Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL TERNAK

“Karakteristik Kualitas Daging Yang Perlu di Perhatikan Dalam Industri


Daging Olahan”

Oleh

DEWI MUSTIQA UMSTITIAN


L1A118044

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Ternak
berjudul “Karakteristik Kualitas Daging Yang Perlu di Perhatikan Dalam Industri
Daging Olahan”.

Makalah ini membahas tentang karakteristik kualitas daging yang perlu di


perhatikan dalam industri daging olahan. Dalam menyelesaikan makalah ini telah
dilakukan untuk mencapai hasil yang maksimum, tetapi dengan keterbatasan
wawasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap tulisan
ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis pribadi dan mahasiswa
pada umumnya.

Semoga pembahasan yang dikemukakan dapat menjelaskan setiap materi


dengan baik, sehingga dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca. Oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun dibutuhkan untuk memperbaiki dan
meningkatkan tulisan selanjutnya.

Penulis, 5 Maret 2020


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi


kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.   Keunggulan lain,
protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan
pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.

Karakteristik kualitas daging merupakan karakteristik yang dinilai oleh


konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian sensorik
atau organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada umumnya, dinilai oleh
konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-organ panca indera. Sehingga
karakteristik kualitas pada daging menyangkut warna, keempukan, citarasa
(flavour), dan kebasahan (juiciness). Secara organoleptik (sensorik), warna dinilai
oleh organ penglihatan, keempukan dinilai melalui perabaan dan pencicipan (gigi,
tangan, dan lidah), citarasa dinilai melalui pencicipan dan penciuman (lidah dan
hidung), dan kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah). Karakteristik kualitas ini
sering pula disebut sebagai eating quality (kualitas makan). Penilaian karakteristik
kualitas ini yang pada awalnya dinilai oleh konsumen secara organoleptik,
berkembang menjadi penilaian dengan menggunakan peralatan untuk menghindari
subyektifitas. Namun demikian para pakar dibidang organoleptik menyatakan
bahwa justru penilaian dengan menggunakan alatlah yang lebih subyektif karena
alat merupakan imitasi dari organ-organ panca indera yang digunakan lebih awal
dalam penilaian tersebut. Alat yang dipergunakan untuk menilai keempukan
daging diciptakan melalui imitasi dari kemampuan gigi geligi (geraham) dalam
melakukan gigitan pertama dan selama pengunyahan pada daging. Pendekatan
statistik melalui penggunaan sejumlah panelis terlatih dan pengulangan berulang
kali dalam penilaian kualitas secara sensorik/organoleptik dimaksudkan adalah
untuk lebih mengobjektifkan hasil penilaian tersebut.
Penentuan harga pada saat jual beli ternak siap potong,
umumnyadidasarkan pada taksiran pada saat ternak masih hidup, meskipun
dibeberapa tempat terutama ternak besar, penentuan harga ditentukan olehberat
karkas yang dihasilkan oleh ternak yang bersangkutan. Bila hargaternak hidup
ditentukan berdasarkan penaksiran, maka pembeli harus sudahbisa
memperkirakan berapa banyak karkas yang akan didapat, berapa nilaidari hasil
ikutan seperti kulit, jeroan dan sisa karkas lainnya.Penampilan ternak saat hidup
mencerminkan produksi dan kualitaskarkasnya. Ketepatan penaksir dalam
menaksir nilai ternak tergantung padapengetahuan penaksir dan kemampuan
menterjemahkan keadaan dariternak itu Pada dasarnya, kualitas karkas adalah
nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran.
Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang
dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan dipotong
agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu (1) ternak harus dalam keadaan
sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit, (2) ternak harus cukup istirahat, tidak
diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan glikogen otot
maksimal, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan
sesempurna mungkin, (4) cara pemotongan harus higienis.
BAB II
PEMBAHASAN

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode
pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan
tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak
intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot
daging dan lokasi pada suatu otot daging.  Faktor kualitas daging yang dimakan
terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau
dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak
intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang
selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut
menentukan kualitas daging.

2.1 Faktor Sebelum pemotongan

Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor
sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon,
antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres.

a.       Genetic/Keturunan

Nilai heritabilitas keempukan daging sapi sekitar 45%, artinya


45% keempukan daging sapi saat dimasak ditentukan oleh faktor
genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan menentukan
keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.

b.      Spesies

Dari taksonomi ternak yang paling diperhatikan yaitu spesiesnya, karena


spesies menentukan apakah ternak tersebut banyak dipelihara di Indonesia,
mampu memproduksi daging atau susu, serta mempunyai produksi daya adaptasi
yang tinggi, dan sebagainya.  Spesies menentukan tingkat perdagingan suatu
ternak.

c.       Bangsa

Bangsa ternak termasuk kedalam factor genetic atau factor keturunan. 


Bangsa suatu ternak juga menentukan kualitas suatu daging ternak itu sendiri. 
Misalnya ternak sapi-sapi introduksi, seperti: 1) sapi limousine, persentase daging
dalam karkas cukup tinggi, 2) sapi angus, mempunyai kemampuan dalam
menurunkan marbling (perlemakan dalam daging) ke anak-anaknya. 3) sapi
Hereford, perdagingannya tebal. Dan sebagainya.

Jadi dilihat dari bangsa ternak itu sendiri sangat penting dalam mennentukan
kualitas daging.      

d.      Tipe ternak

Tipe ternak menentukan keempukan daging itu sendiri, seperti tipe ternak
potong  dan tipe ternak perah.  Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe
ternak perah.  Karena tipe ternak potong itu sendiri dipelihara untuk menghasilkan
daging, dan sebaliknya.

e.       Umur

Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga
daging yang dihasilkan semakin liat, jika ditekan dengan jari, daging yang sehat
akan memiliki konsistensi kenyal (padat) (Tambunan, 2010).

Umumnya daging yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan
dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan
bahwa umur potong sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang
dihasilkannya, artinya makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan
lebih liat. Daging yang berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat
dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Namun pada
kenyataannya, kuat lemahnya bau daging pada sapi tidak dipermasalahkan
inkonsumen, la halnya dengan daging domba dan daging kambing, karena kedua
ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan lebih kuat dibandingkan dengan
sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba atau kambing lebih menyukai
daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi tua yang gemuk akan
menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya akan lebih gurih dan
banyak disukai konsumen. Selain itu daging yang berlemak kandungan airnya
lebih sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya tidak terlalu besar.

Umur ternak saat dipotong berpengaruh terhadap keempukan daging. Sapi yang
dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya memiliki daging yang empuk. Sapi
betina yang digunakan sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk saat
umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya umur
ternak.

f.       Pakan dan Bahan Aditif (Hormone, Antibiotic, dan Mineral)

Ternak yang digemukkan dengan pakan biji-bijian cenderung mencapai bobot


potong lebih cepat dibanding ternak yang mendapat pakan dari padang
penggembalaan. Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-
bijian biasanya lebih empuk karena ternak dipotong pada umur lebih muda.

g.      Keadaan Stress

·         DFD (Dark Firm Dry)

Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap,
bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi
(Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah
mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik,
kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).Menurut Taylor (1984), pigmen yang
memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi
dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna merah
cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+)
pada struktur molekul mioglobin.Perbedaan warna daging disebabkan oleh adanya
H2O2 dan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Senyawa H2O2
menyebabkan oksidasi oksimioglobin menjadi metmioglobin yang berwarna
coklat (Varnam & Sutherland,1995). Kandungan H2O2 yang dihasilkan oleh
bakteri yang memfermentasi secara alamiah kemungkinan lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah H2O2 yang dihasilkan olehL . plantarum selama
memfermentasi daging. Hal ini menyebabkan warna daging terfermentasi alamiah
lebih gelap dibandingkan dengan daging difermentasi L. plantarum.

·         PSE (Pale Soft Exudatife)

Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang
lama sebelum penyembelihan shg pH tetap tinggi stlh penyembelihan. Produksi
asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali,
sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat rendah sesaat setelah
pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh
proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat pemecahan
ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA
protein (Bendall, 1960). Demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat
penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan penurunan DIA sebagai
akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan
air keruang ekstraselular.

2.2 Faktor Setelah Pemotongan

Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode


pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan
(termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode
penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot.

a.       Metode Pelayuan

Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan


cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas
titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah
daging yang telah mengalami proses pelayuan.  Selama pelayuan, terjadi aktivitas
enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih
dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat.

Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi
perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak
mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.

Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan
dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor
dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor,
daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses
tersebut dinamakan proses aging (pelayuan).  Daging biasanya dilayukan dalam
bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas
permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.

Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari
glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan
terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging
menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan,
(4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta
cita rasa khas.

b.      Metode Pemasakan

Daging dengan jaringan ikat sedikit seperti has, dianjurkan dimasak


dengan pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging dengan
jaringan ikat banyak seperti sengkel, dianjurkan dimasak secara lama dan lambat
dengan suhu rendah dan menggunakan sedikit air.  Suhu pemasakan memengaruhi
keempukan daging. Jika daging tanpa lemak dipanaskan, protein kontraktil
mengeras dan cairan hilang sehingga menurunkan keempukan daging.  Potongan
daging yang empuk bila dimasak pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk
dibanding pemasakan pada suhu sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang,
daging lebih empuk dibanding pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh karena itu,
suhu pemasakan perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin
besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak
merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus
daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan
daging (Soeparno, 1992).

c.       Tingkat Keasaman (pH) Daging

Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging,


khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH).  Setelah pemotongan hewan (hewan
telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam
jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke
jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung.  Salah satu proses yang
terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian
(36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis
anaerob atau glikolisis postmortem.  Dalam glikolisis anaerob ini, selain
dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat.  Asam laktat tersebut
akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH
jaringan otot.

Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut
daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral).  Setelah hewan disembelih
(mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi
asam laktat.  Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani
dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai
pH sekitar  7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0
sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH
akhir sekitar 5,5-5,6.  Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah
yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian).   Nilai pH daging tidak
akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3.  Hal ini disebabkan karena pada nilai
pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif
berkerja. (Lukman, 2010)
d.      Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk Daging)

Enzim dari tanaman, seperti papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas),
dan fisin (getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, dapat
digunakan untuk mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini adalah kadang-
kadang hanya bereaksi pada permukaan daging, selain berpengaruh negatif
terhadap sifat daging. Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai
pengempuk daging. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik,
dan kualitas enzim bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas
enzim dipengaruhi oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas
proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.

Enzim bromelin dari nenas juga banyak digunakan untuk mengempukkan


daging. Enzim bromelin dapat menguraikan serat-serat daging sehingga menjadi
lebih empuk. Buah nenas yang belum matang mengandung bromelin lebih sedikit
dibandingkan buah nenas matang yang masih segar. Kandungan bromelin paling
banyak terdapat dalam bagian kulit.

Marinasi adalah cara meningkatkan keempukan daging dengan


menambahkan bahan perasa, seperti garam atau kecap, asam (cuka, jeruk lemon),
dan enzim (papain, bromelin, fisin atau jahe). Penambahan beberapa sendok
makanminyak zaitun akan melindungi permukaan daging dari udara dan daging
akan tetap segar dan warnanya lebih cerah dalam waktu lebih lama. Dengan
marinasi terjadi pelunakan kolagen oleh garam, meningkatnya pertahanan air,
hidrolisis serta pemecahan ikatan silang jaringan ikat oleh asam.

e.       Lemak Intramuscular (Marbling)

Berdasarkan marbling, karkas sapi dibedakan menjadi: 1) prime, bila


marbling-nya berlebih, 2) choice, bila marbling-nya sedang, 3) seledt, bila
marbling-nya sedikit, 4) standart, bila marbling-nya sangat sedikit.
Marbling adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot
(intramuscular).  Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan
keutuhan daging pada waktu dipanaskan.  Marbling berpengaruh terhadap citarasa
daging. Selama proses penggemukan, peningkatan lemak karkas akan
mempengaruhi komposisi karkas dan hasil daging (Priyanto et al., 1999).

f.       Metode Penyimpanan dan Pengawetan

Ada beberapa yang dilakukan dalam menentukan kualitas daging dengan


metode penyimpanan dan pengawetan, antara lain sebagai berikut:

1)      Laju Pendingin

Karkas sebaiknya cepat didinginkan setelah pemotongan untuk mencegah


penurunan kualitas. Jika karkas didinginkan sebentar, hasilnya adalah pendinginan
singkat dan menyebabkan daging keras/alot. Pendinginan singkat terjadi pada saat
otot didinginkan kurang dari 60°F sebelum rigor mortis selesai. Jika karkas
dibekukan sebelum rigor mortis selesai, hasilnya adalah rigor cair (thaw rigor) dan
daging menjadi keras/alot. Pada kondisi pendinginan normal, karkas yang
terlindungi lemak sekitar rib eye kurang dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan
keempukan karena pendinginan singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan
singkat atau rigor cair dapat memengaruhi keempukan.  Agar daging lebih empuk,
harus dihindari pendinginan singkat, 6-12 jam pertama setelah ternak dipotong
(mati).

2)      Pembekuan

Pembekuan kurang memengaruhi keempukan daging. Bila daging


dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila
daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar. Terbentuknya
kristal es besar dapat mengganggu serat otot daging sehingga sangat sedikit
meningkatkan keempukan.  Kristal es yang besar dapat menurunkan cairan daging
selamat hawing (pencairan). Daging yang kurang berair akan kurang empuk jika
dimasak.
3)         Thawing

Daging beku yang sudah mengalami pencairan secara lambat dalam


refrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi beku.
Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan daging yang
hilang.  Pencairan menggunakan microwave hendaknya dilakukan dengan daya
yang rendah.

Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan,


beberapa produk olahan tersebut memiliki nilai gizi lebih baik dibandingkan
dengan daging segarnya. Produk olahan daging tersebut dapat juga digunakan
sebagai alternatif sumber protein hewani.

g.      Macam Otot Daging

Keempukan daging bervariasi sesuai dengan jenis otot atau letak


daging pada karkas. Contoh, daging sapi jenis has dalam lebih empuk dibanding
daging sengkel karena adanya perbedaan jaringan ikat pada jenis daging tersebut.
Has dalam memiliki jaringan ikat yang lebih sedikit dibandingkan dengan
sengkel. Jumlah jaringan ikat berkaitan dengan fungsi otot pada ternak hidup.
Sengkel terutama digunakan dalam pergerakan sehingga memiliki jaringan ikat
lebih banyak. Sementara itu, has dalam hanya mendukung fungsi ternak sehingga
jaringan ikatnya lebih sedikit

h.      Lokasi Otot

Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena


terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari
ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek
menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang
pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan
antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno, 1994). Menurut Soeparno
(1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan
otot akan meningkatkan keempukan daging, karena panjang sarkomer miofibril
meningkat. Penggantungan karkas dapat meningkatkan panjang sejumlah otot
sehingga daging menjadi empuk. Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh
tekstur daging. Semakin halus teksturnya, maka daging menjadi empuk
(Soeparno,2005).
DAFTAR PUSTAKA

Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Daging sapi/kerbau. SNI 01-3947-1995.


Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Gill, C.O. 1982. Microbial interaction with meats. In: M.H. Brown (Ed). Meat
Microbiology. Applied Science Publisher, London and New York.

Koswara, S. 2009. Teknologi Praktis Pengolahan Daging. eBookPangan.com

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai