Anda di halaman 1dari 14

CLINICAL SCIENE SESSION (CSS)

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A218057/ Mei 2020


**Pembimbing/ dr. H. Nadrizal, Sp.PD. FINASIM

SCHISTOSOMIASIS

oleh:
Dean Grestama, S.Ked*
G1A218057

Pembimbing :
dr. H. Nadrizal, Sp.PD. FINASIM**

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
PROVINSI JAMBI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Clinical Sciene Session

oleh:
Dean Grestama, S.Ked
G1A218057

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
PROVINSI JAMBI
2020

Jambi, Mei 2020


Pembimbing

dr. H. Nadrizal, Sp.PD. FINASIM


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Sciene Session (CSS)/Referat yang berjudul
Schistosomiasis sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Nadrizal, Sp.PD, FINASIM yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan referat ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan referat ini.
Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Mei 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Schistosomiasis (bilharzia) merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa

cacing kelas trematoda dan genus Schistosoma. Penyakit tersebut dikenal sebagai penyakit

zoonosis karena dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia dan berlaku sebaliknya.

Selain itu, schistosomiasis sering dikenal oleh masyarakat dengan sebutan demam keong. Hal

ini dikarenakan keong dibutuhkan sebagai hospes dalam penyebaran penyakit

schistosomiasis. Schistosomiasis juga tidak boleh diremehkan karena penyakit parasit

tersebut menjadi penyakit endemik ketiga di dunia setelah malaria dan amoebiasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SCHISTOSOMIASIS
2.1 Definisi
Skistosomiasis (bilharzia) adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing parasit
skistosoma yang ditemukan di air tawar, seperti kolam, danau, sungai, waduk, dan air kanal
di negara dengan cuaca tropis dan subtropis. Parasit tersebut biasanya menempel pada tubuh
siput. Oleh karena itu, infeksi ini juga umum disebut sebagai demam siput.
Terdapat beberapa jenis parasit skistosoma yang dapat mengakibatkan skistosomiasis
terjadi, di antaranya adalah S. mansoni, S. mekongi, S. intercalatum, S. Hematobium,  dan
S.japonicum. Jenis-jenis parasit tersebut dapat menyerang organ tubuh manusia, seperti usus,
ginjal, hati, kandung kemih, jantung, paru-paru, hingga saraf otak.     

2.2 Etiologi
Skistosomiasis dapat terjadi saat seseorang terpapar air yang sudah terkontaminasi
cacing parasit atau terdapat siput yang sudah terkontaminasi. Hal ini bisa terjadi ketika
seseorang berenang, mencuci, atau mengonsumsi air yang belum disterilkan. Cacing ini tidak
akan ditemukan pada kolam renang yang sudah diberi klorin, air laut , dan air yang steril.

Cacing parasit skistosoma masuk ke dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit
dan menyebar ke organ tubuh lain melalui pembuluh darah. Setelah beberapa minggu, cacing
tersebut akan mulai menetaskan telurnya. Dalam beberapa kasus, telur akan dibunuh oleh
sistem imun atau keluar melalui urine dan tinja. Sebaliknya, ada juga yang justru menyebar
dan menginfeksi organ tertentu. Kondisi ini disebut dengan skistosomiasis akut. Jika tidak
diobati, cacing akan terus menetaskan telurnya, menyebarkan infeksi selama bertahun-tahun
dan mengakibatkan skistosomiasis kronis terjadi serta berpotensi menyebabkan komplikasi
yang membahayakan.

Skistosomiasis tidak dapat tersebar melalui kontak fisik secara langsung, dan hanya
melalui urine atau tinja yang mengontaminasi air tawar ataupun air bersih lainnya.

Schistosomiasis tidak hanya disebabkan oleh satu jenis spesies cacing saja melainkan
terdapat lima jenis spesies yang dapat menginfeksi tubuh manusia. Spesies- spesies tersebut
terdiri dari Schistosoma mansoni, Schistosoma mekongi, Schistosoma japonicum,
Schistosoma haematobium, dan Schistosoma intercalatum. Schistosoma japonicum terkenal
sebagai cacing yang paling berbahaya dibandingkan dengan spesies cacing yang lain. Hal ini
disebabkan karena telur yang dihasilkan berjumlah sangat banyak dan berukuran kecil. Telur
yang berukuran kecil akan mempermudah terjadinya back washing. Selain itu, infeksi yang
terjadi karena cacing tersebut juga memiliki banyak reservoir host sehingga risiko penularan
juga semakin besar. Schistosoma dapat hidup rata-rata 3-10 tahun, namun dalam beberapa
kasus terjadi selama 40 tahun.

2.3 Epidemiologi
Schistosomiasis umumnya terjadi di wilayah tropis dan subtropis. Penyakit tersebut
tersebar luas di wilayah Timur Tengah, Afrika, Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Kasus
Schistosomiasis yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah seringkali disebabkan oleh
Schistosoma haematobium. Hal ini berbeda dengan kasus schistosomiasis yang terjadi di Asia
Timur dan Asia Tenggara yang terjadi karena Schistosoma japonicum. Cacing berspesies lain
yang juga menjadi penyebab dari schistosomiasis yaitu Schistosoma mansoni sering dijumpai
di Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Afrika.
Penyebaran schistosomiasis di berbagai wilayah tergantung dengan populasi keong
yang menjadi hospes perantara masing-masing spesies cacing. Schistosoma mansoni
menggunakan keong Biomphalaria alexandrina untuk menyebarkan Schistosomiasis di
wilayah Mesir. Sedangkan di wilayah Asia terdapat beberapa jenis keong seperti Neotricula
aperta di kawasan Sungai Mekong (Vietnam, Laos, Thailand), Oncomelania hupensis di
China, Oncomelania quadrasi di Filipina, dan Oncomelania hupensis lindoensis di Indonesia.
Schistosomiasis yang terjadi di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah.
Penyakit ini tersebar di dataran tinggi Lindu (Kabupaten Sigi), dataran tinggi Napu dan Bada
(Kabupaten Poso).
Gambar 1.1 Persebaran daerah endemis
schistosomiasis di Indonesia

Kondisi yang mendukung penyebaran penyakit ini terdiri dari air yang terkontaminasi urin,
tinja manusia atau hewan yang mengandung telur schistosoma, adanya siput yang cocok
untuk perkembangan telur, dan aktivitas manusia yang berkontak dengan air yang
mengandung serkaria seperti minum, mandi, atau mencuci. Ketiga kondisi akan dilanjutkan
dengan proses infeksi yang diawali dengan masuknya serkaria dengan menembus kulit yang
tipis, kulit dibawah kuku, di daerah perianal dan perineum.

2.4 Morfologi & Siklus Hidup


Schistosoma termasuk trematoda yang bersifat uniseksual dan berbeda dengan
trematoda yang lain karena umumnya bersifat hermaprodit. Cacing jantan berbentuk daun
melipat, ukurannya lebih besar daripada cacing betina dan terdapat canalis gynaecophorus di
bagian dalam yang digunakan untuk menyatukan diri dengan cacing betina saat kopulasi.
Berbeda dengan cacing jantan, cacing betina memiliki ovarium yang terletak di pertengahan
tubuh dan uterus memanjang yang mampu menampung 50-100 telur. Meskipun cacing ini
memiliki target pada dinding vena mesenterica usus halus manusia, namun dapat ditemukan
juga pada hewan domestik seperti sapi, kerbau, kuda, babi rusa, dan tikus sebagai inang
definitif.
Siklus hidup cacing ini dimulai dengan cacing betina menghasilkan telur yang
dikeluarkan bersama tinja atau urine. Telur akan menetas didalam air dan pada kondisi
optimum mengeluarkan mirasidium. Mirasidium berenang bebas dalam air dan melakukan
penetrasi pada hospes perantara yaitu keong air selama 16 jam. Mirasidium akan berkembang
menjadi sporokista pertama dan kedua di tubuh keong air dan menghasilkan serkaria selama
4-8 minggu. Selanjutnya, serkaria keluar dari tubuh keong dan berenang bebas dalam air
selama 1-3 hari. Fase itu menandakan stadium infektif.

Gambar 1.2 Siklus hidup Schistosoma

Proses infeksi terjadi dengan melakukan penetrasi melalui kulit hospes dengan
melepaskan bagian ekor dari serkaria yang bercabang dengan bantuan enzim proteolitik.
Serkaria akan masuk ke dalam sirkulasi menjadi skistosomula untuk menuju ke kapiler,
mengikuti sirkulasi darah sistemik, ke cabang vena porta masuk ke hati dan berkembang
dewasa di dalam hati. Setelah menjadi dewasa, cacing kembali ke vena porta dan vena usus
untuk bertelur di dinding usus dan keluar besama tinja. Sebagian telur akan masuk ke dalam
sirkulasi portal menuju hati atau organ lain sehinga dapat menimbulkan gejala klinis.
2.5 Gejala
Sebagian besar penderita tidak mengalami gejala hingga beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah paparan parasit. Namun ada juga yang dapat mengalami gejala seperti
gatal, iritasi kulit, muncul ruam berwarna merah dan benjolan pada kulit yang terinfeksi,
sesaat setelah terpapar.

Berikut adalah gejala yang biasa dialami setelah satu hingga dua bulan terpapar parasit:

 Pusing.

 Demam tinggi.

 Menggigil.

 Merasa tidak enak badan.

 Gatal dan muncul ruam merah atau bernoda pada kulit.

 Batuk.

 Diare
 Nyeri perut.

 Nyeri otot dan sendi.

 Merasa nyeri saat membuang urine.

Jika infeksi yang dialami sudah memasuki tahap kronis, berikut adalah gejala yang dapat
dialami:
 Pembengkakan pada perut, ginjal, atau limpa.

 Urine dan tinja disertai darah.

 Mudah merasa lelah.

 Napas pendek disertai batuk.

 Nyeri dada.

 Jantung berdebar (palpitasi).

 Perubahan kondisi mental.

 Kejang
 Lumpuh.
 Muncul lesi pada vulva atau area perianal.

 Peradangan pada saraf tulang belakang.

 Kerusakan organ seperti hati, kandung kemih, usus, atau paru.

2.6 Diagnosis Skistosomiasis

Untuk membedakan gejala skistosomiasis dengan kondisi infeksi cacing yang serupa,
lakukan pemeriksaan kondisi fisik sekaligus menanyakan mengenai kegiatan yang dilakukan
sebelumnya. Jika dicurigai adanya potensi infeksi skistosomiasis, tes lanjutan akan dilakukan,
seperti:

 Tes darah, yang meliputi hitung darah lengkap (HDL) untuk memeriksa adanya
potensi anemia dan tes hitung sel darah putih (eosinofil) untuk memantau kondisi daya tahan
tubuh.
 Tes laboratorium, seperti urinalisis dan tes sampel tinja untuk memeriksa jika
terdapat telur parasit.
 Tes antibodi, untuk memeriksa jika terdapat tanda-tanda infeksi dalam tubuh.
 Tes fungsi organ, yang meliputi pemeriksaan fungsi organ ginjal dan hati.
 Tes pemindaian, seperti CT scan, MRI, Rontgen dada, ekokardiogram, atau USG.
 Biopsi jaringan, untuk memeriksa jika terdapat abnormalitas atau masalah serius
lainnya.

2.7 Pengobatan
Infeksi skistosomiasis umumnya dapat diobati melalui konsumsi obat-obatan dalam
jangka pendek, khususnya jika diberikan sejak dini. Praziquantel adalah obat yang menjadi
pilihan utama dalam kasus ini, namun hanya dapat bekerja saat cacing sudah sedikit
berkembang di dalam tubuh, atau sekitar 8 minggu sejak terkontaminasi.
Jika kondisi yang dialami cukup parah, seperti adanya gejala yang berpotensi merusak organ
otak atau sistem saraf pusat, obat golongan kortikosteroid kemungkinan akan diberikan.

Dalam kasus jarang terjadi, tindakan operasi untuk mengangkat gumpalan tumor, ligasi
varises esofagus jika terdapat varises lambung, pengangkatan granuloma, atau
pemasangan shunt, mungkin akan dilakukan.

2.8 Komplikasi 
Jika pengobatan tidak dilakukan dengan tepat atau terlambat, berikut ini adalah potensi
komplikasi yang dapat terjadi akibat skistosomiasis:

 Kanker kandung kemih.

 Gagal ginjal kronis.

 Kerusakan hati kronis.

 Penyumbatan hati dan kandung kemih.

 Kesulitan membuang urine.

 Peradangan usus besar (kolon).

 Hipertensi Pulmonal
 Infeksi darah secara berulang.

 Gagal jantung bagian kanan.

 Kematian.
2.9 Pencegahan 

Hingga saat ini, belum ada vaksinasi atau cara khusus secara medis yang dapat
membantu mencegah infeksi skistosomiasis terjadi. Hal yang paling utama adalah dengan
menghindari kontak dengan air tawar di area yang berpotensi terkontaminasi.Jika sedang
mengunjungi area yang berpotensi terkontaminasi skistosoma atau tidak tahu pasti kondisi
area tersebut, berikut adalah langkah-langah pencegahan yang dapat dilakukan:

 Hindari berenang atau bermain di air tawar.

 Menggunakan celana dan sepatu bot antiair saat berjalan di sekitar area yang diduga
terkontaminasi.

 Hindari kontak dengan siput yang berkeliaran di sekitar air tawar atau lumpur.

 Segera bersihkan bagian kulit yang terkena air kotor untuk menurunkan potensi
terkena infeksi.

 Merebus air selama 1 menit sebelum diminum atau konsumsilah air mineral kemasan
yang sudah dijamin kebersihannya.

Gunakan air bersih untuk keperluan mandi dan mencuci. Jika Anda tidak yakin dengan
kebersihan air di rumah Anda, disarankan untuk merebusnya selama 5 menit sebelum
digunakan.
BAB III
KESIMPULAN

Schistosomiasis (bilharzia/ demam keong) merupakan penyakit yang disebabkan oleh


parasit berupa cacing kelas trematoda dan genus Schistosoma. Spesies- cacing yang
menyebabkan penyakit tersebut terdiri dari Schistosoma mansoni, Schistosoma mekongi,
Schistosoma japonicum, Schistosoma haematobium, Schistosoma intercalatum. Infeksi pada
manusia akan terjadi ketika kelima spesies cacing mencapai stadium serkaria, cacing dewasa
dan telur. Terdapat tiga macam perubahan yang akan dialami oleh seseorang ketika terinfeksi
cacing schistosoma. Perubahan tersebut terdiri dari masa tunas biologik, stadium akut, dan
stadium menahun.
Penyakit kecacingan erat hubungannya dengan kebiasaan hidup sehari-hari. Penyakit
kecacingan biasanya tidak menyebabkan penyakit yang berat dan angka kematian tidak
terlalu tinggi namun dalam keadaan kronis pada anak dapat menyebabkan kekurangan gizi
yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan pada akhirnya akan menimbulkan
gangguan pada tumbuh kembang anak. Khusus pada anak usia sekolah, keadaan ini akan
mengakibatkan kemampuan mereka dalam mengikuti pelajaran akan menjadi berkurang.
Cara penularan dan pengobatan dari infeksi cacing berbeda-beda sesuai dengan jenis
cacing yang menginfeksi manusia. Tidak semua penularan terjadi melalui kontak langsung
dengan cacing pembawa penyakit.
Cara pencegahannya yang dapat dilakukan yaitu personal hygiene, dengan sering
membersihkan kuku, memakai alas kaki, cuci tangan sebelum dan sesudah makan, memilih
makanan yang segar dan bersih serta menjaga lingkungan dalam bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran (Hand Book of Medical Parasitology).


Sagung Seto Surabaya. 2011
2. Handojo I, Margono S.S. Cacing Pita Yang Penting Di Indonesia. Dalam: Buku
Parasitologi Kedokteran. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2002; 92-96.
3. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, dkk. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi
Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2008. hal.
6-9.5.
4. Soedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015. hal 370-56.
5. Suriptiastuti. Infeksi Soil-Transmitted Helminth :Ascariasis, Trichiuriasis dan Cacing
Tambang. Tersedia dari:http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Tutik.pdf.
(verified 2006) [diunduh september 2017].
6. World Health Organization. 2011. Intestinal worms, soil transmitted helminths. Dalam
http://www.who.int/intestinal_worms/en. Diakses pada tanggal 20 Sepetember 2017.
7. World Health Organization. Schistosomiasis WHO: WHO; 2010 [c]. Available at:
https://www.who.int/schistosomiasis/disease/en/. Diakses pada tanggal 05 November
2019.
8. Colley, D. G. et al. 2014. Human Schistosomiasis. The Lancet. 2014; 6736(13), Pp. 1–
12. Doi: 10.1016/S0140-6736(13)61949-2.
9. Ismail et al. Schistosoma Prevalence World-Wide. Cairo : SMGroup; 2016.
10. Center for Disease Control and Prevention (CDC). Schistosomiasis Infection.
DPDxLaboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health Concern. 2013.
Availableat:http://www. cdc.gov/dpdx/ schistosomiasis/ index.html. Diakses pada
tanggal 05 November 2019.
11. Barsoum, R. S. Human Schistosomiasis : Clinical Perspective : Review, Journal Of
Advanced Research. 2013;4(5), Pp. 433–444.Doi: 10.1016/J.Jare.2013.01.005.

Anda mungkin juga menyukai