Anda di halaman 1dari 226
(Hadian Roman ASEAN TERBAIK 1977} IWAN SIMATUPAN ZIARAH “Ziarah tidak sekadar menyampaikan sebuah cerita—lebih dari itu, ia juga menunjukkan bagaimana sebaiknya cerita disampaikan.” —Faisal Oddang, penerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014 “Tentang Ziarah saudara, saya merasa kagum dan menganggapnya perlu menerbitkan segera. Karena akan membuka halaman baru pula dalam kesusastraan Indonesia seperti halnya tempo hari dengan puisi Chairil Anwar.” —H.B Jassin dalam suratnya kepada Iwan Simatupang “Ziarah bagi saya berarti dua hal, pertama ‘ziarah ke dalam buku’ dan kedua, ‘ziarah ke dalam diri’. Untuk yang pertama, saya benar-benar mengunjungi sebuah tempat yang mulia; sebuah cerita yang utuh. Utuh yang saya maksud karena Ziarah tidak sekadar menyampaikan sebuah cerita. Lebih dari itu, ia juga menunjukkan bagaimana sebaiknya cerita disampaikan. Sedangkan yang kedua ialah ketika membaca Ziarah, kesadaran atas realitas membuat saya harus mengunjungi diri saya. Tetapi, ketika tiba saya meragukan diri yang saya kunjungi merupakan bagian dari realitas. Lewat Ziarah, Iwan Simatupang memperlakukan saya sebaik dan seburuk dua hal tadi. Dan perlakuan macam itu yang sebaiknya pengarang dan karyanya berikan kepada pembaca.” —Faisal Oddang, penerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014 “Membaca Ziarah bagai mengunjungi masa lalu. Indah dan sarat rahasia, menegangkan sekaligus menyenangkan. Kita, generasi ponsel pintar, harus membaca novel apik ini? —Khrisna Pabichara, penulis “Novel parodi dan satire yang sangat intens tengit ox tema yang pada dasarnya sangat sederhana, tetapi memerlukan pengetahuan psikologis dan intelek untuk menangkapnya.“ —Gayus Siagian, kritikus sastra ZIARAH Menyajikan kisah-kisah inspiratif, menghibur, dan penuh makna. ZIARAH Iwan Simatupang roura ZIARAH Iwan Simatupang Copyright © wan Simatupang, 1969 Pernah diterbitkan dengan judul yang sama oleh Penerbit Djambatan pada 1969 dan telah dicetak sebanyak delapan kali. All rights reserved Hak cipta dilindungi undang-undang Penyunting: Teguh Afandi Penyelaras aksara: Nunung Wiyati Penata aksara: TBD llustrasi samput: alvinxki ISBN 978-602-385-334-2 Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika) JI. Jagakarsa Raya No. 40 RT 007/04, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620 Telp.: 021-78880556, Faks.: 021-78880563 E-mail: redaksi@noura.mizan.com www.nourabooks.co.id Ebook ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing JI. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Phone.: +62-21-7864547 (Hunting) Fax.: +62-21-7864272 email: mizandigitalpublishing@mizan.com email: nouradigitalpublishing@gmail.com BTS kepada c grostesk ini kupersembahkan sebagai ziarahku selalu padanya ... untuk CORRY yang dengan novel ini Aku ziarah terus-menerus Cad IDEALISME DAN UPAYA PENERBIT Noura Books menyiarkan kembali karya-karya sastra Indonesia, khususnya Ziarah, yang ditulis almarhum ayah saya, Iwan Simatupang, kepada masyarakat terutama generasi muda sangat saya dukung dan hargai. Berbeda dengan novel Kering yang ditulis khusus untuk saya, dan ‘versi cetaknya’ diserahkan langsung pada saya sebelum beliau meninggal tahun 1970, lengkap dengan sehelai surat bertulis tangan plus sekantong gula-gula, sayangnya tidak terlalu banyak kenangan atas novel Ziarah yang saya ingat. Seingat saya, karya ini diperuntukkan almarhumah istri pertama beliau: Corry, ibu dari kedua kakak saya yang juga telah almarhum. Menurut catatan, cikal bakal novel ini muncul saat beliau tengah menuntut ilmu di Leiden, Belanda dan Paris pada 1961-an. Kemudian dituntaskan proses penulisannya sekembalinya beliau ke Indonesia. Saya bahkan belum lahir saat itu. Novel Ziarah memenangkan hadiah harapan pada sayembara UNESCO yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia, dan diterbitkan kali pertama oleh Penerbit Djambatan tahun 1969. Meminjam istilah L. Zulliartien dalam artikelnya yang dimuat dalam Harian Merdeka tahun 1981, Ziarah menggarisbawahi pengertian imajiner sebagai sifat dasar kreasi sastra dan merupakan sumbangan terbesar almarhum dalam mempertanyakan kembali perjalanan teori novel Indonesia pada masanya. Besar harapan saya, Ziarah dan upaya Noura Books, dapat melambungkan imaji-imaji pembacanya serta menapak jejak perjalanan sastra Indonesia atau setidaknya turut berziarah pada karya almarhum. Ziarah yang terus-menerus. Violetta Simatupang Putri bungsu Iwan Simatupang JUGA PAGI ITU, dia bangun dengan rasa hari itu bakal bertemu istrinya di salah satu tikungan, entah tikungan mana. Sedang istrinya telah mati entah berapa lama. Rasa seperti ini menjadi alasan tiap hari baginya untuk hidup. Paginya dia selalu gembira, sampai saatnya dia bertemu salah satu tikungan, melaluinya tanpa bertemu istrinya. Kekosongan sesudah tikungan ini membuat petang- petangnya tiba terlalu cepat. Begitu malam jatuh, perutnya dituanginya arak penuh- penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras, untuk pada akhirnya tertawa keras-keras. Tawa keras-keras ini menjadi isyarat bagi orang-orang di sekitarnya untuk menuntunnya pulang, ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil, di pinggir kota kecil. Di atas balai-balai kecil—satu-satunya perabot Iwan Simatupang dalam kamarnya itu—dia meletakkan tubuhnya yang kecil, menghidupi detik-detik selanjutnya dari malam yang sisa. Malam-malamnya seperti ini terlalu kecil untuk dapat menampung pengungsiannya dari harapan yang terlalu besar digantungkannya pada tikungan jalan, entah tikungan mana. Tapi, fajar yang mengambang di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih baginya bahwa tikungan jalan bukanlah tempat untuk menemui orang mati, bahwa istrinya sesungguhnya ada di bawah tanah pekuburan yang entah sudah berapa lama tak pernah dikunjunginya. Sudah berapa lama dia tak ziarah? Belum pernah. Istrinya mati, kata orang. Telah dikubur, kata orang. Tapi, dia sendiri tak mau melihat istrinya yang sudah mayat itu. Dia, suami si mayat, tak tampak. Dia lari tunggang langgang ke kaki lima jalan raya, dan bersama khalayak ramai menonton iring-iringan mayat istrinya lewat dari situ. “Siapa yang mati?” tanya orang. “Entah”, jawabnya sambil makan kuaci terus. Malamnya, dia menyuruh penjaga pekuburan meletakkan bunga di atas kuburan istrinya. Sesudah itu, dia cepat-cepat pergi dari situ. Esoknya, bibirnya untuk kali pertama dalam hidup menyentuh minuman keras. Mulai saat itu, dia mulai dikenal sebagai pemabuk, yang keras-keras memanggil nama istrinya, keras-keras menangis, keras-keras memanggil Tuhan, dan akhirnya keras-keras tertawa, terbahak-bahak kesetanan. S>_ 14 ZIARAH Selesai mandi dan berpakaian, dia lari ke jalan, berhenti di kaki lima untuk menentukan arah mana yang bakal ditempuhnya. Ini dilakukannya dengan cara menatap lama- lama ke inti Matahari, satu kesanggupan yang baru beberapa hari ini diperolehnya. Sebelumnya, dia cuma dapat menatapnya paling lama satu menit, itu pun dengan risiko: sesudahnya penglihatannya menjadi kabur, berkunang-kunang, kedua bola matanya merah basah. Tapi, berkat latihannya yang keras dan terus- menerus, waktunya makin dapat diperpanjangnya, 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan seterusnya. Kini dia dapat memandangi Matahari sesukanya, selama waktu yang dikehendakinya. Pernah dia sehari suntuk hanya memandangi inti bola Matahari, sampai Matahari terbenam petangnya. Satu-satunya gangguan yang dialami sesudahnya adalah, malam itu dia melihat ada Matahari sepanjang malam dalam tempurung kepalanya. Cahaya yang kuat sekali dalam kepalanya ini membikin panas seluruh tubuhnya. Butir-butir darahnya makin kencang beredar, pembuluh-pembuluh darahnya makin lebar, jantungnya berdentang makin cepat, tubuhnya merasa ringan sekali. Rasa riang mendaki dalam dirinya. Pada satu saat, dia perlu menyatakannya secara jasmaniah. Dia melompat setinggi- tingginya, dibarengi teriak sekeras-kerasnya. Kemudian, dia lari sekencang-kencangnya ke kedai arak, keras-keras memanggil nama istrinya, menangis, memanggil Tuhan, dan tertawa. 15 Iwan Simatupang Ketika sampai di depan rumah tempat dia menyewa kamar, orang-orang baik hati yang telah berkenan mengantarnya pulang, dipelukinya satu per satu, diciumnya berkali-kali. Keras-keras dia menyatakan terima kasih, cintanya kepada mereka, kepada seluruh manusia, kepada istrinya .... Sebagai penutup, mereka mendengar dia meneriakkan nama istrinya sekali lagi, kemudian disusul bantingan daun pintu sekeras-kerasnya. Sesudah itu hening, sehening-heningnya. S_ Lama juga dia berdiri di kaki lima itu, tegak lurus pada langit yang kelewat bening. Jalan raya amat lengang. Manusia dan bunyi jauh, jauh sekali. Hanya seekor anjing kurus dan kotor di ujung jalan tampak mengais-ngais tong sampah. Di udara yang mulai gerah, seekor elang mengepak-ngepakkan sayap tanpa nafsu. Kesibukan kota kecilnya pagi itu seolah menyibak ke satu penjuru saja. Desah kesibukan ini sesekali diantar angin ke telinganya, membuat seolah dia jauh sekali dari kota tempat dia kini ada, di salah satu kaki limanya, berdiri tegak lurus pada langit yang bening, kelewat bening. Perasaan seperti ini membuat dia tiap kali bergairah. Satu keinginan kuat mengental dalam dirinya untuk mengalami perasaan itu sepenuhnya dan sekaligus mencatatnya, menilainya. Untuk kali kesekian dia beroleh derai-derai rasa 16 ZIARAH yang mengantarkannya ke satu tempat yang lain daripada tempat dia kini sesungguhnya ada. Anehnya, dia tak dapat berkata saat itu. Dia sekaligus ada di dua tempat. Kedua tempat ini silih berganti, dalam perurutan waktu yang sangat cepat, merebut seluruh dirinya. Kecepatan ini akhirnya demikian besarnya, hingga batas- batas kedua tempat itu saling mendekati sekali. Pada satu saat, kedua tempat itu lebur. Terjadilah satu tempat ketiga, yang serta-merta membuat dia sadar dari kemelutya itu. Tempat ketiga ini mengakhiri segala uap remang dalam dirinya. Biasanya dia lalu bisa mengambil putusan, meng- arahkan keinginannya. Demikian juga kali ini. Setelah tempat ketiga itu menyuruk ke dalam tubuhnya, dia bersiul dan dengan rasa yang girang sekali membanting langkah- langkahnya ke jurusan kiri. Sebenarnya arah yang ditempuh oleh kedua kakinya sesudah tiap kejadian seperti yang baru saja dialaminya ini adalah senantiasa ke kiri. Belum pernah ke kanan. Dia sendiri heran, mengapa. Pernah dia sekali, sesaat sebelum kemelutnya seperti itu mulai, menghening cipta sebentar dan sungguh-sungguh menekadkan agar arah yang akan ditempuhnya nanti hendaklah ke kanan. Tapi, sehabis kemelut itu, tanpa setahunya tubuhnya telah diusung langkah-langkah kakinya ke arah kiri. Anehnya, sedikit pun dia tak merasa menyesal telah tak menuju arah yang berlawanan. 17 Iwan Simatupang Pelan-pelan dia menyusuri kaki lima arah ke kiri itu. Dia mencoba menghitung batu-batu tegel kaki lima. Bukan karena dia suka sekali berhitung, suka benar pada angka-angka, melainkan karena semata-mata untuk kuasa mengendalikan dirinya saat itu: tikungan di ujung jalan makin dekat .... Pandangannya sesekali didahulukannya ke situ. Tiap kali, debur jantungnya memantulkan kembali pandangannya ke batu-batu tegel yang sedang dipijaknya. Butir-butir pasir di atas batu-batu tegel itu, sol kedua sepatunya sudah amat aus, makin mengambil bentuk yang besar juga dan mengancam akan menyerbu kedua matanya. Pada saat-saat seperti ini, seluruh isi dadanya menyisih bagi hanya satu perasaan, yakni: harapan. Harapan, istrinya akan datang dari arah sana dari tikungan, bertemu, dengan dia persis di tengah busur tikungan itu. Pada saat dia berdiri persis di tengah busur tikungan itu, kedua matanya dipicingkan, siap menantikan suara istrinya memanggil dia. “Oh, halo, kau ....” Apabila suara ini, yang dikenalnya dalam seluruh variasi nada dan getarannya, tak kunjung datang, sedang yang sampai ke telinganya hanyalah desah keramaian kota yang menyibak ke satu penjuru saja, maka di dalam kelam picingan kedua matanya ditancapkannyalah titik-titik kuning muda dari harapan berikutnya. Besok! Besok aku pasti bertemu dia! 18 ZIARAH Hidupnya sejak dia ditinggalkan istrinya adalah hari-hari kini yang ditambalkan pada hari-hari esok. Esok akan menjadi kini, kini mencakup semua situasi kehidupan. Kini yang menjadi kemarin tak dihiraukannya karena segala yang lampau adalah hanya gumpalan hitam. Sama dengan gumpalan hitam yang sejak istrinya mati selalu dilihatnya di sisi bidang penglihatan matanya sebelah kiri: bentuk dan warna berlebih-lebihan, sedikit pun tak ada gunanya, tak mengurangi, tak menambah daya lihatnya. Kehampaan sehabis tikungan begitu membuat panca- indranya segar. Nafsu kerjanya bangkit, meluap. Rasanya, seolah dia sanggup melakukan kerja apa saja, asal itu dapat diselesaikannya sebelum Matahari terbenam. Telah dijadikannya prisip sejak istrinya mati, dia tak mau menerima kerja tetap yang meminta ketekunan dari dirinya lebih dari lima jam berturut-turut sehari. Ketika istrinya belum mati, kata orang—dan ini dibenarkan oleh kritikus-kritikus terkemuka—dia seorang pelukis berbakat sekali dan mempunyai masa depan baik. Tapi, begitu istrinya selesai dikubur, seluruh lukisan dan alat lukisnya dilemparkannya ke dalam laut. Kepada para kritikus yang tercengang dia berkata mereka selama ini salah semuanya sebab sesungguhnya dia tak punya bakat, apalagi masa depan baik. Sejak itu, dia jadi semacam buruh lepas. Itu pun hanya dia sedia kerja paling banyak lima jam berturut-turut sehari, tak lebih. Penduduk sekotanya 19 Iwan Simatupang mengenal dia demikian, menerima sifat-sifatnya yang aneh itu tanpa komentar. Dan, oleh sebab dia memang tenaga yang sungguh-sungguh, artinya dalam batas-batas paling lama lima jam berturut-turut sehari, mereka suka sekali menggunakan tenaganya. Kerja apa saja diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang orangtuanya perlu bepergian, membersihkan pekarangan rumah, menjadi kacung bola tenis, dan seterusnya. Tapi, bila ditanyakan kepadanya jenis kerja mana yang paling suka dilakukannya, dengan mata bersinar-sinar dia akan menjawab: mengecat atau mengapur rumah. Kalau ditanya mengapa, dia hanya senyum, dengan sinar-sinar aneh di matanya, sambil menggeleng-geleng. Tapi, ketika pada satu hari dia diminta ikut membantu menggali lubang kuburan, matanya terbelalak lebar-lebar. Kemudian, dia lari kencang- kencang. Sejak itu, penduduk sekotanya tahulah kini selera kerjanya: teramat suka mengecat dan mengapur, teramat tidak suka menggali lubang kuburan. Dia pun mereka beri kerja mengecat atau mengapur saja. Dalam lapangan ini, dia sungguh ahli. Tak seorang di kota sanggup menandinginya. Ada sesuatu yang khas pada catan atau kapurannya, yang tak tertiru orang-orang yang mencoba-coba meniru atau menandinginya. Apabila disejajarkan hasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain, tampak benar bedanya. Catan atau kapurannya mempunyai warna yang khas. Bahkan, menurut sebagian penduduk kota, 20 ZIARAH mempunyai semacam wangi khas. Rumah atau tembok yang selesai dicat atau dikapurnya, menurut mereka seolah berubah menjadi lukisan tersendiri, yang selaras sekali tegak di kota mereka itu. Tapi, dia sendiri tak percaya pada teori penduduk sekotanya itu. Dia geleng-geleng. Setelah selesai kerja, dia segera menagih upah, lalu cepat-cepat berlalu dari situ ke kedai arak. Sedang asyiknya dia bersiul-siul dengan membanting langkah-langkahnya di kaki lima itu, dia berpapasan dengan seorang paruh baya, yang menurut orang-orang sekotanya adalah opseter pekuburan kotapraja. Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapangan kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati. Dia ingin cepat- cepat menyingkir atau balik kanan, untuk menghindarkan pertemuan dengan tokoh maut itu. Tapi, jarak antara mereka sudah terlalu dekat. Dan, dia belumlah rasul atau malaikat yang pada saat-saat seperti itu dapat terbang vertikal ke langit. “Ha! Kebetulan sekali. Saya sudah lama mencari-cari Saudara. Untung benar! Untung!” “Ada apa?” “Mari kita ke kedai sana dulu. Sambil minum, saya akan bentangkan nanti usul saya.” “Minum apa?” “Kopi atau teh manis.” Tokoh kita terbahak-bahak. “Kopi! Teh! Ha-ha-ha ....” 21 Iwan Simatupang Opseter tiba-tiba sadar, lalu buru-buru memperbaiki. “Baik. Kita minum arak, akur?” “Bukan kebiasaan saya minum arak sepagi ini. Apa Bung Opseter barangkali ingin menghindarkan saya kerja hari ini?” “Oh, tidak, tidak. Bahkan sebaliknya, saya ingin ajak Saudara kerja.” “Kerja? Coba bentangkan maksud Saudara yang sesungguhnya.” “Eh, tanpa minum dulu?” “Persetan dengan minuman!” Dengan ragu-ragu, Opseter berjalan pelan-pelan di samping tokoh kita. “Saya ingin Saudara mengapur tembok-tembok luar pekuburan kotapraja yang saya awasi ....” Kalimat itu membuat tokoh kita seolah melihat panah- panah yang ditembakkan beruntun-runtun ke langit. Pada satu saat, panah-panah itu tiba-tiba berhenti di udara. Kemudian, semuanya berbalik dan serentak menukik— menyerbu ke arahnya. Dia menutup kedua matanya. Seluruh tubuhnya menggigil. Seolah dia sudah merasa sekian panah yang besar-besar dan runcing-runcing itu menikam tubuhnya. Dia membuka matanya sejenak. Masih dilihatnya panah- panah itu dengan deras menuju ke arahnya. Cepat-cepat dia lari dari situ, arah ke muka, sambil berteriak-teriak kesakitan. Opseter terkejut, melihat ke kiri dan kanan mencari sebab- sebab tingkah aneh dari kawannya bercakap itu. Ketika 22 ZIARAH dilihatnya sebab-sebab itu tak ada, herannya makin jadi, disusul kemudian oleh rasa takut. Begitu takutnya dia, hingga dia merasa perlu menyusul yang masih saja berteriak-teriak itu. Begitulah kita lihat pada satu pagi cerah, sepanjang satu jalan lengang, dua laki-laki berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan. Pada satu saat, kawan kita tiba-tiba ingin berhenti, tak berlari-lari lagi, tak berteriak-teriak lagi, tak tersedu-sedu lagi. Dia duduk di pinggir kaki lima. Dengan perasaan yang lucu sekali dia menyaksikan tontonan di belakangnya yang terdiri dari seorang laki-laki separuh baya, pekerjaannya opseter pekuburan kotapraja, berlari-lari sambil berteriak- teriak. Tontonan ini bukan saja memberi perasaan lucu padanya, melainkan juga satu jenis perasaan lain, yang bila diselidiki saksama nyata menyerupai perasaan puas telah berhasil melakukan balas dendam .... Terengah-engah opseter itu sampai padanya. Sinar kedua matanya kuyu, tapi masih cukup menggambarkan rasa letih, campur heran, campur benci. “Mengapa Anda lari, berteriak-teriak?” tanyanya di ujung napasnya yang satu-satu. Dia duduk di sebelah tokoh kita. “Mengapa Anda lalu ikut lari, ikut berteriak-teriak pula?” tanya tokoh kita, ibarat menjawab. Keduanya seketika berpandangan tajam sekali, disusul oleh sejumlah perasaan yang mengejang dalam diri mereka 23 Iwan Simatupang masing-masing. Tiba-tiba mereka serentak meletus tertawa ... terbahak-bahak, terpingkal-pingkal. Keduanya tak tahu mengapa mereka telah berbuat. Mereka hanya tahu, mereka telah berbuat. Bahwa bentuk dan jenis perbuatan mereka adalah demikian, sedikit pun tak mereka hiraukan. Garis- garis kusut yang melingkari mereka tadi semakin merentang dan teratur. Pada satu ketika, mereka berdua merasa ada dalam satu lingkaran yang sama. Satu rasa panas mengucur ke dalam tubuh mereka, membuat mereka merasa seharusnya bersahabat. Tiba-tiba tangan Opseter telah menyuruk ke dalam tangan tokoh kita dalam salam yang bergetar-getar hangat. Panas dalam tubuh mereka memijar, membuat isi dada mereka berkilauan memantulkan napas persahabatan dan kesetiakawanan ke seluruh pelosok alam. “Jadi, kau ingin menyuruh mengapur seluruh tembok luar pekuburan?” Opseter mengangguk, sedikit pun tak merasa keberatan telah disapa dengan “kau”. Dia tertunduk termangu-mangu menatap pasir-pasir di atas aspal jalan raya. Satu perasaan menyesal datang bertengger di atas hatinya. Kini dia se- olah dapat memandang luas ke seluruh persoalan. Kini dia mengetahui sebab sesungguhnya mengapa kawannya itu tadi lari kencang-kencang, berteriak-teriak ketakutan. Dia kini menjadi tawanan penuh dari nuraninya. Telunjuk kanannya digores-goreskannya di atas aspal kering yang terlalu kering yang terlalu kering .... Tidak! Dia tidak dapat 24 ZIARAH menyuruh kawan barunya itu melakukan apa yang semula dimintanya. Dia memang sengaja menyediakan pekerjaan itu khusus baginya. Bukan tak ada tukang cat dan kapur lainnya yang dia kenal dan mau melakukan pekerjaan itu baginya. Tapi, dia mesti memberi kerja itu kepadanya. Sebab, dia justru tahu benar siapa dia! Apa dia! Bagaimana dia! Dia telah banyak mendengar tentang riwayatnya dan tiba- tiba saja muncul ketika itu kehendak dalam dirinya untuk mencoba mencari kenikmatan dalam penyiksaan. Dia, si bekas pelukis yang amat berbakat, dan amat dikagumi orang, yang kata orang sekotanya amat bahagia ketika istrinya masih ada, dia itulah orang yang dipilihnya, ditunjuknya untuk mengapur seluruh tembok luar pekuburan kotapraja yang ada di bawah pengawasannya itu. Di dalam pekuburan itu, istri bekas pelukis yang amat berbakat itu dikubur .... Dia ingin menyaksikan tingkah lakunya ketika mengapur itu nantinya. Dia tentulah tahu istrinya dikubur di pekuburan yang justru dipagari tembok-tembok itu. Dia, opseter berpikiran setan, ingin menikmati siksaan serupa itu diderita bekas pelukis. Keinginan ini makin keras mengental dalam dirinya walau dia tahu belum tiba waktunya untuk menyuruh kapurkan tembok-tembok itu. Bahkan, baru saja dua bulan yang lewat tembok-tembok itu dikapur. Menurut peraturan kotapraja, tembok-tembok itu hanya boleh dikapur dua kali saja setahun. Dan, pada zaman susah serba menghemat seperti sekarang ini, agaknya sekali saja sudah lebih dari cukup. Waktu untuk 25 Iwan Simatupang mengapur berikutnya adalah paling tidak sepuluh bulan lagi. Tidak! Demi kenikmatan yang belum pernah dirasakannya selama ini, dan yang kini benar-benar ingin dirasakannya, kalau perlu, dia sendiri akan membiayai pekerjaan mengapur itu. Asalkan yang melakukannya adalah satu-satunya orang yang sejak sekian lama telah terselip dalam hatinya itu! “Baik! Aku terima. Asal kau tahu syarat-syaratku. Kemudian, berapa upahku? Bila aku mulai?” Geledek seolah menggeger dalam tubuh opseter kita. Apakah pendengarannya benar? Tapi, genggaman panas dari tangan kanan kawan barunya pada seluruh jari-jarinya itu meyakinkannya, bahwa pendengarannya memang tak salah. Jadi, dia terima. Dia tak berkeberatan mengapur tembok- tembok luar pekuburan, sedang istrinya dikubur di situ .... Kemelut dalam dirinya memuncak. Nuraninya berben- turan dengan kesediaan dan kebukaan hati kawan baru- nya yang sejak tadi masih tetap duduk di sampingnya, menggenggam terus tangan kanannya. Tapi, dari langit seolah didengarnya lecut yang lengking sekali atas jantungnya. Awan-awan hitam menguap. Kemelutnya reda. Garis-garis keras dan getir melingkari ujung-ujung mulutnya. Sinar kedua matanya kembali reda, menggambarkan suasana pekuburan pada tengah hari yang terik sunyi. Nuraninya mengungsi bagi watak algojo yang sudah siap mengayunkan pedangnya. “Jadi, kau terima tawaranku?” tanyanya, dengan nada geram. 26 ZIARAH “Tak kau dengar apa kataku?” “Oh ya, paling banyak lima jam berturut-turut sehari, sebelum Matahari terbenam. Upahmu kulebihi dari yang pernah kau terima hingga kini. Kau boleh mulai besok pagi. Dan, terimalah ini sebagai uang muka.” Persis tengah hari, mereka berpisah. Opseter lari girang pulang ke rumahnya di kompleks pekuburan. Tokoh kita lari girang ke kedai arak. Untuk kali pertama orang-orang di kedai itu tercengang melihat dia selesai minum tanpa keras- keras meneriakkan nama istrinya, memanggil Tuhan, dan akhirnya tertawa. Untuk kali pertama mereka berkenalan dengan bentuk-bentuk lain dari dirinya. Dia berbahasa sopan, dengan nada-nada suara lembut. Ketika dia mau berangkat pulang dia mengucapkan selamat malam, lalu pergi dengan langkah-langkah sigap dan pasti, sama sekali tak membutuhkan tuntunan orang lain. Sesudah dia pergi, orang-orang di kedai pada melongo. Bahkan, ada dari mereka yang bingung sama sekali.[] 27 SUDAH TIGA HARI BERTURUT-TURUT dia mengapur tembok luar pekuburan kotapraja itu. Tiga hari pula lamanya sang opseter terus-menerus mengintipnya dari celah-celah pintu dan jendela rumah dinasnya di kompleks pekuburan itu. Dia, sang opseter makin gelisah. Sebab sedikit pun tak ada dilihatnya yang ganjil yang patut mendapat perhatian khas pada tingkah laku pengapur itu. Dia biasa saja, datang tiap hari lepas sedikit tengah hari, lalu terus mengapur, tanpa henti-hentinya. Menjelang terbenamnya Matahari, dia berhenti kerja, membenahi alat-alatnya, menagih upahnya, pergi tenang sambil bersiul-siul ke kedai arak. Dan, menurut berita orang- orang di situ, sedikit pun tingkah lakunya tak menunjukkan keanehan apa-apa—yang sendiri sebenarnya sudah merupakan keanehan tersendiri! Sebelum dia memborong pekerjaan mengapur tembok-tembok luar pekuburan itu, ZIARAH orang-orang di kedai sudah biasa dengan tingkah anehnya. Kini dia jadi perhatian umum, perbincangan seluruh kota. Dengan waswas mereka mengamati tingkahnya yang sudah tak aneh lagi itu. Seolah-olah ketidakanehan sendiri adalah keanehan! Perubahan tingkah pengapur ini memengaruhi tingkah seluruh warga kota. Mereka tak dapat memahami perubahan itu. Mereka melihat pada perubahan itu hanya pertanda bakal datangnya satu perubahan tak baik dan tak menyamankan bagi mereka semua. Tiap mereka itu begitu dipengaruhi kejadian dan pemikiran-pemikiran yang diakibatkannya, hingga lambat laun tiap mereka merasa datangnya perubahan pada diri mereka masing-masing. Mereka merasa mereka yang kini lain daripada mereka sebelumnya. Juga orang- orang lain, orang-orang di luar diri mereka, menurut mereka sudah bukan lagi orang-orang seperti yang mereka kenal sebelumnya. Sinar mata mereka, warna wajah mereka, nada- nada suara mereka, arti tiap kata yang mereka ucapkan, telah berubah semuanya. Mereka bingung. Perasaan yang menghancurkan seluruh keyakinan dan kepercayaan akan diri mereka sendiri selama ini, merebut diri mereka. Demikianlah tiba saatnya, di mana pada satu hari tiap warga kota sekaligus merasa takut, curiga, dan bingung kepada sesama warga kota lainnya, dan tak kurangnya kepada diri mereka sendiri! Tak seorang berani berdiri lama- 29 Iwan Simatupang lama di muka cermin. Takut kalau-kalau yang mereka lihat di cermin itu bukan mereka sendiri. Tak lagi janji dapat diikat di kota itu. Percakapan- percakapan mulai kurang dilakukan. Sebab, kata-kata yang mereka akan jalin dalam kalimat-kalimat, menurut pendapat mereka sudah kehilangan artinya yang semula. Hubungan antarsesama mereka makin lengang. Usaha untuk menggunakan bahasa isyarat-isyarat tangan segera mereka hentikan karena tiba-tiba sekali menyusup kesadaran putih dalam daging mereka: mereka sesungguhnya hidup pada abad ke-20 dengan kebudayaannya yang sedang menerobos ruang angkasa. Pada hari ketiga tokoh kita mengapur tembok-tembok pekuburan itu, walikota dari kota kecil itu rupanya masih belum begitu rusak kepercayaannya pada dirinya sendiri. Jalan pikirannya belum begitu kacau seperti halnya warga kotanya yang lain. Dia putuskan mengadakan sidang darurat badan pekerja harian kotapraja. Acara tunggal: apakah sikap resmi kotapraja terhadap bekas pelukis yang memborong mengapur tembok-tembok pekuburan kotapraja yang dibiayai pribadi oleh opseter yang masih tetap punya status pegawai tetap kotapraja itu! Itu adalah sidang paling aneh yang pernah dilakukan di kota itu. Anggota anggota badan pekerja harian sama sekali tak ada yang menyatakan pendapat! Tak seorang pun dari 30 ZIARAH mereka selama sidang itu membuka mulut, mengangakan tenggorokannya untuk mengeluarkan bunyi barang sepotong pun. Mereka semua melongo saja, sama tercengang menonton sang Walikota yang bicara sendirian. Walikota menganggap tingkah mereka ini sebagai tanda setuju aklamasi dengan usulnya, agar sang Opseter segera diperintahkan untuk memerintahkan tokoh kita menghentikan pekerjaannya mengapur tembok-tembok pekuburan itu, dan agar mulai hari itu opseter itu dinonaktifkan dari jabatannya menunggu putusan resmi lebih lanjut “sampai keadaan dan suasana aneh yang meliputi kota kita tercinta ini lewat”. Ketika Walikota selesai membacakan usul resolusi bernapas panjang itu, kemudian memukulkan palu tanda sidang selesai, masing-masing anggota badan pekerja harian kotapraja itu cepat berdiri dan buru-buru pulang ke rumahnya. Seolah badai dahsyat bakal segera tiba. Termangu-mangu Walikota duduk di kursinya. Ketika dia memanggil salah seorang petugas untuk mengantarkan resolusi itu kepada sang Opseter, tak seorang petugas pun yang menyahut, datang. Mereka tadi mencuri dengar sidang dari balik pintu-pintu dan jendela-jendela ruang sidang. Begitu Walikota selesai membacakan usul resolusinya, mereka pontang-panting berlarian, masing-masing sembunyi ke rumahnya. Tidak! Biar mereka dipecat, dituduh sengaja membangkang atasannya sewaktu dinas, tapi mereka sekali-kali tak mau disuruh mengantar resolusi aneh itu kepada opseter pekuburan 31 Iwan Simatupang yang dalam pandangan mereka lebih-lebih lagi anehnya itu. Tidak! Disuruh menemui jin paling angker sekalipun mereka sedia, tapi sama sekali tidak, tidak, tidak menemui opseter pekuburan itu. Terpaksalah Walikota mengantarnya sendiri. Apa boleh buat. Dalam hati kecilnya, dia sendiri sebenarnya bukan tak turut mengutuk tugasnya itu. Rumah tangganya sendiri telah mengalami seluruh akibat peristiwa aneh yang diciptakan opseter pekuburan itu. Rumah tangganya berantakan. Istrinya telah membawa beberapa anaknya lari ketakutan ke orangtuanya yang diam di kota lain. Sedang anak-anaknya yang lain, yang tidak sempat atau mau ikut lari bersama ibunya, kini berkeliaran di kota seperti orang dungu membisu, tak mau ataupun barangkali tak dapat lagi seterusnya berkata-kata. Apabila mereka berpapasan dengan orang lain dengan suara gagah, mereka berjingkrak-jingkrak sambil menunjuk-nunjuk ke arah pekuburan. Dan, orang- orang dengan siapa mereka berpapasan itu makin kacau pikirannya disebabkan hal ini. Mereka lalu lari terbirit-birit dari situ, dengan atau tanpa diiringi teriak-teriak yang sangat mengerikan. Akhirnya sampai juga Walikota ke pekuburan. Dari jauh dia telah lihat bekas-pelukis itu sedang mengapur. Melihat dia ini, tubuh Walikota serasa lembap. Dengan perasaan haru biru, dia berlalu dari sana. Sambil memicingkan mata, dia berharap tak akan sempat terlihat oleh pengapur itu. 32 ZIARAH “Ahoi! Pak Walikota! Ke mana, nih?” ‘Walikota terpaku pada tanah, tunduk sambil memilin- milin jari-jarinya persis anak kecil tertangkap basah nakal. “Dia ada di rumah. Itu, di sana—mengintip-intip saya dari balik pintu rumahnya.” Cepat-cepat Walikota menaiki tangga rumah dinas Opseter. Ketika dilihatnya seluruh pintu jendela rumah itu tertutup rapat-rapat, dia berdiri di berandanya putus akal berbuat apa dia selajutnya. “Dia ada di dalam! Ketuk saja pintunya!” teriak Pengapur. Tapi apa lacur, nafsu bertindak tegas telah enyah sama sekali dari diri Walikota. Dia memutuskan untuk mengitip saja dulu lewat lubang kecil pintu depan. Alangkah kagetnya dia! Dia melihat dari lubang kunci itu satu bola mata yang terbelalak lebar-lebar, melihat lurus-lurus—ke dalam matanya sendiri! Segera sesudah konfrontasi mata dengan mata melalui lubang kunci itu, terdengar dua teriakan parau sekaligus: yang satu teriakan sang Walikota, yang satu lagi teriakan sang Opseter yang tak kurang kagetnya melihat dari lubang kunci pintunya satu bola mata terbelalak lebar-lebar memandang ke dalam matanya! Paduan kedua teriakan parau ini menambah kejut mereka masing-masing. Walikota seperti terpesona tegak memeluk tiang, sedang Opseter berlari keliling-keliling dalam rumahnya, terus berteriak-teriak parau. 33 Iwan Simatupang Tiba-tiba terdengar menggegar suatu tawa gempita dari atas tembok. “Ha ha ha! Yang mana kucing, yang mana tikus?” Kedua mereka sama terkejutnya, untuk segera menyim- pulkan bagi diri mereka sendiri, bahwa keadaan dan kedudukan mereka saat itu adalah persis: keadaan dan kehidupan antara apa yang disebut kucing dan apa yang disebut tikus .... Kunci pintu depan kedengaran dibuka. Keluarlah sang Opseter sambil mengacung-acungkan tinju ke arah tembok. “Hormatlah kepada kewibawaan, hai kau! Hormatilah pamong praja yang sedang dinas! Tak ada kucing, tak ada tikus di sini. Yang ada adalah ... eh, apa yang ada di antaranya. Eh ..., selamat siang, Pak Walikota! Silakan masuk, kemari!” Terperanjat juga Walikota mendengar ini. Tapi, begitu tampak botak yang mulai berkilat pada kepala Opseter, kesadaran pamong prajanya segera pulih kembali. Dengan muka dan suara yang diluruskan, dia berkata: “Mulai hari ini, Saudara dinonaktifkan sebagai opseter pengawas pekuburan ini. Ini surat keputusan tentang itu. Selamat siang!” “Tapi ....” “Tak ada tapi! Putusan adalah putusan. Kalau Saudara bisa pindah hari ini juga dari rumah dinas ini, lebih baik. Selamat siang!” 34 ZIARAH Dengan geram diempaskannya beslit nonaktif itu ke atas meja di beranda itu. Tapi, ketika sudah di tangga mau turun, dia berhenti, berpaling dan berkata: “Dan, eh .... pekerjaan mengapur tembok itu, yang dalam keseluruhannya adalah penjungkiran menyeluruh terhadap apa yang disebut administrasi kenegaraan, bersama ini saya perintahkan supaya saat ini juga dihentikan. Saudara mengerti?” “Tapi ....” “Tak ada tapi!” bentak Walikota, membanting kaki kanannya di atas tangga. “Perintah adalah perintah!” “Bagus! Bagus! Kini coba Tuan Walikota yang terhormat sudi menerangkan: bagaimana dapat saya, yang sudah bukan opseter pengawas lagi, jadi sekarang sudah bukan petugas resmi lagi dari kotapraja, dapat diminta menaati perintah kotapraja?” “Yang saya minta dari Saudara adalah jenis kepatuhan yang tercantum dalam undang-undang dasar negara kita. Kepatuhan yang diminta tiap pimpinan negara dari tiap warganya.” “Tapi, undang-undang dasar itu juga menjamin hak saya mengetahui alasan-alasan mengapa saya diminta patuh. Dalam hal ini: mengetahui, mengapa saya dinonaktifkan dari jabatan saya.” 35 Iwan Simatupang “Ttu telah saya simpulkan tadi dengan ‘demi kesejahteraan umum’, Seperti tiap gagasan lainnya, ini tak seharusnya diperinci lagi.” “Alasannya?” “Dia berhenti jadi gagasan.” “Apakah keadikaraan dari gagasan ini tak justru menin- das kesejahteraan saya?” “Diri Saudara, berikut seluruh persoalan Saudara, sudah tercakup dalam apa yang saya sebut sebagai ‘umum’ tadi.” “Tapi, bagaimana dengan pikiran, perasaan, dan pengalaman pribadi saya?” “Umum adalah lebih besar daripada pribadi, dari sekian pribadi.” “Apa bukan sebaliknya, Pak Walikota yang terhormat? Apa yang dengan mudahnya kita cap sebagai ‘umum’ itu adalah, dan hanyalah, terdiri dari pribadi-pribadi, yakni manusia-manusia, warga-warga bebas.” “Bebas? Ha! Itulah inti perselisihan paham kita. Hati- hati Saudara dengan kata ‘bebas’ itu. Saudara harus dapat merasakan getaran, irama, dari masa. Saudara seperti ketinggalan zaman saja. Ya, Saudara telah terlalu lama bercokol di pekuburan ini. Di sini memang tempatnya sejarah berhenti. Dari segi ini saja, Saudara sudah seharusnya pergi dari sini. Saudara telah memberikan gambaran tentang diri Saudara sebagai manusia prasejarah.” 36 ZIARAH Opseter terdiam. Tidak! Dia tak menganggap kata-kata Walikota itu sebagai penghinaan. Dia merasa kata-kata itu ada benarnya. Bahkan, benar sekali! Tapi, justru itulah keberatannya, sebagaimana dia juga keberatan terhadap kebenaran-kebenaran lainnya yang terlalu tandas, terlalu banyak menggunakan huruf-huruf besar dan tanda seru. Dan, apabila kini membangkang, dia harus membangkang! Itu adalah terlebih terhadap nada ketandasan itu. Benar, dia telah lama, mungkin terlalu lama, bercokol di pekuburan ini, di mana didapat banyak, mungkin terlalu banyak, bayangan dan kediaman. Tapi, hal-hal ini juga yang telah memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan dengan kebenaran dari jenis yang subtil, yakni: yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Ya! nuanslah yang terlalu sedikit sekali diperkirakan dalam undang-undang dasar tiap-tiap negara. Dan kini, demi nuans itu, dia harus membangkang. Senyum menggulung di bibirnya. Berkali-kali. “Jadi, Saudara tak mau menyuruh menghentikan peker- jaan mengapur itu?” “Ah! Pak Walikota rupanya tak mengetahui proporsi.” “Diam!” bentak Walikota, busa di ujung bibirnya. Sang Opseter sementara itu telah duduk di anak tangga, memandang dengan menyeringai kepada Walikota. Melihat tingkah ini, Walikota benar-benar menjadi gugup, tak tahu berbuat apa. Dia berpaling ke arah tembok. 37 Iwan Simatupang “Hai, kau! Atas nama kesejahteraan kotapraja, kuperin- tahkan kau menghentikan pekerjaanmu mengapur itu seka- rang juga.” “Tuan boleh panjang-panjang pidato, tapi dalam hal ini saya sedikit pun tak punya urusan apa-apa dengan Tuan.” Tokoh kita dengan girangnya meneruskan sapuan kuasnya yang berkapur itu pada tembok. “Kau membangkang, ha?” “Tidak, cuma Tuan tak kenal proporsi.” “Apa?” teriak Walikota, mirip putus akal. “Proporsi ....” Sang Walikota merasa kedua lututnya kelu dan kejang sekali. Serasa dia segera akan jatuh terjerembap. Tidak! Dia harus dapat menguasai dirinya justru pada saat-saat seperti ini. Justru di hadapan orang-orang seperti ini. Orang-orang yang lebih banyak bermenung daripada hidup. Orang-orang yang menyia-nyiakan sifat-sifat dan bakat-bakat briliannya hanya untuk beberapa pemikiran yang dari semula telah menempuh rel yang salah. Dia tak pernah menyukai orang- orang seperti dia, bekas pelukis yang berubah menjadi tukang kapur ini, dengan jidat terlalu lebar, rambut yang semakin jarang tumbuh di batok kepalanya, dan muka yang pasi karena tak pernah bertemu sinar Matahari, dan akhirnya: dengan pandangan mata yang terlalu angkuh. Kewalikotaannya seharusnya paling tidak mengandung makna. Setidaknya masih ada yang membedakan dia dari 38 ZIARAH orang-orang dekil seperti kedua orang yang sedang dengan jenakanya menjadikan dia barang tontonan. Dia mengarahkan seluruh sisa kekuatan yang masih ada pada dirinya untuk dapat mengayunkan langkah-langkahnya, pergi dari situ. Tidak! Telah ditekadkannya, bahwa dia tak akan runtuh di hadapan kedua orang dekil yang sangat dibencinya itu. Terhuyung-huyung dia pergi, diantar oleh seringai pada wajah Opseter yang masih tetap duduk di anak tangga rumah dinasnya, dan oleh gelak-gelak lantang bekas pelukis dari atas tembok. Mereka boleh tertawa! Tapi, mereka tak tahu sama sekali arti dari asas, dari kepribadian, dari gengsi. Langkah-langkahnya makin oyong. Tubuhnya makin sukar dipertahankannya pada posisi lurus. Langit tengah hari dilihatnya mulai berkisar pelan-pelan, makin lama makin kencang, berporos pada Matahari yang mengambil warna yang makin pekat juga. Kuning putihnya telah lama redup. Kini dia memacu menuju warna merah yang sangat tua, melalui taraf-taraf hijau tua, jingga, merah tua, merah sangat tua. Dan, ketika Walikota persis tiba di tengah alun- alun kota, Matahari sudah hitam pekat baginya seluruhnya. Ada sesuatu yang merekatkan kedua kakinya pada tanah alun-alun, hingga dia sama sekali tak dapat bergerak lagi. Dalam usahanya yang terakhir untuk menjaga kesetimbangan dirinya, dia merentangkan kedua tangan ke samping. 39 Iwan Simatupang Tiba-tiba, satu garis lurus dilihatnya turun dari langit dan dengan cepat menuju ke arahnya. Garis itu makin tebal makin panjang, makin kencang datang menyerbu ke arahnya. Dia tak dapat mengelak lagi .... Dia berteriak! Bersamaan dengan itu, dia pun tumbang. Dalam te- linganya dia mendengar suara gegap gempita, suara turut terjungkirnya Bumi yang merekat rapat pada kedua kakinya. Orang-orang di alun-alun ikut berteriak. Kemudian, mereka berlari-lari menemukan Walikota yang rebah itu. Matanya merah tua, liar melihat kepada orang-orang yang mengerumuninya. Bah! manusia-manusia kerdil dekil, terhadap siapa dia selama ini sedikit pun tak mempunyai penghargaan. Dia menerima pemilihan dan pengangkatannya sebagai walikota dulu sekadar menggunakan kedudukannya sebagai kesempatan sebaik-baiknya untuk pada suatu saat nanti membalaskan dendam kepada mereka, kepada manusia- manusia dari jenis mereka, kerdil, dekil, pandir, bernaluri makan dan pakaian saja, tak lebih. Manusia-manusia seperti ini telah lama dicoretnya dari daftar barang-barang yang dapat dikaguminya. Sejak itu dia mematokkan, bahwa hidupnya akhirnya mempunyai tujuan. Yaitu, membasmi manusia-manusia yang terkena wabah demam makan dan pakaian saja. Dengan manusia-manusia primer seperti ini, Bumi ini tidak berkesempatan sedikit pun melaraskan dirinya dengan bentuk kebudayaan angkasa luar, yang penemuannya cuma soal waktu sepele saja lagi. 40 ZIARAH Kesempatan untuk membalas dendam itu selama ini tak kunjung datang baginya. Hidupnya sehari-hari terlalu penuh dengan pekerjaan merobek amplop-amplop dinas, membaca surat-surat dinas berstempel, dengan gaya bahasa yang kelu dan sekejang-kejangnya. Hidupnya penuh dengan catatan-catatan, dengan kettelebelleces, dengan sebentar- sebentar melihat pada arlojinya, dengan telepon berdering- dering, dengan kartu nama-kartu nama dari tamu-tamu yang semuanya datang dengan tampang pintar dan penting. Hidupnya dimuakkan oleh terlalu banyak senyum dan ramah-tamah palsu, oleh terlalu banyak resepsi yang telah merusak untuk selama-lamanya seluruh sistem pencernaan makanannya, oleh pidato-pidato pakai teks yang tak pernah diyakininya sendiri, oleh praktik-praktik menjilat atasannya dan menindas bawahannya. Di manakah ada peluang baginya dalam jenis kehidupan seperti ini untuk melakukan balas dendam? Balas dendam memerlukan persiapan, pemikiran, memerlukan sistem filsafat tersendiri yang merentangkan isi, tujuan, faedah, dan dalil balas dendam itu nanti kepada dirinya sendiri, kepada anak cucunya, dan apabila masih ada juga umat manusia dan kemanusiaan sesudah kurun sejarah kini—juga kepada umat manusia dan kemanusiaan yang akan datang. Begitulah dia akhirnya mencari sekadar hiburan bagi dirinya dalam satu jenis kesibukan yang khas manusia, yaitu mengundurkan ke hari esok apa yang tak diperolehnya 41 Iwan Simatupang hari ini. Ternyata, kesibukan ini memberikan gairah baru kepadanya. Hidupnya beroleh denyut dan kesegaran baru. Antara hari kini dengan hari esok direntangkannya seutas tali tegang. Di atas tali itu dia berjingkat gembira, jenis kegembiraan dari setiap situasi antara “berangkat” dan “tiba”. Apabila di jauh tengah malam nuraninya dilanda, oleh karena juga hari itu telah lewat tanpa pelaksanaan program- nya membalas dendam, maka bantal guling, atau istrinya yang dicengangkannya, dipeluknya erat-erat di ranjang, di bisikkannya mesra. “Besok!” Sesudah itu, dia pun pulas, mendengkur. Demikianlah gagasan “besok” ini menjadikan dirinya justru tipe pamong praja yang sangat ideal. Dia menyerahkan seluruh dirinya kepada pekerjaannya. Sepanjang hari dia bergembira, menjadi contoh dari keuletan bekerja bagi seluruh pegawai dan buruh di lingkungan kotapraja, tanpa mereka dapat memahami sedikit pun apa sebenarnya yang menjadi sumber dari keuletannya itu. Pernah mereka—para pegawai dan buruh itu—secara rahasia membentuk sebuah panitia penyelidik. Tapi, setelah tiga bulan bekerja keras, panitia ini hanya dapat melaporkan bahwa sang Walikota yang sedang mereka selidiki secara rahasia itu, tak ada melakukan korupsi, tak ada memiliki 42 ZIARAH perusahaan-perusahaan gelap, tak ada mempunyai bini muda. Karena merasa tak puas, campur heran, campur kagum, campur cemburu, panitia rahasia itu bubar dan melihat dengan sayu betapa sang Walikota bahkan semakin giat dan gembira bekerja. Disebabkan tak adanya faktor luar yang mencurigakan, atau dapat memburukkan namanya, lambat laun timbullah keyakinan pada mereka, bahwa sang Walikota adalah benar- benar tipe pamong praja yang ideal, dan oleh sebab itu patut dicontoh. Keyakinan ini makin meluas dan merata ke segenap korps pegawai dan buruh. Dan, ketika Gubernur datang inspeksi, dia membuat laporan sangat baik tentang kotapraja, terutama tentang Walikota. Kepada Menteri Dalam Negeri diusulkannya, agar walikota itu dicalonkan sebagai penggantinya bila dia tak lama lagi pensiun. Menteri setuju, sedia datang nanti melantiknya pada hari timbang- terima jabatan. Pers, radio, dan film penuh memuat gambar-gambar kotapraja terpuji itu dengan walikotanya yang lebih-lebih lagi terpuji. Wawancara-wawancaranya dimuat di halaman muka surat kabar-surat kabar, berkolom-kolom. Komentator- komentator radio kehabisan istilah untuk menandaskan betapa patriotiknya Walikota itu, betapa baiknya bila seluruh pamong praja, seluruh buruh tetap maupun buruh harian, di bidang pemerintahan maupun swasta, bahkan seluruh rakyat yang cinta tanah air yang adil dan makmur, 43 Iwan Simatupang menjadikan Walikota itu sebagai teladan. Seluruh keluarga Walikota gembira dan berbahagia sekali dengan bakal kenaikan pangkatnya itu, terutama dengan publisitas yang begitu hebat dan terus-menerus tentang dirinya. Juga gambar- gambar mereka, bahkan gambar-gambar para pelayan dan binatang-binatang yang dipeliharanya, sering ikut dimuat, di-‘apa-siapa’-kan dalam pers. Umur, pendidikan, ukuran badan, kesukaan mereka masing-masing pada waktu senggang, warna, bintang film, lagu, biduan atau biduanita mana yang mereka sukai, bintang kelahiran mereka dan seterusnya, semua dicatat dengan cermat oleh wartawan- wartawan kawakan dan reporter-reporter muda mahasiswa fakultas publisistik. Anehnya, Walikota sendiri tak seberapa bahagia dengan semua publisitas itu. Mukanya muram. Tiba-tiba dia menjadi suka termenung. Pada satu hari, dia bahkan memutuskan tak masuk kantor tanpa alasan yang sah. Tumpukan koran dan majalah yang diletakkan di meja sarapan paginya, diterjangnya. Seharian dia bermenung di hadapan kalender yang tergantung di dinding kamar tidurnya. Wartawan yang mau datang mewawancarainya tentang latar belakang mangkirnya dia masuk kerja hari itu, diusir dan dimakinya habis-habisan. Juga istri, anak-anak, dan pelayan-pelayannya disenggaknya supaya jangan mendekat dan mengganggu. Dia mengunci pintu dan jendela kamarnya rapat-rapat, lalu terus memandangi kalender. 44 ZIARAH Walikota! Sebentar lagi, gubernur! Beberapa tahun lagi, mungkin menteri, siapa tahu! Ya, siapa tahu, mungkin kepala negara! Tapi, dengan menjalani semua taraf ini sambil tiap akhir bulan dan tahun menyobek kalender, bilakah dia dapat melaksanakan program yang masih tetap dianutnya dengan setia selama ini, bahkan juga hingga ke liang kuburnya nanti? Bilakah dia akan mengadakan tindakan pembalasan dendam terhadap mereka, manusia-manusia kerdil dekil, terhadap cecunguk-cecunguk sandang dan papan itu semuanya? Dia menyadari, betapa dia telah bulat-bulat ditelan oleh taktiknya sendiri. Yaitu, membius dirinya sendiri dengan mengundurkan ke hari esok saban kali pelaksanaan program- nya itu gagal. Kini dia merasa betul-betul, betapa dia telah dikuasai benar-benar oleh gagasan ‘besok’ itu. Tiba-tiba, dan kaget, dia menyadari betapa seluruh prestasi yang dicapainya di bidang kepamongprajaan dan kehidupan rukun sebagai kawula selama ini, adalah pada hakikatnya berasal-usul pada gairah dan tegang yang datang dari senantiasa ‘besok’ itu. Dia adalah seorang romantikus, seorang ilusionis, seorang onanis. Dapatkah diharapkan balas dendam sanggup dilakukan oleh orang seperti dia ini? Balas dendam adalah setidaknya suatu tindakan juga. Lepas dari nilai-nilai etik dan moral sesudahnya, tindakan ini sebagai perbuatan yang dengan sadar dilakukan, adalah positif. Dia adalah hasil dari pilihan bebas yang berlaku di daerah kemauan bebas. 45 Iwan Simatupang Suatu perasaan nyeri dengan kekeluan baja menancap persis di puncak ulu hatinya. Dia adalah manusia gagal! Seluruh hidupnya telah gagal. Bila dan di manakah, perasaan telah gagal seperti ini paling nyeri dirasakan kalau tidak pada justru saat-saat terakhir dari hidup kita? Justru selama jantung masih berdenyut untuk waktu yang tak berapa lama lagi, kegagalan ini memperlihatkan dirinya sebagai Munkar dan Nakir yang keburu datang menyambang kita ke atas permukaan tanah. Oleh sebab itulah dia sebenarnya girang sekali menyam- but peristiwa-peristiwa dalam kota, gara-gara sang opseter pekuburan yang eksentrik itu. Sudah tentu dia tak boleh memperlihatkan girangnya itu. Bayangkan! Seorang walikota melompat-lompat kegirangan justru pada saat kekacauan total mulai datang menyusup ke dalam wilayah kotanya sendiri. Pengekangan dirinya ini bukanlah demi kegubernurannya yang akan datang. Persetan beslit! Persetan kegubernuran! Persetan masa depan yang baik! Persetan patungnya nanti di museum nasional! Atau, di salah satu taman besar! Persetan! Persetan! Dia memutuskan untuk tak melompat-lompat kegirangan dan memperlihatkan rasa bahagianya, hanya karena dia ingin meneruskan perannya yang terdiri dari dua kehendak yang satu sama lainnya saling bertentangan. Di satu pihak, kehendaknya untuk mencurahkan seluruh dirinya untuk kesejahteraan rakyat banyak. Sedang di lain pihak kehendak 46 ZIARAH iblisnya untuk pada saat yang bersamaan menghancurkan kesejahteraan itu sendiri, bersama rakyatnya! Dia senang sekali dengan peranannya ini. Telah bertahun-tahun lamanya dia hidup bersamanya, seolah istrinya yang kedua saja. Demikianlah, ketika seluruh kota ingar bingar disebab- kan ulah sang opseter pekuburan yang menyuruh atas biayanya sendiri bekas pelukis mengapur tembok-tembok luar pekuburan milik kotapraja, dia telah dapat menguasai dirinya dan menjalankan tugasnya terus dengan baik. Satu per satu pamong praja bawahannya menjadi nanar, kikuk, tak waras. Demikian juga penduduk kota. Tapi, dia tetap dia! Giat gembira memberi petunjuk- petunjuk dan perintah-perintahnya menampung keadaan baru itu. Ketika tak seorang pun lagi yang dapat, atau ingin, menunjukkan minatnya untuk melaksanakan perintah- perintahnya, dia lalu memutuskan mengerjakannya sendiri. Yang terakhir adalah mengantarkan resolusi badan pekerja harian kepada sang Opseter pekuburan kotapraja itu .... Tapi, gelak-gelak ejek sang Opseter dan bekas pelukis tadi menyapu bersih seluruh kubu pertahanannya. Terlebih peristiwa lubang kunci tadi, di mana bola matanya berhadap- hadapan dengan bola mata sang opseter, telah menancapkan pada dirinya untuk kali pertama dalam hidupnya satu perasaan takut dari jenis yang belum pernah dikenalnya. 47 Iwan Simatupang Sensasi dahsyat dan mengerikan! Melihat lewat kegelapan lubang kunci satu bola mata lain di sebelah sana, yang membelalak. Bintik bundar hitam, di tengah-tengah daerah putih yang serba makna. Sebenarnya dia tadi ingin lari saja. Sensasi ini serta-merta menimbulkan hasrat asing, tapi kuat sekali dalam dirinya untuk saat itu juga lenyap dari Bumi ini. Lenyap! Bukan dalam arti mampus dulu, baru kemudian dikubur. Atau, mayatnya dicincang lumat-lumat, kemudian digumpalkan sebesar upil hidung dan dipenyetkan dengan rasa kesal dan mual pada daun meja yang sudah reyot. Lenyap! Dalam arti tiada lagi. Lenyap! Dalam arti: tiada. Tapi, kemahiran yang ditempa dalam dirinya oleh sekian puluh masa dinas membuat dia dapat menyembunyikan perasaan dan keadaannya yang sebenarnya. Dengan sinar mata yang harus menyatakan wibawa, dia berlalu dari hadapan sang Opseter dan sang bekas pelukis. Dengan tiap langkah yang diayunkan sisa-sisa tenaganya. Ketika dia sampai persis di tengah alun-alun, dia dalam dirinya yakin akhir riwayatnya sudah dihadap alun, akhir itu melompati batang lehernya. Dia berakhir kini. Mesti berakhir. Dia rebah .... Dia membuka pelupuk matanya. Belum pernah dilihatnya begitu banyak dan begitu kental kedunguan bercampur penderitaan memancar dari sekian wajah manusia yang segera datang mengerumuninya. Bah! Itulah dia makhluk-makhluk yang teramat dibencinya, dihinanya selama ini. Inilah mereka, 48 ZIARAH yang pada akhirnya menjadi algojo-algojonya. Pandangannya kemudian dinaikkannya dalam satu usaha yang mendadak mencari titik zenit dari alam semesta yang sebentar lagi akan ditinggalkannya, untuk selama-lamanya. Di bawah busur langit ini dia mesti berakhir, titik zenit persis di tengah hitam dari kedua matanya, dan titik nadir dari takdir sendatan langit merah tua yang makin turun, turun, bagi tiap manusia pada napasnya yang makin satu-satu. Gagal? Bahagialah dia. Juga bagi kegagalan itu kini datang tamatnya. Di dalam maut, segala yang menyatakan jenis, hilang. Batas-batas di dalamnya menggenang menjadi satu warna dan suasana dari kelanjutan sejarah yang terus-menerus, sambung-menyambung. Cabut sambungan-sambungan ini, lebur mereka menjadi satu ramuan, ramuan inilah apa yang lazimnya disebut sebagai kesadaran sejarah. Mereka yang enggan mencicipi, akan hilang tak berbekas dari kisah umat manusia demi umat manusia. Sedang mereka yang lantang merebuknya, akan memahat kisah dirinya dengan jalan mengutuk sejarah, dan oleh sebab itu mengutuk dirinya sendiri. Sang walikota kita adalah kesatuan antara keengganan mencicip itu dengan kelantangan mereguknya. Deritanya adalah karena dewa-dewa membuat dia terlalu besar bagi ukuran manusia biasa, tapi persis tak sampai untuk menjadi seorang jeni. Deritanya adalah derita dari kelas tengah yang barusan saja dibebaskan oleh revolusi, tapi kemudian gagal mendirikan aristokrasi dan monarki baru bagi dirinya. 49 Iwan Simatupang Anehnya, semua ini mereka lakukan dengan mempergunakan dalih-dalih proletar. Tokoh-tokoh dari kelas ini tak sanggup menggerakkan pena penulis-penulis sejarah. Paling-paling mereka cuma dikagumi oleh pers lokal, oleh pemimpin- pemimpin redaksi provinsi. Sekali lagi biji matanya disorotkan ke titik zenit. Alangkah kagetnya dia! Titik itu tak ada lagi. Langit menggenang menjadi dataran sangat merah. Dataran itu makin turun juga. Dadanya ingin meledak oleh ke turun itu. Pada satu saat, langit itu telah rebah atas dadanya. Sang Walikota terimpit langit merah tua. Dia berteriak, “Proporsi!!!” Dia mati. Orang-orang berkerumun tadi dikejutkan teriakan terakhir sang Walikota. Tak tahu apa sebenarnya yang telah diteriakkan mendiang tadi, mereka berlarian tunggang-langgang ke segenap penjuru alun-alun. Teriakan-teriakan mereka nyaring kedengaran di bawah langit yang naik kembali, makin tinggi juga, dalam warna merah yang makin muda. Ketika langit bergantung persis pada tingginya semula, warnanya telah biru dengan kebeningan dari maaf yang tulus. Maaf bagi suatu jiwa yang keburu gugur menjadi jiwa besar. Maaf bagi suatu pembalasan dendam yang tak kesampaian. Maaf bagi suatu dosa yang baru bakal jadi dosa. 50 ZIARAH Alun-alun sangat sepi. Di tengahnya hanya ada mayat Walikota yang telentang sunyi. Pada kedua matanya yang redup, zenit bertemu nadir.[] 51 GELAK-GELAK TAWA MEREKA REDA. Bekas pelukis kesal, dia tadi telah begitu menyerahkan dirinya bulat-bulat kapada tawanya. Kini, setelah tawanya reda, dengan terkejut dia menemui kekosongan besar dalam rongga-rongga sebelah dalam dari tubuhnya. Kekosongan ini menyendatkan perasaannya. Perasaan jengkel yang makin besar terhadap opseter itu mencakar dirinya. Api kebencian membara pada kedua matanya, yang tanpa ampun disorotkannya kepada sang Opseter. Dia ini masih saja duduk di anak tangga. Tiba-tiba dia tahu, bekas pelukis yang masih saja jongkok di atas tembok itu amat membencinya. Juga dia tahu, di dasar paling bawah dari benci bekas pelukis itu terdapat kehendak agar dia, sang Opseter, mati. Lebih tepat lagi, tiada. Dia menggigil oleh pengetahuan ini. Tapi, sedapatnya dia berusaha jangan memperlihatkannya. Juga dia adalah ZIARAH pamong praja yang telah bermasa dinas puluhan tahun. Pada kulit tubuhnya pasti ada ditemukan lapisan-lapisan yang menyatakan masa dinasnya itu. Juga, unsur-unsur yang telah membuatnya selama masa dinasnya itu kebal terhadap segala pendapat umum (yaitu, tiap pendapat yang tak ikut mencakup pendapatnya) dan nuraninya sendiri. Pamong praja yang baik tak punya pendapat sendiri, sama sekali tak punya nurani. Ini adalah petuah sang opseter pekuburan yang lebih dulu dari dia, yang digantikannya hampir tiga puluh tahun lalu. Petuah ini ditulis dengan tulisan tangan pada secarik kertas, dan ini diikatkan pada kaki kiri opseter tua yang telah menggantung dirinya itu. Oleh sebab dia menggantung dirinya di rumah dinas yang toh sudah di kompleks pekuburan itu sendiri, maka seluruh pekerjaan mengurus dan menguburkan mayatnya tak meminta waktu yang kelewat lama. Walikota mengutus Kepala Dinas Pekerjaan Umum sebagai wakilnya, dan disaksikan para pegawai dan buruh pekuburan yang segelintir itu (akibat penghematan), Opseter tua itu dikubur. Seluruh upacara itu hanya minta waktu tak lebih dari lima menit. Sebab, sesudah itu dua mayat penduduk kota, yang sudah sejak tadi bersama kaum kerabatnya menunggu di ruang kamar tunggu di pintu gerbang pekuburan, menunggu gilirannya untuk dikubur pula. Demikianlah, selesai pidato singkat Kepala Pekerjaan Umum, atas nama Walikota, para pegawai dan buruh 53 Iwan Simatupang pekuburan berlarian ke pintu gerbang, tanpa menimbun dulu peti mayat Opseter tua dengan tanah. “Ttu kapan-kapan saja nanti dapat kita lakukan!” bentak Mandor yang memberi contoh kepada kuli-kulinya lari tunggang ke pintu gerbang. Dan, kuli-kuli yang pada penguburan Opseter tua ini sama sekali tak ada beroleh persenan apa-apa (walaupun mereka sebenarnya tahu si mayat adalah bekas sep mereka sendiri dan walaupun mereka sebenarnya tahu juga sep mereka itu tak punya apa-apa dan siapa-siapa di dunia ini), membenarkan Mandor mereka. Seperti dalam Olimpiade saja mereka terbang ke pintu gerbang. Mereka sempat mendengar tadi, yang menunggu di pintu gerbang adalah mayat Tionghoa, sedang yang satu lagi mayat Eropa. Jadi, dua-duanya mayat kaya. Setidaknya, kerabatnya yang kaya, dan pasti tak segan-segan memberi persenan besar kepada kuli-kuli pekuburan. Tapi, lepas dari seluruh peristiwa ini, satu persoalan pelik segera menghadirkan dirinya pada Walikota dan badan pekerja harian kotapraja. Yaitu, lowongnya jabatan Opseter pekuburan, dan kenyataan, sesudah sebulan terus-menerus memasang iklan di surat kabar-surat kabar, tak seorang datang melamar pekerjaan itu. Ini sungguh mengherankan mereka. Sedang mereka tahu, pada masa susah seperti yang mereka alami itu pastilah banyak jumlah penganggur, juga di kaum intelektual dan setengah intelektual seperti layaknya 54 ZIARAH seorang opseter. Kepala jawatan penempatan tenaga yang diperintahkan datang oleh Walikota, tak dapat memberikan keterangan jelas. “Apa tak ada seorang pun dari sekian ribu penganggur yang terdaftar pada jawatan Saudara yang ingin melamar pekerjaan opseter pekuburan?” tanya Walikota setengah menghardik. “Tak seorang pun.” “Tak mungkin!” bentak Walikota. “Saudara agaknya tidak melakukan pekerjaan Saudara dengan baik. Hati-hati, ya, gara-gara ini Saudara bukan tak mungkin akan kehilangan pekerjaan.” “Tuan Walikota boleh percaya atau tidak, tapi saya sendiri sudah mendatangi setiap penganggur yang terdaftar itu ke rumahnya ... sejauh mereka ada atau masih punya rumah.” “Lalu, apa kata mereka?” “Mereka tak berani menerima pekerjaan itu.” “Alasannya?” “Pertama, pekerjaan itu ngeri, kata mereka. Sebab, tiap hari mereka harus mengurus mayat-mayat saja. Kedua, rumah dinas bagi opseter pekuburan itu angker, kata mereka, disebabkan peristiwa bunuh diri opseter yang lalu.” “Kata siapa angker?” 55 Iwan Simatupang “Itu hanya dugaan mereka. Tapi, dugaan yang cukup kuat untuk membuat mereka lebih baik menanggungkan lapar daripada menerima pekerjaan itu.” “Apakah bila mereka berlarut-larut menganggur dan tidak makan, mereka nanti tak akan menjadi mayat-mayat itu sendiri, ha?” Kepala jawatan penempatan tenaga tertunduk, meng- opek-ngopek kuku ibu jari tangan kirinya. Pertanyaan Wali- kota itu terang tak dapat dijawabnya. “Dengar baik-baik, Saudara,” kata Walikota dengan nada-nada suara penuh mengandung ancaman. “Apabila Saudara dalam waktu 2 x 24 jam sesudah ini belum juga berhasil mengusahakan petugas baru bagi jabatan opseter pekuburan itu, maka ini akan saya anggap sebagai alasan yang cukup kuat untuk meninjau kembali kedudukan Saudara sebagai kepala jawatan penempatan tenaga di kotapraja saya ini. Agaknya saya berbicara cukup jelas bagi Saudara, bukan?” Kepala jawatan penempatan tenaga menjadi sangat pucat. Tapi, untuk saat itu dia hanya bisa tunduk saja. Kuku ibu jari tangan kirinya tiba-tiba dikopeknya dengan sangat bernafsu hingga terkopeklah ia seluruhnya. Darah murni, merah bening, mengucur dari puncak ibu jarinya. Dengan langkah-langkah berat, dia berlalu dari hadapan Walikota. Esoknya, pagi-pagi benar, kepala jawatan penempatan tenaga minta dibolehkan menghadap Walikota. 56 ZIARAH Ibu jari tangan kirinya tampak dibalut putih bersih. Seputih dan sebersih wajahnya yang tampak gembira. Bersama dia ada seorang laki-laki muda belia, lepasan pemuda tanggung. “Saudara ingin menemui saya sepagi ini, nah ada apa?” tanya Walikota, kesal bercampur heran juga. “Saya ingin menunaikan tugas saya sebelum 2 x 24 jam lewat.” Walikota saat itu sudah mengalihkan pandangannya kepada pemuda yang tegak di samping kepala jawatan penempatan tenaga. “Ini dia orangnya?” “Ya.” “Apa dia ini tak sependapat dengan para penganggur lainnya tentang pekerjaan yang bakal dilakukannya?” “Saya minta supaya Pak Walikota mengetahui proporsi dan suka menjaga kata-katanya!” celetuk pemuda itu tiba- tiba. Walikota tersandar dengan kagetnya di kursinya. Mata- nya membelalak, mulutnya penuh ludah basi yang siap untuk disemburkannya kepada pemuda itu. “Pertama, saya bukan penganggur. Kedua, pribadi dan pendidikan yang sempat saya peroleh hingga sekarang ini melarang saya ikut menganut pendapat yang sudah pernah dianut oleh orang lain sebelumnya.” Ludah basi dalam mulut Walikota tak jadi disembur- kannya. Suatu emosi baru menyesakkan tenggorokannya, 57 Iwan Simatupang dengan akibat gumpalan ludah basi itu tiba-tiba saja sudah tertelannya kembali, masuk ke dalam daerah-daerah yang ditunjukkan oleh peradaban dan kebudayaan manusia baginya. “Bukan penganggur? Jadi, Saudara ini apa dan siapa sebenarnya? Dan, demi Nabi Nuh, bagaimana Saudara bisa berkenalan dengan kepala jawatan penempatan tenaga saya dan sampai melamar pekerjaan opseter pengawas pekuburan kotapraja yang sedang lowong ini?” “Dia adalah putra satu-satunya dari hartawan terkaya di seluruh negara kita ini. Dan, dia adalah mahasiswa tingkat doktoral pada fakultas sastra dan filsafat,” sela kepala jawatan penempatan tenaga cepat-cepat, menghindarkan dialog yang terlalu langsung dan terlalu tajam antara kedua orang itu. “Persis pukul dua belas tadi malam, di lebat-lebatnya hujan, dia menggedor pintu rumah saya. Dia berkata, mudah- mudahan dia belum terlambat dan masih dapat diterima sebagai opseter pengawas pekuburan yang sedang kita cari- cari itu.” Untuk kali kedua, Walikota terenyak pada sandaran kursinya. Kemudian, dia mengambil saputangan dan menyeka bintik-bintik keringat dingin pada jidatnya. “Apakah Saudara waras?” tanyanya pengap-pengap. “Bagaimana bunyi hukum perdata tentang seseorang yang melakukan penghinaan? Terlebih, dia yang menghina 58 ZIARAH adalah seorang pamong praja seperti walikota yang sedang dalam dinas?” “Persetan hukum perdata! Persetan dengan Saudara! Dengan Saudara-Saudara berdua! Bagi saya, kalau perlu setan belang sekalipun yang memangku jabatan itu, pokoknya jabatan itu terisi, tak lowong! Ayo, kalau Saudara masih tetap berminat keras, segeralah pergi ke kepala pekerjaan umum, laporkan diri Saudara kepadanya. Bagi saya, Saudara sudah mulai bekerja mulai hari ini. Nah, selamat bekerja.” Walikota berdiri dan menyeka sekali lagi bintik-bintik keringatnya. “Selamat pagi!” katanya dan pergi. Mereka berdua saling berpandangan. Tapi, kepala jawatan penempatan tenaga cepat-cepat memegang per- gelangan tangan pemuda itu, lalu membawanya ke kamar kerja kepala dinas pekerjaan umum. Setengah jam kemudian, pemuda itu telah beroleh surat pengangkatannya sementara sebagai opseter pengawas pekuburan kotapraja yang baru. Setengah jam kemudian lagi, dia telah berdiam di rumah dinasnya, di kompleks pekuburan. Walikota serta segenap anggota badan pekerja harian kotapraja bergembira karena mereka terhindar dari satu krisis yang dalam pada itu sudah dengan diam-diam dipersiapkan oleh dewan perwakilan daerah bagi mereka. Mereka dengan itu tak jadi kena mosi tak percaya. Usul Walikota untuk 59 Iwan Simatupang menaikkan gaji kepala jawatan penempatan tenaga yang telah sangat berjasa itu, mereka setujui dengan aklamasi. Secarik kertas kumal dan berdebu ditemukan opseter baru di atas meja ruang depan rumahnya. “Oh, itu kami dapati diikatkan pada kaki sebelah kiri mendiang opseter yang menggantung dirinya,” kata Mandor pekuburan menjelaskan padanya. Pada kertas itu ada tulisan tangan, berbunyi: pamong praja yang baik tidak mempunyai pendapat, tidak mempunyai hati nurani. Kalimat itu dibaca Opseter muda berulang kali. Baru menjelang makan malam, ketika emas dari sinar-sinar penghabisan Matahari mengendap-endap pergi dari pusaran- pusaran di pekuburan itu, kertas kumal itu disekanya lurus- lurus, kemudian dilipatnya baik-baik dan ditaruhnya di antara halaman 601 dan 605 dari buku pelajaran filsafatnya yang paling tebal, buku kesayangannya. (Halaman 602, 603 dan 604 hilang terlepas dari jilidannya, yakni halaman-halaman yang persis menyudahi bab pelajaran tentang logika). Otaknya yang cerdas, cepat membuat dia dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan _sekitarnya. Meskipun dia sama sekali belum pernah menerima pendidikan teknik ataupun pertukangan, berkat kecerdasan otaknya, dan terutama berkat kebiasaannya berpikir secara berdisiplin dan kritis selama sekian tahun mengikuti kuliah-kuliah filsafat, ditambah dengan jiwa artistik dan daya fantasinya yang 60 ZIARAH sangat potensial, maka seluruh kejuruan dan ketangkasan yang diharapkan dari seorang opseter pengawas pekuburan, segera dapat dimiliknya. Para pegawai dan buruh pekuburan sedikit pun tak mencurigai keahliannya. Mereka beranggapan, tentulah dia berpendidikan dan berpengalaman opseter pengawas pekuburan, sebagaimana seharusnya. Demikian juga dengan atasan-atasannya, termasuk kepala dinas pekerjaan umum kotapraja. Dia ini merasa puas sekali dengan opseter barunya. Dia mengagumi kegiatannya, kecermatannya, kemahirannya berorganisasi dan memimpin pegawai dan buruh dalam satu ikatan kerja yang penuh suasana persaudaraan dan kekeluargaan. Tapi, yang terlebih mendapat respeknya adalah metode dan sistematik yang diperkenalkannya dan diwujudkannya di dalam seluruh proses pekerjaan mulai dari seorang mati datang dalam kereta-mayat di pintu gerbang pekuburan hingga dengan selesainya dikubur. Kerja sama yang dilakukannya dengan para pengusaha pekuburan swasta, dengan instansi-instansi kotapraja yang mempunyai sangkut paut dengan pengurusan manusia mati (seperti jawatan kesehatan kotapraja dan jawatan catatan sipil), dengan staf personel rumah sakit- rumah sakit dan kamar mati, dengan polisi lalu lintas yang mengawal iring-iringan orang-orang yang mengantarkan jenazah ke pekuburan—kerja samanya dengan mereka semua demikian baiknya, demikian lancarnya, menghasilkan efisiensi yang sedemikian rupa sehingga seluruh peristiwa 61 Iwan Simatupang itu hanya cukup memakan waktu beberapa perempat jam saja. Sedemikian singkatnya, hingga seluruh badan dan instansi yang disebut tadi merasa menjadi kekurangan kerja, kekurangan kesibukan! Mereka merasa menjadi amat iseng sekali menguap- nguap dan mengantuk sepanjang hari dan menyumpahi keadaan yang membuat mereka menjadi begitu. Mereka mulai menuntut bertambahnya jumlah orang mati, agar mereka dapat memerangi kuap dan kantuk berkepanjangan itu! Oleh sebab di kota mereka dan daerah sekitarnya memang sedang tak ada berjangkit wabah penyakit menular, maka tuntutan mereka itu sudah tentu tak dapat dipenuhi. Surat kabar-surat kabar pun tak ada memberitakan tentang peperangan atau pemberontakan yang sedang ataupun segera bakal meletus. Jadi, kesemuanya ini adalah petunjuk bahwa jumlah orang mati di kota mereka pada hari yang akan datang tidaklah bakal bertambah. Pada satu hari, Walikota merasa perlu membincangkan masalah kegelisahan kerja ini dengan badan pekerja harian kotapraja. Pada akhir sidang, kata sepakat tak diperoleh. Ada yang mengusulkan agar Opseter muda itu diberhentikan saja sebab dialah sebenarnya yang menjadi biang keladi dari seluruh kegelisahan kerja itu. Dan, yang lebih-lebih mereka khawatirkan adalah bahwa efisiensi dari Opseter itu nanti bakal menjalar juga ke jawatan-jawatan resmi dan badan-badan swasta lainnya. Ya, demikian kata mereka yang 62 ZIARAH mengajukan usul itu, bukan tak mungkin pula seluruh kota, ya bahkan seluruh negeri nanti terkena wabah kegelisahan kerja itu. Apakah jadinya suatu negara yang seluruh potensinya dilumpuhkan oleh kegelisahan kerja seperti ini? Tanya mereka pada akhir konsiderans usul resolusi mereka, sambil menambahkan, agar diselidiki secara rahasia siapakah sesungguhnya Opseter muda pekuburan yang baru itu. Jangan-jangan dia adalah orang yang mewakili paham- paham dan aliran-aliran asing yang membahayakan seluruh bangsa dan negara. Tapi, anggota-anggota badan pekerja harian kotapraja lainnya tak dapat menyetujui usul resolusi seperti itu. Mereka bahkan sebaliknya berpendapat, bahwa opseter muda itu telah melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, sebagaimana mestinya. Kalaupun ada yang mesti disebut bersalah dalam seluruh peristiwa ini, demikian kata mereka selanjutnya, maka kesalahan itu haruslah ditimpakan kepada ilmu pengetahuan sendiri, terutama rasionalisme dan positivisme yang telah menganugerahi manusia modern dengan antara lain objektivitas, kategori, sistem, dan metode. Namun, demikian sambung mereka, dapatlah kita secara sesungguhnya menyalahkan ilmu pengetahuan dalam hal seperti ini? Tidaklah seharusnya kita meninjau secara lebih luas lagi kedudukan dan fungsi ilmu pengetahuan di negeri- negeri terbelakang, seperti halnya negeri kita sendiri? 63 Iwan Simatupang Pada akhirnya, mereka yang mengajukan pandangan ini mengusulkan agar di dalam bidang persoalan negeri kita sebagai suatu negara terbelakang, atau menurut istilahnya yang tidak begitu menyakitkan hati: negara yang sedang berkembang, sebaiknya ditinjau kembali volume kerja dari bangsa kita per kapita. Khusus tentang para pegawai atau buruh yang terkena kegelisahan kerja yang disinyalir itu, mereka mengusulkan agar dibentuk panitia angket. Panitia ini akan menyelidiki jenis pekerjaan tiap pegawai dan buruh yang terkena itu. Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka itu nantinya, akan dicarikan kombinasi pekerjaan-pekerjaan apa yang dapat dan boleh mereka lakukan dalam waktu- waktu senggang antara mengurus manusia mati yang satu dengan manusia mati berikutnya. Kombinasi-kombinasi ini nanti sudah tentu harus dirumuskan berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka masing-masing. Ya, juga berdasarkan asal-usul, milieu, dan latar belakang kebudayaan mereka masing-masing. Kedua jenis pendapat ini sama-sama dapat diterima akal Walikota. Oleh sebab itu, dia meneruskan persoalan ini ke atasnya, yakni gubernur kepala daerah swatantra tingkat satu. Tapi, beliau ini pun rupanya, bersama staf penasihatnya, tak dapat memecahkan persoalan muskil itu. Lalu, beliau pun meneruskannya kepada yang mulia menteri dalam negeri. Yang mulia ini bersama staf ahli-ahlinya juga cuma dapat garuk-garuk kepala. Lalu, beliau meneruskannya kepada 64 ZIARAH yang mulia perdana menteri. Yang mulia ini berkali-kali memanggil kabinetnya bersidang darurat, tapi kumpulan para yang mulia ini juga cuma bisa geleng-geleng kepala saja dan menjawab pertanyaan para wartawan dengan: No comment. Sesuai dengan paham-paham demokrasi yang dianut resmi oleh negara, persoalan itu segera pulalah disampaikan oleh kabinet kepada parlemen. Namun, justru di parlemen inilah persoalan itu menjadi benar-benar persoalan bertaraf nasional. Fraksi-fraksi pro dan kontra sama-sama tarik urat lehernya. Kekacauan semakin diperbesar oleh fraksi-fraksi kecil yang disebabkan pertimbangan-pertimbangan politik kekuasaan memilih bersikap abstain. Berita-berita pers tentang perdebatan-perdebatan di parlemen ini menambah tegang emosi-emosi dan sentimen-sentimen di seluruh negeri. Rapat-rapat rahasia disinyalir di mana-mana, pamflet-pamflet gelap bertempelan di mana-mana. Surat-surat kaleng berisi fitnahan dan ancaman, dibubuhi gambar-gambar tengkorak, melayang ke mana-mana. Telepon-telepon gelap berdering- dering pada tengah malam dan pagi buta, menyampaikan pesan-pesan gelap dari orang-orang gelap kepada orang- orang gelap. Bahkan, khotbah di masjid-masjid dan gereja- gereja pun sudah ikut-ikutan dalam polemik ini. Mereka lebih banyak membahas kisah pemberontakan-pemberontakan dan peperangan-peperangan daripada menguraikan hadis- hadis dan ayat-ayat kitab suci. Ini semua membuat yang 65 Iwan Simatupang mulia perdana menteri berkali-kali memanggil sidang darurat kabinetnya. Akhirnya, seluruh persoalan ini, bersama ekses-eksesnya, disampaikan dalam berkas yang tebal sekali kepada yang mulia kepala negara. Setelah melakukan pembicaraan- pembicaraan yang sangat mendalam sampai larut-larut malam dengan para penasihat dan staf ahlinya, akhirnya paduka yang mulia mengeluarkan dekret yang berbunyi: 1. Status quo bagi seluruh negeri, bagi seluruh bangsa; 2. Persoalan yang asal mulanya ditimbulkan oleh opseter pekuburan di kotapraja kecil itu, telah dapat dipecahkan dengan sebaik-baiknya dalam arti: dia dianggap tak ada sama sekali menimbulkan persoalan apa-apa; 3. Opseter muda itu selanjutnya tetap dipekerjakan pada kerjanya semula, sedang kepada walikota, badan pekerja harian kotapraja, serta dewan perwakilan daerah diminta untuk meninjau kembali rasionalisasi kerja yang telah dipraktikkan oleh opseter muda itu, dengan ketentuan, bahwa segala-galanya harus ditentukan berdasarkan kebijaksanaan dan islah alias musyawarah! 4. Dengan dekrit ini, seluruh persoalan itu dianggap sebagai telah pula diselesaikan dalam keseluruhannya, tidak boleh diperdebatkan lebih lanjut lagi, baik dalam sidang-sidang, rapat-rapat raksasa, tajuk-tajuk rencana 66 ZIARAH dan pojok-pojok surat kabar, maupun dalam obrolan- obrolan warung kopi biasa; 5. Pelanggaran atas ketentuan-ketentuan ini akan dihukum dengan hukuman seberat-beratnya yang diizinkan oleh kitab undang-undang hukum pidana dan peraturan- peraturan resmi lainnya yang telah dikeluarkan sehubungan dengan persoalan ini. Dekret yang tak tedeng aling-aling ini membuat seluruh negeri menggigil ketakutan. Pemimpin fraksi-fraksi yang semula saling bertentangan, menjadi pucat pasi. Mereka tak bisa tidur semalaman. Mimpi-mimpi mereka jelek sekali. Dengan tiba-tiba saja jumlah orang yang menderita penyakit tekanan darah tinggi dan urat saraf terganggu, meningkat di seluruh negeri. Praktik dari dokter-dokter urat saraf diserbu, sanatorium-sanatorium penuh sesak. Kantor-kantor dan pabrik-pabrik menjadi sunyi, sebab sebagian besar para pegawai dan buruhnya sedang cuti sakit. Melihat keadaan seperti ini, kabinet, parlemen, dan kepala negara kembali sibuk. Di hadapan mata mereka terbayang datangnya suatu bencana nasional baru. Yakni, lumpuhnya seluruh potensi kerja negara. Dan, yang lebih celaka lagi, menjadikannya negara satu sanatorium raksasa bagi satu bangsa yang seluruhnya menderita penyakit jiwa dan urat saraf. Pada satu hari, kepala negara menaiki pesawat terbang pribadinya dan terbang ke kota kecil tempat tinggal opseter 67 Iwan Simatupang pekuburan muda yang telah menjadi biang keladi dari seluruh heboh dan malapetaka yang sedang menimpa negeri yang sedang dikepalainya. Paduka yang mulia bahkan berkenan mendatanginya di kediamannya sendiri, di kompleks pe- kuburan kotapraja. Penuh sesak manusia di pekuburan siang itu: manusia-manusia mati campur baur dengan manusia- manusia masih hidup. Dengan penuh hormat, Opseter muda itu menyambut kedatangan paduka yang mulia serta rombongannya. Melihat pemuda yang begitu tampan, muda, dan simpatik, menteri-menteri yang mengikuti paduka yang mulia menjadi tercengang. Paduka yang mulia sendiri menjadi lembut sekali hatinya. Belum pernah beliau melihat wajah dan perawakan orang yang begitu lembut, begitu halus, begitu terbuka. Tak berapa lama kemudian, seluruh rombongan geger. Paduka yang mulia mereka lihat berpegangan tangan mesra sekali dengan opseter muda itu. Kemudian, mereka jalan- jalan di taman kecil di belakang rumah dinas opseter itu. Ajudan paduka yang mulia terengah-engah lari-lari kepada yang mulia perdana menteri. Dia bercerita, barusan saja dia menangkap sebagian percakapan paduka yang mulia dengan opseter muda itu. Apa yang dapat dia tangkap adalah sejumlah nama-nama Latin, tentang Sokrates, dan lain-lain lagi. Juga dia dengar mereka kemudian dengan gairahnya berbincang tentang Shakespeare. Yang mulia perdana menteri 68 ZIARAH tak sempat menyembunyikan kagetnya mendengar ini. Demikian pula para yang mulia lainnya. Dua jam setengah kemudian, paduka yang mulia kembali ke tengah-tengah rombongannya dengan muka yang sangat berseri-seri. Di dalam mobil, dia tak henti-hentinya menepuk yang mulia perdana menteri di bahunya dan berkata: “Sungguh, pemuda yang jenius! Belum pernah saya bertemu pemuda seperti dia. Begitu muda, tapi begitu tua dan matang jiwanya. Seluruh aliran dan sistem filsafat, dari sejak dulu hingga sekarang ini, dikuasainya benar-benar, bahkan mampu diterjemahkannya kepada kita dalam bahasa sederhana, tanpa istilah-istilah panjang yang menyakitkan kepala.” Perdana menteri mengangguk-angguk. Beliau ini berharap benar dalam hatinya, agar bisa lekas kembali ke rumahnya, segera disuguhi cokelat susu oleh istrinya. “Dan, sastra dunia, wah! Dia kenal tiap tokoh pen- tingnya, berikut karya-karyanya. Ketika saya tadi menyitir Shakespeare: Yes, truly; for, look you, the sins of the gather are to be laid upon the children, therefore, I promise ye, I fear you. I was always... eh, tiba-tiba saja dia meneruskannya: plain with you, an so now I speak my agitation of the matter: therefore be of good cheer, for truly I think you are damn’d. There is but one hope in it that can do you any good: and that is but a kind of bastard hope neither. Sungguh pemuda yang hebat, bukan? Sungguh ingatan yang luar biasa, bukan? 69 Iwan Simatupang Dan, dia terus saja bisa mengatakan, bahwa sifat itu berasal dari The Merchant of Venice, adegan kelima dari bapak ketiga. Hebat, tysk, tysk, tysk!” Yang mulia perdana menteri terus mengangguk-angguk. Dalam kepalanya, beliau melihat ranjangnya berseprai putih, dan istrinya berbaju dalam warna merah jambu, segar berbau sabun mandi Camay. Dalam hatinya dia mengutuk Shakespeare, mengutuk Sokrates, mengutuk filsuf-filsuf kepalang tanggung, mengutuk snob-snob yang rupa-rupanya pada abad ini telah pula ada yang menghuni istana resmi negara. “Saya sunguh heran, mengapa dia itu mau menjadi hanya opseter pekuburan saja,” kata paduka yang mulia meneruskan renungannya. “Otak, pribadi, dan kemudian seperti yang dimilikinya itu merupakan pemborosan alam yang paling tak dapat dipertanggungjawabkan di pekuburan itu.” “Menteri kebudayaan kita yang sekarang ini sudah lama minta berhenti. Katanya, dia mau bertapa ke kepundan suatu gunung yang menurut jawatan vulkanologi kita masih tetap bekerja. Aneh, tapi yah! Dia sendiri yang minta. Sedang informasi jawatan vulkanologi itu bukan tak diketahuinya. Apakah, paduka yang mulia, pemuda yang baru saja Anda temui ini, tidak merupakan calon sangat baik untuk menggantikan menteri kebudayaan kita yang minta berhenti itu?” tanya Perdana Menteri dengan perasaan sangat girang 70 ZIARAH karena akhirnya dia dapat juga mengucapkan kalimat-kalimat cukup panjang terhadap paduka yang mulia kepala negara. “Ya, saya tahu. Maafkan, Saudara Perdana Menteri, tapi tadi pun ...eh, tak setahu Saudara, saya pun sudah menawarkan secara langsung jabatan menteri kebudayaan itu kepada pemuda kita tadi.” “Apakah dia menerima tawaran paduka yang mulia?” “Tidak.” “Memang pemuda aneh!” “Bahkan, jabatan perdana menteri sekalipun dia telah tolak tadi!” “Perdana ...?” “Ya, perdana menteri. Eh, Saudara tidak usah gusar. Saya cuma mau mengujinya. Dan, sebelum saya sempat melanjutkan ujian-ujian saya yang lainnya, pemuda itu telah cepat-cepat memotong dengan berkata, bahwa jabatan kepala negara sekalipun dia tak sudi menerimanya.” “Sungguh hebat, sungguh hebat!” renung Perdana Menteri. Dalam hatinya dia mentertawakan sekali lagi filsafat, inteligensi, kejatmikaan, dan semua lagak intelektual yang menyerupai kepandiran yang sesungguhnya .... Sebulan kemudian, paduka yang mulia kepala negara yang arif bijaksana itu meninggal dunia. Dokter-dokter pribadinya tak dapat menemukan sebab-sebabnya yang konkret. Mereka hanya dapat mengatakan, sejak beliau berkunjung kepada sang opseter muda pekuburan itu, beliau tampaknya 71 Iwan Simatupang bermurung saja, seolah seorang perjaka yang patah hati karena asmaranya ditolak. Nafsu makannya nihil, sedang nafsu kelaminnya beku sebekunya. Ini ternyata dari istri beliau yang, tanpa alasan-alasan yang masuk akal, marah- marah saja sepanjang hari terhadap pegawai-pegawai istana. Ketika pada satu pagi kepala negara tak bangun-bangun juga dari ranjangnya, sedang beberapa duta besar asing telah menanti untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya di ruang tengah istana, maka ajudan beliau yang sudah tak sabar lagi memberanikan diri untuk terus masuk saja ke dalam kamar tidur beliau. Tak berapa lama kemudian, sang ajudan menyerbu ke luar dan meneriakkan kepada direktur kabinet kepala negara, bahwa kepala negara telah tak ada lagi, alias meninggal .... Dengan segala kebesaran, mendiang paduka yang mulia kepala negara dikuburkan. Sebagai penggantinya, seluruh negeri sepakat memilih perdana menteri yang mempunyai sifat-sifat yang praktis dan tak suka kepada sentimentalitas. Dalam pidato pengangkatannya sebagai kepala negara yang baru, baliau meminta kepada perdana menteri baru yang masih bakal diangkat lagi, agar nanti sudi mencantumkan sebagai program kerjanya: 1. Membatasi arti dan pengaruh Shakespeare dan pengarang-pengarang lainnya hanya sampai bidang- bidang kesenian dan kebudayaan saja; 2. Membasmi filsafat palsu dan filsuf-filsuf palsu; 72 ZIARAH 3. Membasmi snobisme dan snob-snob; 4. Membasmi charlataneri di segenap lapangan, terutama di bidang pimpinan negara. Anehnya, opseter muda pekuburan kota kecil itu tak jadi dipecatnya. Hanya saja, dia tak mampu mengekang nafsunya untuk mengirimkan sepucuk surat pribadi kecil kepadanya, bunyinya: Jadilah dan tataplah seperti Anda kini. Saya mempunyai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Saudara. Surat ini berkali-kali dibaca Opseter muda. Kemudian, disekanya surat itu lurus-lurus, kemudian ditaruhnya antara halaman 960 dan 965 dari buku pelajaran filsafatnya yang paling tebal, buku kesayangannya. (Halaman-halaman 961, 962, 963, dan 964 hilang terlepas dari jilidannya, persis halaman-halaman yang menyudahi bab tentang etika).[] 73 SEJAK SAAT ITU, dia untuk kali kedua menyesuaikan diri dengan keadaan baru yang terutama diminta kepala negara baru kepadanya. Dengan sukarela dia menarik kembali seluruh rasionalisasi kerjanya dan berjanji di hadapan Walikota akan bekerja “biasa”, saja. Untuk kali kesekian, Walikota kagum kepadanya. Pe- gawai-pegawai dan buruh-buruh yang dulu benci kepadanya, kini berbalik suka dan tak henti-hentinya memuji. Mereka mengiriminya nasi kuning, pisang, telur ayam, sebagai tanda terima kasih. Akan tetapi, bagi para pegawai dan buruh pekuburan kotapraja itu sendiri dia telah berubah sama sekali. Dia tak lagi suka bergaul dan berkelakar dengan mereka. Acara ceramahnya yang diadakan dua kali seminggu di rumahnya bagi mereka, tiba-tiba saja dihentikannya tanpa memberikan alasan apa-apa. ZIARAH Sepanjang hari dia berkurung saja dalam rumah dinasnya, tanpa seorang pun tahu apa saja yang dilakukannya di situ. Dia hanya keluar apabila ada mayat datang untuk dikuburkan. Dari jauh dia mempersaksikan manusia-manusia hidup yang mengantarkan manusia mati itu. Sebelum upacara penguburan selesai, dia berusaha cepat-cepat kembali ke dalam rumah dinasnya yang tertutup rapat-rapat semua pintu dan jendelanya. Malam hari, biasanya pada bulan purnama, dia ke luar jalan-jalan di pekuburan itu. Dia berjalan terus semalaman, keliling-keliling sekitar kuburan-kuburan. Bila ufuk pagi memijarkan fajar, buru-buru dia masuk ke rumahnya, tidur pulas hingga tengah hari. Kepemimpinannya atas para pegawai dan buruhnya sejak itu dilakukannya secara tertulis. Rencana kerja untuk tiap hari ditulisnya atas secarik kertas, kemudian ditusukkannya pada paku di tiang tangga depan rumah dinasnya. Setiap pagi, mandor datang mengambilnya dari situ, lalu meneruskan isinya kepada seluruh pegawai dan buruh. Sore harinya, sehabis dinas, sang mandor menusukkan pada paku yang sama laporan kerja hari itu. Tengah malam, apabila tak seorang pun melihatnya, opseter mengambil laporan tersebut, dipelajarinya saksama. Kemudian, dia tuliskan rencana kerja untuk keesokan harinya. Telah sekian puluh tahun lamanya dia lakukan pimpinan dengan cara demikian. Semuanya berjalan lancar, tak kurang suatu apa. Para pegawai dan buruhnya merasa puas. Demikian juga atasannya, pembesar- 75 Iwan Simatupang pembesar kotapraja. Memang sedikit aneh, pikir mereka, tapi karena pekerjaan di pekuburan itu berjalan lancar, mereka tak punya komentar apa-apa lagi. Pada suatu hari, Walikota kedatangan dua orang. Yang seorang adalah ayah sang Opseter, sedang yang seorang lagi seorang mahaguru. Kedua-duanya minta dengan hormat, tapi dengan sangat, kepada Walikota supaya sudi dan segera memecat sang Opseter. “Alasannya?” tanya Walikota, hampir meledak karena herannya. “Dia adalah anak saya satu-satunya. Jadi, ini berarti, dia adalah ahli waris satu-satunya bagi seluruh harta kekayaan saya.” “Dan dia”, kata tamu yang satu lagi, “adalah mahasiswa saya. Dia telah duduk di tingkat doktoral. Dia termasuk mahasiswa saya yang terpintar.” “Lalu? Apa maksud Tuan-Tuan sebenarnya?” bentak Walikota, kesal. “Lalu?” bentak sang ayah kembali. “Adakah seorang muda yang tampan seperti dia, kaya raya seperti dia, dan pintar seperti dia, layak menghabiskan tahun-tahunnya di sekitar pekuburan Tuan itu?” “Oh, itu adalah urusan Tuan-Tuan pribadi dengan dia. Tapi saya, sebagai walikota, tidak mempunyai sangkut paut apa-apa dengan urusan pribadi Tuan-Tuan itu. Apakah saya dapat Tuan pahami dengan sejelasnya?” 76 ZIARAH “Tapi, cobalah Tuan Walikota bayangkan,” kata sang mahaguru setengah gugup. “Seorang muda jenius, yang bukan tidak mungkin akan dapat memberikan sumbangan yang tak ternilai bagi pertumbuhan ilmu filsafat ....” “Sudah! Cukup!” bentak Walikota, yang tampaknya sudah kehilangan kesetimbangannya. “Biar dia sepintar apa pun, dan biar Tuan mau menyamakannya dengan entah Tuhan sekalipun, bagi saya, secara resmi, dia tak lebih dan tak kurang dari seorang pegawai saya saja, tegasnya: opseter dari pekuburan milik kotapraja yang saya pimpin. Jelas kan itu? Dan, dia datang kemari melamar pekerjan itu dengan sukarela, kami pun kemudian menerima baik lamarannya itu dengan sukarela pula. Tak sedikit pun diwujudkan paksaan dalam seluruh prosedur itu. “Sekarang janganlah Tuan-Tuan minta saya melakukan sesuatu yang bodoh, yakni: tanpa alasan dan sebab yang administratif dapat diterima akal, memecat dia, memecat seorang pegawai saya yang mempunyai conduite staat sangat baik. Secara objektif ....” “Ha! Tuan Walikota telah memasuki daerah persoalan yang rumit. Yakni, tentang objektivitas. Menurut Kant....” “Setop! Persetan dengan Tuan Kant! Ppp ... eh, siapa sebenarnya tuan yang bernama Kant?” “Ha! Tuan Walikota sendiri tampaknya menunjukkan kehendak mulai mau objektif.” “Apa?!” 77 Iwan Simatupang “Kant, Immanuel Kant adalah seorang Jerman, seorang filsuf bangsa Jerman.” “Setop! Cukup! Cukup!” “Cukup?” “Ya. Cukup. Apabila benar dia seorang Jerman, saya sudah tahu siapa dia dan apa filsafatnya.” “Eh, Tuan Walikota pernah mempelajari Kant? Sungguh simpatik, sungguh simpatik.” “Tidak! Dan, sedikit pun tak ada yang simpatik dalam seluruh keadaan ini. Tidakkah sudah cukup berkata bagi Tuan, bahwa dia, eh maksud saya Tuan Kant itu, seorang berkebangsaan Jerman? Dan kedua, dia seorang filsuf Jerman?” Sang mahaguru tampak berpikir dalam sekali, kemudian mengangguk-angguk. “Dalam sekali makna kata-kata Tuan yang barusan itu.” “Apanya yang dalam?” tanya walikota, kembali heran. “Apa yang Tuan ucapkan barusan. Saya belum pernah memandang persoalan Kant dari segi kebangsaan itu. Sungguh menakjubkan!” Sedikit pun Walikota tak merasa bangga dengan pujian yang diperolehnya dari sang mahaguru itu. Sebaliknya! Seluruh naluri benci yang selama ini dimilikinya terhadap kaum sarjana yang berkepala agak kebotak-botakan, berkacamata, suka bicara dengan gaya sangsi dan bingung yang dibuat-buat, kini meluap dirangsang oleh mahaguru 78 ZIARAH filsafat yang tak malu-malu menuliskan pada kartu namanya: Doktor Filsafat! Ini dianggap oleh Walikota sebagai ciri keangkuhan yang luar biasa, kecintaan kepada diri sendiri yang tak kenal batas, ketiadaan selera kepada yang sederhana, dan keserampangan terhadap proporsi. Walikota menanggalkan kacamatanya. Sambil berpicing mata, seolah hendak menghafalkan teks yang amat sulit, dia berkata: “Saya ingin menunjukkan goodwill saya. Supaya persoal- annya menjadi sederhana, saya anjurkan kepada Tuan-Tuan supaya langsung saja menghubungi opseter tersebut. Apabila dia mau berhenti, saya akan memberikan kepadanya surat pemberhentian dengan hormat. Puaskan Tuan-Tuan?” “Puas!” teriak sang ayah dan sang mahaguru, kemudian bergegas pergi. “Selamat siang, Tuan-Tuan! Semoga usaha Tuan-Tuan berhasil.” Ketika kedua tamunya itu telah pergi, dia tertawa ter- bahak-bahak. Sedemikian kuatnya bahak-bahaknya sehingga sekretaris wanitanya kaget dan merasa perlu datang berlari- lari. “Panggil kepala dinas pekerjaan umum! Ha ha ha!” Alangkah terkejutnya lagi sekretaris itu, ketika tak berapa lama kemudian dia mendengar kedua pejabat tinggi kotapraja itu, yakni Walikota bersama kepala dinas pekerjaan umum, tertawa bersama terbahak-bahak. 79 Iwan Simatupang Persis satu jam kemudian, hartawan terkaya bersama mahaguru filsafat itu telah menghadap Walikota lagi. Walikota bersusah payah menekan tawanya, sedang kepala dinas pekerjaan umum mengintip dari lubang pintu. “Nah! Bagaimana hasil misi Tuan-Tuan?” tanya walikota. Semakin susah dia mengekang gelinya. Sang ayah terduduk ... wajahnya seperti Matahari gerhana. Sang mahaguru menyerahkan secarik kertas kepada Walikota. “Apa ini?” “Surat putusan dia,” jawab sang mahaguru. Napas dan suaranya putus-putus. “Tuan-Tuan tak bertemu dia?” “Tidak. Dia tak mau menemui kami. Dia terus mengurung dirinya dalam rumah. Seorang mandor datang membawa kertas dan pensil, meminta kepada kami menuliskan siapa kami, maksud kedatangan kami.” “Lalu?” “TInilah jawabannya.” Walikota mengenakan kacamatanya, lalu membaca: Penglibatan saya sehari-hari di lapangan pekerjaan saya yang kini mengatakan kepada saya, bahwa harta dan kekayaan berhenti mempunyai arti persis pada tembok- tembok luar dari setiap pekuburan. Selanjutnya, filsafat murni hanya didapat pada suasana di sebelah dalam dari 80 ZIARAH tembok-tembok itu. Janganlah usik-usik saya lagi pada masa yang datang. Sayalah kekayaan, sayalah kebajikan. Selesai membaca ini, Walikota merasa seolah udara kutub utara mengembus masuk ke dalam tubuhnya melalui rongga mulutnya. Dan, lebih-lebih terkejutlah dia ketika melihat, bahwa sang ayah dan sang mahaguru sudah tak ada dalam kamarnya itu lagi. Dari jendela ruang kerjanya itu, dia melihat dua sosok tubuh terhuyung-huyung menempuh jalan yang dibakar oleh Matahari tengah hari yang kelewat terik. Sang Walikota ingin tertawa, selepas-lepasnya, membuka klep bagi sela rasa puas balas dendamya yang sejak tadi ditekannya dalam bentuk tawa. Tapi, segumpal ludah basi kini menyembur dari tenggorokannya, menyumbat segala kemungkinan untuk tertawa. Dan, ketika kedua sosok tubuh itu menghilang di kejauhan, Walikota tersentak: kedua matanya didapatinya basah kuyup .... Kini Walikota bergulat sekuat-kuatnya melawan bintik-bintik air bening yang datangnya seolah membadai dari sebelah dalam dari kedua matanya. Apa lacur! Satu per satu tetesan air bening itu jatuh, membasahi dadanya, kemejanya, berderai menyisip ke dalam leher kemejanya, terus masuk membasahi dadanya. Basah dalam matanya, basah dalam seluruh jiwanya ini, membuat pandangan Walikota pada jalan raya yang lengang terbentang di hadapan jendela tengah harinya itu terbakar .... 81 Iwan Simatupang Pada waktu yang bersamaan, sepasang tangan di rumah opseter pekuburan membalik-balik sebuah buku pelajaran filsafat yang amat tebal. Dari antara halaman 610 dan 615, kemudian dari antara halaman 960 dan 965, sepasang tangan itu mengambil dua carik kertas. Kedua kertas bertulis tangan itu disejajarkannya. Tak berapa lama kemudian, sepasang tangan itu meletakkan kedua carik kertas itu bersama-sama antara halaman 1240 dan 1245. (Halaman-halaman 1241, 1242, 1243 dan 1244 hilang lepas dari jilidannya, persis halaman-halaman yang menyudahi bab rentang religi). Sepasang tangan itu gemetar sekali. Kesepuluh jarinya dikepalkan dalam dua tinju yang sangat ketat. Kedua telapaknya menjadi merah sekali. Urat-urat nadi pada kedua pergelangannya menonjol, sangat biru. Getar-getarnya makin besar. Kemudian, kedua tinju itu merentang, ditengadahkan. Getar-getarnya makin besar juga. Ke dalam tengadah kedua telapak tangan itu tiba-tiba jatuh setetes air, bening sekali. Tetes-tetes lainnya datang menyusul, derai berderai. Jari-jari yang merentang dalam tengadah itu makin lurus. Tudingnya makin keras ke atas, arah segala doa dan umpatan. Ketika langit barat membenamkan Matahari, menyiram pekuburan dengan kelam kolektif, tangan itu masih menengadah, seperti sekuntum bunga yang justru baru mulai mekar sesudah badai lewat. Basahnya bertolak kering. Getar-getarnya hilang. Yang ada hanyalah sepasang mata 82 ZIARAH yang terbuka lebar-lebar, mencoba menembus kelam. Satu- satunya yang memecah kesunyian di situ adalah suara dari satu pernapasan yang berangsur kembali teratur .... Pada satu hari, laporan yang ditusukkan mandor pada paku di tiang berbunyi: Tanah untuk kuburan-kuburan baru, habis. Sedang jumlah orang mati akhir-akhir ini tampaknya bertambah saja setiap hari. Segera laporan ini diteruskan oleh opseter ke kotapraja. Karena bidang-bidang tanah sekitar pekuburan itu adalah hak milik orang lain yang sama sekali tak rela tanahnya dibeli kotapraja, terlebih-lebih untuk dijadikan tanah pekuburan, maka kotapraja menjawab kepada sang opseter: Demi kesejahteraan umum, rombaklah kuburan-kuburan yang telah berusia lebih dari lima puluh tahun ke atas. Itulah tanah pekuburan baru bagi Saudara. Kaum kerabat dari mayat-mayat berusia lima puluh tahun ke atas menjadi sangat heboh dibuat peraturan ini. Mereka percaya, tulang belulang para mendiang mereka itu memang telah lama menjadi satu dengan tanah. Tapi, warga negara-warga negara terhormat haruslah memiliki tempat berziarah tertentu dan terhormat pula. Demikianlah pendapat mereka. Mereka sama sekali tak ingin berdiskusi tentang teologi dan ilmu kebatinan yang dipancing oleh sang opseter tentang tampat terakhir bagi roh-roh manusia. Mereka juga percaya akan adanya lembaga-lembaga surga dan neraka, entah di mana, tetapi mereka ingin sekali 83

Anda mungkin juga menyukai