Anda di halaman 1dari 36

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Konsep dan Teori Reviu Kebijakan


Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada
dasarnya bisa diselesaikan dengan memanfaatkan mekanisme pasar, mekanisme
pasar diperkirakan dapat menyelesaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat
dan berapa jumlahnya. Namun demikian, ada beberapa hal yang tidak bisa
diselesaikan melalui mekanisme pasar, yaitu adanya barang publik, eksternalitas,
dan adanya kekuatan pasar yang tidak seimbang baik berupa monopoli/monopsoni
ataupun oligopoli/oligopsoni. Adanya kegagalan pasar tersebut menjadikan
pemerintah perlu melakukan campur tangan dalam pembangunan ekonomi, dan
oleh karenanya diperlukan suatu perencanaan pembangunan yang baik melalui
beberapa kebijakan publik yang dilakukan.
2.1.1. Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada prinsipnya merupakan kebijakan pemerintah dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik langsung maupun tidak
langsung. Dalam proses perencanaan pembangunan, diperlukan studi kebijakan
publik. Studi kebijakan publik mempunyai kegunaan penting diantaranya adalah
pengembangan ilmu pengetahuan, peningkatan profesionalisme kelembagaan atau
institusi serta kegunaan politis. Kerangka kebijakan publik ditentukan oleh
beberapa variabel yaitu:
1. Tujuan yang akan dicapai;
2. Sumber daya yang mendukung kebijakan;
3. Kemampuan aktor pembuat kebijakan;
4. Lingkungan yang mencakup sosial, ekonomi, politik dsb;
5. Strategi yang digunakan: top down atau bottom up.
Untuk memahami instrumen kebijakan apakah yang dipakai oleh pemerintah
untuk memecahkan suatu masalah, maka perlu diketahui jenis kebijakannya. Jenis
kebijakan akan membantu pemahaman aktor kebijakan termasuk masyarakat,

14
mengapa suatu kebijakan lebih penting dari kebijakan yang lain; siapa aktor yang
terlibat dalam perumusan kebijakan dan pada tahap mana peran seorang aktor lebih
penting dibanding dengan yang lain. Anderson (1979) membuat kategori jenis
kebijakan sebagai berikut.
1. Kebijakan substantif dan kebijakan prosedural. Kebijakan substantif adalah
jenis kebijakan yang menyatakan apa yang akan dilakukan pemerintah atas
masalah tertentu, misalnya kebijakan pengurangan angka kemiskinan melalui
kebijakan beras miskin. Kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan
substantif tersebut dapat dijalankan. Kebijakan ini bersifat lebih teknis, tentang
standard dan prosedur (atau Standard Operating Procedure), kriteria warga
masyarakat yang berhak mendapat bantuan.
2. Kebijakan distributif, kebijakan regulatif dan kebijakan redistributif.
Kebijakan distributif adalah kebijakan yang bertujuan untuk mendistribusikan
atau memberikan akses yang sama atas sumberdaya tertentu, misalnya
kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kebijakan regulatif adalah
kebijakan yang mengatur perilaku orang atau masyarakat, misal kebijakan
menggunakan sabuk pengaman jika mengendarai atau menjadi penumpang
dalam mobil. Kebijakan redistributif adalah kebijakan yang mengatur
pendistribusian pendapatan atau kekayaan seseorang, untuk didistribusikan
kembali kepada kelompok yang perlu dilindungi untuk tujuan pemerataan,
misal kebijakan pajak progresif, kebijakan subsidi silang, kebijakan subsidi
BBM.
3. Kebijakan material dan kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah
kebijakan yang sengaja dibuat untuk memberikan keuntungan sumberdaya
yang konkrit pada kelompok tertentu, misal kebijakan beras untuk orang
miskin. Kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat dan
penghormatan simbolis pada kelompok masyarakat tertentu, misalnya
kebijakan libur Natal untuk orang beragama Kristen/Katolik, libur Waisak
untuk menghormati orang beragama Budha, atau libur Idul Fitri untuk
menghormati orang beragama Islam.

15
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang publik (public goods) dan barang
privat (private goods). Kebijakan barang publik adalah kebijakan yang
mengatur tata kelola dan pelayanan barang-barang publik, seperti kebijakan
pengelolaan ruang publik/fasilitas umum, jalan raya. Kebijakan barang privat
adalah kebijakan yang mengatur tata kelola dan pelayanan barang-barang
privat, misalnya pengaturan parkir, penataan pemilikan tanah.

2.1.2. Tantangan Kebijakan Publik


Lingkungan dimana kebijakan publik dikembangkan bersifat dinamis,
kompleks, penuh ketidakpastian, dan sulit untuk diprediksi arah perubahannya.
Kondisi masyarakat yang yang memiliki kemudahan dalam mendapakan informasi
menyebabkan munculnya harapan yang semakin tinggi, memiliki permasalahan
yang semakin kompleks, dan menuntut peran pemerintah yang semakin tinggi pula.
Untuk mensikapi hal tersebut, berbagai agenda perubahan sektor publik dilakukan
untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas berbagai penyelenggaraan publik. New
public management, akuntabilitas, good governance, managerialism, sound-
government, reformasi birokrasi adalah berbagai upaya perbaikan pemenuhan
tuntutan masyarakat dan pembangunan. Bagaimana dengan kebijakan publik?
Apakah proses pembuatan kebijakan sudah siap untuk mengimbangi tantangan
lingkungan yang dinamis? Berbagai upaya pembaharuan tersebut di atas diarahkan
pada peningkatan efisiensi dan efektivitas, hanya sedikit yang memberikan
perhatian pada proses kebijakan dan bagaimana pembuat keputusan dapat
memenuhi kebutuhan konstitutennya dalam lingkungan yang semakin komplek dan
unpredictable (Geurts, 2015). Pembuatan kebijakan yang baik merupakan salah
satu indikator kehandalan sebuah pemerintahan. Tantangan kebijakan publik adalah
menciptakan sebuah lingkungan yang memungkinkan proses kebijakan publik
(pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan) dapat berlangsung secara
fleksibel, interaktif, adaptif, transparan dan akuntabel serta sesuai dengan dinamika
lingkungan yang sangat kompleks. Jika lingkungan ini dapat diciptakan baik secara
politik maupun teknis, tuntutan akan partisipasi, tranparansi, keterbukaan,
produktivitas serta actionable policy dapat diwujudkan. Menurut Hallsworth et al.

16
(2001) karakteristik model profesional dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai
berikut:
1. Memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan kebijakan atau dengan
kata lain memperhatikan faktorfaktor eksternal dalam proses pembuatan
kebijakan (outward looking).
2. Terbuka terhadap ide dan solusi yang baru (inovatif, kreatif dan fleksibel). •
Menggunakan data-data dan fakta-fakta dari berbagai sumber dan melibatkan
stakeholders kunci dalam pembuatan kebijakan (evidence-based).
3. Selalu memperhatikan dampak kebijakan terhadap semua pihak yang terkait
baik secara langsung maupun tidak langsung (inclusive).
4. Membangun sistem evaluasi dari awal proses kebijakan (evaluasi).
5. Selalu melakukan reviu terhadap kebijakan untuk memastikan keterkaitannya
dengan masalah yang diselesaikan dan mengenali masalah serta dampak sejak
awal.
Belajar dari pengalaman kebijakan yang berhasil dan yang gagal (learns
lessons). Selain karakter di atas kebijakan publik yang baik harus juga memiliki
karakter forward looking (mengarah pada outcome dan mempertimbangkan
dampak jangka panjang), joined up (proses perumusannya dikelola dengan baik,
holistic view, berkoordinasi dengan institusi yang lain), serta communication
(dalam proses perumusan juga mempertimbangkan strategi mengkomunikasikan
kepada publik).

2.1.3. Evaluasi/Reviu Kebijakan Publik


Evaluasi kebijakan adalah kegiatan menilai tingkat kinerja publik, reviu
kebijakan erat kaitannya dengan evaluasi kebijakan. Evaluasi merupakan analisa
terhadap sebuah fakta dan anggapan yang dihasilkan ketika sebuah program atau
kebijakan dilaksanakan (Dunn, 2000). Dalam artian yang lebih spesifik, evaluasi
berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.
Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini dapat disebut
bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang

17
berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau dapat di atasi. Adapun
tujuan evaluasi suatu kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tingkat kinerja kebijakan atau institusi publik;
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan;
3. Mengukur tingkat outcome suatu kebijakan;
4. Mengukur dampak suatu kebijakan sehingga dapat diketahui dampak positif
atau dampak negatif suatu kebijakan;
5. Mengetahui deviasi atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
suatu kebijakan;
6. Sebagai bahan masukan untuk kebijakan yang akan datang agar kebijakan
yang akan datang bisa menjadi lebih baik;
Untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan dapat dilihat dari beberapa
indikator yaitu sebagai berikut:
1. Efektivitas sebagai indikator apakah hasil yang diinginkan sudah tercapai;
2. Kecukupan merupakan indikator yang dapat dicapai oleh suatu kebijakan
dapat memecahkan suatu masalah;
3. Pemerataan merupakan indikator yang menunjukkan apakah manfaat dan
biaya didistribusikan merata kepada kelompok masyarakat yang berbeda;
4. Responsivitas merupakan indikator yang menunjukkan kepuasan masyarakat
akan adanya suatu kebijakan publik;
5. Ketepatan merupakan indikator apakah hasil dari adanya kebijakan tersebut
bermanfaat bagi masyarakat;
Sejalan dengan evaluasi, reviu kebijakan merupakan suatu penilaian, kritik
atau tanggapan terhadap suatu kebijakan yang dilakukan. Reviu ini memiliki fungsi
yang sangat baik karena bisa memberikan informasi yang didasarkan dari fakta
fakta dan analisis yang baik. Dengan adanya reviu, suatu kebijakan dapat
mengetahui apakah suatu kebijakan sudah sesuaiatau belum dengan dukungan
analisis dan fakta. Hasil reviu tersebut akan dignakan sebagai bahan untuk
melakukan evaluasi. Reviu kebijakan memiliki tujuan untuk mengkritisi sesuatu
kebijakan yang nantinya akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Penilaian atau
tinjauan yang dilakukan tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena akan

18
sangat berpengaruh terhadap respon dari masyarakat terhadap suatu kebijakan yang
dikaji. Struktur reviu yang dilakukan adalah introduction mengenai gambaran
umum kebijakan yang akan di tinjau. Bagian selanjutnya adalah evaluasi,
kemudian dilanjutkan dengan interpretasi bagian yang terakhir adalah kesimpulan.

2.1.4. Manfaat Evaluasi


Secara umum manfaat dari penerapan evaluasi dalam suatu program atau
kebijakan adalah sebagai berikut (Winarno, 2008):
1. Evaluasi sebagai alat untuk mendukung perencanaan:
a. Penerapan sistem evaluasi yang disertai dengan pemilihan dan
penggunaan indikator akan memperjelas tujuan serta arah kegiatan untuk
pencapaian tujuan tersebut.
b. Pemilihan indikator program yang melibatkan berbagai pihak secara
partisipatif tidak saja berguna untuk mendapatkan indikator yang tepat
tetapi juga akan mendorong pemilik proyek dan berbagai pihak yang
berkepentingan untuk mendukung suksesnya program.
2. Evaluasi sebagai alat untuk mengetahui kemajuan program:
a. Adanya sistem evaluasi yang berfungsi dengan baik memungkinkan
pelaksana program mengetahui kemajuan serta hambatan atau hal-hal
yang tidak diduga yang secara potensial dapat menghambat jalannya
program secara dini. Hal terakhir bermanfaat bagi pelaksana program
untuk melakukan tindakan secara tepat waktu dalam mengatasi masalah.
b. Informasi hasil evaluasi dapat memberikan umpan balik kepada pelaksana
program tentang hasil capaian program, dalam arti sesuai atau tidak sesuai
dengan yang diharapkan
c. Bilamana hasil program belum sesuai dengan harapan maka pelaksana
program dapat melakukan tindakan penyesuaian atau koreksi secara tepat
dan cepat sebelum program terlanjur berjalan tidak pada jalurnya. Dengan
demikian informasi hasil evaluasi bermanfaat dalam memperbaiki
jalannya implementasi program.
3. Evaluasi sebagai alat akuntabilitas program dan advokasi:

19
a. Evaluasi tidak hanya memantau aktivitas program tetapi juga hasil dari
aktivitas tersebut. Informasi pemantauan terhadap luaran dan hasil (output
dan outcome) program yang dipublikasikan dan dapat diakses oleh
pemangku kepentingan akan meningkatkan akuntabilitas program.
b. Informasi hasil evaluasi dapat dipakai sebagai bahan masukan untuk
advokasi program kepada para pemangku kepentingan.
c. Informasi tersebut akan memicu dialog dan pembelajaran serta memacu
keikutsertaan

2.1.5. Tahapan dan Indikator Evaluasi


Menurut Sucman (Winarno, 2008) mengemukakan enam langkah dalam
evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.
2. Analisis terhadap masalah.
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan.
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan
tersebut atau karena penyebab lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
Hasil evaluasi akan dianalisa sebagai pertimbangan bagi pembuat kebijakan
untuk melakukan penyesuaian atau perubahan demi penyempurnaan kebijakan
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan publik tidaklah permanen
tetapi membutuhkan penyesuaian, karena kebijakan sangat dipengaruhi oleh faktor
politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan informasi yang senantiasa dinamis.
Dalam pelaksanaan evaluasi kebijakan digunakan kriteria-kriteria umum yang
dimaksudkan untuk member arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang
dirumuskan akan dapat dijadikan sebagai salah satu patokan dalam menentukan
apakah suatu kebijkan berhasil atau gagal. Dunn (1998) menggambarkan indikator
evaluasi kebijakan yang meliputi 6 (enam) tipe sebagai berikut:
1. Efektifitas (Effectiveness)

20
Berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang
diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektifitas yang
secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit
produk atau layanan atau nilai moneternya.
2. Efisiensi (Efficiency)
Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk meningkatkan tingkat
efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dengan rasionalitas
ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektifitas dan usaha yang
terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.
3. Kecukupan (Adequacy)
Berkenaan dengan seberapa jauh suati tingkat efektifitas memuaskan
kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah.
Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif
kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4. Pemerataan/Kesamaan (Equity)
Indikator ini erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan
menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang
berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah
kebijakan yang akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter)
atau usaha (misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kebijakan
yang dirancang untuk mendistibusikan pendapatan, kesempatan pendidikan
atau pelayanan publik kadang-kadang direkomendasikan atas dasar kriteria
kesamaan. Kriteria kesamaan erat kaitannya dengan konsepsi yang saling
bersaing, yaitu keadilan atau kewajaran dan terhadap konflik etis sekitar dasar
yang memadai untuk mendistribusikan sumberdaya dalam masyarakat.
5. Responsivitas (Responsiveness)
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan,
prefensi, atau nilai kelompok- kelompok masyarakat tertentu. Kriteria
responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua
kriteria lainnya – efektifitas, efisensi, kecukupan, kesamaan – masih gagal jika

21
belum menanggapi kebutuhan actual dari kelompok yang semestinya
diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
6. Ketepatan (Appropriateness)
Kriteria ini merupakan kriteria ketepatan secara dekat yang berhubungan
dengan rasionalitas substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan
tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria
secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan-
tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan tersebut.

2.2. Peranan Investasi Dalam Pembangunan Ekonomi


Sebagian ahli ekonomi memandang pembentukan investasi merupakan faktor
penting yang memainkan peran strategis terhadap pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi suatu negara. Ketika pengusaha atau individu atau pemerintah melakukan
investasi, maka akan ada sejumlah modal yang ditanam, ada sejumlah pembelian
barang-barang yang tidak dikonsumsi, tetapi digunakan untuk produksi, sehingga
menghasilkan barang dan jasa di masa akan datang.
2.2.1. Pengertian Investasi
Teori ekonomi mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran pemerintah
untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan
tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal yang akan
digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa yang akan datang. Investasi
adalah suatu komponen dari PDB = C + I + G + (X-M). Investasi adalah penanaman
modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu
lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang.
Menurut Samuelson (2004: 198), investasi meliputi penambahan stok modal atau
barang disuatu negara, seperti bangunan peralatan produksi, dan barang-barang
inventaris dalam waktu satu tahun. Investasi merupakan langkah mengorbankan
konsumsi di waktu mendatang. Investasi merupakan salah satu komponen yang
penting dalam GNP.

22
2.2.2. Peranan Investasi
Investasi memiliki peran penting dalam permintaan agregat, pertama bahwa
pengeluaran investasi lebih tidak stabil apabila dibandingkan dengan pengeluaran
konsumsi sehingga fluktuasi investasi dapat menyebabkan resesi. Kedua, bahwa
investasi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi serta perbaikan dalam
produktivitas tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada tenaga
kerja dan jumlah stok kapital. Investasi atau penanaman modal merupakan
pengeluaran atau pembelanjaan yang dapat berupa jenis barang modal, bangunan,
peralatan modal, dan barang-barang inventaris yang digunakan untuk menambah
kemampuan memproduksi barang dan jasa atau untuk meningkatkan
produktiktivitas kerja sehingga terjadi peningkatan output yang dihasilkan dan
tersedia untuk masyarakat.
Investasi menjadi salah satu kata kunci dalam setiap pembicaraan tentang
konsep ekonomi. Wacana pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja baru,
serta penanggulangan kemiskinan pada akhirnya menempatkan investasi sebagai
pendorong utama mengingat perekonomian yang digerakkan oleh konsumsi diakui
amat rapuh terutama sejak 1997. Dalam teori neo-klasik dikemukakan untuk
membangun kinerja perekonomian suatu negara maka dibutuhkan akumulasi
kapital (Kuncoro, 2003). Negara berkembang lebih memerlukan investasi terutama
asing karena pada umumnya tingkat tabungan domestik rendah. Kobrin (1976)
berpendapat bahwa investasi khusus nya investasi asing bisa dan memang berperan
sebagai medium transfer kebutuhan akan sumber daya seperti teknologi,
kemampuan manajerial, jalur ekspor dan modal dari negara-negara industri ke
negaranegara berkembang, oleh karena itu, investasi akan meningkatkan
produktivitas dan terkait pula dengan pertumbuhan ekonomi.
Investasi merupakan suatu faktor krusial bagi kelangsungan proses
pembangunan ekonomi (suistanable development), atau pertumbuhan ekonomi
jangka panjang. Pembangunan ekonomi melibatkan kegiatan-kegiatan produksi
(barang dan jasa) di semua sektor-sektor ekonomi. Dengan adanya kegiatan
produksi, maka terciptalah kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat
meningkat, yang selanjutnya menciptakan/meningkatkan permintaan di pasar.

23
Pasar berkembang dan berarti juga volume kegiatan produksi, kesempatan kerja
dan pendapatan meningkat, dan seterusnya, maka terciptalah pertumbuhan ekonomi
(Tambunan, 2003)

2.2.3. Teori Investasi


Secara teori Investasi Dalam jangka panjang berpengaruh pada bertambahnya
stok capital dan selanjutnya menaikan produktivitas dan pendapatan . Beberapa
teori yang menyatakan pentngkya investasi bagi sebuah perekonomian adalah:
1. Teori Neo Klasik menekankan pentingnya tabungan sebagai sumber investasi.
Investasi dipandang sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan. Makin cepat perkembangan investasi ketimbang laju
pertumbuhan penduduk, makin cepat perkembangan volume stok kapital rata-
rata per tenaga kerja. Makin tinggi rasio kapital per tenaga kerja cendrung
makin tinggi kapasitas produksi per tenaga kerja. Tokoh Neo Klasik, Sollow
dan Swan memusatkan perhatiannya pada bagaimana pertumbuhan penduduk,
akumulasi capital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi dalam
proses pertumbuhan ekonomi (Arsyad, 2009).
2. Teori Harrod-Domar. Harrod-Domar mempertahankan pendapat dari para ahli
ekonomi sebelumnya yang merupakan gabungan dari pendapat kaum klasik
dan Keynes, dimana beliau menekankan peranan pertumbuhan modal dalam
menciptkan pertumbuhan ekonomi. Teori Harrod-Domar memandang bahwa
pembentukan modal dianggap sebagai pengeluaran yang akan menambah
kemampuan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang dan atau jasa,
maupun sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif seluruh
masyarakat. Dimana apabila pada suatu masa tertentu dilakukan sejumlah
pembentukan modal, maka pada masa berikutnya perekonomian tersebut
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan barang-barang dan atau jasa
yang lebih besar (Widodo, 2006).

24
2.3. Konsep dan Teori Pengembangan Investasi Daerah
Konsep pengembangan investasi daerah ditekankan kepada bagaimana
daerah mampu meningkatkan investasi melalui daya tarik investasi daerah. Banyak
faktor yang mempengaruh investasi daerah, menurut KPPOD (2003) dalam
Widodo (2006) mendefinisikan variabel yang mempengaruhi daya tarik investasi
daerah yaitu:
a. Faktor Kelembagaan
Faktor kelembagaan merupakan faktor yang berkaitan dengan kemampuan
atau kapasitas Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga
pemerintahan. Kapasitas Pemerintah Daerah dicerminkan melalui
kemampuannya dalam hal kepastian hukum, pelayanan perijinan, perumusan
kebijakan investasi melaluiPeraturan Daerah dan keuangan daerah
b. Faktor Sosial Politik
Faktor sosial politik berkaitan dengan hubungan sosial politik antar elemen
masyarakat, pemerintah dan pelaku bisnis.Variabel yang perlu diperhatikan
adalah variabel keamanan, variabel sosial politik, dan variabel budaya
masyarakat.
c. Faktor Ekonomi Daerah
Faktor ekonomi daerah berkaitan dengan kenggulan-keunggulan komparatif
dan kompetitif daerah.Variabel yang perlu diperhatikan adalah
1. variabel potensi ekonomi daerah yang mencakup potensi fisik serta non
fisik daerah tersebut seperti sumber daya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya social, pendapatan daeah dan Indeks pembangunan Manusia
(IPM).
2. variabel struktur ekonomi yang dapat dilihat melalui analisis jumlah nilai
tambah (value added) bruto sektor ekonomi di daerah tersebut dan basis
struktur perekonomian dengan kontribusi persektor terhadap nilai
tambah seluruh sektor PDRB, apakah daerah tersebut berbasiskan sektor
primer, sekunder, atau tersier.
d. Faktor Tenaga Kerja dan Produktifitas

25
Faktor tenaga kerja dan produktifitas berkaitan dengan SDM yang tersedia di
daerah, beberapa variabel yang yang berkaitan dengan SDM yang perlu
diperhatikan adalah ketersediaan tenaga kerja, biaya tenaga kerja dan
produktifitas tenaga kerja.
e. Faktor Infrastruktur Fisik
Ketersediaan infrastruktur fisik daerah dapat mendukung investor dalam
menentukan besarnya biaya investasi awal. variabel faktor infrastruktur adalah
1. ketersediaan inffrastruktur fisik (jalan raya, bandara, pelabuhan, kereta
api, energi, dan sarana telekomunikasi).
2. kualitas dan akses terhadap infrastruktur fisik, kualitas dari fasilitas serta
infrastruktur pendukung. Kualitas dari fasilitas serta infrastruktur ini
digambarkan dengan siap serta layaknya fasilitas serta infrastruktur
tersebut. Semakin baik kualitas fasiitas dan infrastruktur dalam bentuk
prasarana fisik tersebut, maka daya tarik investor terhadap daerah
tersebut semakin tinggi.

2.4. Teori Aglomerasi Investasi dan Pusat Pertumbuhan Ekonomi


Berikut ini adalah tinjauan teori aglomerasi investasi dan pusat pertumbuhan
ekonomi yang dikaji dari pendekatan spasial.
2.4.1. Teori lokasi Industri secara spasial
Kuncoro (2007) menyatakan bahwa paradigma geografi ekonomi menjawab
berbagai pertanyaan yang tidak terjawab dalam ilmu ekonomi. Secara umum, ilmu
ekonomi cenderung mengabaikan dimensi ruang atau spasial dengan fokus pada
aspek what to produce (aktivitas konsumsi), how to produce (aktivitas produksi)
dan for whom to produce (aktivitas distribusi). Penjelasannya dari penentuan
barang dan jasa yang harus diproduksi (what to produce) adalah suatu masyarakat
ekonomi harus menentukan barang dan jasa apa saja yang akan diproduksi, barang
dan jasa mana yang akan diprioritaskan, barang dan jasa apa yang akan diproduksi
kemudian, serta barang dan jasa apa yang tidak dapat diproduksi. Ini merupakan
masalah bagaimana mengalokasikan sumber daya yang ada (sumber daya alam,
manusia, dan modal) ke dalam berbagai sektor produksi untuk menghasilkan

26
barang dan jasa. Hal ini karena sumber daya terbatas sementara kebutuhan tidak
terbatas, maka tidak semua barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dapat
diproduksi.
Penjelasan dari penentuan cara barang diproduksi (how to produce) adalah
penentuan metode produksi atau teknologi yang efisien, artinya yang dapat
menghasilkan suatu barang dan jasa dengan pengorbanan (atau biaya) yang paling
rendah. Ilmu ekonomi memandang teknologi sebagai faktor penting dalam proses
produksi. Namun, masih banyak faktor penting yang harus dipertimbangkan,
seperti skala produksi, kemampuan manajerial, iklim, kemampuan finansial, dan
sikap mental. Sedangkan penjelasan dari penentuan untuk siapa barang-barang
diproduksi (to whom) adalah terkait dengan bagaimana memberi jaminan kepada
sebagian warga yang mendapatkan hasil produksi di dalam ekonomi, sekalipun
tidak ikut berproduksi. Keputusan untuk siapa barang dan jasa diproduksi berkaitan
erat dengan konsep keadilan masyarakat yang bersangkutan. Bagi masyarakat
egaliter, keadilan berarti setiap individu berhak mendapatkan barang dan jasa
secara adil dalam jumlah yang sama, tetapi bagi masyarakat utilitarian yang
dimaksud dengan adil adalah pembagian barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan
masing-masing
Aspek spasial dianggap sebagai blind spot bagi ekonom karena
ketidakmampuan ekonom menciptakan model yang dapat menjelaskan berbagai
macam aspek lokasi industri. Sementara itu, geografi merupakan studi mengenai
pola spasial dibumi yang menjawab pertanyaan where (dimana aktivitas manusia
berada) dan why (mengapa lokasi perusahaan atau industri berada ditempat
tertentu). Dalam perspektif geografi ekonomi, aspek pola spasial aktivitas ekonomi
menjadi pusat perhatian dengan digunakkannya Sistem Informasi Geografi dan
menjawab pertanyaan sentral dalam ekonomi regional, yaitu dimana (where) lokasi
industri berada dan mengapa (why) terjadi konsentrasi geografis industri
manufaktur.

27
2.4.2. Konsetrasi Industri Secara Spasial
Konsentrasi industri pada lokasi tertentu dikenal dengan istilah aglomerasi
atau kluster. Secara literatur, tidak ada yang jelas membedakan antara kedua
definisi tersebut. Montogmery (1998) mendefinisikan aglomerasi sebagai
konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena
penghematan akibat lokasi yang berdekatan yang diasosiasikan dengan kluster
spesial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen. Hal ini juga senada dengan
definisi dari Markusen (1996) yang menyatakan bahwa aglomerasi merupakan
suatu lokasi yang tidak mudah berubah akibat adanya penghematan eksternal yang
terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain
dan penyedia jasa-jasa dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau pekerja secara
individual.
Aktivitas ekonomi jika dikaji secara geografi menunjukkan adanya
konsentrasi dan ketimpangan. Konsentrasi ekonomi secara spasial dalam suatu
negara menunjukan bahwa industrialisasi merupakan kondisi yang terjadi pada
lokasi tertentu dari dimensi geografis. Sebagai contoh konsentrasi industri sabuk
manufaktur di Amerika, konsentrasi di kawasan industri axial belt di Inggris dan
sabuk manufaktur di Jerman Ruhr. Pengelompokan industri secara spasial juga
terjadi di India, Italia, Portugal, Jepang, Australia, Brazil dan Spanyol. Khusus
untuk negara berkembang, distribusi industri dan penduduk yang timpang
mengelompok di daerah sekitar ibukota negara seperti Jakarta, Bangkok, New
Dehli, Mexico City, Sao Paulo. Hal tersebut menunjukkan sistem spasial
berdasarkan akumulasi modal dan tenaga kerja dalam aglomerasi perkotaan.
Fenomena aglomerasi juga terjadi di Indonesia, khususnya di daerah
Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Didaerah tersebut terdapat
konsentrasi di Industri. Berikut ini adalah gambaran aglomerasi di Jabodetabek.
Terdapat beberapa alasan kuat kenapa terjadi konsentrasi spasial di Jabodetabek.
Alasan yang pertama adalah industri tersebut berada di dekat pelabuhan terbesar di
Indonesia, yaitu pelabuhan Tanjung Priok. Mayoritas industri-industri tersebut
merupakan industri dengan produk ekspor. Sehingga memerlukan transportasi yang
mampu melayani tujuan distribusi ke negara lain. Hal ini sesuai dengan teori dari

28
1955, bahwa untuk industri dengan basis produk ekspor, maka pelabuhan menjadi
kriteria utama pemilihan lokasi. Hal ini ditegaskan penelitian Wahyuddin (2004)
bahwa keberadaan pelabuhan Tanjung Priok menjadi alasan utama berdirinya
berbagai industri di Jabodetabek.

2.4.3. Perspektif Klasik


Konsep dan pemikiran tentang aglomerasi dapat dilihat dalam dua persepktif,
yaitu perspektif klasik dan modern. Berikut ini adalah penjelasan dari perspektif
klasik. Terdapat berbagai tokoh yang berperan dalam perkembangan teori
aglomemersi, yaitu Adam smith, Von Thunen, Marshall dan Weber. Hasil
pemikiran tokoh-tokoh tersebut tertuang dalam konsep-konsep dasar tentang
aglomerasi.
Adam Smith (1776) pada abad ke 18 menjelaskan bahwa peningkatan
produktivitas tenaga kerja dan spesialisasi sangat penting dalam membentuk pola
kareteristik aglomerasi ekonomi suatu daerah atau negara. Perkembangan teori dari
Adam Smith berkembang hingga dikenal perspektif neoklasik. Teori-teori dari
klasik hingga neoklasik menganggap perusahaan seperti “manusia ekonomi” yang
memiliki informasi dan rasionalitas sempurna untuk menghitung lokasi optimal
yang meminimalkan biaya dan memaksimalkan keuntungan.Aglomerasi dari
persektif klasik dipengaruhi oleh teori-teori sebagai berikut:
a. Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) : Pengelompokan industri
muncul minimalisasi biaya transport, produksi dan kekuatan aglomeratif
dengan tokoh-tokohnya sebagai berikut :
1. Von Thunen (1826) memformulasikan teori mengenai spesialisasi
penggunaan lahan menurut berbagai kegiatan usaha (pertanian) dengan
mempertimbangkan jaraknya dari pusat kota. Teori ini dikenal dengan
nama teori sewa tanah. Semakin dekat dengan pusat kota, maka harga
sewa tanah semakin tinggi. Selain itu kontribusi dari Von Thunen adalah
mengenai penentuan penggunaan lahan untuk masing-masing kegiatan
usaha (zoning).

29
2. Weber menyatakan teori lokasi optimum dan aglomerasi pada tahun
1909. Lokasi optimum suatu industri ditentukan oleh biaya tenaga kerja
dan transportasi yang rendah. Weber juga membagi tata ruang lokasi
dalam tiga kelompok, yaitu (i) mendekati sumber bahan baku; (ii)
pasar/konsumen; (iii) diantara sumber bahan baku dan pasar/konsumen.
3. Walter Christaller pada tahun 1933 memperkenalkan teori teori tempat
sentral (central place theory) yang membahas tentang wilayah pelayanan
pemasaran. Menurut Christaller terdapat tiga unsut fundamental dalam
pengembangan wilayah, yaitu (1) terdapat pusat pelayanan pemasaran;
(2)masing-masing pusat memiliki wilayah pengaruh;(3)terdapat jaringan
transportasi antar pusat yang menghubungkan semuanya.
4. August Losch memperkenalkan teori kerucut permintaan pada tahun
1944 sebagai penyempurnaan teori tempat sentral (central place theory)
dari Walter Christaller pada tahun 1933. Inti teori dari Losch adalah suatu
industri yang didirikan pada suatu lokasi maka permintaan terhadap
barang hasil produksinya pada tempat lokasi industri adalah terbanyak.
Jumlah permintaan akan sesuatu barang mempunyai korelasi negatif
terhadap jarak.
5. Hoover pada tahun 1948 membedakan biaya transportasi menjadi dua,
yaitu biaya transportasi bahan baku (procurement cost) dan biaya
transportasi produk akhir (distribution cost). Hoover membuat model
mengenai pola biaya transportasi menurut beberapa moda transportasi.
Teori ini menenkan aspek biaya transportasi dalam pemilihan lokasi
industri.
b. Teori skala kota yang optimum (Theories of optimum city size) dari Fujita &
Thisse. Inti teori tersebut adalah ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas
ekonomi sebagai hasil tarik menarik antara kekuatan sentrifugal dan
sentripetal. Kekuatan sentripetal (centripetal forces), ditunjukkan oleh
penghematan aglomerasi adalah semua kekuatan yang menarik aktivitas
ekonomi ke daerah perkotaan. Sedangkan kekuatan sentrifugal (centrifugal
forces) adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal, yaitu kekuatan

30
disperse/penyebaran. Ini diakibatkan karena tingginya upah tenaga kerja di
daerah perkotaan sehingga mendorong perusahaan memilih lokasi di luar kota.
Pertumbuhan kota juga cenderung meningkatkan harga tanah secara riil karena
jumlahnya tidak bertambah. Selain itu kota-kota besar juga menimbulkan
eksternalitas negatif
c. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory) (Higgins & Savoie, 1995;
Perrqux, 1988) yang berisi tentang Industri yang mengalami ekspansi
berlokasi di suatu daerah perkotan, mendorong berkembangnya kegiatan
industri lain keseluruh daerah dalam lingkup yang luas

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk melihat aglomerasi dari perspektif
klasik, yaitu pendekatan penghematan dan eksternalitas. Berikut adalah penjelasan
dari kedua pendekatan tersebut:
a. Pendekatan Penghematan Lokalisasi dan Urbanisasi
Secara tradisional dijelaskan bahwa teori lokasi mendorong terbentuknya
kelompok industri pada lokasi tertentu dengan pertimbangan minimasi biaya
transportasi dan produksi. Ohta dan Thisse (1993) menyatakan pendekatan
interpendensi lokasi yang menjelaskan bahwa lokasi merupakan upaya
perusahaan untuk menguasai areal pasar terluas melalui maksimasi penjualan
atau penerimaan. Henderson (1998) dan O’Sullivan (1996) dalam Kuncoro
(2007) menyatakan bahwa konsentrasi ekonomi secara klasik mengacu pada
dua faktor, yaitu penghematan lokalisasi (localisation economies) dan
penghematan urbanisasi (urbanisation economies). Kedua faktor tersebut
dikenal sebagai agglomeration economics (penghematan aglomerasi).
Penghematan akibat lokalisasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada
suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat.
Penghematan lokalisasi berkaitan dengan perusahaan yang memiliki hubungan
satu sama lain. Fenomena ini dikenal dengan kluster industri (industrial
cluster/district) yang merupakan kelompok aktivitas produksi yang
terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau
dua industri utama. Hal tersebut dinamakan sebagai Marshallian industrial
district yang merupakan istilah pengakuan kontribusi Alfred Marshall sebagai

31
ekonom pertama yang secara sistematis mengamati perilaku pengelompokan
industri tertentu. Ada 3 (tiga) alasan penyebab penghematan dari lokalisasi:
1. Pembelian input bersama dalam jumlah besar dari perusahaan sejenis
dalam lokasi yang sama dari perusahaan input yang sama
2. Ekonomi pasar tenaga kerja, dimana pekerja mudah berganti pekerjaan
dilokasi yang sama
3. Komunikasi ekonomi, dimana mudahnya pertukaran informasi dan
penyebaran teknologi antara pekerja dan perusahaan.
Urbanisation economies terjadi jika biaya produksi suatu perusahaan
menurun ketika produksi seluruh perusahaan dalam wilayah perkotaan
yang sama meningkat. Penghematan terjadi karena skala perekonomian
kota yang besar dan bukan akibat skala suatu jenis industri.
Penghematan urbanisasi memberi manfaat bagi semua perusahaan di
seluruh kota. Manfaat yang dirasakan tidak hanya untuk perusahaan
dalam suatu industri tertentu. Penghematan urbanisasi memunculkan
perluasan wilayah metropolitan.
b. Pendekatan Eksternalitas
Pendekatan eksternalitas secara umum oleh ekonom dibedakan menjadi
empat, yaitu pendekatan internal dan eksternal (internal economies dan
external economies) dan pendekatan skala ekonomis dan cakupan (economies
of scale dan economies of scope). Pendekatan internal adalah suatu
pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik.
Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai pada suatu perusahaan
tergantung apakah efisiensi dapat ditingkatkan atau dipertahankan. Beberapa
faktor yang beperan dalam pengurangan biaya secara internal meliputi
pembagian kerja (spesialisasi), digantinya manusia dengan mesin, melakukan
sub-kontrak beberapa aktivitas produksi kepada perusahaan lain dan menjaga
titik optimal operasi yang meminimalkan biaya. Pendekatan eksternal
merupakan pengurangan biaya yang terjadi aktivitas di luar lingkup
perusahaan atau pabrik. Seperti halnya suatu perusahaan dapat mencapai
penghematan biaya secara internal dengan memperluas produksi atau

32
meningkatkan efisiensi, maka suatu industri dapat mendapatkan penghematan
eksternal dengan beraglomerasi secara spasial. Penghematan terjadi berkat
adanya perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama
lain dalam memperoleh pasar. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga
terampil dan bahan baku dalam daerah tersebut yang menopang proses
produksi. Pendekatan skala ekonomi mendorong terjadinya penghematan
karena perusahaan menambah produksi dengan cara memperbesar pabrik.
Penghematan biaya terjadi dengan meningkatkan skala pabrik sehingga biaya
produksi per unit dapat ditekan. Ini berbeda dengan penghematan akibat
cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub-unit usaha secara
internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang bersamaan sehingga
menghemat biaya. Industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu
daerah perkotan, mendorong berkembangnya kegiatan industri lain keseluruh
daerah dalam lingkup yang luas.

2.4.4. Perspektif Modern


Kelemahan pendekatan aglomerasi dalam perspektif klasik adalah tidak
diperhitungkannya berbagai biaya yang akan diminimalkan. Hal didasarkan pada
sanggahan dari McCann (1995) yang menyatakan ada dua fenomena yang tidak
mampu dijelaskan oleh perpektif klasih. Fenomena pertama adalah banyak
perusahaan yang memiliki sedikit atau bahkan tidak terkait dengan perusahaan
lokal pada industri yang sama kendati terdapat kluster industri yang kuat di daerah
tersebut. Kedua adalah banyak perusahaan yang hanya memiliki sedikit atau tidak
terkait sama sekali dengan perusahaan lain lain ataupun rumah tangga dalam suatu
daerah yang sama (biasanya perkotaan) meskipun daerah tersebut memiliki
berbagai kluster industri. Fenomena-fenomena tersebut seakan membantah dari
pendekatan lokalisasi dan urbanisasi. Perspektif modern dapat dikaji berdasar tiga
paradigma sebagai berikut:
a. Eksternalitas Dinamis
Teori mengenai eksternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi informasi ada
suatu lokasi tertent akan meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja.

33
Pendekatan eksternalitas dinamis dari Marshall-Arrorw-Romer (MAR)
menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan antara perusahaan dalam
suatu industri. Transfer pengetahuan tersebut dapat terjadi karena komunikasi
yang terus berlangsung antar perusahaan lokal dalam industri yang sama.
Contoh kasus adalah industri teknologi Silicon Valley. Porter (1990) juga
menyatakan bahwa pertumbuhan didorong oleh transfer pengetahuan pada
industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonsentrasi secara
spasial. Namun hasil penelitian Glaeser et al (1992) menunjukkan hal yang
bertolak belakang. Pertumbuhan kesempatan kerja dalam suatu industri
didorong oleh persaingan lokal dan keanekaragaman kota, bukan karena
spesialisasi regionalisasi. Transfer pengetahuan terjadi antar lintas sektor
sesuai dengan pernyataan Jacobs (1969).
b. Paradigma Pertumbuhan Perkotaan
Proses aglomerasi industri yang mencapai skala ekonomi maksimum akan
mengalami proses penurunan dengan adanya dampak negatif. Persaingan
antar perusahaan dan industri lambat laun akan meningkatkan harga bahan
baku dan faktor produksi (harga tanah, tenaga kerja) sehingga biaya per unit
akan naik. Peningkatan biaya jasa perbankan dan biaya overhead akan
mengakibatkan desentralisasi dan relokasi aktivitas ekonomi ke pinggir
daerah. Contohnya adalah bergeraknya akvitias ekonomi dan lokasi
pemukiman penduduk dari Jakarta ke kota-kota sekitarnya seperti Bogor,
Tangerang dan Bekasi. Teori-teori perkotaan yang baru dikaitkan dengan
sistem jaringan kota dan bukan sistem tempat pusat yang monosentrik. Model
jaringan kota berangkat dari premis bahwa dua kota atau lebih yang berkeayan,
meskipun tadinya erupakan kota-kota yang terpisah dan independen dapat
memperoleh manfaat berupa sinergi dari pertumbuhan kota yang interaktif.
Didorong oleh jaringan transportasi dan komunikasi yang cepat dapat
membuat penghematan ekonomi.

34
2.4.5. Geografi Ekonomi Baru
Fenomena berkumpulnya industri-industri pada wilayah tertentu mendorong
munculnya paradigma baru yang dikenal sebagai geografi ekonomi baru (new
economy geography). Isu tentang geografi ekonomi mendorong Paul Krugman
secara eksplisit memasukkan dimensi spasial dalam pembangunan perkotaan dan
regional. Krugman menjelaskan penyebab konsentrasi spasial di kota-kota besar di
negara sedang berkembang. Peneliti lain seperti Porter juga menekankan geografi
ekonomi dalam proses inovasi dan proses menjaga keunggulan kompetitif. Porter
menyatakan bahwa derajat pengelompokkan industri secara geografis dalam suatu
negara memainkan peranan penting dalam menentukan sektor manakah yang
memiliki keunggulan kompetitif pada skala internasional. Porter mengajukan
hipotesis bahwa kluster industri dengan konsentrasi geografis jauh lebih produktif.
Namun hipotesis tersebut masih belum diuji secara empiris. Teori geografi
ekonomi baru (NEG) menekankan pentingnya hasil yang meningkat, skala
ekonomis dan persaingan yang tidak sempurna. Aspek penting dari teori NEG dari
Krugman adalah sebagai berikut:
1. usaha penghematan eksternal dan aglomerasi industri dalam skala regional
dengan perdagangan.
2. ekonomi geografi dari Krigman adalah kombinasi model persaingan tidak
sempurna dan skala ekonomis yang digunakan dalam teori perdagangan baru
dan teori lokasi yang menekankan pentingnya biaya transportasi
3. pembangunan ekonomi regional merupakan proses historis dan kejutan pada
suatu daerah dapat menimbulkan konsekuensi pertumbuhan jangka panjang.

2.4.6. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)


Teori ini di populerkan oleh Perroux dan menjadi dasar dari strategi kebijakan
pembangunan industri daerah yang banyak di terapkan di berbagai negara dewasa
ini. Perroux mengatakan, pertumbuhan tidak muncul di bebagai daerah dalam
waktu yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapatempat yang disebut
sebagai pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Inti dari teori ini adalah
sebagai berikut:

35
a. Dalam proses pembangunan akan timbul industri unggulan yang merupakan
industri penggerak utama dalm pembangunan suatu daerah. Kerena
keterkaitan idustri satu sama lain sangat erat, maka pembangunan industri
unggulan akan mempegaruhi perkembangan industri yang lain yang
berhubungan erat dengan industri unggulan tersebut.
b. Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan
perekonomian, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi
yang berbeda antar daerah sehingga pembangunan industri disuatu daerah
akan mempengaruhi perkembangan industri di daerah yang lainya.
c. Perekonomian merupakan gabunagn dari sitem industri yang relatif aktif
(industri unggulan) dengan industri yang relative pasif yaitu industri yang
tergantung dari industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang
relative maju atau aktif akan mempengaruhi daerah yang relative pasif.
Selanjutnya perroux mengatakan bahwa, ditinjau dari asperk lokasinya
pembangunan ekonomi di daerah tidak merata dan cenderung terjadi proses
aglomerasi pada pusat-pusat pertumbuhan.

Teori geografi ekonomi pada dasarnya mencurahkan perhatiannya, mengapa


kegiatan ekonomi lebih banyak yang bergerombol atau membentuk aglomerasi,
sehingga pembangunan berbasis kawasan akan lebih efisien. Hal ini dapat
dijelaskan, secara alami sumber daya tidak terdistribusi secara merata secara
geografis. Akibatnya kegiatan ekonomi cenderung membentuk kelompok-
kelompok, dan oleh karena itu terbentuklah kawasan-kawasan strategis baik yang
berbasis industri, maupun yang berbasis kegiatan ekonomi yang lain. Isu tentang
adanya ketidak merataan spasial ini baru menjadi isu sentral pada teori ekonomi
geografi baru atau New Economics Geography (NEG). Dalam NEG fikus utama
analisisnya adalah adanya aglomerasi spasial yang tidak terelakkan (Fujita, 1999).
Berdasarkan perspektif NEG, struktur ekonomi secara spasial terjadi karena adanya
dua hal utama (Gardiner et al, 2011). Pertama, model NEG memprediksikan bahwa,
dalam persaingan tidak sempurna, adanya konsep peningkatan hasil karena
meningkatnya skala (increasing return to scale), dan adanya mobilitas faktor
produksi secara sempurna, mengakibatkan munculnya kekuatan sentripetal yang

36
cukup signifikan sehingga membentuk konsentrasi secara spasial atau sering
disebut sebagai proses aglomerasi dari aktivitas ekonomi. Adanya proses
aglomerasi inilah yang mendorong munculnya pusat-pusat pertumbuhan berbasis
wilayah. Kedua, berbagai proses sentrifugal, misalnya biaya transport, hambatan
mobilitas faktor produksi antar wilayah, pengelompokan pasar dan berbagai faktor
kongesti, diasumsikan sebagai faktor pendorong penyebaran perusahaan dan
tenaga kerja. Ketika biaya transport dan biaya transaksi antar wilayah mahal, dan
biaya distribusi barang teramat mahal, maka perusahaan terdorong untuk
mendistribusikan jaringan perusahaanya ke wilayah-wilayah yang tidak terjangkau
(immobile market). Ketika biaya transport murah, maka pengiriman barang akan
dilakukan secara jarak jauh, sehingga lokasi perusahaan akan dipusatkan pada
wilayah yang paling efisien. Hal inilah yang menjadi sumber aglomerasi, yang
selanjutnya menjadi pusat pertumbuhan dan berdampak munculnya disparitas
regional.
Proses aglomerasi ini diperkuat oleh strategi perusahaan yang selalu akan
menempatkan perusahaanya di wilayah dimana pendapatan tinggi karena disitulah
pasar dari produknya. Selain itu, pertimbangan pemilihan lokasi perusahaan juga
adanya keterkaitan dengan perusahaan lain untuk mendapat skala ekonomis karena
adanya keterkaitan antar perusahaan. Proses ini akan semakin mempertajam
disparitas, meskipun diakui bahwa hal ini akan meningkatkan efisiensi dan
pertumbuhan ekonomi.
Kondisi di atas akan semakin memperkuat disparitas apabila struktur industri
semakin mendekati monopolis. Dengan dasar teori ini, pengambil kebijakan tidak
bisa menurunkan disparitas hanya dengan mengharapkan adanya tricle down effect
dari pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, apabila pengambil kebijakan hanya
terfokus pada pertumbuhan ekonomi dan mengatur aspek tata ruang dengan hanya
mempertimbangkan aspek efisiensi, maka konsekuaensi disparitas tidak
terhindarkan. Kebijakan yang bertujuan menurunkan disparitas regional harus
dilakukan secara khusus.
Untuk membuktikan seberapa jauh keberlakuan teori NEG, beberapa studi
dilakukan diberbagai wilayah dan kelompok negara (Gardiner et al, 2011). Di

37
wilayah Eropa, dengan mengambil sampel pengamatan tahun 1990-2000, dimana
sedang dipromosikan kebijakan untuk memacu pertumbuhan, ternyata
menimbulkan kesenjangan antar wilayah yang semakin besar. Sementara, pada
tahun sesudahnya (2002 dan sesudahnya), dimana kebijakan disparitas
dipromosikan, maka terjadi penurunan (melambat) pertumbuhan ekonomi. Hal
senada juga terjadi di negara-negara OECD. Aglomerasi yang terjadi di negara-
negara OECD nampaknya cukup kuat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian, meskipun tidak di semua negara, aglomerasi tersebut
menimbulkan kesenjangan antar wilayah yang cukup signifikan. Hanya sedikit
negara yang mengalami aglomerasi ekonomi dan penurunan kesenjangan. Negara-
negara yang demikian pada umumnya memiliki wilayah geografis yang tidak
terlalu luas, misalnya beberapa negara Eropa Barat.

2.5. Pola Penggunaan Ruang dan Sebaran Investasi


Pola penggunaan lahan dalam sebuah wilayah dapat dibedakan menjadi
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan
budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan. Dalam perkembangannya, kawasan budidaya
dapat berisi berbagai kawasan sesuai dengan potensinya untuk dikembangkan
menjadi kawasan budidaya. Beberapa jenis kawasan budidaya dapat dikembangkan
menjadi kawasan terbangun dan dapat digunakan sebagai kegiatan ekonomi.
Lahan terbangun merupakan ruang dimana sejumlah manusia akan tinggal
dan beraktivitas di dalamnya. Oleh karena itu, dalam suatu lahan terbangun pada
akhirnya akan dimanfaatkan atau dibangun bangunan, jalan, septic tank, tempat
pembuangan sampah, dll yang merupakan kebutuhan-kebutuhan manusia dalam
beraktivitas didalamnya. Karakteristik utama dari suatu lahan adalah faktor tanah.
Tanah memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga kesesuaiannya untuk digunakan
sebagai dasar pemanfaatan lahan tertentu pun akan berbeda. Sifat-sifat tanah

38
tersebut antara lain: tekstur tanah, drainase tanah, tebal tanah, potensi mengembang
dan mengkerut, kepekaan erosi, bahaya banjir, lereng, daya dukung tanah, lapisan
organik, dll. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang digunakan sebagai dasar evaluasi
lahan adalah dengan menggunakan klasifikasi dari USDA.

2.5.1. Sifat-Sifat Tanah untuk Lahan Terbangun


Berikut ini adalah sifat-sifat tanah untuk lahan terbangun
a. Potensi Mengembang dan Mengerut
Potensi mengembang dan mengerut dari tanah pada dasarnya berpengaruh
terhadap pondasi bangunan yang akan dibangun di atasnya. Pada lahan yang
tanahnya memiliki potensi kembang-kerut tinggi, maka dimungkinkan
terjadinya retakan pada bangunan-bangunan yang dibangun di atasnya. Hal ini
dikarenakan tanah dengan potensi kembang kerut tinggi akan mengembang
bila basah dan akan mengerut ketika kering. Hal ini menyebabkan terjadinya
pergerakan tanah.
b. Tata air tanah (drainase tanah)
Drainase tanah pada dasarnya berpengaruh pada sifat permeabilitas tanah.
Tanah yang memiliki kemampuan permeabilitas tinggi akan lebih mudah
meresapkan air ke dalam tanah sehingga cadangan air tanah menjadi besar.
c. Tebal Tanah
Adanya hamparan batuan pada kedalaman 2 meter atau kurang dapat dilihat
penyebarannya dalam peta tanah. Ketebalan tanah sampai pada hamparan
batuan pada dasarnya berpengaruh pada rencana pembangunan bangunan,
yaitu terutama pada bangunan yang memerlukan penggalian tanah yang tidak
terlalu dalam.
d. Kepekaan Erosi
Kepekaan erosi tanah pada dasarnya mempengaruhi daya kohesi tanah yang
memicu adanya pergerakan tanah. Lahan yang memiliki tanah dengan
kepekaan erosi tinggi maka akan cenderung rawan longsor.
e. Lereng

39
Curamnya lereng merupakan faktor yang menentukan dalam kegiatan-
kegiatan yang perlu dilakukan untuk meratakan tanah tersebut. Hal tersebut
berpengaruh pada banyaknya jumlah tanah yang harus digali di atas lereng dan
ditimbunkan ke bawah lereng. Lereng juga berpengaruh pada pembangunan
jalan.
f. Daya dukung tanah
Daya dukung tanah merupakan kemampuan tanah untuk menahan beban
bangunan di atasnya. Oleh karena itu, sifat tanah ini berpengaruh pada
pembangunan pondasi bangunan.
g. Lapisan organik
Lapisan organik dalam tanah berpengaruh pada konsistensi tanah sebagai
pondasi bangunan. Lahan dengan tanah yang mengandung bahan organik
tinggi akan cenderung subur dan sifat tanahnya lembek serta tidak stabil. Hal
ini menyebabkan daya dukung tanah terhadap bangunan diatasnya menjadi
rendah.
h. Penggalian tanah
Penggalian tanah berpengaruh pada biaya penggalian untuk membangun
pondasi bangunan. Menggali tanah yang gembur jauh lebih mudah dan lebih
murah daripada menggali tanah yang kerjas dan padat. Tanah yang lekat dan
banyak mengandung liat sulit untuk digali.

2.5.2. Kesesuaian Lahan untuk Tempat Tinggal (Bangunan)


Tempat tinggal dimaksudkan sebagai bangunan gedung dengan beban tidak
lebih dari 3 lantai. Penentuan kelas suatu lahan untuk bangunan didasarkan pada
kemampuan lahan sebagai penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh adalah
daya dukung lahan dan sifat-sifat tanah yang berpengaruh pada biaya penggalian
dan konstruksi. Sifat-sifat lahan seperti kerapatan, drainase tanah, bahaya banjir,
plastisitas, tekstur dan potensi mengembang-mengerutnya tanah berpengaruh pada
daya dukung tanah. Sedangkan biaya penggalian tanah untuk pondasi dipengaruhi
oleh drainase tanah, lereng, kedalaman tanah, dan keadaan batu dipermukaan.

40
Tabel 1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tempat Tinggal (Gedung/ Bangunan
Maksimum 3 lantai)
Kesesuaian Lahan
No. Sifat Tanah
Baik Sedang Buruk
1. Subsiden total (cm) - - >30
2. Banjir Tanpa Tanpa Jarang – sering
3. Air tanah (cm) > 75 cm 45 – 75 cm <45 cm
4. Potensi kembang kerut Rendah (<0.03) Sedang (0.03 – Tinggi (>0.09)
(nilai COLE) 0.09)
5. Kelas unified (lapisan 25 – - - -
100 cm diatas permukaan
tanah)
6. Lereng <8% 8 – 15% >15%
7. Kedalaman hamparan
batuan (cm)
 Keras >100 50 – 100 <50
 Lunak >50 <50 -
8. Kedalaman padas keras
(cm) >100 50 – 100 <50
 Tebal >50 <50 -
 Tipis
9. Batu/ kerikil (>7,5 cm) <25% 25 – 50% >50%
10. Longsor - - Ada

2.5.3. Parameter Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri dan Pusat-Pusat


Ekonomi
Parameter penggunaan lahan berpengaruh terhadap lokasi kawasan industri
yang sesuai terhadap penggunaan lahan eksisting. Perencanaan kawasan industri
dan pusat-pusat ekonomi tidak memungkinkan untuk dibangun pada lahan yang
masih produktif untuk pertanian karena akan mengganggu keseimbangan
lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa parameter penggunaan lahan menjadi
salah satu hal yang perlu disesuaikan untuk menentukan lokasi kawasan industri
dan pusat-pusat ekonomi. Berdasarkan hal tersebut maka klasifikasi pembobotan
dari parameter penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

41
Tabel 2. Klasifikasi pembobotan dari parameter penggunaan lahan
No. Penggunaan Lahan Harkat/ Bobot Kesesuaian
1. Semak/ belukar, kebun, sawah, 5 Sangat sesuai
sawah tadah hujan, tegalan,
permukiman, gedung.
2. Sawah irigasi, hutan, rumput, tanah 3 Cukup sesuai
berbatu
3. Air laut, air tawar 1 Tidak sesuai

Berikutnya, parameter jenis tanah pada dasarnya mempengaruhi ketersediaan


air tanah. Tanah yang memiliki ciri mudah meloloskan air tanah, maka
dimungkinkan cadangan air tanahnya sangat sedikit. Hal ini akan menjadi tidak
sesuai jika direncanakan sebagai kawasan industry dimana kebutuhan akan air
tanah menjadi salah satu hal yang penting. Klasifikasi pembobotan dari parameter
jenis tanah dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 3. Klasifikasi pembobotan dari parameter jenis tanah
No. Jenis Tanah Harkat/ Bobot Kesesuaian
1. Aluvial, gleisol, planosol, hidromorf 5 Sangat sesuai
kelabu
2. Meditaran coklat, mediteran coklat 4 Cukup sesuai
kemerahan, mediteran coklat tu
3. Grumusol kelabu tua, grumusol kelabu, 3 Kurang sesuai
litosol mediteran
4. Regosol kelabu, litosol coklat, asosiasi 2 Tidak sesuai
litosol

Selanjutnya, kemiringan lereng atau topografi lahan berpengaruh terhadap


aksesbilitas menuju lokasi kawasan industry yang akan direncanakan. Hal ini
dikarenakan semakin terjal topografi suatu wilayah maka akan semakin sulit
aksesibilitas menuju ke lokasi, dan akan memperbesar biaya transportasi barang
dan jasa jika lahan tersebut dimanfaatkan sebagai kawasan industry maupun pusat-
pusat ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, maka klasifikasi pembobotan dari
parameter kemiringan lereng dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

42
Tabel 4. Klasifikasi pembobotan dari parameter kemiringan lereng
No. Kelas Kemiringan Lereng Harkat/ Bobot Kesesuaian
1. 0 – 2% 5 Sangat sesuai
2. >2 – 8% 4 Sesuai
3. >8 – 15% 3 Cukup sesuai
4. >15 – 30% 2 Kurang sesuai
5. >30% 1 Tidak sesuai

Parameter kerawanan banjir pada dasarnya berpengaruh terhadap kerentanan


wilayah terhadap bencana wilayah. Semakin sering wilayah itu tergenang maka
aksesibilitas menuju wilayah tersebut akan semakin sulit. Sehingga kesesuaian
lahan untuk kawasan industri dan pusat-pusat ekonomi perlu memperhatikan
parameter kerawanan banjir ini. Pembobotan parameter ini dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut:
Tabel 5. Klasifikasi pembobotan dari parameter kerawanan banjir
No. Kerawanan Banjir Harkat/ Bobot Kesesuaian
1. Tidak pernah terjadi genangan 5 Sangat sesuai
2. Hampir tidak terjadi genangan 4 Sesuai
dalam 1 tahun, jika terjadi
genangan hanya kurang dari 1
jam
3. > 3 kali terjadi genangan dalam 3 Cukup sesuai
1 tahun, genangan terjadi
selama 3 – 5 jam
4. > 5 kali tergenang dalam satu 2 Kurang sesuai
tahun.
5. Selalu tergenang 1 Tidak sesuai

Parameter jarak terhadap jalan pada dasarnya mempengaruhi aksesibilitas


terhadap lokasi industri yang direncanakan. Semakin dekat dengan jalan maka
aksesibilitas akan semakin mudah, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk
distribusi barang dan jasa ke lokasi industry yang direncanakan akan lebih rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa parameter ini perlu dimasukkan sebagai parameter
penentu kesesuaian lokasi kawasan industry dan pusat-pusat ekonomi. Pembobotan
parameter ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

43
Tabel 6. Klasifikasi pembobotan dari parameter jarak terhadap jalan utama
No. Jarak Terhadap Jalan Utama Harkat/ Bobot Kesesuaian
1. 0 – 500 m 5 Sangat sesuai
2. >500 – 1000 m 4 Sesuai
3. >1000 – 1500 m 3 Cukup sesuai
4. >1500 – 2000 m 2 Kurang sesuai
5. >2000 m 1 Tidak sesuai

Parameter jarak terhadap sungai merupakan parameter yang digunakan untuk


mempertimbangkan limbah yang dihasilkan dari kawasan industry yang
direncanakan. Pembobotan untuk parameter ini dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 7. Klasifikasi pembobotan dari parameter jarak terhadap sungai
No. Jarak Terhadap Sungai Harkat/ Bobot Kesesuaian
1. 0 – 50 m 5 Sangat sesuai
2. >50 – 250 m 4 Sesuai
3. >250 – 500 m 3 Cukup sesuai
4. >500 – 750 m 2 Kurang sesuai
5. >750 m 1 Tidak sesuai

Parameter jarak terhadap listrik pada dasarnya mempengaruhi kemudahan


dalam suatu kawasan untuk mengakses listrik. Kawasan industry dan pusat-pusat
ekonomi membutuhkan listrik yang relatif lebih banyak dibandingkan kawasan
permukiman. Sehingga semakin dekat dengan sumber listri atau jaringan listri,
maka supply listrik ke lokasi akan semakin mudah, dan akan semakin sesuai untuk
lokasi kawasan industry dan pusat-pusat ekonomi. Pembobotan parameter ini dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 8. Klasifikasi pembobotan dari parameter jarak terhadap listrik
No. Jarak Terhadap Jaringan Harkat/ Bobot Kesesuaian
Listrik
1. 0 – 50 m 5 Sangat sesuai
2. >50 – 250 m 4 Sesuai
3. >250 – 500 m 3 Cukup sesuai
4. >500 – 750 m 2 Kurang sesuai
5. >750 m 1 Tidak sesuai

Berdasarkan beberapa aspek di atas, maka pengembangan kawasan untuk


investasi maupun industri harus mendapatkan skoring yang sesuai berdasarkan
potensi kawasannya. Semakin tinggi skoring sebuah kawasan maka kawasan
tersebut sesuai untuk pengembangan investasi maupun industri. Hasil skoring dari

44
masing-masing parameter kemudian dispasialkan dan di klasifikasikan dengan
klasifikasi potensi lahan sebagai berikut:
Tabel 9. klasifikasi potensi lahan untuk Investasi/Industri
No. Kelas Total Skor Identifikasi Potensi Lahan untuk Kawasan Industri
1. S1 >40 Sangat sesuai
2. S2 >30 – 40 Sesuai
3. S3 >20 – 30 Cukup sesuai
4. N1 >10 – 20 Kurang sesuai
5. N2 <10 Tidak sesuai

2.6. Teori dan Konsep Regulasi Investasi


Pada dasarnya tujuan investasi adalah mempercepat laju pembangunan di
negara tersebut. Invetasti dapat dianalisis dengan pendekatan teori sebagai berikut:
a. The Product Cycle Theory dan The Industrial Organization Theory Vertical
Integration. The Product Cycle Theory atau Teori Siklus Produk
dikembangkan oleh Vernon (1966) yang cocok diterapkan pada investasi asing
secara langsung dalam bidang manufacturing yang merupakan usaha ekspansi
awal perusahaan-perusahaan negara-negara maju seperti Amerika dengan
mendirikan pabrik-pabrik untuk membuat barang-barang sejenis di negara
lain. Teori ini menjelaskan bahwa perusahaan multinasional dan persaingan
oligopoli, perkembangan, serta penyebaran teknologi industri merupakan
unsur penentu terjadinya perdagangan dan penempatan lokasi-lokasi aktivitas
ekonomi secara global melalui investasi dan timbulnya strategi perusahaan
yang mengimplementasikan perdagangan dan produksi di luar negeri.
Kemudian, The Industrial Organization Theory Vertical Integration atau Teori
Organisasi Industri Integrasi Vertikal, teori ini memiliki pendekatan bahwa
biaya-biaya untuk bisnis di luar negeni dengan investasi baik direct ataupun
indirect harus mencakup biaya-biaya lain yang dipikul perusahaan lebih
banyak dan pada biaya-biaya yang diperuntukkan hanya untuk rsekadan
mengekspor barang dari pabnik-pabrik dalam negeri. Oleh karena itu,
perusahaan harus memiliki keunggulan kompensasi atau keunggulan spesifik
seperti kealihan teknis manajerial, keadaan perekonomian yang

45
memungkinkan perolehan sewa secara monopoli untuk openasi perusahaannya
di negara-negara lain.
b. Teori Alan M. Rugman yang mengasumsikan bahwa penanaman modal asing
dipengaruhi oleh variabel lingkungan dan vaniabel internalisasi. Tiga jenis
variabel lingkungan yang menjadi perhatian yaitu: ekonomi, non ekonomi, dan
pemerintah. Variabel ekonomi biasanya berupa tenaga kerja dan modal,
teknologi dan tersedianya sumber daya alam dan keterampilan manajemen.
Menyusun sistem fungsi produksi keseluruhan suatu bangsa yang
didefinisikan meliputi semua masukan faktor yang terdapat dalam masyarakat.
Variabel non ekonomi meliputi variabel politik, sosial dan budaya masyarakat
setiap negara mempunyai kekhasan masing-masing. Bahwa kenyataannya
setiap negara sesungguhnya mempunyai faktor spesifik negara yang khas.
Faktor ketiga adalah variabel pemerintah yang harus diperhatikan oleh
perusahaan penanaman modal asing di mana modal asing akan masuk. Setiap
negara mempunyai kekhususan merek politiknya sendiri. Para politisi
mencerminkan faktor spesifik lokasi bangsa. Selalu tendapat keragaman dalam
campur tangan pemenintah dalam bisnis internasional (investasi).
c. Teori John Dunning menetapkan tiga pensyaratan yang diperlukan bila suatu
penusahaan akan berkecimpung dalam penanaman modal asing yaitu:
pertama, keunggulan spesifik perusahaan; kedua, keunggulan internalisasi;
ketiga, keunggulan spesifik negara.
d. Teori David K. Eitemen menyatakan tiga motif yang memengaruhi arus
penanaman modal asing ke negara penerima modal yaitu: motif strategis, motif
penilaku, dan motif ekonomi. Motif strategis dibedakan dalam hal:
1. Mencari pasar,
2. Mencari bahan baku,
3. Mencari efisiensi produksi,
4. Mencari pengetahuan, dan
5. Mencari keamanan politik.

46
Motif perilaku merupakan rangsangan lingkungan eksternal dan yang lain dan
organisasi didasarkan pada kebutuhan dan komitmen individu atau kelompok.
Motif ekonomi merupakan motif untuk mencari keuntungan dengan
memaksimalkan keuntungan jangka panjang dan harga pasar saham perusahaan.
a. Teori Robock & Simmonds, melalui pendekatan global, pendekatan pasar yang
tidak sempurna, pendekatan internalisasi, model siklus produk, produksi
internasional, model imperialisasi Marxis. Melalui pendekatan global,
kekuatan internal yang memengaruhi penanaman modal asing yaitu
pengembangan teknologi atau produk baru, ketergantungan pada sumber bahan
baku, memanfaatkan mesin-mesin yag sudah usang, mencari pasar yang lebih
besar. Kekuatan eksternal yang memengaruhi penanaman modal asing yaitu
pelanggan, pemerintah, ekspansi ke luar negeri dari pesaing dan pembentukan
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
b. Teori Kindleberger mengasumsikan bahwa aspek yang paling sensitif dalam
perekonomian internasional adalah aspek investasi langsung atau direct
investment. Amerika Serikat dan Inggris berusaha membatasi inves tasi
langsung oleh perusahaan-perusahaan yang berdomisili di dalam batas-batas
kedua negara ini untuk membatasi tekanan pada neraca pembayaran mereka.
Teori investasi langsung atau direct investment mempunyai banyak implikasi,
yaitu Investasi langsung tidak akan terjadi dalam industri di mana ada
persaingan murni. Perusahaan penanam modal tidak berkepentingan untuk
mengadakan usaha bersama atau joint venture dengan pengusaha setempat
karena akan berusaha memiliki sendiri seluruh keuntungan; dan pada saat
bersamaan para penanam modal setempat tentu tidak mau membeli saham-
saham dan perusahaan induk serta penghasilan keseluruhan penanam modal
menjadi kabur atau samarsamar dibandingkan dengan keadaan setempat yang
dapat membawa banyak keuntungan sebagaimana mereka lihat.
c. Neo-Classical Economic Theory yang menjelaskan bahwa Foreign Direct
Investment (FDI) memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi
host country. Fakta menunjukkan modal asing yang dibawa ke host country
mendorong modal domestik menggunakan hal tersebut untuk berbagai usaha.

47
d. Dependency Theory berpendapat bahwa foreign investment menindas
pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan ketidakseimbangan pendapatan di
host country. Teori ini berpendapat Foreign Direct Investment tampaknya
sebagai ancaman terhadap kedaulatan host country dan terhadap kebebasan
pembangunan kehidupan sosial dan budaya karena investasi asing cenderung
memperluas yurisdiksi menggunakan pengaruh kekuatan pemerintah asing
terhadap host country sehingga pengaruh politik investasi asing terhadap host
country cukup besat
e. The Middle Path Theory mengasumsikan bahwa negara berkembang
mengembangkan regulasi antara lain dengan tujuan untuk mengatur penapisan
dalam perizinan dan pemberian insentif melalui kebijakan investasi. Menurut
teori ini investasi asing memiliki aspek positif dan aspek negatif terhadap host
country, karena itu host country harus hati-hati dan bijaksana. Kehati-hatian
dan kebijaksanaan dapat dilakukan dengan mengembangkan kebijakan
regulasi yang adil.
f. Government Intervention Theory berpendapat bahwa perlindungan terhadap
invant industries di negara-negara berkembang dan kompetensi dengan
industri di negara-negara maju merupakan hal yang esensial bagi
pembangunan nasional. Teori ini memandang peran penting negara yang
otonom yang mengarahkan langkah kebijakan ekonomi termasuk investasi,
peran negara dipercaya akan bisa mengintervensi pasar untuk mengoreksi
ketimpangan pasar dan memberikan perlindungan kepada invant industries,
kepentingan masyarakat, pengusaha domestik dan perlindungan lingkungan.
Peran negara juga dapat memberi perlindungan bagi kepentingan para investor
termasuk investor asing.
Teori-teori ini menggambarkan adanya varian pemikiran dalam memahami
kebijakan investasi yang dapat dipilih yang menjadi dasar pertimbangan kebijakan
hukum investasi dan sisi kepentingan dan kedaulatan host country. Apabila melihat
kondisi Indonesia saat ini, investasi asing sangat dibutuhkan karena dapat
membantu meningkatkan pendapatan negara, meningkatkan perekonomian
masyarakat, serta pendapatan asli daerah; dengan demikian teori klasik dapat

48
diterapkan dalam rangka mendatangkan investor asing ke Indonesia. Peranan
pemerintah dalam menciptakan iklim investasi diperlukan untuk mengatasi
kegagalan pasar atau kegagalan laissez faire mencapai efisien. Pemerintah dapat
melakukan intervensi melalui hukum dan peraturan. Pemerintah mengatur dunia
usaha dan transaksi untuk meminimalkan asymetries information dan mencegah
monopoli.

49

Anda mungkin juga menyukai