Anda di halaman 1dari 50

KARAKTERISTIK KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG SORGUM

MERAH (Sorghum bicolor L.) KULTIVAR LOKAL BANDUNG


TERFERMENTASI SPONTAN DAN TIDAK SPONTAN
MENGGUNAKAN RAGI ROTI

USULAN PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melakukan Penelitian


Departemen Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran

Oleh:
SYIFA TSALITSU MUTTAHAROH
240210160020

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR
2020

ii
LEMBAR PENGESAHAN

KARAKTERISTIK KIMIA DAN FUNGSIONAL


JUDUL : TEPUNG SORGUM MERAH (Sorghum bicolor L.)
KULTIVAR LOKAL BANDUNG TERFERMENTASI
SPONTAN DAN TIDAK SPONTAN MENGGUNAKAN
RAGI ROTI

NAMA : SYIFA TSALITSU MUTTAHAROH

NPM : 240210160020

DEPARTEMEN : TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN

FAKULTAS : TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Menyetujui dan Mengesahkan,

Anggota Komisi Pembimbing Ketua Komisi Pembimbing

Elazmanawati Lembong, STP., M.Si. Dr. Ir. Een Sukarminah, M.Si.


NIP. 197709102016044001 NIP. 19550627 198403 2 002

Koordinator Program Studi Teknologi Pangan

Dr. Tita Rialita, S.Si., M.Si


NIP. 197109201998032002

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Usulan Penelitian yang berjudul

“Karakteristik Kimia dan Fungsional Tepung Sorgum Merah (Sorghum

bicolor L.) Kultivar Lokal Bandung Terfermentasi Spontan dan Tidak

Spontan Menggunakan Ragi Roti” sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 di Program Studi Teknologi Pangan,

Departemen Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,

Universitas Padjadjaran.

Penulis menyadari bahwa Usulan Penelitian ini dapat selesai karena

bimbingan, bantuan, dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini

penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Een Sukarminah, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

memberikan ilmu, arahan, serta bimbingan kepada penulis.

2. Elazmanawati Lembong, STP., M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing

yang telah memberikan arahan, masukan, serta bimbingan kepada penulis.

3. Ketua Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri

Pertanian, Universitas Padjadjaran, atas izin yang telah diberikan.

4. Kepala Departemen Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri

Pertanian, Universitas Padjadjaran yang telah memberikan fasilitas dan

sarana.

iii
5. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran yang

telah memberikan fasilitas dan sarana.

6. Gemilang Lara Utama S, S.Pt., M.I.L. selaku dosen wali yang telah

memberikan arahan selama 8 semester.

7. Kedua orangtua bapak dan mamah serta kakak-kakak atas dukungan, do’a,

semangat, dan finansial.

8. Sahabat-sahabat saya terutama Elvira, Elsha, Eka, Hilma, Sukma, Sampurna

dan Jefry yang selalu saling menyemangati.

9. Teman satu penelitian Syifa Hilmi L, Sampurna Bakti, Eris Kuniasari, Vika

Aulia R, dan Nashila Maulidina yang selalu memotivasi dan menyemangati.

10. Teman-teman mahasiswa Teknologi Pangan 2016 yang selalu memberikan

semangat kepada penulis serta kepada seluruh pihak yang telah membantu

kelancaran pembuatan skripsi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Atas semua perhatian dari segala pihak yang telah membantu penulis

dalam menyusun penelitian ini, Penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga.

Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk

kemajuan penulis dimasa yang akan datang. Semoga penelitian ini dapat

bermanfaat bagi pembaca sekalian khususnya dalam bidang teknologi pangan.

Jatinangor, Januari 2020


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................................iv

DAFTAR ISI............................................................................................................6

DAFTAR TABEL....................................................................................................7

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................8

I. PENDAHULUAN............................................................................................9

1.1 Latar Belakang..........................................................................................9

1.2 Identifikasi Masalah................................................................................11

1.3 Maksud dan Tujuan.................................................................................11

1.4 Kegunaan Penelitian................................................................................12

II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................12

2.1 Sorgum....................................................................................................12

2.1.1 Komponen Kimia Sorgum...............................................................19

2.2 Tepung Sorgum.......................................................................................23

2.3 Ragi Roti..................................................................................................24

2.4 Sifat Kimia Tepung Sorgum....................................................................26

2.5 Sifat Fungsional Tepung Sorgum............................................................29

2.6 Modifikasi pati........................................................................................31

III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS..............................................35

3.1 Kerangka Pikiran.....................................................................................35

3.2 Hipotesis..................................................................................................39

IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN...................................................40


4.1 Tempat dan Waktu Percobaan.................................................................40

4.2 Bahan dan Alat Percobaan......................................................................40

4.2.1 BahanPercobaan...............................................................................40

4.2.2 Alat Percobaan.................................................................................40

4.3 Metode Penelitian....................................................................................41

4.4 Pelaksanaan Penelitian............................................................................42

4.5 Kriteria Pengamatan................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sorgum (Sorgum bicolor L. Moench) merupakan salah satu komoditas

serealia yang belum banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, padahal

sorgum memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia.

Sorgum mempunyai kemampuan dalam beradaptasi yang besar, karena sorgum

toleran terhadap kekeringan, tahan terhadap hama penyakit dan dapat tumbuh

dengan baik pada lahan marginal, akan tetapi pemanfaatan sorgum di Indonesia

hingga saat ini masih sangat rendah, dan sebagian besar sorgum hanya

dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Sirappa, 2003).

Pemanfaatan tanaman sorgum biasanya pada bagian biji sorgumnya.

Karena biji sorgum memiliki kandungan gizi yang baik, seperti karbohidrat,

protein, lemak, mineral, dan vitamin, serta tidak mengandung gluten seperti yang

terdapat dalam gandum, sehingga aman untuk penderita penyakit intoleran

terhadap gluten seperti autisme, peyakit seliak, dan sebagainya (Mardawati et al,

2010). Maka dari itu biji sorgum dapat diolah menjadi tepung sorgum, karena

tepung sorgum memiliki kandungan pati yang cukup tinggi yaitu sekitar 80,42%

(Suarni, 2004), serta sorgum memiliki kandungan protein yang hampir mirip

dengan terigu (Suarni, 2009).

Pengolahan tepung sorgum dari biji sorgum putih sudah banyak dilakukan,

sedangkan pengolahan tepung sorgum dari biji sorgum merah belum banyak

dilakukan. Perbedaan dari kedua jenis sorgum tersebut terletak dari kadar

1
2

taninnya. umumnya biji yang berwarna merah sampai cokelat mengandung tanin

lebih tinggi dibandingkan biji putih (Suarni, 2004).

Kandungan tanin pada sorgum dapat dikurangi dengan berbagai macam

cara, diantaranya adalah dengan dilakukan penyosohan. Pada saat penyosohan

kandungan tanin pada biji sorgum menurun drastis namun protein ikut terbawa

akibat bagian endosperma yang dekat dengan aleuron banyak yang terkikis

(Suarni, 2004). Menurut Aghnia (2015), pati sorgum memiliki derajat putih yang

lebih rendah dan viskositas puncak yang lebih rendah. Oleh karena itu diperlukan

modifikasi untuk memperbaiki kekurangan pada komponen pati tersebut. Tujuan

dari dilakukannya modifikasi tepung sorgum adalah untuk mengubah struktur

molekul baik secara fisik, kimia dan biologis (Hakiim dan Sistihapsari, 2011).

Modifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah modifikasi dengan

cara fermentasi. Menurut Elkhalifa et al., (2005) fermentasi sorgum secara

tradisional dapat memperbaiki sifat fungsional tepung sorgum. Menurut Putri et

al., (2015) Modifikasi yang dilakukan dapat menggunakan bantuan

mikroorganisme penghasil enzim amilase, yang dimiliki oleh beberapa jenis

khamir. Salah satu mikrooganisme yang menghasilkan enzim amilase yaitu

Saccharomyces cerevisiae, dimana mikroorganisme tersebut akan memecah

glukosa pada bahan melalui proses hidrolisis sehingga memodifikasi bentuk pati

tersebut. Penggunaan Saccharomyces cerevisiae dapat diperoleh dari ragi instan,

karena ragi instan sering digunakan dan mudah didapatkan secara komersil serta

penggunaannya lebih praktis dibandingkan dengan jenis ragi lainnya (Rahayu,

2012).
3

Proses fermentasi secara alami atau spontan maupun dengan penambahan

mikroorganisme atau tidak spontan dapat mengubah karakteristik pada bahan

pangan terutama pada komponen pati. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut mengenai fermentasi secara spontan maupun tidak spontan dengan

penggunaan ragi roti pada tepung sorgum merah untuk mengetahui karakteristik

kimia dan fungsionalnya.

I.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diidentifikasikan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik kimia dan fungsional tepung sorgum merah

kultivar lokal bandung yang difermentasi secara spontan dan tidak spontan

menggunakan ragi roti?

I.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik kimia

dan fungsional tepung sorgum merah kultivar lokal bandung yang difermentasi

secara spontan dan tidak spontan menggunakan ragi roti.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan lama fermentasi yang

paling berpengaruh untuk menghasilkan tepung sorgum merah dengan

karakteristik paling mendekati tepung terigu.


4

I.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi

bagi kalangan umum mengenai sifat dan karakteristik kimia dan fungsional tepung

sorgum merah Kultivar Lokal Bandung yang difermentasi spontan dan tidak

spontan menggunakan ragi roti. Dimana karakteristik yang dihasilkan apakah

hampir mendekati tepung terigu, sehingga dapat diaplikasikan untuk penelitian

selanjutnya serta dapat digunakan untuk pengolahan pangan dimasyarakat.


II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Sorgum

Sorgum merupakan komoditas pangan alternatif yang mempunyai potensi

cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia. Sebagai bahan pangan, kandungan

gizi pada sorgum sangat bersaing dengan beras dan jagung (Simanjutak, Purba

dan Irmansyah, 2016). Sorgum yang umum digunakan dan ditanam di Indonesia

adalah sorgum biji (grain sorghum), sorgum manis (sweet sorghum) dan

broomcorn di kenal di Indonesia sebagai (hermada) (Bajang et al., 2015). Secara

umum klasifikasi sorgum menurut Sennang dan Nurfaida (2012). adalah Kingdom

(Plantae), Sub kingdom (Tracheobionta), Divisi (Magniliophyta), Superdivisi

(Spemartophyta), Class (Monocotyledon), Family (Poaceae), Genus

(Andropogon), Spesies (Sorghum bicolor(L), Andropogon sorghum (L), Holchus

sorghum (L), Sorghum vulgare(L)).

Sorgum merupakan tanaman biji berkeping satu, tidak membentuk akar

tunggang dan perakaran terdiri atas akar lateral. Sistem perakaran sorgum terdiri

atas akar-akar primer pada dasar buku pertama pangkal batang, akar sekunder dan

akar tunjang yang terdiri atas akar koronal (akar pada pangkal batang yang

tumbuh ke arah atas) dan akar udara (akar yang tumbuh di permukaan tanah).

Tanaman sorgum membentuk perakaran sekunder dua kali lebih banyak dari

jagung. Ruang tempat tumbuh akar lateral mencapai kedalaman 1,3-1,8 m, dengan

panjang mencapai 10,8 m. Sebagai tanaman yang termasuk kelas monokotiledone,

sorgum mempunyai sistem perakaran serabut (Rismunandar, 2006 dikutip

Andriani dan Isnaini, 2013).

5
6

Malai

Batang

Gambar 1. Tanaman Sorgum

(Sumarno et al., 2013)

Sorgum dapat tumbuh pada daerah tropis atau subtropis, dari dataran

rendah sampai 800 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum pertumbuhan

sorgum berkisar antara 23-30°C dengan kelembapan relatif 20-40%. Sorgum tidak

terlalu peka terhadap pH tanah, untuk pertumbuhan yang optimum pH berkisar

5.5-7.5 (Mardawati et al., 2010). Keunggulan sorgum terletak pada daya

adaptasinya yang luas, toleran terhadap kekeringan, produktivitas tinggi, dan lebih

tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya

(Andriani dan Isnaini, 2013). Secara fisiologis, permukaan daun sorgum yang

mengandung lapisan lilin dan sistem perakaran yang ekstensif, fibrous, dan dalam

cenderung membuat tanaman lebih efisien dalam absorpsi dan pemanfaatan air

(laju evapotranspirasi sangat rendah) (Simanjutak, Purba dan Irmansyah, 2016).

Menurut Hubeis (1984) dalam Mardawati et al., (2010), sorgum

diklasifikasikan dalam 4 golongan berdasarkan cara penggunaannya sebagai

berikut :

1. Sorgum Biji (Grain Sorghum)


7

Sorgum biji mempunyai bentuk butir biji relative besar dan terpisah dari

sekamnya serta mempunyai warna butiran putih, kuning, merah, dan merah muda.

Sorgum biji umumnya dimanfaatkan sebagai makanan seperti beras-sorgum,

tepung sorgum, ataupun tape sorgum.

2. Sorgum Manis (Sweet Sorghum)

Sorgum manis memiliki biji yang lebih kecil dari jenis sorgum biji, dan

berwarna putih dan cokelat. Kadar taninnya cukup tinggi sehingga daya cernanya

rendah. Jenis sorgum ini biasanya dimanfaatkan sebagai makanan ternak atau

diolah menjadi sirup dan minuman beralkohol.

3. Sorgum Sapu (Broom Sorghum)

Sorgum sapu mempunyai biji kecil yang tertutupi oleh glumae. Bentuk biji

cembung dan berwarna cokelat. Jenis sorgum ini dimanfaatkan sebagai bahan

baku untuk industri sapu, meliputi antara lain varietas Kaoliang dan Technicum

Jav.

4. Sorgum Rumput (Grass sorghum)

Sorgum rumput mempunyai biji yang tertutup oleh glumae, bentuk biji

cembung memanjang dan runcing serta warna biji bervariasi dari kuning gelap,

cokelat, cokelat kemerahan, keabu-abuan sampai merah lembayung. Sorgum

rumput dimanfaatkan sebagai makanan ternak antara lain dikenal sebagai Sudan

grass dan Johnson grass.

Biji sorgum terdari atas tiga lapisan utama yakni perikap (6%),

endosperma (84%) dan lembaga (10%). Biji sorgum mempunyai warna yang

berbeda yang dipengaruhi oleh ketebalan perikarp, ada tidaknya pigmen testa serta
8

warna endosperm. Warna biji sorgum antara lain putih, putih kecoklatan, merah

dan coklat, merupakan salah satu kriteria yang menentukan kegunaannya (Rooney

dan Murty, 1982 dalam Mardawati et al., 2010). Umumnya biji sorgum berbentuk

bulat dengan ukuran 4 x 2,5 x 3,5 mm. Berat biji bervariasi antara 8-50 mg, rata-

rata 28 mg. Berdasarkan ukurannya, sorgum dibagi atas sorgum biji kecil (8-10

mg), biji sedang (1224 mg), dan biji besar (25-35 mg) (Suarni dan Firmansyah,

2013). Biji sorgum terdiri atas tiga bagian utama, yaitu lapisan luar (coat),

endosperm dan lembaga. Berikut ini merupakan gambar struktur biji sorgum

sebagai berikut :

Gambar 2. Struktur Biji Sorgum

(Sumarno et al., 2013)

a. Perikarp

Perikarp adalah lapisan kulit biji yang mengelilingi endosperma dan terdiri

atas tiga bagian yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Epikarp tersusun atas dua

hingga tiga lapis sel memanjang berbentuk segiempat dan umumnya dilapisi lilin

serta mengandung pigmen. Mesokarp memiliki ketebalan jaringan yang berbeda-


9

beda, sel-selnya mengandung granula pati, penampakannya seperti kapur karena

tidak tembus cahaya tetapi ada pula yang tembus cahaya (translucent). Ketebalan

mesokarp menentukan ketebalan perikarp secara keseluruhan. Endocarp tersusun

dari sel-sel melintang (cross-cells) dan sel-sel tabung (tube-cells) dengan panjang

200 µm dan lebar 5 µm yang tersusun parallel sepanjang biji (Serna-Saldivar dan

Rooney, 1955 dikutip Puppala, 2003).

Testa terletak di bawah perikarp yang pada beberapa jenis sorgum

mengandung senyawa-senyawa polifenol yang dikenal sebagai tanin. Semua jenis

sorgum mengandung asam fenolat atau fenol dan flavonoida, sedangkan hanya

jenis sorgum dengan testa berpigmen yang mengandung tanin terkondensasi.

Asam fenolat adalah turunan dari asam benzoat dan asam sinamat. Senyawa

flavonoida utama pada biji sorgum adalah flavan-3-en-3-ol atau antosianidin,

sedangkan tanin adalah polimer yang terdiri dari unit 5-7-flavan-3-ol (katekin)

yang dihubungkan satu sama lain oleh ikatan kovalen (Gous, 1989 dikutip Turner,

2004).

Menurut Duodo et al., (2002) dikutip Kebakile (2008) senyawa tanin dapat

membentuk ikatan dengan protein yaitu prolamin (kafirin) sehingga terbentuk

kompleks protein-tanin yang tidak dapat dicerna. Sorgum dapat dikategorikan

berdasarkan kandungan dan struktur tanin, biji sorgum dibedakan menjadi sorgum

tipe I tidak memiliki tanin pada testa (< 0,25%), tipe II memiliki tanin pada testa

(0,5-1,5%), dan tipe III memiliki tanin pada testa dan perikarp (0,5-6%). Sorgum

tipe II memiliki tanin yang hanya dapat diekstrak dengan asam methanol (Hahn et

al., 1984 dikutip Turner, 2004).


10

b. Endosperma

Endosperma adalah komponen terbesar dari kernel (inti). Sebagian besar

pati dan protein ditemukan di dalam endosperm. Endosperma terdiri dari jaringan

aleuron, jaringan peripheral, corneous endosperm, dan floury endosperm.

Jaringan aleuron, yang terletak tepat di bawah kulit biji atau testa, merupakan

penutup luar dan terdiri dari satu lapisan sel berbentuk segi-empat. Jaringan ini

berada di bawah jaringan testa serta mengandung protein, fitin, mineral, vitamin

larut air, dan enzim otolitik, namun tidak mengandung granula pati. Jaringan

peripheral terdiri dari 2-6 lapis sel berukuran kecil yang mengandung granula pati

berdiameter 2 µm-30 µm. Granula pati tersebut terperangkap secara kuat dalam

suatu matriks protein yang terdiri dari glutein (protein larut alkali) dan prolamin

(protein larut alkohol) (Rooney dan Sullins, 1977 dikutip Puppala, 2003).

Corneous endosperm yang dikenal juga sebagai hard endosperm berada di

bawah jaringan peripheral. Corneous endosperm terdiri dari protein dan pati.

Granula pati itu berbentuk polyhedral dengan lekukan pada permukaannya.

Struktur corneous endosperm tersusun rapat sehingga corneous endosperm

terlihat tembus cahaya. Floury endosperm memiliki kenampakan seperti kapur

(chalky) dan tidak tembus cahaya serta tersusun atas granula pati berbentuk bulat

(spherical) dan tidak terikat pada matriks protein. Floury endosperm memiliki

susunan granula pati yang longgar dengan rongga udara di antara granula-granula

pati (Rooney dan Sullins, 1977 dikutip Puppala, 2003). Perbandingan corneous

endosperm dan floury endosperm dipengaruhi oleh genotip dan kondisi

lingkungan tumbuh. Perbandingan antara corneous endosperm dan floury


11

endosperm menentukan kekerasan biji sorgum. Biji sorgum dengan corneous

endosperm yang lebih banyak dibandingkan dengan floury endosperm memiliki

tekstur yang lebih keras dan karena itu diklasifikasikan ke dalam hard/corneous

endosperm (Rooney dan Murty, 1982 dikutip Puppala, 2003).

c. Lembaga

Lembaga biji sorgum terdiri dari bakal embrio (embryonic axis) dan

skutelum. Lembaga terikat kuat pada kariopsis oleh lapisan semen dan ikatan

silang antara skutelum dan endosperm serta sukar dihilangkan dengan proses

penggilingan. Ukuran dari lembaga bervariasi tergantung jenis sorgum, akan

tetapi pada semua jenis sorgum ukuran lembaga selalu sama dengan ukuran

endosperma (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Poros embrio terdiri dari bakal

akar (radicle) dan bakal batang (plumule). Pada saat berkecambah, radikel (akar

primer) tumbuh lebih awal diikuti kemudian oleh hipokotil yang melindungi

batang (plumule) yang baru tumbuh. Skutelum merupakan penghubung antara

lembaga dan endosperma. Skutelum berfungsi sebagai penyimpan zat nutrisi

utama yaitu minyak, protein, enzim, dan mineral yang dibutuhkan untuk

perkecambahan (Rooney dan Saldivar, 2000 dikutip Puppala, 2003).

II.1.1 Komponen Kimia Sorgum

Komposisi kimia dan senyawa fitokimia terdistribusi dengan kadar yang

berbeda pada setiap bagian. Perbedaan komposisi kimia dan kadar fitokimia pada

biji atau buah sangat dipengaruhi oleh tingkat ketuaan atau kematangan, kondisi

tanah, kondisi lingkungan dan cara pengolahan (Chludil et al. 2008). Komposisi
12

kimia sorgum bervariasi yang diperngaruhi oleh varietas, tanah dan lingkungan

penanamannya. Berikut ini merupakan perbandingan komponen nutrisi beberapa

jenis serealia sebagai berikut :

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Sorgum Dan Serealia Lain (Per 100gr)

Komodita Karbohidrat Protein Lemak Serat Energi

s (g) (g) (g) (%) (kal)


Sorgum 74,6 11,3 3,3 6,3 339
Beras 77,1 2,7 0,3 0,4 130
Jagung 74,4 9,4 4,7 7,3 365
Gandum 76,3 10,6 1,0 2,7 364
Sumber : Agricultural Research Service Plains Area (2009)

Nutrisi dasar sorgum tidak jauh berbeda dengan serealia lainnya. Secara

umum kadar protein sorgum lebih tinggi dari jagung, beras pecah kulit, dan

jawawut, tetapi lebih rendah dibanding gandum. Kadar lemak sorgum lebih tinggi

dibanding beras pecah kulit, gandum, jawawut, dan lebih rendah dibanding

jagung. Namun sorgum mempunyai kekurangan sebagai bahan pangan yaitu biji

sorgum mengandung zat antinutrisi, yaitu senyawa tanin yang menyebabkan rasa

sepat pada produk olahan (Suarni, 2012).

Komponen pati yang terkandung pada biji sorgum (82,5%) terkonsentrasi

pada endosperma, sedangkan pada bagian lembaga kangdungan lemak (18,9%)

dan komponen mineral (19,36%). Komposisi nutrisi bagian biji sorgum dapat

menjadi petunjuk pemanfaatannya, sehubungan dengan teknologi pengolahan

yang akan digunakan. (Suarni dan Firmansyah, 2013). Berikut ini merupakan

komposisi kimia beberapa jenis biji sorgum sebagai berikut :

Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Sorgum dalam 100 gr Bahan


13

Jenis Sorgum
Kultivar
Zat Gizi
Genotip 1.1 Genotip B100 Lokal

Bandung
Kadar Air (% b/b) 13,83 11,13 12,76
Kadar Abu (% b/k) 1,43 1,37 1,40
Kadar Protein (% b/k) 12,57 14,71 14,04
Kadar Lemak (% b/k) 3,67 2,77 3,28
Kadar Serat Kasar (% b/k) 3,20 3,54 4,09
Kadar Karbohidrat (% b/k) 82,34 81,15 81,28
Kadar Tanin (% b/k) 0,22 0,28 0,5
Sumber: Mardawati et al., (2010)

a. Karbohidrat

Kadar pati sorgum berkisar antara 56-73% dengan rata-rata 69,5%. Pati

sorgum terdiri atas amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%), bergantung pada

faktor genetik dan lingkungan (Suarni dan Firmansyah, 2013). Berdasarkan kadar

amilosanya sorgum dapat digolongkan menjadi jenis beras (non-waxy sorghum)

dan jenis ketan (waxy sorghum). Jenis non-waxy sorghum mengandung amilosa

sebesar 21%-28%, sedangkan jenis waxy sorghum kandungan amilosanya hanya

1%-2%. Granula pati biji sorgum memiliki diameter antara 6 µm-24 µm dan suhu

gelatinisasi 68oC-76oC (Hermawan, 2014). Sorgum mengandung dua jenis serat

yaitu serat kasar dan serat pangan masing-masing berkisar antara 6,5%-7,9% dan

1,1%-1,23%. Serat kasar tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia

sehingga penyosohan perikarp biji sorgum perlu dilakukan untuk menghilangkan

serat kasar yang dikandungnya (Rooney dan Saldivar, 1995 dikutip Kebakile,

2008).

b. Protein
14

Protein merupakan komponen utama kedua yang berjumlah sekitar 12%

dari berat biji keseluruhan. Sebagian besar terdiri dari prolamin/kafirin dan

glutilun yang terkandung dalam endosprema, lembag, dan perikarp yang besarnya

berturut-turut sebesar 80%, 16%, dan 3% (Rooney dan Saldivar, 1995 dikutip

Kebakile, 2008). Kandungan protein biji sorgum dipengaruhi oleh faktor generik

dan lingkungan (Hermawan, 2014). Protein biji sorgum terdiri dari 4 fraksi yaitu

prolamin (larut dalam alkohol), glutelin (larut dalam alkali), albumin (larut dalam

air), dan globulin (protein larut dalam garam). Prolamin terdapat dalam protein-

bodies, glutelin terdapat pada matriks protein, sedangkan albumin dan globulin

terdapat di dalam lembaga. Prolamin merupakan fraksi protein terbesar yaitu

27%-43,1%, diikuti oleh glutenin 26,1%-39,6%, globulin 12,9%-16%, dan

albumin 2%-9% dari total protein biji sorgum (FAO,1995).

Kandungan protein sorgum tidak berbeda jauh dengan jagung bergantung

pada varietas dan lokasi pertanaman. Mutu protein suatu bahan pangan

ditunjukkan oleh komposisi asam aminonya. Tepung sorgum mengandung asam

amino leusin (1,31-1,39%) yang lebih tinggi dibanding terigu (0,88%) namun

kadar lisin tepung sorgum hanya 0,16%, jauh lebih rendah dibanding terigu 0,38%

(Suarni, 2012). Asam amino yang terkandung dalam biji sorgum sangat

memengaruhi mutu protein. Protein lembaga memiliki mutu protein yang lebih

baik dibandingkan dengan protein endosperma. Kandungan asam amino lembaga

terdiri dari 4,1% lisin, 3,4% threonine, 1,5% metionon, dan 1,0% sistein.

Endosperma mengandung asam amino lisin 1,1%, threonine 2,8%, metionin 1,0%,

dan sistein 0,8% (Mudjisihono dan Suprapto, 1987).


15

c. Lemak

Lemak merupakan komponen minor dari biji sorgum, jumlahnya berkisar

antara 2,77%-3,67%. Susunan lemak dari bagian-bagian biji adalah biji utuh

3,6%, sekam 4,9%, endosperma 0,63%, dan lembaga 18,9% dari berat biji

(Mardawati et al., 2010). Lemak sorgum terdiri atas tiga fraksi, yaitu fraksi netral

(86,2%), glikolipid (3,1%) dan fosfolipid (0,7%) (Widowati, 2010). Kandungan

lemak merupakan kriteria penting yang perlu diperhatikan karena dapat

berpengaruh pada ketengikan selama penyimpanan (Mardawati et al., 2010).

d. Vitamin

Sorgum mempunyai kandungan vitamin B kompleks. Diantara vitamin B,

kadar tiamin, riboflavin dan niasin di dalam sorgum sebanding dengan jagung.

Kadar niasin tertinggi ialah 9,16 mg/100g sorgum. Sorgum etiopia dengan kadar

asam amino Lisin yang tinggi mengandung niasin 10,5 – 11,5mg/100g, sedangkan

secara umum kadar niasin sorgum hanya berkisar antara 2,9-4,9mg/100g. Selain

itu sorgum juga mengandung vitamin B6 (0,5mg/100g), folasin (0,02mg/100g),

asam pantotenat (1,25mg/100g) dan biotin (0,042mg/100g) (Widowati, 2010).

e. Mineral

Sorgum kaya akan zat besi, yaitu 5,4mg/100g atau paling tinggi

dibandingkan dengan serealia lain, dan beras mengandung zat besi paling rendah

(1,8 mg/100g). Kadar kalsium sorgum (25mg/100g) sebanding dengan jagung

(26mg/100g). Selain itu sorgum juga mengandung P, Mg, Zn, Cu, Mn, Mo dan

Cr berturut-turut sebesar 352; 171; 2,5; 0,44; 1,15; 0,06 dan 0,017 mg/100g biji

(Widowati, 2010).
16

II.2 Tepung Sorgum

Sorgum merupakan salah satu serealia yang potensial untuk diproses

mejadi tepung. Pembuatan tepung terdiri dari 7 tahap, yaitu pembeersihan biji,

penyosohan, pengeringan dan blending (Mc Williams 2008 dikutip Tjahjadi

2011). Menurur Winarno (2002), penepungan dapat dilakukan dengan dua

metode, yaitu metode kering dan metode basah. Perbedaan antara metode kering

dan metode basah adalah adanya conditioning pada metode basah yang tidak ada

pada metode kering. Penyosohan yang dilakukan pada penelitian ini adalah

penyosohan kering.

Pada prinsipnya penyosohan bertujuan untuk melepas lapisan kulit

pericarp namun bagian dalam tetap terjaga (Mudjisihono dan Suprapto, 1987).

Menurut Mardawati et al (2010), teknik penyosohan dapat dibagi menjadi 3

macam, yaitu penyosohan tradisional, penyosohan alkalis dan penyosohan

mekanis. Lama penyosohan bervariasi, bergantung pada tingkat kekerasan biji,

cara penyosohan dan peralatan yang digunakan (Mc Neil dan Mantroos, 2003).

Penyosohan alami memanfaatkan gaya tekanan interaktif antara biji

sorgum dengan alat serta biji dengan menggunakan alu atau lumping. Rendemen

penyosohan berkisar anatar 70-80% (Lubi dan Thahir, 1994). Pada penyosohan

alkalis terjadi pelunakkan jaringan perikarp oleh larutan basa kuat, sehingga

perikarp dapat mudah dipisahkan dari bijinya tanpa terjadi kerusakan biji (Lazaro

dan Favier, 2000 dikutip Firmansyah et al, 2013). Penyosohan menggunkan

peralatan mekanis memanfaatkan gaya abrasif alat dengan permukaan kulit


17

sorgum, serta gesekan antara biji dengan biji tanpa diberi air. Kulit biji aka

tergesek dan terlepas dengan serpihan-serpihan kecil dalam bentuk dedak dan

bekatul (Firmansyah et al, 2013). Mesin penyosoh sorgum secara mekanis di

Indonesia adalah mesin penyosoh beras (rice-dehulling equipment) tipe abrasif

(Mardawati et al, 2010).

II.3 Ragi Roti

Ragi merupakan bahan pengembangan adonan yang memproduksi gas

karbondioksida (CO2) (Mudjajanto dan Yulianti, 2004 dikutip Lestari, 2010). Ragi

roti umumnya berupa khamir Saccharomyces cervisiae. S.cerevisiae tumbuh

optimum pada kondisi lingkungan dengan pH optimum 4-5, suhu 28-30 oC, dan

membutuhkan oksigen pada awal pertumbuhanya (Hidayat et al, 2006 dikutip

Irawan, 2012). Menurut Santoni (2008), suhu optimal fermentasi ragi pada

pembuatan ragi berkisar pada suhu 25-35oC dan menurun pada suhu sekitar 43oC.

Ragi akan mati pada suhu 55-56oC. Fermentasi yeast akan sangat melambat pada

suhu dibawah 26oC, dan akan berhenti beraktivitas disuhu 4oC.

Sel khamir pada ragi berbentuk silindris, dengan ukuran sel 5-20 mikron,

dan biasanya 5-10 kali lebih besar dari ukuran bakteri. Khamir ini bersifat non-

patogenik dan non-toksik, sehingga banyak digunakan dalam berbagai proses

fermentasi seperti pembuatan roti dan alkohol (Buckle er al., 2007 dikuti Irawan,

2012).

Menurut US. Wheat Assosiates (1983) dikutip Lestari (2010), ragi terdiri

dari sejumlah kecil enzim termasuk invertase, maltase dan zymase. Ragi
18

mempunyai kemampuan memfermentasi gula menjadi gas CO2 dan alkohol. Gas

CO2 akan menyebabkan roti mengembang dan alkohol akan hilang selama proses

pemanggangan. Ragi juga dapat memudahkan terbentuknya adonan dan memberi

aroma khas pada makanan.

Penguraian bahan organik oleh khamir disebabkan aktivitas enzim lipase

dan amilase yang bekerja dalam pemecahan lemak dan amilum dari substrat,

sehingga kandungan bahan organik selama fermentasi mengalami penurunan.

Bahan organik yang mengalami penurunan selama fermentasi adalah pati dan

lemak kasar karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi sebagai

pertumbuhan khamir (Umiyasih dan Anggraeny, 2008). Hal ini juga dikatakan

oleh Fleet (2006) yang menyatakan bahwa khamir memproduksi enzim

ekstraseluler amilase dan protease selama fermentasi, dilanjutkan dengan enzim α

amilase.

II.4 Sifat Kimia Tepung Sorgum

Karakteristik merupakan suatu hal yang digunakan untuk mengidentifikasi

sifat fisik, kimia, dan fungsional yang menjadi khas suatu bahan (Mahindru,

2000). Sifat kimia pada tepung meliputi: kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar

protein, dan kadar tannin.

a. Kadar Air

Kadar air adalah presentase kandungan air suatu bahan yang dapat

dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering

(dry basis). Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada
19

bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dam citarasa

pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran

dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan

mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan

terjadi perubahan pada bahan pangan. Kadar air setiap bahan berbeda tergantung

pada kelembaban suatu bahan. Semakin lembab tekstur suatu bahan, maka akan

semakin tinggi persentase kadar air yang terkandung di dalamnya (Winarno,

2004).

b. Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral

yang terdapat pada suatu bahan pangan (Astuti, 2012). Abu adalah zat anorganik

sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya

tergantung pada macan bahan. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral.

Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat berupa dua macan garam yaitu

garam organik dan anorganik. Garam organic misalnya garam-garam asam

mallat,oksalat, asetat, dan pektat. Garam anorganik antara lain dalam bentuk

garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat dan nitrat (Sudarmadji, 2003). Penentuan

kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan komponen yang tidak

mudah menguap (komponen anorganik atau garam mineral) yang tetap tinggal

pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Semakin rendah kadar abu

suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu

suatu bahan antara lain disebabkan oleh kandungan mineral yang berbeda pada
20

sumber bahan baku dan juga dapat dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada

saat pembuatan (Sudarmaji, 2003).

c. Kadar Lemak

Kadar lemak dalam suatu bahan pangan sangat penting diketahui agar

konsumsi makanan yang mengandung lemak ini tidak berlebihan dan tidak

mengakibatkan beberapa penyakit degenerative akibat kelebihan lemak. Lemak

merupakan bagian dari lipid yang mengadung asam lemak jenuh bersifat padat.

Lemak merupakan senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam

air tetapi larut dalam pelarut organik non-polar seperti dietil eter, kloroform,

benzene, hexane dan hidrokarbon lainnya. Terdapat dua jenis lemak yaitu lemak

jenuh dan lemak tidak jenuh. Lemak jenuh terdapat pada pangan hewani

(Makfoeld, 2002.)

Kadar lemak dalam suatu bahan pangan diketahui dengan cara

mengekstraksi lemak. Mengekstraksi lemak secara murni sangat sulit dilakukan,

sebab pada waktu mengekstraksi lemak, akan terekstaksi pula zat-zat yang larut

dalam lemak seperti sterol, phospholipid, asam lemak bebas, pigmen karotenoid,

khlorofil, dan lain-lain. Pelarut yang digunakan harus bebas dari air agar bahan-

bahan yang larut dalam air tidak terekstrak dan terhitung sebagai lemak dan

keaktifan pelarut tersebut menjadi berkurang. Pelarut ini seperti dietil eter,

hexane, benzene, dan lain-lain. Ada dua kelompok umum untuk mengektraksi

lemak yaitu metode ekstraksi kering dan metode ekstraksi basah.

d. Kadar Protein
21

Kandungan protein dalam tepung tidak hanya berfungsi sebagai nilai

nutrisi namun juga memberi pengaruh terhadap karakteristik adonan (Payne et

al., 1987). Kadar protein dalam suatu makanan dapat dianalisa dengan

menggunakan berbagai cara diantaranya dengan menggunakan metode kjeldahl.

Metode kjeldahl dapat dibedakan menjadi cara mikro, semi-mikro dan makro.

Perbedaan dari ketiga cara tersebut adalah pada sampel, alat dan bahan yang

digunakan. Penentuan protein dengan cara kjeldahl, kandungan unsur N yang

didapatkan tidak hanya berasal dari protein saja, karena jumlah kandungan

senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan

jumlah N total ini mewakili jumlah protein yang ada, sehingga disebut kadar

protin kasar. Analisa protein total kjeldahl terdiri atas tiga tahapan yaitu

deksturksi, destilasi dan titrasi (Sudarmadji et al., 1996.)

e. Kadar Tanin

Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena kemampuannya

membentuk ikatan komplek dengan protein. Kemampuan tanin untuk

mengendapkan protein ini disebabkan tanin memiliki sejumlah group fungsional

yang dapat membentuk komplek kuat dengan molekul-molekul protein, oleh

karena itu secara umum tanin dianggap sebagai anti-nutrisi yang merugikan.

Ikatan antara tanin dan protein sangat kuat sehingga protein tidak mampu

tercerna oleh saluran pencernaan. Pembentukan komplek ini terjadi karena

adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen antara kedua

senyawa tersebut (Makkar, 1993).


22

Kadar tanin dapat diuji menggunakan metode spektrofotometri dan

permanganometri. Metode titrasi Permanganometri merupakan pengukuran

volume suatu larutan yang diketahui konsentrasinya dengan pasti, yang

diperlukan untuk bereaksi sempurna dengan salah satu volume tepat zat yang

akan ditentukan. Larutan yang kadarnya diketahui dengan pasti dinamakan

larutan baku atau larutan standar (DepKes RI, 1989). Titrasi permanganometri

berdasarkan proses oksidasi-reduksi atau redoks. Metode spektrofotometri

menggunakan sumber radiasi sinar tampak dengan memakai instrument

spektrofotometer (Mulja, 1995). Penetapan kadar tanin total dilakukan dengan

menggunakan reagen Folin Ciocalteau. Reagen Folin Ciocalteau digunakan

karena senyawa fenolik dapat bereaksi dengan folin membentuk larutan berwarna

yang dapat diukur absorbansinya.

II.5 Sifat Fungsional Tepung Sorgum

Sifat fungsional pati antara lain dapat dilihat dari bentuk kapasitas

penyerapan air dan minyak, kelarutan dan swelling power. Dalam bentuk aslinya

secara alami pati merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan

untuk identifikasi (Hill dan Kelley, 1942 dikutip Koswara, 2009).

Pengukuran kapasitas penyerapan air atau Water Absorption Capacity

(WHC) berfungsi untuk mengetahui apakah suatu bahan dapat dicampurkan

dengan bahan cair lain (terutama air) dalam suatu formula makanan, terutama

berhubungan dengan pengolahan adonan (Okeria et al., 1988 dan Giami, 1993

dikutip Alka et al., 2012). WHC juga menunjukkan besar air yang dapat diserap
23

pada proses gelatinisasi. Menurut Alka et al., (2012) pengukuran kapasitas minyak

atau Oil Holding Capacity (OHC) berfungsi untuk mengetahui besar minyak yang

dapat diserap oleh bahan. Hal ini penting pada pembuatan makanan berbasis

tepung sorgum yang membutuhkan pengikatan minyak, seperti pada

penggorengan.

Menurut Prabowo (2010) kelarutan merupakan suatu kemampuan bahan

untuk larut dalam air. Kelarutan menunjukkan karakteristik sifat pati setelah

dilakukan pemanasan. Hasil sentrifugasi pada proses pengukuran tingkat kelarutan

menghasilkan dua fraksi pati yaitu fraksi pati pembentuk gel dan fraksi pati

terlarut. Pengukuran tingkat kelarutan didasarkan pada jumlah fraksi pati yang

terlarut atau tidak membentuk gel.

Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati

selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling power menunjukkan

kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi

berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air. Nilai

swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah

yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling,

wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut (Suriani, 2008).

II.6 Modifikasi pati

Modifikasi pati dilakukan untuk mengubah sifat kimia dan atau sifat fisik

pati secara alami. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan cara memotong struktur

molekul, menyusun kembali struktur molekul, oksidasi, atau melakukan substitusi


24

gugus kimia pada molekul pati (Wurzburg, 1989). Modifikasi dapay dilakukan

melalui metode fisik, kimi dan biokimia (Herawati, 2011).

Modifikasi scara fisik dilakukan dengan beragam perlakuan panas

(BeMiller, 2016). Proses gelatinisasi, propagasi, dan perlakuan panas dibutuhkan

untuk memproduksi pati modifikasi yaitu pati resisten yang memiliki kalori

rendah terkait dengan adanya daya tahan cerna selama proses pencernaan (Haynes

et al., 200 dikuti Suprijadi, 2012).

Modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan asam,

oksidasi, cross-linking, starch esters, starch ethers, kationik. Modifikasi pati

secara kimia dapat menyebabkan terjadinya cross-linking sehingga memperkuat

ikatan hydrogen dalam molekul pati (Yavuz, 2003 dikuti Amin, 2013).

Metode modifikasi secara biokimia dilakukan dengan melalui kerja enzim,

baik enzim murni maupun mikroorganisme produsen enzim yang dapat merubah

struktur pati pada bahan lewat proses fermentasu. Menurut Robyt (2009), kerja

enzim dalam mengubah struktur pati dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu (1)

Enzim yang menghidrolisis ikatan α(1,4)-D-glukosida (amilase), (2) Enzim yang

menghidrolisi ikatan α(1,6)-D-glukosida (isomilase), (3) Enzim yang mentrasfer

ikatan α(1,4)-D-glukosida (glukanosiltransferase), dan (4) Enzim ikatan (α(1,4)-

α(1,6) tranferase. Enzim amylase sendiri dikategorikan oleh Rubyt (2009) menjadi

3 jenis yaitu : Endoenzim α amylase, eksoenzim β amilase, dan isoamilase.

Fermentasi adalah metode turun menurun yang digunakan dalam proses

pengolahan bahan pangan dengan tujuan untuk meningkatkan daya simpan,

memperbaiki palabilitas (daya penerimaan) dan memperbaiki kecernaan


25

(Fadlallah et al., 2010). Metode fermentasi secara alami telah dikenal sejak lama

dan diketahui dapat meningkatkan nutrisi pada bahan makanan, baik komponen

makro (karbohidrat, protein) maupun komponen mikro (vitamin, mineral) (Wood,

2016). Modifikasi pati dengan cara fermentasi memfokuskan pada kerja enzim

mikroorganisme pada saat fermentasi yang mengubah struktur pati dalam bahan.

Menurut Taylor (2016), fermentasi dipengaruhi faktor instrinsik dan

ekstrinsik. Faktor tersebut antara lain pH, RH (kelembaban), potensial redoks,

komposisi nutrient dan komposisi bahan. Ragi termasuk dalam golongan khamir,

yang tumbuh pada rentang pH yang luas dengan pH optimum 4-4.5, sedangkan

bakteri asam laktat tumbuh pada pH rendah (pH<4) dimana pada pH tersebut

jarang sekali bakteri pembusuk dan mikroba patogen dapat hidup.

Kelembaban berhubungan dengan aktifitas air (Aw). Bakteri

membutuhkan Aw tumbuh sebesar 0,9, sedangkan khamir membutuhkan Aw

tumbuh 0,88. Potensial redoks berhubungan dengan kebutuhan oksigen oleh

mikroorganisme. Mikroorganisme aerobik membutuhkan lingkungan dengan Eh

positif, sedangkan mikroorganisme anaerobik membutuhkan lingkungan dengan

Eh negatif. Bakteri asam laktat tumbuh pada situasi anaerobik atau kondisi sedikit

oksigen, sedangkan ragi membutuhkan oksigen pada jumlah cukup di awal

pertumbuhannya. Komposisi nutrient pada bahan mempengaruhi jenis fermentasi.

Mikroorganisme fermentasi dapat menghasilkan senyawa alkohol atau senyawa

non alkohol tergantung pada nutrient yang tersedia. Faktor eksternal seperti suhu

juga mempengaruhi fermentasi (Taylor, 2016).


26

Menurut Wood (2016) juga menambahkan bahwa fermentasi pada produk

pangan dipengaruhi oleh kondisi bahan yang akan difermentasi. Pengkondisian

sebelum tahapan fermentasi mempengaruhi hasil akhir fermentasi dan

mikroorganisme apa yang akan tumbuh. Beberapa mikroorganisme yang memiliki

enzim hidrolisis (seperti amilase atau protease) dapat memecah bahan dan

menyediakan nutrisi untuk mikroorganisme selanjutnya seperti bakteri asam laktat

dan khamir.

Fermentasi alami pada produk tradisional dilakukan sebagian besar oleh

bakteri asam laktat dan beberapa jenis khamir. Fermentasi alami buah dan umbi

juga dilakukan oleh bakteri asam laktat. Fermentasi alami pada biji-bijian

dilakukan terutama oleh bakteri asam laktat yang terasosiasi dengan khamir

seperti pada pembuatan koji dan malt dari barley (Wood, 2016).

Fermentasi tradisional juga dilakukan dengan cara back slopping yaitu

penggunaan bahan sebelumnya yang sudah difermentasi sebagai inokulum

mikroorganisme untuk fermentasi bahan selanjutnya. Fermentasi tradisional

menunjukkan peningkatan masa simpan, peningkatan flavor bahan, menurunkan

kadar komponen antinutrisi (Wood, 2016), peningkatan ketersediaan asam amino,

vitamin dan mineral (Elkhalifa et al., 2005), serta peningkatan daya cerna pati dan

protein pada bahan (Alka et al., 2012).

Fermentasi oleh khamir berupa proses pemecahan gula-gula sederhana

(glukosa dan fruktosa) menjadi etanol dan CO 2 dengan melibatkan enzim yang

dihasilkan pada ragi pada suhu optimum. Proses fermentasi tergantung pada

banyak sedikitnya penambahan khamir dalam bahan. Semakin banyak jumlah ragi
27

yang diberikan berarti semakin banyak jumlah khamir yang terlibat, sehingga

kadar alkohol meningkat (Tarigan, 1990 dikuti Irawan, 2012).

Penguraian bahan organik oleh khamir disebabkan aktivitas enzim lipase

dan amilase yang bekerja dalam pemecahn lemak dan amilum dari substrat

sehingga kandungan bahan organik selama fermentasi megalami penurunan.

Bahan organik yang mengalami penurunan selama fermentasi tersebut adalah pati

dan lemak kasar karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi sebagai

pertumbuhan khamir (Umiyasih dan Anggraeny, 2008). Hal ini juga dikatakan

oleh Fleet (2006), yang menyatakan bahwa khamir memporduksi enzim

ekstraseluler amilase dan proteasae selama fermentasi, dilanjutkan dengan enzim

α amilase.

Contoh dari enzim α-amilase adalah enzim ptialin pada mulut manuasi dan

dihasilkan juga oleh mikroorganisme Aspergillus oryzae, Bacillus

amyloliquefaciens, B.subtillis var.saccharitikus, B.coagulans, dan Pseudomonan

saccharophila. α amilase dari beragam mikroorganisme menghasilkan jumlah

produk yang beragam pula. Pada tahapan primer, α amilase menghasilkan

maltodekstrin, maltotriosa, dan maltotetraosa dan kemudian menghasilkan

glukosa pada tahap sekunder. α amilase disebut endoenzim dikarenakan kerja

enzim tersebut yaitu dengan cara masuk ke dalam struktur pati dan bekerja pada

bagian celah dalam unit glukosa pati (Robyt, 2009).


III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS

III.1 Kerangka Pikiran

Sorgum merupakan bahan pangan alternatif pengganti karbohidrat.

Kandungan karbohidrat mencapai (74.63 gr/100gr bahan) lebih tinggi daripada

gandum (71.97 gr/100 gr bahan) dan peringkat ketiga setelah padi (79.15 gr/100

gr bahan), dan jagung (76.85 gr/100 gr bahan) (USDA, 2011). Sorgum

mempunyai kandungan gizi dasar yang tidak kalah dibandingkan dengan serealia

lain dan kandungan gizi pada sorgum terdiri atas karbohidrat 70-80%, protein 11-

13%, lemak 2-5%, serat 1-3% dan abu 1-2% (Magness et al., 1971 dikutip

Prassad and Staggenborg 2013).

Menurut Sumarno et al (2013) potensi sorgum sebagai bahan pangan

cukup besar, karena kandungan nutrisi pada sorgum lebih tinggi dari pada bahan

pangan lain, sehingga sering digunakan sebagai substitusi bahan pangan untuk

produk olahan, terutama yang berbasis beras maupun terigu. Menurut Colas

(1994) dikutip Suarni (2004) sorgum memiliki kandungan kimia dan gizi yang

mirip dengan gandum dan serealia lainnya, maka sorgum memiliki potensi untuk

digunakan sebagai pengganti tepung terigu.

Menurut Agnia (2015) tepung sorgum memiliki kekurangan yaitu derajat

putih yang rendah, swelling power yang rendah, viskositas breakdown rendah, dan

viskositas puncak yang rendah. Maka dari itu diperlukan modifikasi untuk

memperbaki kekurangan dari tepung sorgum yang dihasilkan. Menurut Herawati

(2011) modifikasi pati dapat dilakukan melalui metode fisik, kimia dan biokimia.

28
29

Metode modifikasi pati secara biokimia dilakukan melalui kerja enzim,

baik enzim murni maupun mikroorganisme produsen enzim yang dapat merubah

struktur patipada bahan lewat proses fermentasi. Metode fermentasi secara alami

telah dikenal sejak lama dan diketahui dapat meningkatkan nutrisi pada bahan

makanan, baik komponen makro maupun komponen mikro (Wood, 2016).

Proses fermentasi sorgum tradisional dilakukan secara spontan dan

hasilnya dapat memperbaiki sifat fungsional tepung sorgum. Fermentasi dapat

meningkatkan daya cerna dari komponen nutrisi yang terkandung dalam tepung

sorgum. Menurut Correia et al (2010) peningkatan daya cerna protein terbesar

terjadi pada sampel tepung sorgum hasil fermentasi dan germinasi dibandingkan

dengan sampel tepung sorgum hasil proses pemanasan basah, sampel hasil

pemanasan kering, dan sampel tepung sorgum hasil ekstruksi. Peningkatan daya

cerna protein juga terjadi pada penelitian Raihanatu et al ( 2010).

Menurut Towo et al. (2006) proses fermentasi secara alami juga dapat

menurunkan zat anti nutrisi yaitu kadar asam fitat dan komponen fenolik pada

tepung sorgum. Hal ini juga terlihat adanya peningkatan ketersediaan mineral zat

besi dari tepung tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Alka (2012)

menunjukkan pati sorgum terfermentasi alami dengan interval pengambilan

sampel setiap 12 jam mengalami peningkatan daya cerna pati (dari 11% pada jam

ke-0 menjadi 37% pada ja, ke-36).

Proses fermentasi tidak spontan dilakukan dengan adanya penambahan

khamir (ragi) pada proses fermentasi. Dimana khamir tersebut akan memecah

struktur pati secara amilolitik dan merubah struktur pada pati tersebut.
30

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Armanda dan Putri (2016) ragi tape

yang digunakan dengan konsentrasi 2%, 4%, dan 6% sebagai mikroorganisme

fermentasi epung sorgum coklat utuh. Dimana semakin tinggi konsentasi ragi

yang digunakan serta semakin lama waktu fermentasi yang dilakukan maka

semakin menurun kadar air, kadar pati, dan kadar taninnya, sedangkan terjadi

peningkatan pada nilai swelling point, kelarutan dan viskositasnya (Armanda dan

Putri, 2016).

Menurut Angelina et al (2013) mengenai penggunaan S. cerevisiae pada

fermentasi tepung sorgum juga memperlihatkan adanya peningkatan ketersediaan

mineral dan penurunan kadar air serta kadar pati dengan lama fermentasi optimal

pada jam ke 60 menghasilkan tepung kadar air, lemak, serat, protein, karbohidrat,

dan abu masing-masing sebesar 12.8%, 3.10%, 0.56%, 5.87%, 75.82% dan

1.79%. Berdasarkan penelitian Maoura et al (2005) S. cerevisiae secara alami

ditemukan dalam bir tradisional sorgum dan S. cerevisiae juga digunakan pada

pembuatan burukutu (cuka dari sorgum) dengan waktu fermentasi 48 jam pada

suhu ruang (Chinedu et al., 2010).

Karakteristik pada tepung fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi selain mikroorganisme yaitu waktu

dan suhu fermentasi. Menurut Elkhalifa (2005) perubahan sifat pati sorgum pada

fermentasi alami terjadi paling stabil pada waktu fermentasi diatas 24 jam.

Fermentasi pada 24 jam awal terjadi fluktuasi terutama pada jam ke-16 terjadi

peningkatan kapasitas emulsifikasi yaitu dari 49% menjadi 52%, lalu kemudian

terjadi penurunan pada jam ke-24 menjadi 51%, sehingga dapat diambil waktu
31

interval jam ke-12, ke-24, ke-36 dan seterusnya. Hal ini juga dilakukan pada

penelitian Angelina et al (2013) yang menunjukkan waktu fermentasi ragi roti

pada sorgum yang optimal pada jam ke-60, dengan lama fermentasi selama 72

jam dan interval pengambilan sampel 12 jam sekali, dan suhu yang digunakan

30oC, dimana suhu tersebut juga digunakan pada penelitian Rayana et al (2013).

Berdasarkan penelitian Elkhalifa et al (2005) fermentasi alami sorgum

dilakukan pada suhu 35-37oC, dimana suhu tersebut juga dilakukan pada

penelitian Alka et al (2012) dan Marengo et al (2015). Suhu 35-37oC merupakan

suhu optimal bakteri asam laktat yang menurut El Hidai (1978) merupakan

mikroorganisme utama dalam fermentasi alami sorgum.

Menurut Satuhu dan Supardi (1994) dikutip Setiawati et al (2013),

konsentrasi ragi yang digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan

etanol secara optimalnya adalah 2-4% dari volume larutan, sehingga dalam proses

modifikasi tepung memerlukan konsentrasi ragi kurang dari 2%, sedangkan

menurut Winarno dan Fardiaz (1992) apabila konsentrasi ragi yang diberikan

kurang dari kadar optimal akan menurunkan kecepatan fermentasi karena jumlah

massa yang akan menguraikan substrat sedikit dan konsentrasi ragi yang tinggi

memerlukan substrat dalam jumlah tinggi.

Penelitian Gunawan et al (2015) mengenai pengaruh fermentasi terhadap

komposisi kimia tepung dengan menggunakan S.cerevisiae sebanyak 1 gram ragi

dari berat singkong. Menurut Kustyawati et al (2013) S.cerevisiae yang berasal

dari ragi instant, maka digunakan sebanyak 1 gram ragi instant yang kemudian

diambil inokulum S.cerevisiae sebanyak 1010 sel/ml. inokulum S.cerevisiae


32

sebanyak 1010 sel/ml diperoleh dengan cara melarutkan 1 gram ragi instant

komersil dengan 9 ml akuades steril dan dihomogenkan dengan vortex.

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Alka et al

(2012) dimana modifikasi tepung sorgum secara fermentasi spontan dilakukan

dengan pencampuran bahan dengan akuades, inkubasi, pengeringan, penggilingan,

dan pengayakan. Modifikasi tepung sorgum yang difermentasi dengan

penambahan ragi roti dilakukan dengan adanya pencampuran bahan dengan

akuades, penambahan ragi roti 1%, inkubasi, pengeringan, penggilingan dan

pengayakan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik kimi dan

fungsional dari tepung sorgum terfermentasi spontan dan tidak spontan

menggunakan ragi roti 1% pada beberapa tingkatan waktu yaitu fermentasi pada

jam ke-0, ke-12, ke-24, ke-36, ke-48 dan ke-60.

III.2 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pikiran di atas, maka dapat diambil hipotesis

sebagai berikut : “modifikasi tepung sorgum merah Kultivar Lokal Bandung yang

difermentasi secara spontan dan tidak spontan menggunakan ragi roti pada

tingkatan waktu tertentu akan berpegaruh nyata pada karakteristik kimia dan

fungsional tepung sorgum yang dihasilkan”.


IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

IV.1 Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember-Februari 2019 di

Laboratorium Pilot Plant, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Jasa Uji,

dan Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Departemen Teknologi Industri

Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran.

IV.2 Bahan dan Alat Percobaan

IV.2.1 BahanPercobaan

Bahan baku yang digunakan dalam percobaan ini adalah tepung sorgum

merah Kultivar Lokal Bandung, akuades, ragi, larutan etanol 95% larutan NaOH 1

N, larutan iod, larutan amilosa, asam asetat, buffer fosfat pH 6,9, reagen 3,5

DNS, larutan 40% tartarat, K2Cr2O7 H2SO4.

IV.2.2 Alat Percobaan

Perlatan yang diperlukan dalam penelitian ini terbagi atas alat percobaan

dan alat analisis. Alat percobaan yang digunakan yaitu disc mill, inkubator, batang

pengaduk, labu erlenmeyer, baskom, loyang, timbangan, oven kabinet, dan ayakan

80 mesh. Alat analisis yang digunakan yaitu spatula,pipet tetes, pipet volume,

gelas ukur, beaker glass, labu ukur, pH meter, waterbath, tabung sentrifuse,

mikroskop, krustang, timbangan, neraca analitik, grinder, ayakan tyler, pH meter

analitik, tanur, oven kabinet, Rapid Visco Analyzer (RVA), Table Electron

Microscope (TEM), dan milling meter.

33
34

IV.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen yang

dilanjutkan dengan analisis deskriptif. Hasil pengamatan utama disajikan dalam

bentuk grafik dimana sumbu y berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar

lemak, kadar karbohidrat, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak,

dan swelling power. Sedangkan sumbu x yaitu lama fermentasi. Analisis

dilakukan selama 60 jam dalam interval waktu analisis 12 jam, sehingga

dihasilkan 6 titik pengamtan. Perlakuan yang akan dilakukan adalah sebagai

berikut.

A. Tepung sorgum modifikasi terfermentasi alami / spontan (TSA)

TSA 1. Tepung sorgum fermentasi alami jam ke-0

TSA 2. Tepung sorgum fermentasi alami jam ke-12

TSA 3. Tepung sorgum fermentasi alami jam ke-24

TSA 4. Tepung sorgum fermentasi alami jam ke-36

TSA 5. Tepung sorgum fermentasi alami jam ke-48

TSA 6. Tepung sorgum fermentasi alami jam ke-60

B. Tepung sorgum modifikasi terfermentasi menggunakan ragi roti / tidak

spontan (TSR)

TSR 1. Tepung sorgum terfermentasi ragi roti jam ke-0

TSR 2. Tepung sorgum terfermentasi ragi roti jam ke-12

TSR 3. Tepung sorgum terfermentasi ragi roti jam ke-24

TSR 4. Tepung sorgum terfermentasi ragi roti jam ke-36

TSR 5. Tepung sorgum terfermentasi ragi roti jam ke-48


35

TSR 6. Tepung sorgum terfermentasi ragi roti jam ke-60

IV.4 Pelaksanaan Penelitian

Pada penelitian utama akan dilakukan sebagai berikut:

1. Pencampuran Bahan

Tepung sorgum dilarutkan pada air destilasi dengan perbandingan 1:2

(w/v) untuk menaikkan kadar air bahan pada wadah plastik bertutup.

Wadah plastik tidak ditutup rapat agar udara dapat masuk, kemudian

wadah ditempatkan ke dalam inkubator untuk proses fermentasi.

2. Penambahan Inokulum Ragi (untuk perlakuan tepung kode TSR)

Penambahan ragi dilakukan sebesar 1% dari berat bahan tepung sorgum

merah yang digunakan sebagai inokulum fermentasi (w/w).

3. Fermentasi

Fermentasi dilakukan pada suhu 35± 2oC dan diambil sampel setiap 12 jam

sekali pada jam fermentasi ke-0, ke-12, ke-24, ke-36, ke-48 dan ke-60

untuk melihat perubahan karakteristiknya.

4. Pengeringan

Tepung yang sudah difermentasi lalu dikeringkan pada suhu 50oC selama

12 jam. Pengeringan ini bertujuan untuk menguapkan air yang terdapat

dalam tepung. Tepung dianggap telah selesai dikeringkan apabila telah

mencapai kadar air maksimal 13% atau memiliki ciri-ciri tidak menempel

pada loyang.

5. Penggilingan dan Pengayakan


36

Tepung modifikasi setelah dikeringkan kemudian digiling dan diayak

dengan ayakan 80 mesh, sehingga diperoleh tepung dengan tekstur yang

halus.

Tepung Sorgum : akuades


1: 2 (w/v)

Pencampuran

Fermentasi
(T= 35 ± 2oC, t= 60 jam)

Pengambilan sampel (setiap 12 jam)

Pengeringan
(T= 50 ± 2oC, t= 12 menit)

Penggilingan

Pengayakan 80 mesh

Tepung fermentasi alami


(TSA)

Gambar 6. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Sorgum

Modifikasi secara Fermentasi Spontan

Sumber: Modifikasi Alka et al., (2012)


37

Tepung Sorgum : akuades


1: 2 (w/v)
Ragi roti
1% (w/w)
Pencampuran

Fermentasi
(T= 35 ± 2oC, t= 60 jam)

Pengambilan sampel (setiap 12 jam)

Pengeringan
(T= 50 ± 2oC, t= 12 menit)

Penggilingan

Pengayakan 80 mesh

Tepung fermentasi
menggunakan ragi roti (TSR)

Gambar 7. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Sorgum

Modifikasi secara Fermentasi dengan Penambahan Ragi Roti

Sumber: Modifikasi Alka et al., (2012)


38

IV.5 Kriteria Pengamatan

1. Sifat Kimia

a. Kadar air metode thermogravimetri (AOAC, 2005)

b. Kadar abu, metode pengabuan kering (AOAC, 2005)

c. Kadar protein, metode biuret (AOAC. 2005)

d. Kadar Lemak, metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 2005)

e. Kadar Tanin (Folin-Ciocalteu)

2. Sifat Fungsional

a. Kapasitas Penyerapan Air (Kadan et al., 2003)

b. Kapasitas Penyerapan Minyak (Sathe dan Salunkhe, 1981)

c. Kelarutan (Collado dan Corke, 1988).

d. Swelling Power (Collado dan Corke, 1988).


DAFTAR PUSTAKA

Aghnia, E. S. 2015. Kajian Karakteristik Tepung Sorgum Putih (Sorghum bicolor


(L.) Moench) Kultivar Lokal Bandung Dengan Variasi Lama Penyosohan.
Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjajaran,
Jatinangor.

Alka, S., Neelam, Y. & Shruti, S. 2012. Effect of Fermentation on


Physicochemical Properties & in Vitro Starch and Protein Digestibility of
Selected Cereals. International Journal of Agriculture and Food Science, pp.
66-70.

Amin, Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia
Pati Tapioka Termodifikasi. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas
Hasanuddin, Makassar.

Andriani, Aviv dan Muzdalifah Isnaini. 2013. Morfologi dan Fase Pertumbuhan
Sorgum. Dalam: Sumarno, D. S. Damardjati, M.Syam & Hermanto,
Penyunt. Sorgum: Inovasi Teknologi dan Pengembangan. IAARD Press,
Jakarta, pp. 47-68.

Angelina, A., T, Rosiana., N, Istianah., S, Gunawan. dan A, K. Anal. 2013.


Pengujian Parameter Biji Sorghum dan Pengaruh Analisa Total Asan Laktat
dan pH pda Tepung Sorghum Terfermentasi Menggunakan Baker’s Yeast
(Saccharomyces cerevisiae). Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi
Sepuluh November, Surbaya.

Armanda, Y. dan Putri, W. D. R. 2016. Physicochemical Characteristics of Whole


Grain Brown Sorghum Flour Fermented with a Traditional Mixed Culture
Called ‘Ragi Tape’. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 2, pp. 458-
467.

Chinedu, M., S, O. Y. & I, E. M. 2010. Fermentation of Sorghum Using Yeast as


a Starter Culture for Burukutu Production. Wilolud Journals, Volume 3, pp.
63-74.

Correia, I., Nunes, A., Barros, A. S. and Delgadillo, I. 2010. Comparison of The
Effect Induced bu Different Processing Methods on Sorghum Proteins.
Journal of Cereal Science, Volume 51, pp. 146-151.

Elkhalifa, A., Schiffler, B. & Bernhardt, R. 2005. Effect of Fermentation of The


Functional Properties of Sorghum Flour. Food Chemistry, pp. 1-5.

Fadlalla, O. E., El Tinay, A. H. dan Babiker, E. E. 2010. Biochemical


Characteristics of Sorghum Flour Fermented and/or Supplemented with
Chickpea Flour. International Journal of Biological and Life Sciences ^, pp.
21-23.

Fleet, G. H. 2006. The Commercial and Community Significance of Yeast in


Food and Beverages, hal 990-102. Springer-verlagBelin Heidelberg.

Gunawan, S., Widjaja, T., Zullaikah, S., Ernawati, L., Istianah, N., Aparamarta,
H. W. and Prasetyoko, D. 2015. Effect of Fermenting Cassava with
Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cerevisiae, and Rhizopus oryzae
on The Chemical Composition of Their Flour. International Food Research
Journal 22(3), pp. 1280-1287.

Hakiim, A. dan Sistihapsari, F. 2011. Modifikasi Fisik-Kimia Tepung Sorgum


Berdasarkan Karakteristik Sifat Fisikokimia sebagai Substituen Tepung
Gandum. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro, Semarang.

Irawan, E. P. , 2012. Optimasi Produk Bioetanol dari Tepung Garut (Maranta


arundinacea Linn.) dengan Variasi pH, Kadar Pati dan Sumber Khamir
Komersial. Perpustakaan UAJY, Yogyakarta.

Koswara, S. 2009. Teknologi Modifikasi Pati. Available online at:


tekpan.unimus.ac.id. (Diakses 11 November 2019)

Kustyawati, M. E., Sari, M., Haryati, T. 2013. Efek Fermentasi dengan


Sccharomyces cerevisiae Terhadap Karakteristik Biokimia Tapioka.
Agritech, Vol. 33, No. 3.

M. M. El Hidai. 1978. Biochemical and Microbial Invertigation on Kisra


Fermentation. M. Sc. Thesis. Faculty of Agriculture. University of
Khartoum, Sudan.

Mardawati, Efri., Een Sukarminah, Tino mutiarawati Onggo, Carmencita T, Rossi


Indiarto. 2010. Pengolahan Sorgum. Penerbit Pustaka Giratuna, Bandung.

Marengo, M. et al., 2015. Molecular Features of Fermented and Sprouted


Sorghum Flours Relate to Their Suitability as Components of Enriched
Gluten-Free Pasta. LWT – Food Science and Technology, pp. 1-8.

Maoura, N., Mbaiguinam, M., Nguyen, H. V. and Gaillarrdin, C. 2005.


Identification and Typing of The Yeast Strains Isolated from Bili Bili, a
Traditional Sorghum Beer of Chad. African Journal of Biotechnology, 4(7),
pp. 646-656.

Mc Neill, S. G. dan Montross, M. D. 2003. Harvesting, Drying and Storing Grain


Sorghum. UKCA-CES Pub. AEN-17.
Prassad, P. and Staggenborg, S. 2013. Prassad, Growth and Production of
Sorghum and Millets. Soils, Plant Growth and Crop Production, Vol. 2.
Depatement of Agronomy Kansas University, Kansas.

Puppala, V. 2003. Extruded Foods From White Grain Sorghum. Dissertation.


Departemen of Grain Science and Industry College of Agriculture. Kansas
State University, Manhattan.

Rahayu, Dewi S. 2012. Ragi Bahan Utama Pengembangan Adonan Roti.


Available at: http:/www.bakerymagazine.com (diakses 10 Oktober 2019)

Raihanatu, M. B. et al., 2011. Effect of Processing (Sprouting and Fermentation)


of Five Local Varieties of Sorghum on Some Biochemical Parameters.
Biokemistri Volume 23, No. 2, pp. 91-96.

Rayana, M., Chairul & Hafidawati, 2013. Variasi Pengadukan dan Waktu Pada
Pembuatan Bioetanol dari Pati Sorgum dengan Proses Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak (SSF). Pp. 1-8.

Robyt, J. F. 2009. Enzymes and Their Action on Starch. In : J. BeMiller and R.


Whistler, eds. Starch Chemisrty and Technology Third Edition. Lowa.
Elsevier, USA, pp. 238-284.

Setiawati, D. R., Sinaga, A. R., Dewi, T. K. 2013. Proses Pembuatan Bioetanol


Dari Kulit Pisang Kepok. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 19. Universitas
Sriwijaya, Palembang.

Sirappa, M. P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia sebagai


Komoditas Alternatif untuk Pangan, Pakan, dan Industri. Jurnal Litbang
Pertanian 22(4), pp. 133-140.

Suarni. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum untuk Produk Olahan. Jurnal


Penelitian dan Pengembangan Pertanian, pp. 145-151.

Suarni. 2009. Potensi Tepung Jagung dan Sorgum sebagai Substitusi Terigu
dalam Produk Olahan. Jurnal Litbang Pertanian, pp 188-189.

Suarni dan I. U. Firmansyah. 2013. Struktur, Komposisi Nutrisi dan Teknologi


Pengolahan Sorgum. Dalam: Sumarno, D. S. Damardjati, M.Syam &
Hermanto, Penyunt. Sorgum: Inovasi Teknologi dan Pengembangan.
IAARD Press, Jakarta, pp. 260-279.

Sumarno, D. S. Damardjati, M.Syam & Hermanto, Penyunt. Sorgum: Inovasi


Teknologi dan Pengembangan. IAARD Press, Jakarta.
Suprijadi. 2012. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Sorgum (Sorgum
bicolor L) Rendah Tanin. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Suriani, Ade I. 2008. Mempelajari Pegaruh Pemanasan dan Pendinginan Berulang


terhadap Karakteristik Sifat Fisik dan Fungsional Pati Garut (Marantha
arundinacea)

Taylor, J. R. N. 2016. Fermentation: Foods and Nonalcoholic Beverages. In:


C.Wrigley, H. Corke, K. Seetharaman and J. Faubion, eds. Encyclopedia of
Food Grains Vol 2. Elsevier, UK, pp. 183-192.

Towo, E., Matuschek, E. and Svanberg, U. 2006. Fermentation and Enzyme


Treatment of Tannin Sorghum Gruels: Effects on Phenolic Compounds,
Phytate and In Vitro Accessible Iron. Food Chemistry, Volume 94, pp. 369-
376.

Winarno, F. G., Fardiaz dan D. Fardiaz. 1992. Pengantar Teknologi Pangan.


PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wood, B. 2016. Fermentation: Origins and Applications. In: C.Wrigley, H. Corke,


K. Seetharaman and J. Faubion, eds. Encyclopedia of Food Grains Vol 2.
Elsevier, UK, pp. 176-182.

Wurzbug, O. B. 1989. Modified Starch : Properties and Uses. Crc press, Florida.

Anda mungkin juga menyukai