Anda di halaman 1dari 6

imran

Rabu, 02 Desember 2015

konsep Laba dan Rugi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-
olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh
seorang Muslim Amerika Cyril Glasse dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern
manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu
milenium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-
undang yang ada.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai
negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap
bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu.
Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-
macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang
serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam.
Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari
masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini
dipertegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 : “padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep
keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional,
karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.
Bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank
itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku
bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti.
berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.
dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang
didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut
adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh
peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di
bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua
belah pihak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu laba?
2.      Apa saja dasar-dasar pengukuran laba dalam islam?
3.      Apa pengertian riba?
4.      Apa saja macam-macam riba?
5.      Bagaimana dasar hukum pelarangan riba dalam islam?
6.      Apakah Usury dan Interest termasuk dalam riba?
7.      Apa hikmah atau manfaat adanya pelarangan riba?

C.     Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan laba.
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar pengukuran laba dalam islam.
3.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan riba.
4.      Untuk mengetahui macam-macam riba.
5.      Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum pelarangan riba dalam islam
6.      Untuk mengetahui apakah usury dan interest termasuk dalam riba.
7.      Untuk mengetahui manfaat atau hikmah atas adanya pelarangan riba.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Laba
Pengertian laba secara bahasa atau menurut Al-qur’an, As sunnah, dan pendapat ulama-ulama fiqih
dapat disimpulkan bahwa laba adalah pertambahan pada modal pokok perdagangan atau dapat juga dikatakan
sebagai tambahan nilai yang timbul karena barter atau ekspedisi dagang.
Tujuan dalam perdagangan dalam arti sederhana adalah memperoleh laba atau keuntungan, secara ilmu
ekonomi murni asumsi yang sederhana menyatakan bahwa sebuah industry dalam menjalankan produksinya
adalah bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan (laba/profit) dengan cara dan sumber-sumber yang halal.
Demikian pula dengan transaksi bisnis dalam skala mikro, artinya seorang pengusaha atau industri dapat
memilih dan menentukan komposisi tenaga kerja, modal, barang-barang pendukung proses produksi, dan
penentuan jumlah output. Yang kesemua itu akan dipengaruhi oleh harga, tingkat upah, maupun barang baku,
dimana keseluruhan kebutuhan input ini akan diselaraskan oleh besarnya pendapatan dari perolehan output.
Dalam konsep jual beli dan perolehan laba Islami, memberikan tuntunan pada manusia dalam
perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat kepuasan dengan jalan yang baik
dan alat kepuasan yang tentunya halal, secara zatnya maupun secara perolehan-nya. Prinsip keridhoan, ta’āwun,
kemudahan, dan transparansi, dalam jual beli Islam mencegah usaha-usaha eksploitasi kekayaan dan serta
mengambil keuntungan dari kerugian pihak lain. Konsep laba dalam Islam, secara teoritis dan realita tidak
hanya berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta
tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah .
Islam menganggap manusia berperilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang
bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhid nya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang
berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Sedangkan teori laba dalam konvensional dibangun di atas filosofis materialisme dan sekulerisme. Ilmu
ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasional yang
dimaksud adalah tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self
interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas.
Menurut konvensional, rasionalitas diartikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi keperluan
hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan dan
keinginan-keinginan yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat
keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Teori laba konvensional mengabaikan moral
dan etika dalam pembelanjaan dan asumsi mereka terhadap unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja
tanpa mengambil hari akhirat.
Berikut ini beberapa aturan tentang laba dalam konsep Islam:
1.      Adanya harta uang yang dikhususkan untuk perdagangan.
2.      Mengoperasikan modal tersebut secara interaktif dengan dasar unsur-unsur  lain yang terkait untuk produksi,
seperti usaha dan sumber –sumber alam.
3.      Memposisikan harta sebagai obyek dalam pemutarannya karena adanya kemungkinan–kemungkinan
pertambahan atau pengurangan jumlahnya.

B.     Dasar-dasar pengukuran laba dalam islam


1.      Taqlib dan Mukhatarah  ( Interaksi dan Resiko )
Laba  adalah hasil dari perputaran modal melalui transaksi bisnis, seperti menjual dan membeli, atau jenis-
jenis apa pun yang dibolehkan syar’i.  Untuk itu, pasti ada kemungkinan bahaya atau resiko yang akan menimpa
modal yang nantinya akan menimbulkan pengurangan modal pada suatu putaran dan pertambahan  padaputaran
lain. Tidak boleh menjamin pemberian laba dalam perusahaan–perusahaan mudharabah dan musyarakah.
2.      Al – Muqabalah
Al-Muqabalah yaitu perbandingan antara jumlah hak milik pada akhir periode pembukuan dan hak–hak
milik pada awal periode yang sama, atau dengan membandingkan nilai barang  yang ada pada akhir itu  dengan
nilai barang yang ada pada awal periode yang sama. Juga bisa dengan membandingkan pendapatan dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan income  (pendapatan).
3.      Keutuhan modal pokok
yaitu  laba tidak akan tercapai kecuali setelah utuhnya modal pokok dari segi kemampuan secara ekonomi
sebagai alat penukar barang  yang dimiliki sejak awal aktivitas ekonomi.
4.      Laba dari produksi
Hakikatnya dengan Jual Beli dan Pendistribusian, yaitu Pertambahan yang terjadi pada harta selama setahun
dari semua aktivitas penjualan dan pembelian, atau memproduksi dan menjual yaitu dengan pergantian barang
menjadi uang dan pergantian uang  menjadi barang dan seterusnya, maka barang yang belum terjual pada akhir
tahun juga mencakup pertambahan yang menunjukkan perbedaan antara harga yang pertama dan nilai harga
yang sedang berlaku.
Berdasarkan nilai ini, ada dua macam laba yang terdapat pada akhir tahun, yaitu laba yang berasal dari
proses jual beli dalam setahun dan laba suplemen, baik yang nyata maupun yang abstrak karena barang-
barangnya belum terjual.
5.      Penghitungan  nilai barang di akhir tahun
Tujuan penilaian sisa barang yang belum sempat terjual di akhir tahun adalah untuk penghitungan zakat
atau untuk menyiapkan neraca-neraca keuangan yang didasarkan pada nilai penjualan yang berlaku di akhir
tahun itu, serta dilengkapi dengan daftar biaya-biaya pembelian dan pendistribusian.  Dengan cara ini,
tampaklah perbedaan antara harga yang pertama dan nilai yang berlaku yang dapat dianggap sebagai laba
abstrak.
Proses penilaian yang didasarkan pada nilai pasaran (penjualan) itu berlaku untuk barang dagangan,
sedangkan penilaian pada modal tetap berlaku untuk menghitung kerusakan–kerusakan (yang merupakan salah
satu unsur biaya produksi), maka penilainnya harus berdasarkan harga penukaran.[1]

C.     Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna tumbuh dan membesar, bertambah banyak. Sedangkan secara istilah riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Riba dalam bahasa inggris
disebut Usury, yang intinya adalah pengambilan bunga atas pinjaman uang dengan berlebihan, sehingga
cenderung mengarah eksploitasi atau pemesanan.
Lebih lanjut riba dalam Al-qur’an diartikan sebagai setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syariah. Yang dimaksud transaksi pengganti atau
penyeimbang, yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegimitasi adanya penambahan secara adil, seperti
melalui transaksi jual beli, sewa-menyewa, atau bagi hasil.
Dalam transaksi jual beli, misalnya pihak pembeli wajib menyerahkan sejumlah uang sebagai barang
atau jasa, yang kemudian diimbangi oleh adanya kewajiban dari pihak penjual untuk menyerahkan barang atau
jasa yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut.
Kemudian ketika kita melihat pada transaksi simpan-pinjam dana secara konvesional, terlihat bahwa
adanya besaran persentase tertentu atas pinjaman pokok menjadi keniscayaan. Dengan demikian pihak yang
memberikan pinjaman akan mendapatkan penghasilan yang pasti dengan berjalannya waktu, sedangkan pada
pihak peminjam besarnya keuntungan adalah tidak tentu. Hal inilah yang menunjukkan adanya ketidakadilan
dalam transaksi yang berbasis bunga.
Islam tidak mengenal prinsip time value of money yang berbasis pada bunga layaknya transaksi
ekonomi konvensional, karena dalam islam tidak mungkin ada keuntungan tanpa resiko dan atau mendapatkan
hasil tanpa biaya. Islam melarang riba dalam segala bentuk dan manifestasinya. [2]

D.    Macam-macam Riba
1.      Riba fadhli, yaitu menukarkan dua benda yang sejenis dengan nilai tidak sama, misal: 1kg gula Rp 10, dibayar
dengan uang Rp 15.
2.      Riba qardhi, yaitu meminjam dengan syarat ada keuntungan bagi yang menghutangi, misalnya: hutang Rp 10,
dengan perjanjian dibayar Rp 12.
3.      Riba yad, yaitu bercerai dari tempat akad sebelum timbang terima. Hal ini karena kurangnya syaratnya.
4.      Riba nasa’ yaitu menukarkan dua jenis benda. Jika terlambat maka ada kelebihannya misalnya pinjam Rp 100,
dibayar Rp 100, jika terlambat membayarnya maka wajib dibayar umpamanya Rp 110. Riba nasa’ ini banyak
dipraktekkan masa jahiliyah yang menjadi kemelaratan bagi yang berhutang.[3]

E.     Dasar hukum pelarangan riba dalam islam


Pelarangan terhadap riba dalam islam sama halnya seperti pelarangan minuman keras (khamar). Yakni
bahwa pelarangan terhadap riba berlangsung secara bertahap, sebagaimana larangan  bagi semua orang minum
khamar. Hal ini juga merupakan bukti bahwa islam berprinsip pada penentuan suatu hukum secara berangsur-
angsur. Hal ini dilatar belakangi oleh keadaan sebagian warga arab pada masa itu yang gemar menerapkan riba
dalam setiap kegiatan transaksi yang dilakukannya, sehingga akan menimbulkan goncangan di masyarakat jika
mereka dikenakan pelarangan riba secara tegas dan tiba-tiba.
Adapun pelarangan riba dapat dikelompokkan menjadi empat tahap yang masing-masing didasarkan
pada ketentuan ayat al-qurr’an. Keempat tahap pelarangan riba tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Tahap I, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang
memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati kepada allah Swt, yaitu melalui firman allah dalam surah Ar-
rum ayat 39, yang artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-oraang yang
melipatgandakan (pahalanya)”.
2.      Tahap II, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk, yang disertai pula dengan ancaman yang keras kepada
orang yahudi yang memakan riba. Hal ini terdapat dalam al-qur’an surat an-nisa ayat 160-161 yang artinya:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena
mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
3.      Tahap III, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Hal ini dapat kita
babca dalam al-qur’an surah ali imran ayat 130, artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan”.
4.      Tahap IV, allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman. Hal ini terdapat dalam al-qur’an surah al-baqarah ayat 278-279, yang artinya addalah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiayaHai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Dengan demikian tahap keempat adalah tahap final, yang benar-benar secara jelas dan tegas mengharamkan
apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Adanya larangan riba bukan berarti islam melarang manusia
untuk mendapatkan keuntungan secara materi. Bahwa islam juga memerintahkan umat manusia bertebaran
dimuka bumi dalam rangka untuk mendapatkan karunia dari allah SWT. Rezeki harus dicari, tentu saja melalui
jalan yang diridhai oleh allah.
Jual beli merupakan salah satu cara mencari karrunia ilahi yang sangat dianjurkan oleh islam, sebagaimana
firman allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu” (An-Nisa: 29).
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-baqarah: 275).
Dari kedua arti ayat tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa islam dengan tegas melarang manusia
memakan harta sesamanya dengan batil atau singkatnya melarang manusia berbuat riba. Akan tetapi disisi lain
islam sangat menganjurkan setiap manusia mencari karunia ilahi melalui jalan perniagaan. [4]

F.      Riba, Usury, dan Interest
Kebanyakan orang masih bertanya-tanya apakah interest dan usury itu termasuk dalam kategori riba,
Mengingat ada perbedaan fundamental antara keduanya. Usury lebih menekankan pengambilan keuntungan atas
pinjaman uang secara berlebihan, sedangkan interest menurut sebagian orang adalah sesuatu yang wajar, demi
menjaga nilai atas suatu mata uang. Interest dan Usury merupakan dua konsep dengan satu jiwa yaitu
keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas pinjaman uang atau barang, yang sebenarnya barang
atau uang tersebut tidak ada unsur tenaga kerja, sehingga sesuatu yang dihasilkan oleh barang atau uang tersebut
muncul tanpa resiko ataupun biaya.
Dengan demikian Interest dan Usury termasuk dalam kategori riba, mengingat kedua-duanya
menghasilkan tambahan keuntungan tanpa disertai adanya resiko dan biaya. Keuntungan yang dihasilkan
berdasarkan perjalanan waktu semata atau yang sering dikenal dengan istilah time value of money.[5]

G.    Hikmah atau manfaat adanya pelarangan riba


Hikmah dari diharamkannya riba, selain hikmah umum yaitu untuk menguji keimanan seorang hamba
ada juga hikmah yang lain yaitu sebagai berikut:
1.      Melindungi harta orang muslim agar tidak dimakan dengan batil
2.      Memotivasi orang islam untuk menginvestasikan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan
3.      Menutup seluruh pintu bagi orang muslim yang membawa kepada memusuhi dan menyusahkan saudaranya,
serta membuat benci dan marah kepada saudaranya
4.      Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karena pemakan riba adalah orang-
orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
5.      Membuka pintu-pintu kebaikan didepan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhiratnya, misalnya dalam
memberikan pinjaman ke saudaranya tanpa meminta uang tambahan saat pengembaliannya. [6]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengertian laba secara bahasa atau menurut Al-qur’an, As sunnah, dan pendapat ulama-ulama fiqih
dapat disimpulkan bahwa laba adalah pertambahan pada modal pokok perdagangan atau dapat juga dikatakan
sebagai tambahan nilai yang timbul karena barter atau ekspedisi dagang.
Dasar dasar pengukuran riba dalam islam yaitu: Taqlib dan Mukhatarah  (Interaksi dan Resiko), Al –
Muqabalah, Keutuhan modal pokok, Laba dari produksi dan Penghitungan  nilai barang di akhir tahun.
Riba secara bahasa bermakna tumbuh dan membesar, bertambah banyak. Sedangkan secara istilah riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Riba dalam bahasa inggris
disebut Usury, yang intinya adalah pengambilan bunga atas pinjaman uang dengan berlebihan, sehingga
cenderung mengarah eksploitasi atau pemesanan.
Adapun macam-macam riba yaitu: Riba fadhli, Riba qardhi, riba yad, dan Riba nasa’.
Pelarangan terhadap riba dalam islam sama halnya seperti pelarangan minuman keras (khamar). Yakni
bahwa pelarangan terhadap riba berlangsung secara bertahap, sebagaimana larangan  bagi semua orang minum
khamar. Hal ini juga merupakan bukti bahwa islam berprinsip pada penentuan suatu hukum secara berangsur-
angsur. Hal ini dilatar belakangi oleh keadaan sebagian warga arab pada masa itu yang gemar menerapkan riba
dalam setiap kegiatan transaksi yang dilakukannya, sehingga akan menimbulkan goncangan di masyarakat jika
mereka dikenakan pelarangan riba secara tegas dan tiba-tiba.
Interest dan Usury termasuk dalam kategori riba, mengingat kedua-duanya menghasilkan tambahan
keuntungan tanpa disertai adanya resiko dan biaya. Keuntungan yang dihasilkan berdasarkan perjalanan waktu
semata atau yang sering dikenal dengan istilah time value of money.
Hikmah dari diharamkannya riba, selain hikmah umum yaitu untuk menguji keimanan seorang hamba
ada juga hikmah yang lain yaitu sebagai berikut:
6.      Melindungi harta orang muslim agar tidak dimakan dengan batil
7.      Memotivasi orang islam untuk menginvestasikan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan
8.      Menutup seluruh pintu bagi orang muslim yang membawa kepada memusuhi dan menyusahkan saudaranya,
serta membuat benci dan marah kepada saudaranya
9.      Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karena pemakan riba adalah orang-
orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
Membuka pintu-pintu kebaikan didepan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhiratnya,
misalnya dalam memberikan pinjaman ke saudaranya tanpa meminta uang tambahan saat pengembaliannya.

Anda mungkin juga menyukai