitrat oksida-siklik. Indometasin (0,5 mg / kg), sebuah penghambat
siklooksigenase nonselektif, dapat mengurangi ICP dan edema serebral terlepas
dari perubahan aliran darah otak. Namun, penggunaannya dibatasi oleh
nefrotoksisitas, disfungsi trombosit, dan risiko perdarahan
gastrointestinal. Penetrasi NSAID otak yang buruk pada tingkat terapeutik
membutuhkan dosis tinggi yang meningkatkan risiko toksisitas.
 Obat Antiepilepsi (AED)
Pada beberapa pasien ALF dengan derajat 3-4 HE, kejang subklinis
terjadi, dan penggunaan fenitoin terbukti secara signifikan mengurangi frekuensi
kejang dan perkembangan peningkatan ICP.
 N-Acetylcysteine (NAC)
Dalam kasus overdosis asetaminofen, NAC harus dilanjutkan terlepas dari
waktu antara overdosis dan presentasi dan tingkat asetaminofen karena dapat
mencegah perkembangan ALF dan mengurangi mortalitas terutama pada mereka
yang naik ke grade III-IV HE. Ada bukti yang kurang meyakinkan untuk NAC
dalam overdosis nonacetaminophen. Dalam nonacetaminophen ALF, NAC dapat
meningkatkan kelangsungan hidup dengan efeknya pada curah jantung, ekstraksi
oksigen dan konsumsi, dan karena efek antioksidannya yang memperbaiki
tekanan oksidatif yang signifikan yang terjadi dengan gagal hati.
 Flumazenil
Dalam uji coba terkontrol plasebo besar yang berfokus pada pasien
perawatan intensif dengan HE lanjut (grade III-IV), flumazenil antagonis reseptor
benzodiazepin kerja pendek terbukti secara cepat meningkatkan skor neurologis
dalam 15% dan temuan electroencephalogram (EEG) pada 30% pasien dalam
beberapa menit setelah pemberian. Namun, flumazenil tidak menyebabkan efek
jangka panjang atau mengoreksi HE, kecuali diberikan bersamaan dengan terapi
jangka panjang, dan karena itu tidak direkomendasikan.
Dukungan dan transplantasi hati
 Transplantasi
Transplantasi menawarkan intervensi definitif untuk gagal hati dengan
pengembalian cepat ke kondisi mental normal meskipun HE minimal dapat
bertahan dalam beberapa karena beberapa perubahan otak yang belum dapat
dipulihkan yang tidak diketahui. Perbedaan antara organ donor dan penerima telah
menyebabkan sejumlah besar alat bantu hati ekstrakorporeal dan bahkan
hepatektomi parsial untuk membantu atau mengganti gagal hati.
 Perangkat Bantuan Hati Ekstrakorporeal
Perangkat tersebut dapat berupa " biologis " (menggunakan hepatosit yang
dibiakkan yang diabadikan atau hati binatang utuh), atau " nonbiologis "
(menggunakan pemurnian darah ekstrakorporeal untuk dialyse zat hidrofobik
terikat albumin), yang pada akhirnya meniru ekskresi endogen dan fungsi hati
sintetis.Perangkat ekstrakorporeal di bawah evaluasi klinis meliputi yang berikut
ini.
Molecular Adsorbent Recirculating System (MARS). Ini memberikan
hemodialisis kontra-saat terhadap sirkuit albumin dan bikarbonat.
Single-Pass Albumin Dialysis (SPAD) . Ini memberikan dialisis albumin
berlawanan arus terhadap darah aliran tinggi dalam serat haemodiafilter, yang
tidak seperti MARS dibuang setelah melewati filter. Karena menggunakan alat
dialisis ginjal standar, filtrasi hemodinamik venovenosa kontinyu dimungkinkan.
Sistem Prometheus. Ini memberikan adsorpsi albumin langsung dengan
hemodialisis fluks tinggi setelah penyaringan selektif fraksi albumin melalui filter
polisulfon tertentu.
Semua perangkat berhasil menghilangkan toksin terikat protein tetapi
memiliki efek variabel pada hemodinamik sistemik (versus portal), dan potensi
untuk memperburuk koagulopati. Manfaat klinis dari alat-alat tersebut tidak jelas
tetapi setidaknya dapat menjadi jembatan untuk transplantasi atau pemulihan hati.5
2.9 Prognosis
Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktorfaktor pencetus
teratasi, maka dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar.
Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis akan lebih
buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara koma hepatik
akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali
setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju.1

BAB III
KESIMPULAN

Koma Hepatikum adalah komplikasi umum pada pasien dengan penyakit


hati sirosis. Koma hepatikum tidak hanya menghasilkan penurunan kualitas hidup,
tetapi juga memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien dengan sirosis
hati yang mendasarinya, Dalam kasus yang parah, bahkan dapat menyebabkan
koma atau kematian.
Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia sebesar 5-10 kali lipat. Amonia
merupakan hasil akhir dari metabolisme asam amino baik yang berasal dari
dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin pada usus dari hasil
katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh hati
dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi
peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik Terapi
penurun amonia tetap menjadi landasan perawatan medis standar untuk HE.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Idrus A, dll (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,
Edisi VI : Interna Publishing; Jakarta: 2014; Hal 1987
2. Poh Z, Chang PEJ. A Current Review of the Diagnostic and Treatment
Strategies of Hepatic Encephalopathy: International Journal of
Hepatology; 2012.
3. Elwir S, Rahimi SR. Hepatic Encephalopathy: An Update on the
Pathophysiology and Therapeutic Options: Journal of Clinical and
Translational Hepatology 2017 vol. 5 | 142–151
4. A Prayudo P, Wibowo A. Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis
Hepatik: J Medula Unila; 2017: 7 (2)
5. Wright G, Chattree A, Jalan R. ManagementofHepaticEncephalopathy:
International Journal of Hepatology; 2011

Anda mungkin juga menyukai