Anda di halaman 1dari 30

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218057/Januari 2021


**Pembimbing/dr.H. Jupri Makmur, Sp.PD. FINASIM

PPOK

Oleh:
Dean Grestama
G1A218057

Pembimbing:

dr.H. Jupri Makmur, Sp.PD. FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN
Clinical Science Session (CSS)

PPOK

Disusun Oleh : Dean Grestama


G1A218057

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada September 2021
Pembimbing

dr.H. Jupri Makmur, Sp.PD. FINASIM

2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Science Session (CSS) yang berjudul “PPOK”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. H. Jupri Makmur Sp.PD. FINASIM, yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Laporan Kasus ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Penulis
mengharapkan semoga Laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Januari 2021

Achyarini Noviola

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5
juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.
Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul penyakit ini mencapai $ 24
milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat. (IPD)
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama
asma bronchial menduduki peringkat ke enam.

1.2. Batasan Masalah


Refrat ini membahas mengenai PPOK Eksaserbasi akut yang pembahasannya kami
batasi mengenai definisi, epidemiologi, factor risiko, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi.

1.3. Tujuan Penulisan


Penulisan refrat ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang
PPOK Eksaserbasi Akut.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan refrat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada
berbagai literatur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PPOK
2.1.1. Definisi PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya1.

2.1.2 Epidemiologi
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5
juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.
Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung,
kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul penyakit ini mencapai $ 24
milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat. 2
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma
bronchial menduduki peringkat ke enam. 2
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya
berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang
dari 40 tahun3. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120
pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok,
hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok
pada laki-laki dibandingkan pada wanita.4 Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional)
tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan
hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya

5
merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian
sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif. 5
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2006
menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak adalah penderita pada kelompok
umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita (84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29
penderita dengan proporsi 63,0%. 6

2.1.3. Faktor Risiko


Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan
terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor
pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik,
hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya
alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi
akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat
lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK7
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian.
Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan
faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda
yang bukan perokok.7 Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan
merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose
response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per
hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun
artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis
kronik minimal setelah 10 tahun merokok8.
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor,
asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas

6
buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti
bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi
udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih
belum jelas tapi lebih kecil dibandingka n asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution)
yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga
merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya
PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal,
gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi7.

2.1.4. Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk
keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme.
Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara
alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah
teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan
paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang
sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk
gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan
rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP)9.
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada
sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran
napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi
terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan
sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan1.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.
Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru.

7
Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif,
maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps1.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi
seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap
rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase,
yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan10. Selama
eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi
hipoksik pada arteriol11.

2.1.5. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis
PPOK sesuai derajat penyakit.
A. Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polus i tempat kerja. Kebiasaan
merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan
apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi
hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600) 12.

b. Gejala klinis

8
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak
terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, sesak napas merupakan gejala yang
sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup
digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research
Council (MRC)1.

Tabel 2.1 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

B. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong
(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi
biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus
melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan
mengi 12.

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

9
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.1
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemuk an kelainan paru berupa hiperinflasi
atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung
pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil
pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis
ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau
menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien1.
c. Laboratorium darah rutin
d. Analisa gas darah
PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa
(50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.
PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO 2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, member
kesan episode ang mengancam jiwa dan perlu monitor ketat serta penanganan intensif.
2

e. Mikrobiologi sputum 12

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi


(derajat) PPOK, yaitu 1:
Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK

10
2.1.6. Diagnosis Banding
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun
seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis
PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 12
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan
gagal jantung kronik

11
2.1.7. Penatalaksanaan 12
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan

12
asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi
dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU
dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik
konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi
yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola
hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat – obatan
- Macam obat dan jenisnya

13
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau
perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung
ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel

14
Tabel 3. Pemberian Edukasi berdasarkan derajat penyakit

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).

Macam - macam bronkodilator :


- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2

15
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin

16
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.

f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati

17
18
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ - organ lainnya.

Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi :
Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90% - Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2
> 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :


- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi


oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal
napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut

19
di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita
PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT)
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian
oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Alat bantu pemberian oksigen


- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas
darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan
napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di
rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

20
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan
dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah
Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation
(NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long
Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualiti hidup
- Analisis gas darah

Indikasi penggunaan NIPPV


- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping
harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

Ventilasi mekanik dengan intubasi


Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila
ditemukan keadaan sebagai berikut :
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
misalnya pneumonia

21
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :


- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan
abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma,
efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai
berikut :
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik


- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Kesukaran weaning

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan


- Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
- Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
- Nutrisi seimbang
- Dibantu dengan NIPPV

22
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :


- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan
CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit
oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada
PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.
Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi

23
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi
terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.

1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen.


Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk
melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasanakan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.

24
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan
ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh
penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK
bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi
latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan
peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.

Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang
sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan
karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan
rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari
efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat.
Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ
menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada
penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang dominan untuk
menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot
skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot,
diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring
ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake
dan kontrol kardiovaskuler.

Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :


• Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
• Rumah sakit

25
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan
diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat.
Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan
subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat
memberikan informasi yang obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah
ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking jogging. Begitu
jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk
menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai
mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti
dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30
menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam
tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil.
walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal,
dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi
atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan

2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat

3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan
menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih

26
ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.

2.1.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan
oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat
normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien
PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor
pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal
jantung kanan12.
BAB III
KESIMPULAN

1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya
2. PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit
serebro vascular.
3. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan
perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita
4. Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian.
5. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan

27
silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi
sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi
terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan
6. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja.
7. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi
hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600)
8. Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi yaitu batuk dan sesak nafas
9. Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong
(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi
biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan
fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,
ronki, dan mengi
10. PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun
seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik.
11. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : Edukasi, Obat - obatan , Terapi oksigen,
Ventilasi mekanik, Nutrisi dan Rehabilitasi
12. Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Barcelona: Medical Communications Resources. Available from:
http://www.goldcopd.org
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Jakarta : Interna Publishing, 2009
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001. Survey Kesehatan Rumah Tangga.
4. Setiyanto, H., Yunus, F., Soepandi, P.Z., Wiyono, W.H., Hartono, S., dan Karuniawati,
A., 2008. Pola dan Sensitivitas Kuman PPOK Eksaserbasi Akut yang Mendapat
Pengobatan Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin. Dalam: Wiyono, W.H.
(eds). 2008. Jurnal Respirologi Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta
28 (3):107-125.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
6. Shinta, dan Wara, D., 2007. Studi Penggunaan Antibiotik pada Eksaserbasi Akut
Penyakit Paru Obstruktif Kronik: Studi pada Pasien IRNA Medik di Ruang Paru Laki dan
Paru Wanita RSU dr. Soetomo Surabaya. Universitas Airlangga. Available from:

29
http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-
shintadewi9128&PHPSESSID=04b240b8e11c4efa33cfe7d5fc244c0d
7. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors. In:
Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. London: BC Decker Inc, 33-44
8. Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tinjauan
Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Available from : http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?
act=det&idA=263
9. Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2.
Jakarta: EGC, 410-460.
10. Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com.
Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview
11. Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The Nurse
Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik),
Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
13. Vestbo, J., 2006. Clinical Assessment, Staging, and Epidemiology of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease Exacerbations. Proceedings Of The American Thoracic Society.
Proc Am Thorac Soc 3: 252–256.

  

30

Anda mungkin juga menyukai