Oleh
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Ternak
berjudul “Karakteristik Kualitas Daging Yang Perlu di Perhatikan Dalam Industri
Daging Olahan”.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan dipotong
agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu (1) ternak harus dalam keadaan
sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit, (2) ternak harus cukup istirahat, tidak
diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan glikogen otot
maksimal, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan
sesempurna mungkin, (4) cara pemotongan harus higienis.
BAB II
PEMBAHASAN
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode
pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan
tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak
intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot
daging dan lokasi pada suatu otot daging. Faktor kualitas daging yang dimakan
terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau
dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak
intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang
selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut
menentukan kualitas daging.
Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor
sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon,
antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres.
a. Genetic/Keturunan
b. Spesies
c. Bangsa
Jadi dilihat dari bangsa ternak itu sendiri sangat penting dalam mennentukan
kualitas daging.
Tipe ternak menentukan keempukan daging itu sendiri, seperti tipe ternak
potong dan tipe ternak perah. Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe
ternak perah. Karena tipe ternak potong itu sendiri dipelihara untuk menghasilkan
daging, dan sebaliknya.
e. Umur
Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga
daging yang dihasilkan semakin liat, jika ditekan dengan jari, daging yang sehat
akan memiliki konsistensi kenyal (padat) (Tambunan, 2010).
Umumnya daging yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan
dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan
bahwa umur potong sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang
dihasilkannya, artinya makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan
lebih liat. Daging yang berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat
dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Namun pada
kenyataannya, kuat lemahnya bau daging pada sapi tidak dipermasalahkan
inkonsumen, la halnya dengan daging domba dan daging kambing, karena kedua
ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan lebih kuat dibandingkan dengan
sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba atau kambing lebih menyukai
daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi tua yang gemuk akan
menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya akan lebih gurih dan
banyak disukai konsumen. Selain itu daging yang berlemak kandungan airnya
lebih sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya tidak terlalu besar.
Umur ternak saat dipotong berpengaruh terhadap keempukan daging. Sapi yang
dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya memiliki daging yang empuk. Sapi
betina yang digunakan sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk saat
umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya umur
ternak.
Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap,
bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi
(Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah
mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik,
kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).Menurut Taylor (1984), pigmen yang
memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi
dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna merah
cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+)
pada struktur molekul mioglobin.Perbedaan warna daging disebabkan oleh adanya
H2O2 dan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Senyawa H2O2
menyebabkan oksidasi oksimioglobin menjadi metmioglobin yang berwarna
coklat (Varnam & Sutherland,1995). Kandungan H2O2 yang dihasilkan oleh
bakteri yang memfermentasi secara alamiah kemungkinan lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah H2O2 yang dihasilkan olehL . plantarum selama
memfermentasi daging. Hal ini menyebabkan warna daging terfermentasi alamiah
lebih gelap dibandingkan dengan daging difermentasi L. plantarum.
Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang
lama sebelum penyembelihan shg pH tetap tinggi stlh penyembelihan. Produksi
asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali,
sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat rendah sesaat setelah
pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh
proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat pemecahan
ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA
protein (Bendall, 1960). Demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat
penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan penurunan DIA sebagai
akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan
air keruang ekstraselular.
Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi
perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak
mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.
Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan
dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor
dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor,
daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses
tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Daging biasanya dilayukan dalam
bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas
permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari
glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan
terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging
menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan,
(4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta
cita rasa khas.
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut
daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan disembelih
(mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi
asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani
dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai
pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0
sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH
akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah
yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak
akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai
pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif
berkerja. (Lukman, 2010)
d. Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk Daging)
Enzim dari tanaman, seperti papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas),
dan fisin (getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, dapat
digunakan untuk mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini adalah kadang-
kadang hanya bereaksi pada permukaan daging, selain berpengaruh negatif
terhadap sifat daging. Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai
pengempuk daging. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik,
dan kualitas enzim bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas
enzim dipengaruhi oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas
proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.
2) Pembekuan
Gill, C.O. 1982. Microbial interaction with meats. In: M.H. Brown (Ed). Meat
Microbiology. Applied Science Publisher, London and New York.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.