PENDAHULUAN
Perkembangan epidemik HIV-AIDS di dunia telah menjadi masalah global termasuk di
Indonesia. Laporan baru terus meningkat setiap tahunnya, namun sulit untuk mengetahui jumlah
infeksi HIV yang sebenarnya ada. Untuk memahami epidemic yang terjadi di Indonesia, maka
perlu dilakukan perhitungan estimasi jumlah populasi kunci terdampak HIV AIDS. Estimasi
jumlah populasi kunci dan orang dengan HIV (ODHA) telah dilakukan merupakan kunci untuk
memahami potensi epidemic dalam suatu area, memperikarakan dari suatu penyakit, dan
menyusun prioritas yang sesuai dalam merespon epidemik HIV/AIDS. 1-2
Dalam waktu tiap 25 menit di Indonesia, terdapat satu orang baru terinfeksi HIV. Satu
dari setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25 tahun. Proyeksi Kementerian Kesehatan
Indonesia menunjukkan bahwa tanpa percepatan program penanggulangan HIV, lebih dari
setengah juta orang di Indonesia akan positif HIV pada tahun 2014. Epidemi tersebut dipicu
terutama oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntik. Tanah Papua (Provinsi Papua
dan Papua Barat), Jakarta dan Bali menduduki tempat teratas untuk tingkat kasus HIV baru per
100.000 orang (Gambar 1). Jakarta memiliki jumlah kasus baru tertinggi (4.012 pada tahun
2011)1. (unicef)
2. EPIDEMIOLOGI2
1. Statistik HIV global
18.2 juta (16.1-19.0 juta) penduduk global menerima terapi antiretroviral (juni
2016)
36.7 juta (34.0-39.8 juta) penduduk global menderita HIV (akhir 2015)
2.1 juta (1.8 -2.4 juta) merupakan penduduk dengan infeksi baru (akhir 2015)
1.1 juta (940.000-1.3juta) oenduduk meninggal terkair dengan AIDS (tahun 2015)
78 juta (69.5 juta – 87.6 juta) pednduduk telah terinfeksi oleh HIV sejak wabah
pertama kali (akhir 2015)
35 juta (29.6-40.8) penduduk telah meninggal oleh penyakit terkait AIDS sejak
wabah pertama kali (akhir 2015) (unaids)
Tabel. 2 Data Global HIV
Table 3. data Regional HIV aids 2015
2. Statistik di Indonesia
Sejak tahun 2008, Indonesia mulai menggunakan perangkat lunak Asian Epidemic
Model (AEM) sebagai alat bantu untuk memproyeksikan dampak epidemi HIV dengan
menentukan faktor yang paling mempengaruhi terjadinya infeksi HIV. Selain AEM,
perangkat lunak Spectrum juga digunakan. Di dalam perangkat lunak Spectrum
terdapat modul untuk membuat estimasi dan proyeksi demografi dan epidemi HIV dan
AIDS.
Tabel 4 data estimasi ODHA menurut populasi kunci dari tahun 2012-2016
Tabel 5. Data estimasi dan proyeksi kasus baru menurut populasi kunci
Di Indonesia sendiri, Menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI, pada tahun 2014 Jumlah HIV &
AIDS yang dilaporkan adalah 7,335 kasus, sehingga secara kumulatif HIV & AIDS dari tahun
1987 s.d. September 2014, adalah 150,296 kasus.4
Selanjutnya, menurut, Ditjen PP & PL Kemenkes RI, jumlah HIV & AIDS yang dilaporkan 1
Januari sampai 31 Maret 2016 yaitu HIV sebanyak 32,711 kasus dan AIDS sebanyak 7,864,
sehingga secara kumulatif HIV & AIDS dari tahun 1987 s.d. Maret 2016 adalah 191,073 kasus
dengan jumlah kasus AIDS sebanyak 77,940. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 2014
sampai Maret 2016 terus bertambah.5
3. PATOFISIOLOGI
HIV menyerang sel-sel dengan reseptor CD4+, terutama limfosit T dan
monosit/makrofag, namun juga menginfeksi sel lainya, seperti megakariosit, epidermal
langerhans, dendrit perifer, dendrit folikuler, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikroglia, astrosit, sel trofoblas, limfosit CD8+, sel retina dan epitel ginjal.2
HIV memiliki struktur gp 120 yang akan berikatan dengan reseptor CD4+. Ikatan tersebut
diperkuat oleh ikatan dengan koreseptor sel inang, yaitu reseptor kemokin CCR5 dan reseptor
CXCR4. Ikatan dengan koreseptor dibutuhkan untuk penggabungan virus dengan membran sel
agar virus dapat masuk ke dalam sel inang. Setelah berikatan dengan kuat, terjadilah fusi
membran virus dan seluruh komponen HIV akan masuk kedalam sitoplasma sel inang kecuali
selubungnya.2
Di dalam sel inang, ssRNA virus akan mengalami proses transkripsi dengan perantara enzim
reverse transcriptase hingga terbentuk seuntai cDNA. Setelah itu, DNA yang terbentuk akan
pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel inang dan menyisip ke dalam DNA sel inang dengan
bantuan enzim integrase, yang disebut juga provirus. Provirus tinggal dalam keadaan laten atau
dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi sel inang
yang terinfeksi. Sampai suatu saat, terjadilah suatu stimulasi yang dapat memicu terjadinya
replikasi virus dengan kecepatan tinggi, seperti pengaruh beberapa sitokin proinflamatorik (IL-1,
IL-3, IL-6, TNF-α dan β, TGF-β, IFN-α dan β, IFN-α, β-macrophage colony stimulating factor.2
Provirus yang terintegrasi dalam DNA sel target akan ikut proses transkripsi sel inang. Hasil
transkripsi tersebut memiliki dua peran, yaitu sebagai RNA genom yang nantinya tergabung
dalam virion, dan sebagai mRNA yang menyandi protein-protein virus. RNA genom dan protein-
protein virus tersebut akan menjadi virus HIV yang baru.
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan replikasi
virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak
sel limfosit CD4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala
klinis pada AIDS berkisar antara 5-10 tahun.2
Gambar tersebut adalah siklus dari virus HIV6. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi
akut yang tidak spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan,
limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan priode laten yang
asimptomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD4+ selama
bertahun-tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi
oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi
hipersensitivitas, dan potensi keganasan.2
4. GEJALA KLINIS
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan7.
Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu 1) infeksi akut, 2) infeksi
kronik (asimtomatik dan simtomatik), dan 3) AIDS. Sekitar 60-70% infeksi HIV akan mencapai
stadium AIDS dalam waktu rata-rata 10-11 tahun (typical progressor), 10-20% sangat progresif
dan berkembang menjadi AIDS dalam waktu kurang dari 5 tahun (rapid progressor). Sebagian
kecil lainnya antara 5-15% infeksi HIV berjalan sangat lambat, masih belum mencapai AIDS
dalam waktu lebih dari 15 tahun (slow progressor) dan sekitar 1% infeksi dikenal sebagai bagian
dari slow progressor yang disebut Long-term Non Progressor (LTNP). Progresi penyakit
ditentukan oleh tiga hal, yakni aktivitas virus (viral load), jumlah CD4 penderita, dan respon
host terhadap virus7.
b) Western Blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapidtes sebagai
hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi
yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid
tes).Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid
tes dinyatakan sebagai hasil positif palsudan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1.
Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu
dengan usia lebih dari 18 bulan.8
c) Penurunan Sistem Imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit, sebagianbesar sel
target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapatdipakai
sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurunsecara
bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktuke waktu
rata-rata 100 sel/tahun.8
6. PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total.Namun dengan obat anti HIV
(antiretroviral) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.
Pengobatan orang dengan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu:
a. Menekan replikasi virus dengan obat antiretroviral (ARV)
b. Pengobatan untuk berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS
c. Pengobatan suportif yaitu makanan yang memiliki nilai gizi baik dan dukungan
psikososial dan agama.8,9
TERAPI ANTIRETROVIRAL
Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan
sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy).Obat-obat ini biasanya
adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor reverse
transcriptase dan protease. 8,9
Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang
merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu
dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir.Sampai saat ini Food
and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obat-
obatan. 8,9
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena
pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten
terhadap obat tersebut. 8,9
Inisiasi ARV pada pasien remaja dan dewasa menurut WHO 2014:9
i. Seluruh individu dengan infeksi HIV derajat berat (severe) atau tahap lanjut (stadium
klinis 3-4)
ii. Seluruh individu terinfeksi HIV dengan hitung CD4+ ≤ 350 sel/mm3
iii.Seluruh individu dengan hitung CD4+ >350 sel/mm 3 dan ≤ 500 sel/mm 3 tanpa melihat
stadium klinis WHO
iv. Tanpa melihat stadium WHO:
Pasien HIV dengan penyakit TB aktif
Pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis B dengan penyakit hati kronis
Perempuan HIV yang sedang hamil atau menyusui
Pada pasien yang memiliki pasangan serodiscordant (berbeda dengan status HIV, satu
orang positif dan pasangan negative) dapat dipertimbangkan untuk pemberian ARV
untuk mengurangi transmisi pada pasangan yang belum terinfeksi.
Obat ARV dibagi menjadi 5 golongan :
Golongan Obat Efek Obat Nama Obat
Nucleoside reverse Menghambat perubahan genetic Lamivudine (3TC)
transcriptase inhibitor HIV dari bentuk RNA menjadi Abacavir (ABC)
(NRTI) bentuk DNA Zidovudine (AZT/ZDV)
Stavudine (D4T)
Didanosine (DDI)
Emtricabine (FTC)
Tenofovir (TDF)
Non-nucleoside reverse Menghambat perubahan genetic Delaviridine (DLV)
transcriptase inhibitor HIV dari bentuk RNA menjadi Evavirens (EFV)
(NNRTI) DNA dengan langkah lain Etravirine (ETV)
Nevirapine (NVP)
Rilpivirine (RPV)
Protease inhibitor (PI) Menghambat pematangan virus Atazanavir (ATV)
Darunavir (DRV)
Fosamprenavir (FPV)
Indinavir (IDV)
Opinavir (LPV)
Nelfinavir (NFV)
Ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Tipranavir (TPV)
Entry inhibitor Mencegah pengikatan HIV pada Enfuvirtide (T-20)
sel Maraviroc (MVC)
Integrase inhibitor Mencegah pemaduan kode gentik Raltegravir (RGV)
HIV dengan kode genetic pada sel Elvitegravir (EGV)
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus untuk kriteria
diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut. 9,10
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan inisiasi terapi
ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan
(Expected clinical course of a previously recognized and successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat memulai terapi
ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV, banyak dan beratnya infeksi
oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah
mendapat ARV saat diagnosis infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai
terapi infeksi oportunistik dan memulai terapi ARV. 9,10
Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan jumlah antigen dan
meneruskan terapi ARV.Terapi antiinflamasi seperti obat antiiflamasi non steroid dan steroid
dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1
mg/kg/hari prednisolon9,10
Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan penyebab lain
timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS. 9,10
Penatalaksanaan kepatuhan
Pemeriksaan ulang VL
8. KOMPLIKASI
INFEKSI OPORTUNISTIK (IO)
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme
patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum
IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan IO
pada defisiensi imun lainnya.Namun ada gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah
tertentu.Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit
mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian.Pengobatan dengan antiretroviral (ARV)
dapat menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu
panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering
menyebabkan IO terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau
organisme tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara
laten lalu mengalami reaktivasi.8,10
Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4+, kotrimoksasol diberikan pada semua
pasien segera setelah dinyatakan HIV positif. Dosis 1x960 mg/hari dosis tunggal.
Terapi kotrimoksasol dihentikan setelah 2 tahun penggunaan bila mendapat ARV.9
Bila tersedia pemeriksaan hitung CD4+, kotrimoksasol diberikan pada semua pasien
HIV dengan CD4+ <200 sel/mm3. Dosis 1x960 mg/hari dosis tunggal. Terapi
kotrimoksasol dihentikan bila sel CD4+ meningkat >200 sel/mm3 pada pemeriksaan
dua kali interval 6 bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV.9
Apabila pada ODHA dengan IO, obat IO diberikan terlebih dahulu selama 2 minggu
kemudian terapi ARV dapat dimulai.10
VIII. PROGNOSIS
HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total.Namun dengan obat
anti HIV (antiretroviral) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi
HIV.
1. Jumlah CD4. Hal ini memberikan panduan kasar untuk ketahanan sistem kekebalan tubuh
2. Viral load. Jumlah virus HIV dalam darah
3. Usia
4. Stadium klinis HIV sebelum pengobatan HIV dimulai
5. Infeksi virus hepatitis B atau virus hepatitis C
6. Penggunaan narkoba suntikan
7. Kondisi kesehatan lainnya, yang tidak terkait dengan HIV, memiliki peran penting, terutama
karena usia orang. Ini termasuk kondisi seperti penyakit jantung, kanker dan penyakit hati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Beadle, S. and Temongmere, G.A. (2012): A Brief Review of Youth Policy
& Programs in Papua & West Papua, Indonesia.Indonesia, Jayapura:
UNICEF
2. (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS(UNAIDS) 2016)
3. Djoerban Z, Djauzi S. 2014. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. 6th ed. Jakarta:
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam FKUI.
4. Picker LJ. Immunopathogenesis of Acute AIDS virus Infection. Curr Opin Immunol
2006;18:399-405. [PubMed:16753288]
5. Global Health Observatory data for HIV/AIDS, WHO
6. NAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.
Geneva. 2010.
7. Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2016. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d
Maret 2016.
8. Fauci, et al. 2012. Harrison’s Principal of Internal Medicine, 18th edition. The McGraw-
Hill Companies, Inc.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar
IlmuPenyakitDalam. 6th ed. Jakarta: PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam
FKUI.
10. Samsuridjal D. Gejala-gejala infeksi HIV/AIDS. Dalam kumpulan Artikel dan Makalah
untuk Pelatihan Penatalaksanaan HIV/AIDS di RS provinsi sumatera Utara. Medan:
2002.
11. Marcelena R, dan Rengganis I. Infeksi HIV/AIDS. Dalam: Tanto C, dkk. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. 2014
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Bakti Husada. 2011.