Anda di halaman 1dari 19

FOODBORNE DISEASE YANG TERJADI DI

INDONESIA
Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pangan

Mellova

Disusun :

Kelompok 3

NIRA FARIDASARI 16344072


YENI YULIANI 16344067
DEWI N UTAMI 16344066
FUAD ZEN 16344071
AHROB SAEPUDIN 16344069
UJANG HIDAYAT 16344070
IRFAN HILMY 16344073

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Makanan adalah sumber energi utama bagi manusia. Tanpa makanan
manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan energi yang telah digunakan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Jumlah penduduk semakin lama semakin
padat, hal ini akan berpengaruh kepada berbagai sektor kehidupan, tidak
terkecuali kebutuhan akan pangan. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka
akan semakin meningkatkan kebutuhan akan makanan yang tidak hanya sehat,
melainkan makanan yang bergizi dan juga aman untuk dikonsusmi.
Namun, pada kenyataannya belum semua penduduk dapat menikmati
makanan yang aman untuk dikonsumsi. Hal ini ditandai degan banyak kasus
kesakitan dan kematian disebabkan oleh makanan (foodborne disease) contohnya
diare akut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain adalah
higiene perorangan yang buruk, cara penangan makanan yang tidak sehat dan
perlengkapan pengolahan makanan yang tidak bersih.
Kontaminasi yang terjadi pada makanan dapat menyebabkan
perubahannya makanan tersebut menjadi media bagi suatu penyakit. Penyakit
yang ditimbulkan oleh makanan yang terkontaminasi disebut penyakit bawaan
makanan (foodborne disease).

2.      Perumusan Masalah


Permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan foodborne disease?
2. Apa penyebab terjadinya foodborne diseases?
3. Bagaimana peranan mikroba dalam foodborne disease dan kasus foodborne
disease yang terjadi di Indonesia?
4. Bagaimana mekanisme infeksi foodborne disease?
5. Bagaimana cara mencegah dan menanggulangi foodborne disease?

2
3.      Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalaha untuk mengetahui:
1. Pengertian foodborne disease.
2. Penyebab terjadinya foodborne disease.
3. Peranan mikroba dalam foodborne disease dan mengetahui kasus akibat
foodborne disease yang terjadi di Indonesia.
4. Mekanisme infeksi foodborne disease.
5. Cara mencegah dan menanggulangi foodborne disease.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari
pencernaan dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba
(mikroorganisme) oleh tubuh manusia. Mikroorganisme tersebut dapat
menimbulkan penyakit baik dari makanan asal hewan yang terinfeksi ataupun dari
tumbuhan yang terkontaminasi. Makanan yang terkontaminasi selama proses atau
pengolahan dapat berperan sebagai media penularan juga.
Penularan foodborne disease oleh makanan dapat bersifat infeksi, yang
berarti bahwa suatu penyakit disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang
hidup, biasanya berkembangbiak pada tempat terjadinya peradangan.
Pangan merupakan kebutuhan esensial untuk berbagai kegiatan tubuh
manusia, oleh karena itu pangan harus terjamin bebas dari berbagai cemaran
biologis, kimiawi, fisik dan bahan berbahaya lainnya yang dapat mengganggu
kesehatan. Adanya berbagai cemaran berbahaya pada pangan dapat
mengakibatkan munculnya foodborne disease, yaitu penyakit pada manusia yang
yang disebabkan oleh makanan dan atau minuman yang tercemar. Cemaran
biologis pada pangan dapat berupa bakteri, virus, parasit, kapang, atau cendawan.
Cemaran biologis yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan wabah
penyakit pada manusia ialah bakteri patogenik, antara lain Salmonella spp.,
Escherichia coli, Bacillus anthracis, Clostridium spp, Listeria monocytogenes,
dll. Bahan pangan yang terkontaminasi bakteri patogenik jika dikonsumsi oleh
manusia akan menimbulkan gejala klinis antara lain berupa sakit perut, mual,
muntah, diare, kram (kejang) perut, sakit kepala, tidak ada nafsu makan, demam,
bahkan dapat mengakibatkan dehidrasi.
Dewasa ini, isu tentang keamanan pangan asal ternak yang aman, sehat,
utuh, dan halal (ASUH) sangat penting untuk menjamin ketentraman batin bagi
konsumen. Hal ini juga terkait dengan meningkatnya pendapatan dan pendidikan

4
masyarakat sebagai konsumen sehingga masyarakat menjadi lebih kritis dalam
memilih dan menilai bahan pangan yang diperlukan (Thahir et al., 2005).
Cemaran bakteri hanya 30% dari kasus foodborne disease. Namun
demikian, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa wabah dan angka kematian
(mortalitas) tertinggi pada foodborne disease umumnya melalui oral infeksi
bakteri. Penularan pada foodborne disease umumnya melalui oral, jika tertelan
dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan menimbulkan gejala klinis
diantaranya mual, muntah dan diare. Apabila gejala diare dan muntah terjadi
dalam waktu lama, maka akan mengakibatkan dehidrasi atau kehilangan cairan
tubuh. Masa inkubasi penyakitnya berkisar antara beberapa jam samapai beberapa
minggu, bergantung pada jenis bakteri yang menginfeksinya. Walaupun demikian,
tidak semua bakteri yang masuk ke dalam tubuh akan dapat menimbulkan
penyakit, tergantung dari virulensi bakteri serta respon sistem kekebalan tubuh
(Supardi dan Sukamto, 1999).

B.     Penyebab
Beberapa penyakit bawaan yang sering terdapat di Indonesia pada
umumnya disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun jamur. Makanan dapat
terkontaminasi oleh mikroba karena, antara lain:
1. Mengolah makanan dan minuman dengan tangan kotor.
2. Memasak sambil bermain dengan hewan peliharaan.
3. Menggunakan lap kotor untuk membersihkan meja dan perabotan lainnya.
4. Dapur yang kotor.
5. Alat masak yang kotor.
6. Memakan makanan yang sudah jatuh ke tanah.
7. Makanan yang disimpan tanpa ditutup sehingga serangga dan tikus dapat
menjangkau.
8. Makanan yang masih mentah dan yang sudah matang disimpan secara
bersama-sama dalam satu tempat.
9. Makanan dicuci dengan air kotor.

5
10. Pengolahan makan yang menderita penyakit menular.
Menurut Departeman Kesehatan RI beberapa penyakit yang bersumber
dari makanan dapat digolongkan menjadi:
1. Food infection (bakteri dan viruses) atau makanan yang terinfeksi seperti
salmonella, cholera, tuberculosis, hepatitis.
2. Food intoxication (bakteria) atau keracunan makanan oleh bakteri seperti
staphylococcus food poisning, clostridium perfringens food poisoning.
3. Chemical food borne illness atau keracunan makanan karena bahan kimia,
seperti cadmium, zink, insektisida dan bahan kimia lain.
4. Poisoning plant and animal atau keracunan makanan karena hewan dan
tumbuhan beracun seperi jengkol, jamur, kentang, ikan buntal.
5. Parasite atau penyakit parasit seperti cacing Taeniasis, Cystircercosis,
Trichinosis, dan Ascariasis.

C.    Peranan mikroba


Berbagai jenis mikroba patogen dapat mencemari makanan yang akan
menimbulkan penyakit. Penyakit karena patogen asal pangan dapat digolongkan
menjadi dua kelompok, yaitu infeksi dan intoksikasi (keracunan). Infeksi adalah
penyakit patogen dapat menginfeksi korbannya melalui pangan yang dikonsumsi.
Dalam hal ini diakibatkan masuknya mikroba patogen ke dalam tubuh melalui
makanan yang sudah tercemar mikroba. Intoksikasi merupakan keracunan pangan
yang disebabkan oleh produk toksik patogen (baik itu toksin maupun metabolit
toksin). Mikroba tumbuh pada makanan dan memproduksi toksin, jika makanan
tertelan, maka toksin tersebut yang menyebabkan gejala bukan patogennya.

Adapun mikroba tersebut antara lain bakteri, virus, dan jamur. Pola
penyebarannya yaitu: 
1) Bakteri yaitu melalui daging hewan mentah, seafood (makanan laut) seperti
kerang-kerangan mentah

6
1.1  Salmonella
Salmonella juga merupakan bakteri yang terdapat pada usus unggas, reptilia dan
mamalia. Bakteri ini dapat menyebar ke manusia melalui berbagai macam pangan
asal hewan. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut salmonellosis,
menyebabkan demam, diare dan keram perut. Pada orang yang kondisi
kesehatannya buruk atau sistem kekebalan tubuhnya lemah, bakteri ini dapat
menembus sistem peredaran darah dan menyebabkan infeksi yang serius terhadap
tubuh.
Salmonellosis dapat ditularkan melalui berbagai jenis pangan asal ternak,
seperti daging sapi, daging unggas dan telurnya, susu dengan hasil produksinya
(seperti es krim, keju, dll) serta makanan lain yang tercemar bakteri, dan dimakan
setengah matang (MEAD et al., 1999). Di Amerika dan Eropa dilaporkan bahwa
wabah salmonellosis karena infeksi S. Enteritidis berkaitan dengan konsumsi
telur dan produksinya yang tidak dimasak atau dimasak setengah matang (MISHU
et al, 1994).
Kusumaningsih (2007) melaporkan bahwa S. enteritidis dapat diisolasi
dari organ campur (hati dan jantung), usapan rektal, dan telur ayam yang diambil
dari beberapa pasar dan peternakan Jawa Barat dan Jakarta. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa S. enteritidis banyak menginfeksi ayam dan telur di
perternakan-perternakan layer, broiler, dan perternakan pembibitan ; bahkan S.
enteritidis juga dilaporkan telah menginfeksi manusia. Ditemukannya S.
enteritidis dari ayam ke manusia melalui pangan asal ternak.

7
Tabel 1. Hasil isolasi, identifikasi dan serotiping S. enterritidis dari ayam, telur
dan manusia
Asal isolat Jumlah Positif S. enteritidis Persentase (%)
sampel
Hati+ jantung ayam 81 11 13,6
Usapan rektal ayam 213 0 0,0
Telur komersial 122 7 5,7
Telur embrio 23 7 30,4
Feses manusia 65 14 21,6
Sumber : Kusumaningsih (2007)

1.2  Clostridium perfringens


Gejala yang ditimbulkan adalah diare dan nyeri perut. Bakteri ini terdapat di
saluran pencernaan carnivora (serigala, anjing), herbivora (tikus, gajah, kalkun)
dan babi. Media penularan adalah daging babi dan kalkun. Makanan yang berasal
dari hewan terkontaminasi oleh kuman ini karena daging terkontaminasi oleh
kotoran atau isi saluran pencernaan di rumah potong hewan. Makanan yang sudah
dimasak dibiarkan dalam beberapa jam pada suhu kamar, disimpan di dalam oven
hangat atau disimpan dalam freezer dalam jumlah besar sehingga temperatur tidak
terlalu dingin atau tidak cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri ini.
Sehingga kasus penyakit ini dapat terjadi jika manusia mengonsumsi makanan
masak yang sudah mengandung kuman.
C. perifingens juga umum ditemukan di alam, bahkan dapat ditemukan pada
permukaan tubuh orang sehat. Bakteri ini merupakan penyebab utama keracunan
makanan pada manusia. Dari hasil penelitian Windiana et al. (2005) yang
dilakukan di beberapa pasar tradisional dan swalayan di Bogor menunjukkan
bahwa 100% (33/33) sampel karkas daging dan daging sapi giling positif C.
Perifingens, dan 84,4% diantarannya merupakan C. Perifingens tipe A yang
berbahaya.

1.3 Bacillus anthracis

8
B. anthracis menyebabkan penyakit antraks pada hewan dan manusia.
Bakterini sensitif terhadap lingkungan, tidak tahan panas, dan mati dengan
perebusan selama 2-5 menit. Sporanya sangat tahan selama bertahun-tahun pada
suhu pembekuan, di dalam tanah dan kotoran hewan. Bahkan spora tersebut tahan
25- 30 tahun di dalam tanah kering, sehingga menjadi sumber penularan penyakit
baik bagi manusia maupun ternak (Soejoedono, 2004).
Antraks pada ternak di Indonesia diketahui sejak tahun 1884 di Teluk
Betung (Bandar Lampung) dan pada manusia sejak tahun 1922. Sejak tahun 1998
dalam sistem kesehatan hewan nasional, penyakit antraks dimasukkan ke dalam
kelompok II Penyakit Hewan Dunia (Office International des Epizootice, OIE),
penyakit antraks dikelompokkan ke dalam daftar B karena merupakan penyakit
menular penting (OIE, 2008).
Di Indonesia terdapat 10 provinsi endemis antraks yang meliputi Sumatera
Barat, Jambi, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.Pada
tahun 1991 – 2001 orang jumlah keseluruhan penderita antara 20 – 131 orang dan
dapat terobati, dengan korban meninggal tertinggi 6 orang pada tahun 1995. Pada
tahun 2003, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional Wilayah
IV Yogyakarta melaporkan adanya kematian 3 ekor sapi perah yang terinfeksi
B. anthracis di Yogyakarta. Dilaporkan di Jawa Barat bahwa dari tahun 2003 –
2007 terjadi kematian pada 2 ekor kambing dan 13 orang karena infeksi
B. anthracis (Deptan, 2003).
Penularan penyakit dapat diawali dari tanah yang mengandung spora
B. anthracismenginfeksi luka, terhirup pernafasan ataupun bersama makanan
yang tercemar masuk saluran pencernaan. Gejala penyakit antraks pada manusia
dikenal 3 tipe yaitu : tipe kulit (kutaneus), pernafasan (respirasi), dan pencernaan
(intestinal). Gejala yang dapat diamati dari tipe kutaneus adalah bentuk kulit
bersifat lokal, timbul bungkul merah pucat yang berkembang menjadi nekrotik
dengan luka kehitaman. Luka dapat sembuh spontan dalam 2-3 minggu(Spencer,
2003). Gejala klinis tipe pernafasan berupa sesak nafas di daerah dada, batuk, dan
demam. Penyakit antraks tipe ini umumnya ditemukan pada pekerja penyortir

9
bulu domba dan penyamak kulit (Siegmund, 1979; Spencer, 2003). Gejala bentuk
pencernaan berupa nyeri di bagian perut, demam, mual, muntah, nafsu makan
menurun, diare berdarah karena inflamasi pada usus halus (Deptan, 2003;
Soejoedono, 2004).

1.4  E. Coli
Escherichia coli merupakan bagian dari mikroflora yang secara normal ada
dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dari pekerja yang terinfeksi selama makanan diproses
berlangsung. Air juga dapat terkontaminasi kotoran manusia yang terinfeksi.
Makanan yang berperan sebagai media penularan adalah ikan salmon, unggas,
susu dan keju camembert (keju perancis). Oleh karena itu pemanasan yang baik
pada makanan seperti daging dan susu mentah sangatlah penting. Gejala yang
ditimbulkan pada manusia jika terinfeksi E. coli adalah diare.
Laporan hasil monitoring dan surveilans yang dilakukan di beberapa
lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa bahwa bakteri E. Coli patogen telah
mencemari beberapa produk asal lemak seperti daging sapi, susu sapi, hati sapi,
daging ayam, telur ayam, dan hati ayam. Kondisi ini sebenernya telah menyalahi
aturan yang ditetapkan oleh pemetintah yang mensyaratkan bahwa E. Coli pada
bahwa pangan, terutama susu segar, harus nol/negatif (SNI, 1997).

Tabel 2. Hasil isolasi E.coli dari beberapa produk asal ternak tahun 2003 dan 2004
Jenis sampel 2003 2004 Keterangan
Daging sapi 20 65 Meningkat
Susu sapi 0 4 Meningkat
Hati sapi 0 1 Meningkat
Daging ayam 23 121 Meningkat
Hati ayam 0 0 Tetap
Telur ayam 13 37 Meningkat
Sumber : Yogaswara dan Setia (2005)
2)      Virus yaitu melalui udara yaitu melalui seperti kontak langsung dengan orang
yang terinfeksi atau melalui konsumsi makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi

10
2.1  Rotavirus adalah virus yang menyebabkan gastroenteritis. Gastroenteritis
viral adalah infeksi usus yang disebabkan berbagai macam virus. Infeksi
rotavirus biasanya meningkat selama musim dingin. Infeksi simtomatik
paling sering terjadi pada anak berusia antara 6 bulan hingga 2 tahun.
Gejala yang timbul antara lain diare berupa buang air besar yang berupa
air (watery), demam, nyeri perut, dan muntah-muntah, sehingga terjadi
dehidrasi. Gejala utama Gastroenteritis virus adalah diare berair berbusa,
tidak ada darah lendir dan berbau asam serta muntah. Gejala lainnya
adalah sakit kepala, demam, menggigil, dan sakit perut. Gejala biasanya
muncul dalam waktu 4 sampai 48 jam setelah terpapar virus dan
berlangsung selama 1 sampai 2 hari, walaupun gejala dapat berlangsung
selama 10 hari.
2.2  Norovirus merupakan virus yang berasal dari golongan Norwalk virus.
Merupakan virus utama penyebab penyakit perut. Gejala penyakitnya
sering terlihat pada penderita diare. Sering kali dijumpai dalam air yang
tidak bersih, kerang-kerangan, es, telur, salad, dan berbagai makanan
kontaminan lainnya. Masa inkubasinya berkisar 1-2 hari.
2.3  Virus dalam air kemasan botol terutama dalam botol plastik berbahan PET
(Poly Ethylene Terphalate), kebanyakan merupakan jenis virus yang
menjadi penyebab hepatitis. Golongan yang termasuk virus ini adalah
sebagai berikut:
a. Reo virus: menginfeksi intestines, paru-paru, ginjal, hati
b. Rotavirus: merupakan penyebab diare dengan resiko kematian yang sangat
mengancam khususnya untuk bayi dan anak-anak seperti yang telah
dijelaskan tadi.

3)   Jamur yaitu melalui makanan yang berasal dari tumbuhan seperti sayuran,
kacang-kacangan yang tidak diolah secara maksimal.
Mikotoksin Kapang Penghasil Penyakit Bahan
yang Pangan yang

11
sering
Disebabkan terkontamina
si
Alfatoksin Aspergillus flavus, A. Kegagalan Kacang tanah,
parasiticis fungsi hati, kacang-
kanker hati kacangan lain,
jagung serealia
Asam penisilat Penicillium Pembentuka Jagung, barley,
cyclopium, P. n tumor, kacang-
martensii, P. kerusakan kacangan
chraceus, P. melleus ginjal
Rgotoksin Claviceps purpurea Kerusakan Serelia
hati
Okratoksin A                Ochraceus, A. Kerusakan Jagung,
mellus, A. hati kacang-
sulphureus, P. kacangan,
viridicatum barley
Patulin A.                   clavatu Kerusakan Apel dan
s, P. patulum, P. hati, Kanker produk-produk
expansum hati apel
Alimentary Cladosporium sp., Kerusakan Biji-bijian
Toxic aleukia hati
(ATA)
Sterigmatosisti A.                 regulosu Sirosis hati, Gandum, oat
n s, A. nidulans, A. kanker hati
versicolor, P. luteum
Zearalenon Gibberella zeae Kerusakan Jagung dan
Hati serelia
Luteoskyrin P.islandicum Nekrosis Tepung beras
hati, kanker
hati

D.    Mekanisme Infeksi

12
Setelah mengkonsumsi makanan/minuman ada selang waktu hingga
terjadinya gejala yang disebut masa inkubasi. Masa inkubasi ini tergantung dari
pangan yang telah terkontaminasi oleh agent biologis atau kimianya. Pada
umumnya bahan kimia lebih cepat menimbulkan gejala biasanya kurang dari satu
jam. Sedangkan bahan biologis tergantung jenis patogennya, bisa dalam selang
waktu jam, hari ataupun minggu. Selama inkubasi, patogen tersebut melewati
lambung, usus halus dan biasanya menempel pada dinding usus halus dan mulai
memperbanyak sel. Beberapa patogen akan tetap di dinding usus tersebut, ada
yang menghasilkan racun dan racunnya terserap pada aliran darah, dan beberapa
patogen ada yang menginvasi beberapa jaringan yang lebih dalam lagi. Gejala
yang timbul bervariasi. Beberapa patogen dapat menyebabkan gejala yang mirip,
antara lain diare, kejang perut, dan mual. Banyak patogen memiliki kesamaan
dalam gejala dan harus dibuktikan melalui uji laboratorium.

E.     Pencegahan dan Penaggulangan


Pencegahan dan pengendalian foodborne diseases harus dilakukan pada
setiap tahap/proses penyajian makanan; dari mulai tingkat produksi di peternakan,
proses pemotongan di Rumah Potong Hewan (RPH), pendistribusi dari
peternakan/RPH ke pasar, proses pengolahan sampai penyiapan makanan yang
sudah jadi (finished food) di rumah/restoran, dll.
Pencegahan dan pengendalian foodborne diseases diistilahkan from farm
to table, yaitu dari mulai produksi di peternakan sampai siap saji di meja makan,
antara lain meliputi:
1. Pemeriksaan hewan/ternak di peternakan/rumah potong hewan. Ternak-ternak
yang akan dipotong harus berasal dari peternakan yang bebas penyakit.
2. Peningkatan personal higiene mulai dari pekerja kandang, petugas rumah
potong hewan, penjual daging, pekerja pada industri makanan, juru masak
sampai kepada konsumen.
3. Pengawasan terhadap kebersihan/sanitasi lingkungan di peternakan, rumah
potong hewan, alat transportasi, ruang pengolahan, peralatan dapur atau
pengolahan makanan dan peralatan saji.

13
4. Pengolahan makanan (daging, susu, telur dan produknya) secara higienis
dengan pemanasan yang cukup, pasteurisasi, dan atau sterilisasi.
5. Penyimpanan bahan pangan dengan baik. Bahan baku segar seperti sayuran,
daging, susu sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin. Makanan cepat basi
disimpan dalam suhu dingin, pisahkan raw material dengan makanan sudah
matang.
6. Pencucian
6.1  Pencucian atau pembilasan buah dan sayuran dapat menghilangkan
kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air,
deterjen, larutan bakterisida seperti klorin, dan lain-lain.
6.2  Sebelum makan atau menyiapkan makanan, cucilah tangan dengan teliti
memakai sabun dan kucuran air setidaknya 15 detik, lalu keringkanlah
dengan handuk bersih. Beberapa aktivitas yang wajib diikuti dengan
cuci tangan :
6.2.1        Setelah ke kamar mandi.
6.2.2        Setelah batuk, bersin, merokok, makan, minum.
6.2.3        Setelah membersihkan meja.
6.2.4        Sebelum memakai sarung tangan.
6.2.5        Setelah memegang hewan.
6.2.6        Ketika berpindah dari makanan mentah ke makanan matang.
6.2.7        Setelah membuang sampah.
6.2.8        Setelah memegang alat atau perlengkapan kotor.
6.2.9        Selama menyiapkan makanan

6.3  Pemantauan suhu

Menyimpan makanan pada suhu yang keliru bisa berakibat membiaknya


kumanyang menyebabkan racun makanan, yang tumbuh di antara suhu 5° C dan
60° C.Untuk berjaga-jaga:

14
6.3.1 Suhu lemari es jangan lebih tinggi dari 5° C dan ada aliran udara di
seputarmakanannya agar pembagian suhunya merata,Makanan panas patut
disimpan di atas suhu 60° C,
6.3.2 Makanan yang harus dipanaskan lagi harus cepat dipanaskan sampaisemua
bagiannya mencapai suhu 75° C,
6.3.3 Makanan beku sebaiknya dicairkan di dalam lemari es atau
microwave,sebab makin lama makanan mentah dibiarkan pada suhu
ruangan, makincepat pulalah kuman berbiak dan racun bisa terbentuk,
6.3.4 Agar kuman di dalamnya mati, makanan harus dimasak matang benar.
Desinfeksi adalah tindakan yang bertujuan untuk membunuh mikroba
patogen maupun pembusuk dengan menggunakan bahan kimia
(desinfektan).Desinfektan merupakan bahan kimia yang mampu membunuh
bakteri pembusuk dalam bentuk sel vegetatif, tetapi tidak dalam bentuk spora.
Pemblansiran merupakan cara lain yang dapat digunakan untuk
membunuh mikroba patogen. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada
bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada
suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit
tergantung dari macam bahan, ukuran, dan derajat kematangan. Blansir
merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk
makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Maksudnya untuk
menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan mikroorganisme.

Penanggulangan untuk penyakit bawaan makanan (foodborne Diseases)


antara lain :
1. Diagnosa infeksi melalui pemeriksaan laboratorium guna menentukan jenis
organisme penyebabnya.
2. Perawatan penyembuhan terhadap penyakit bawaan makanan. Jenis perawatan
disesuaikan dengan jenis penyakit bawaan makanan yang diderita, dan
bergantung dari gejala yang dirasakan.

15
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Foodborne disease disebabkan oleh patogen yang ditularkan makanan,
bersifat infeksius, dan menghasilkan toksin. Untuk mencegah dan mengendalikan
foodborne diseases di istilahkan from farm to table, selain itu juga bisa

16
menggunakan cara disenfektan ataupun pemblansiran. Sedangkan untuk
menanggulanginya diagnosa penyebabnya melalui pemeriksaan laboratorium dan
lakukan perawatan sesuai dengan penyebabnya.

B.     Saran
Agar terhindar dari foodborne disease, setiap orang harus memperhatikan
sanitasi dan higiene makanan yang akan atau telah diolah. Selain itu suhu yang
tepat dalam menyimpan dan mengolah harus diperhatikan agar makanan tersebut
tidak terkontaminasi. Jika gejala terlihat segera kefasilitas kesehatan, karena bila
terlambat maka penderita bisa tidak tertolong lagi.
  

DAFTAR PUSTAKA

Admin.2007.“Foodborne Disease”.
http://www.deptan.go.id/wap/berita_detailtampil.php?no_berita=96.
Diakses pada Tanggal 2013.

Admin. 2011. “Mengenal Istilah “Foodborne Disease””


http://kmpvtb.wordpress.com/2011/08/14/mengenal-istilah-food-borne-
disease/. Diakses pada Tanggal 27 November 2013.

17
Admin. 2012. “Foodborne Diseases”
http://matakuliahbiologi.blogspot.com/2012/04/food-borne-diseases.html.
Diakses pada Tanggal 27 November 2013.

Deptan, 2003. Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan


Menular (PHM). Seri Penyakit Anthrax. Direktorat Kesehatan Hewan,
Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian,
Jakarta.

Gov, NSW.______. “Foddborne Disease”. http://www.health.nsw.gov.au. Diakses


pada Tanggal 26 November 2013.

Kusumaningsih, A. 2007. Profil Gen Resistensi Antimikroba Salmonella


enteritidis Asal Ayam, Telur, dan Manusia. Disertas. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor 113 hlm.

Kusma, Ryanie. 2007. “Mengenal Foodborne Disease”.


http://ryaniehealth.blogspot.com/2007/03/mengenal-foodborne-
disease.html. Diakses pada Tanggal 26 November 2013.

MEAD, P.S., L. Slutsker, V. Dietz, L.F. Mccaig, J.S. Bresee, C. Shapiro, P.M.
Griffin and R.V. Tauxe 1999. Food-related illness and death in the United
State, Emerging, Infect Dis 5:607 – 625.

Mishu, B., J. Kochler, L.A. LEE, D. Rodrique, F. Hickman- Brenner and P. Blake
1994. Outnreaks of Salmonella enteritidis infections in the United States.
J. Infect. Dis. 169: 547 – 552.

OIE (Office International des Epizootice). 2008. Listeria nomocytogenes.


Terrestrial Manual. Pp. 1238 – 1254.

Siegmund, O.H. 1979 . Infections disease. In: The Merck Veterinary Manual. A
Handbookog Diagnosis and Therapy for The Veterinarian. Fifth Edition.
Siedmund, O. H. (Ed.). Merck & Co., INC. Rahway, NJ. USA pp. 236 –
507.

Soejeodono, R. 2004. Zoonosis Kausa Bakteri. Dalam : Zoonosis. Laboraturium


Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen Penyakit Hewan dan
Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor
p.172.

SNI (Standar Nasional Indonesia ). 1997. Metode Pengujian Susu Segar. RSNI
No. 32-TAN-1997. Revisi SNI No. 01-3141-1992. Badan Standarisasi
Nasional Jakarta.

18
Spencer, R.C. 2003, Bacillus anthracis. J. Clin. Pathol. 56(3): 182 – 187.

Yogaswara, Y. dan L. Setia. 2005. Kajian hasil monitoring dan surveilans


cemaran mikroba dan residu obat hewan pada produk pangan asal hewan
Indonesia. Pros. Keamanan Pangan Produk Peternaka. Bogor, 14
September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor pp. 144 – 148.

19

Anda mungkin juga menyukai