NASOFARING
BAB 1
PENDAHULUAN
Di Indonesia kanker nasofaring (bagian atas faring atau tenggorokan) merupakan
kanker terganas nomor 4 setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Sayangnya, banyak orang
yang tidak menyadari gejala kanker ini, karena gejalanya hanya seperti gejala flu biasa.
Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang ras mongoloid, yaitu penduduk Cina
bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit
putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan
jenis kanker yang diturunkan secara genetik.
Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang disebabkan
oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian atas faring atau
tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta leher. Sampai saat
ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun penyebaran kanker
ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang
beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter
THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita
kanker ini.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1.4.1 Mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan ca Nasofaring sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah persepsi sensori.
1.4.2 Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang benar sehingga dapat
menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di rongga belakang
hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini merupakan tumor ganas daerah
kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher
merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase
rendah.
Pada banyak kasus, nasofaring carsinoma banyak terdapat pada ras mongoloid yaitu
penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah
India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring
juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.
2.2 Etiologi
1. Kerentanan Genetik
1. Virus EB
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen
kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA ), antigen nuklir ( EBNA ) ,
dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , alasannya adalah :
1. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk
VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer
geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker
lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat
menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila
penyakitnya rekuren atau memburuk.
2. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus
dan EBNA.
3. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB,
ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan
inti juga banyak.
4. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan
karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.
1. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut
berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien
datang berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari
rongga hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan
permukaan tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan
menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul
hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini
disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
3. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus
dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan
tekana negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi
pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan
sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
4. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau
oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial atau os
basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah yang
menyebabkan sefalgia reflektif.
5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke
superior , dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah
alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk
foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus
spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa
ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf abduksi
tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen
( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II, disebut
sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe
kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka
pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya
perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.
7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi
tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi
metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan
tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu
terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu
diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika
dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT
atau USG
2.4 Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring.
Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat
digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B.
EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV
tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat
karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol,
sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu
pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas,
dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek
atau elektrik.
1. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius
dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin
satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah
kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-
IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar
dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat
dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop
elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus
Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring
ditegakkan.
1. Diagnosis pencitraan.
1. Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer
nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis
histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik
pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
2.6 Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada
infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi
leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah
penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik
dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus.
b. Kemoterapi
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi ,
lakukan hidrasi 3 hari )
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu intravena.
5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu. Ulangi setiap 21
hari.
c. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
1. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi.
Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas
hidupnya.
1. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang untuk
disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.
1. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan kekuatan
fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi
nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat
secara bertahap.
1. Pembedahan
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Nama
2. Tempat tanggal lahir
3. Umur
4. Jenis Kelamin
5. Agama
6. Warga Negara
7. Bahasa yang digunakan
Penanggung Jawab
1. Nama
2. Alamat
b. Keluhan Utama
Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, badan merasa
lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
g. Keadaan Lingkungan
3.2 Observasi
1. Suhu
2. Nadi
3. Tekanan Darah
4. RR
5. BB
6. Tinggi badan
B4 (bladder) : Normal
B6 (bone) : Normal
3.3 Diagnosa
3.4 Intervensi
Intervensi Rasional
Mandiri
Intervensi Rasional
1. Tentukan ketajaman 1. Mengetahui perubahan dari hal-hal
pendengaran, apakah satu yang merupakan kebiasaan pasien .
atau dua telinga terlibat .
2. Orientasikan pasien terhadap 2. Lingkungan yang nyaman dapat
lingkungan. membantu meningkatkan proses
3. Observasi tanda-tanda dan penyembuhan.
gejala disorientasi.
3. Mengetahui faktor penyebab
gangguan persepsi sensori yang lain
dialami dan dirasakan pasien.
Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi dan 1. Untuk mengetahui tentang
kebiasaan makan. keadaan dan kebutuhan nutrisi
pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan
pengaturan diet yang adekuat.
1. Kepatuhan terhadap diet
dapat mencegah komplikasi
terjadinya
1. Anjurkan pasien untuk hipoglikemia/hiperglikemia.
mematuhi diet yang telah
diprogramkan.
1. Mengetahui perkembangan
berat badan pasien (berat
1. Timbang berat badan setiap badan merupakan salah satu
seminggu sekali. indikasi untuk menentukan
diet).
1. Mengetahui apakah pasien
telah melaksanakan program
diet yang ditetapkan.
4. Identifikasi perubahan pola makan.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan 1. Untuk memberikan informasi
pasien/keluarga tentang pada pasien/keluarga, perawat
penyakit DM dan Ca. perlu mengetahui sejauh mana
Nasofaring informasi atau pengetahuan yang
diketahui pasien/keluarga.
1. Agar perawat dapat memberikan
1. Kaji latar belakang pendidikan penjelasan dengan menggunakan
pasien. kata-kata dan kalimat yang dapat
dimengerti pasien sesuai tingkat
pendidikan pasien.
1. gambar-gambar dalam
memberikan penjelasan (jika
ada / memungkinkan).
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam klien menerima keadaan dirinya
Kriteria Hasil :
Intervensi Rasional
1. Kaji 1. Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga
tingkat perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
kecema
san
yang
dialami 1. Dapat meringankan beban pikiran pasien.
oleh
pasien.
1. Gunaka
n
komuni 1. Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa
kasi cemas
terapeut 1.
ik. ii.
1. Beri
informa
si yang
akurat
tentang
proses
penyaki
t dan
anjurka
n pasien
untuk
ikut
serta
dalam
tindaka
n
keperaw
atan.
1. Berika
n
keyakin
an pada
pasien
bahwa
perawat
, dokter,
dan tim
kesehat
an lain
selalu
berusah
a
member
ikan
pertolon
gan
yang
terbaik
dan
seoptim
al
mungki
n.
1. Berika
n
kesemp
atan
pada
keluarg
a untuk
menda
mpingi
pasien
secara
berganti
an.
1. Ciptaka
n
lingkun
gan
yang
tenang
dan
nyaman
.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian
atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta
leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun
penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak.
Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter,
terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga
yang menderita kanker ini.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2 nd
Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/UPF
Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT.
Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
BAB II
TINAJUAN TEORITIS
1.CARSINOMA NASOFARING
A.AnatomiNasofaring.
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring, tepatnya di
sebelah dorsal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum nasi oleh koane. Nasofaring
tidak bergerak, berfungsi dalam proses pernafasan dan ikut menentukan kualitas suara yang
dihasilkan oleh laring. Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai batas-batas sebagai
berikut
1.bagian Atas : Basis kranii.
2.bagian Bawah : Palatum mole
3.bagian Belakang : Vertebra servikalis
4.bagian Depan : Koane
5.bagianLateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler (resesus
faringeus).Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat adenoid atau tonsila faringika.
C.Etiologi
Penyebab timbulnya Karsinoma Nasofaring masih belum jelas. Namun banyak yang
berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidemiologik dan eksperimental, ada 5
faktor yang mempengaruhi yakni
1.Faktor Genetik (Banyak pada suku bangsa Tionghoa/ras mongolid).
2.Faktor Virus (Virus EIPSTEIN BARR)
3.Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, atau bahan karsinogenik misalnya asap rokok
dll).
4.Iritasi menahun : nasofaringitis kronis disertai rangsangan oleh asap, alkohol dll.
5.Hormonal : adanya estrogen yang tinggi dalam tubuh.
6.Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
7.Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
8.Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap
industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
9. Radang kronis nasofaring
Ulseratif
Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip.
Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
(creeping tumor)
A.Tipe WHO 1
Karsinoma sel skuamosa (KSS) Deferensiasi baik sampai sedang. Sering eksofilik
(tumbuh dipermukaan).
B.Tipe WHO 2
Karsinoma non keratinisasi (KNK). Paling banyak pariasinya. Menyerupai karsinoma
transisional
C.WHO 3
Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma
anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”, varian sel spindel. Lebih radiosensitif, prognosis lebih
baik.
4.Klasifikasi TNM
Menurut UICC (1987) pembagian TNM adalah sebagai berikut :
T1 = Tumor terbatas pada satu sisi nasofaring
T2 = Tumor terdapat lebih dari satu bagian nasofaring.
T3 = Tumor menyebar ke rongga hidung atau orofaring.
T4 = Tumor menyebar ke endokranium atau mengenai syaraf otak.
N1 = Metastasis ke kelenjar getah bening pada sisi yang sama, mobil, soliter dan berukuran
kurang/sama dengan 3 cm.
N2 = Metastasis pada satu kelenjar pada sisi yang sama dengan ukuran lebih dari
3 cm tetapi kurang dari 6 cm, atau multipel dengan ukuran besar kurang dari 6 cm, atau
bilateral/kontralateral dengan ukuran terbesar kurang dari 6 cm.
N3 = Metastasis ke kelenjar getah bening ukuran lebih besar dari 6 cm.
M0 = Tidak ada metastasis jauh.
M1 = Didapatkan metastasis jauh.
5.Penentuan Stadium
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1 – 3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 – 1 M0
Semua T N2 – 3 M0
Semua T Semua N M1
6.Lokasi :
1Fossa Rosenmulleri.
2Sekitar tuba Eustachius.
3Dinding belakang nasofaring.
4Atap nasofaring.
D.Gejala Klinik
1.Gejala Setempat :
A.Gejala Hidung :
Pilek dari satu atau kedua lubang hidung yang terus-menerus/kronik. Lendir dapat
bercampur darah atau nanah yang berbau. Epistaksis dapat sedikit atau banyak dan berulang.
Dapat juga hanya berupa riak campur darah. Obstruksio nasi unilateral atau bilateral bila
tumor tumbuh secara eksofilik
B.Gejala Telinga :
1.Kurang, pendengaran.
2.Tinitus
3.OMP.
Pemeriksaan THT:
1. Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak
sekret.
2. Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret
mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
Rinoskopia posterior :
1. Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tak
rata dan paskularisasi meningkat.
2. Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
1. Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek muntah dapat
menghilang.
Prioritas Keperawatan
1.Dukungan adaptasi dan kemandirian.
2.Meningkatkan kenyamanan.
3.Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
4.Mencegah komplikasi.
5.Memberi informasi tentang proses/kondisi penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Tujuan Pemulangan
1.Klien menerima situasi dengan realistis.
2.Nyeri berkurang/terkontrol.
3.Homeostasis dicapai.
4.Komplikasi dicegah/dikurangi
5.Proses/kondisi penyakit, prognosis, pilihan terapeutik dan aturan dipahami.
B.Diagnosa Keperawatan
1.Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada kepala.
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
Kriteria hasil : 1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.
2. Pasien tenang dan wajah segar.
3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
Rencana tindakan :
1.Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.
2.Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.
Rasional : Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika tidur
akan mempengaruhi pola tidur pasien.
3.Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek obat-obatan
dan suasana ramai.
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan dirasakan
pasien.
4.Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi .
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik relaksasi
akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
5.Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat gangguan
pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.
2.Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.
Kriteria Hasil : 1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.
3. Istirahat cukup.
Rencana tindakan :
1.Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa
memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
2.Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.
3.Gunakan komunikasi terapeutik.
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif
dalam tindakan keperawatan.
4.Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta
dalam tindakan keperawatan.
Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam
melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
5.Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu
berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang
dirasakan pasien.
6.Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.
Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.
7.Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas
pasien.
4.Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Rencana Tindakan :
1.Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2.Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3.Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan salah satu
indikasi untuk menentukan diet).
4.Identifikasi perubahan pola makan.
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.
5.Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam jaringan
sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula
darah dan mencegah komplikasi.
Evaluasi
A.Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan
di tujuan.
B.Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam
pernyataan tujuan.
C.Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan
sesuai dengan pernyataan tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2 nd
Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/UPF
Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi
kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorokan.
Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
BAB I
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Kanker harus semakin diwaspadai mengingat jumlah penderitanya yang terus
bertambah. Jenis kanker pun semakin banyak dan hampir semua organ tubuh bisa terkena.
salah satunya adalah kanker lambung. Penyakit ini, memang jumlah penderitanya di
Indonesia masih sangat kecil, tetapi seperti jenis kanker lainnya, kanker lambung sulit untuk
disembuhkan.
Tumor jinak di lambung tidak menimbulkan gejala atau masalah medis. Tetapi
kadang-kadang, beberapa mengalami perdarahan atau berkembang menjadi kanker. Sekitar
99% kanker lambung adalah adenokarsinoma. Kanker lambung lainnya adalah
leiomiosarkoma (kanker otot polos) dan limfoma. Kanker lambung lebih sering terjadi pada
usia lanjut. Kurang dari 25 % kanker tertentu terjadi pada orang di bawah usia 50 tahun. Di
Cina, Jepang, Cili dan Iceland, kanker lambung sering sekali ditemukan. Di AS, lebih sering
terjadi pada orang miskin, orang kulit hitam dan orang yang tinggal di utara. Dan merupakan
penyebab kematian no. 7, yang terjadi pada sekitar 8 dari setiap 100.000 orang ( Rudi
Prasetyo,2008).
Ca lambung merupakan neoplasma maligna yang ditemukan dilambung. Kanker
lambung sering dimulai pada sisi dimana lapisan lambung meradang. Tetapi banyak ahli
yakin bahwa peradangan adalah akibat dari kanker lambung, bukan sebagai penyebab kanker.
( Khaidir Muhaj,2009 ).
Tumor jinak di lambung agaknya tidak menimbulkan gejala atau masalah medis.
Tetapi kadang-kadang, beberapa mengalami perdarahan atau berkembang menjadi kanker.
Sekitar 99% kanker lambung adalah adenokarsinoma. Kanker lambung lainnya adalah
leiomiosarkoma (kanker otot polos) dan limfoma. Kanker lambung lebih sering terjadi pada
usia lanjut. Kurang dari 25 % terjadi pada orang di bawah usia 50 tahun.
Di Cina, Jepang, Cili dan Iceland, kanker lambung sering sekali ditemukan. Di AS,
lebih sering terjadi pada orang miskin, orang kulit hitam dan orang yang tinggal di utara. Dan
merupakan penyebab kematian no 7, yang terjadi pada sekitar 8 dari setiap 100.000 orang
( Admin,2010 ).
Kanker lambung merupakan neoplasma maligna yang ditemukan di lambung,
biasanya adenokarsinoma, meskipun mungkin merupakan limfoma malignansi. Diketahui
bahwa cancer lambung 2 kali lebih umum terjadi pada pria daripada wanita dan lebih sering
terjadi pada klien yang mengalami anemia pernisiosa.
Meskipun tidak ada faktor etiologi khusus yang dihubungkan dengan ca lambung,
banyak faktor yang tampak berhubungan dengan perkembangan penyakit ini seperti inflamasi
lambung kronik, anemia pernisiosa, ulkus lambung, bakteri Helicobacter Pylori dan faktor
keturunan (Ns Nurhayati, S.Kep ).
Neopasma ialah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh
terus-menerus secara tak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak
berguna bagi tubuh (Patologi, dr. Achmad Tjarta,2002).
Karsinoma Gaster ialah suatu neoplasma yang terdapat pada Gaster (R. Simadibrata,
2000).
B. ETIOLOGI
Penyebab dari kanker lambung masih belum diketahui, akan tetapi, sejumlah faktor
dihubungkan dengan penyakit tersebut juga dipercaya bahwa faktor eksogen dalam
lingkungan seperti bahan kimia karsinogen, virus onkogenik mungkin mengambil bagian
penting dalam karsinoma lambung. Karena lambung mempunyai kontak lama dengan
makanan. Ada yang timbul sebagai hubungan dengan konsumsi gram yang meningkat.
Ingesti nitrat dan nitrit dalam diet tinggi protein telah memberikan perkembangan dalam teori
bahwa senyawa karsinogen seperti nitrosamine dan nitrosamide dapat dibentuk oleh gerak
pencernaan.
C. PATOFISIOLOGI
Beberapa faktor dipercaya menjadi precursor kanker yang mungkin, yaitu polip, anemia
pernisiosa, prostgastrektomi, gastritis artofi kronis dan ulkus lambung tidak mempengaruhi
individu menderita kanker lambung, tetapi kanker lambung mungkin ada bersamaan dengan
ulkus lambung dan tidak ditemukan pada pemeriksaan diagnostik awal.
Tumor mungkin menginfiltrasi dan menyebabkan penyempitan lumen yang paling sering
di antrum. Infiltrsi dapat melebar ke seluruh lambung, menyebabkan kantong tidak dapat
meregang dengan hilangnya lipatan normal dan lumen yang sempit, tetapi hal ini tidak lazim.
Desi polipoid juga mungkin timbul dan menyebabkan sukar untuk membedakan dari polip
benigna dengan X-ray.
Kanker lambung mungkin timbul dari penyebaran tumor superficial yang hanya
melibatkan permukaan mukosa dan menimbulkan keadaan granuler walaupun hal ini jarang.
Kira-kira 75% dari karsinoma ditemukan 1/3 distal lambung, selain itu menginvasi struktur
lokal seperti bagian bawah dari esofagus, pankreas, kolon transversum dan peritonium.
Metastase timbul pada paru, pleura, hati, otak dan lambung.
D. FAKTOR-FAKTOR RESIKO
Masalah lingkungan dan nutrisi dapat mempengaruhi perkembangan dari kanker
lambung. Makan makanan tinggi nitrat dan nitrit makanan yang telah diasinkan, tidak adanya
makanan segar dan jumlah vit. C, A dan E yang kurang dalam diet, tampaknya meningkatkan
insiden tumor lambung. Perokok dan pengguna alkohol berhubungan dengan perkembangan
dari penyakit ini. Pekerja dalam industri tertentu juga mengalami kejadian kanker lambung
yang tinggi. Pekerjaan ini meliputi pabrik nikel, penambangan batu bara, pengolahan
tambaga dan karet, asbestos. Status ekonomi yang rendah merupakan faktor resiko yang
nyata dan mungkin dapat menjelaskan pengaruh pekerjaan dan makanan. Ras dan usia juga
merupakan faktor resiko.
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
Kesembuhan empiema adalah proses yang panjang. Perawat menolong pasien untuk
mengatasi kondisi dan menginstruksikan latihan bernapas (pernapasan dengan bibir
dirapatkan dan difragmatik), yang membantu untuk memulihkan fungsi pernapasan normal.
Perawat juga memberikan asuhan spesifik terhadap metode drainase cairan pleura seperti
aspirasi jarum, drainase dada tertutup, atau seksi iga dan drainase.
F. EVALUASI DIAGNOSTIK
Pemeriksaan fisik biasanya tidak membantu, kebanyakan tumor lambung tidak dapat
diraba, asites mungkin muncul bila terdapat metastasis pada hepar. Endoskopi untuk biopsi
dan pencucian sitologis adalah pemeriksaan diagnostik umum. Pemeriksaan sinar-x terhadap
saluran GI atas dengan barium juga dilakukan. Karena metastase sering terjadi sebelum tanda
peringatan ada, pemindai tomografi komputer, pemindai tulang, dan peminda hepar
dilakukan dalam menentukan luasnya metastasis. Tidak dapat makan (dispepsia) lebih dari 4
minggu pada individu berusia lebih dari 40 tahun memerlukan pemeriksaan sinar-x lengkap
terhadap saluran GI.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS UMUM
Kemoterapi
Terapi radiasi
Pembedahan:
a. Esofagogastrektomi subtotal-untuk tumor yang dapat dioperasi pada lambung proksimal
bagian bawah dari esofagus dianastomosiskan ke duodenum atau jejenum. Pasien sering
dipasang selang dada menyertai prosedur ini karena rongga dada dimasuki.
b. Gastrektomi total-untuk lesi di bagian bawah tengah lambung. Seluruh lambung diangkat,
dan esofagus dianastomosiskan ke jejenum.
c. Gastrektomi subtotal-untuk lesi di antrum lambung bila pasien lansia atau cacat. Ini adalah
operasi Billroth I di mana duodenum, lambung distal, pilorus, dan vaskuler dan struktur
penyokong diangkat, dan bagian lambung yang tersisa dijahit ke sisa duodenum.
d. Gastrektomi subtotal- operasi Billroth II, di mana prosedur lebih radikal daripada operasi
Billroth I. Operasi meliputi pengangkatan antrum, pilorus, duodenum atas, struktur vaskuler
penyokong, dan semua limfatik di sekitarnya. Sisa lambung dijahit dalam bentuk side-to-side
ke jejenum. Puntung duodenum dijahit tutup.
Komplikasi mayor dihubungkan dengan prosedur pembedahan gastrik adalah esofagitis
(disebabkan oleh refluks aspirasi), kebocoran anastomotik, defisiensi vitamin B12, penurunan
berat badan, dan pneumonia. Komplikasi tambahan berkenaan dengan gastrektomi subtotal
adalah sindrom dumping dan steatorea. (Lorenz, 1991)
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KANKER LAMBUNG
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994 : 10).
1.Riwayat atau adanya faktor resiko
Aklorhidria atau anemia pernisiosa
Riwayat ulkus gastrik
2.Pemeriksaan fisik berdasarkan survei umum (Apendiks F) dapat menunjukkan:
Keluhan awal dari perasaan tak enak karena rasa penuh dan ketidaknyamanan setelah
makan. Pasien sering menginterpretasikan gejala ini sebagai “kacau lambung” dan
menggunakan obat dan antasida, yang memberi penghilangan sementara.
Bila tumor membesar, pasien mengalami:
Penurunan berat badan yang disebabkan oleh anoreksia, mual dan muntah.
Kelelahan dan kelemahan akibat anemia defisiensi nutrisi.
Disfagia bila tumor terletak di lambung proksimal.
Nyeri epigastrik yang disebabkan oleh distensi gastrik karena pembesaran tumor.
Massa epigastrik yang dapat teraba.
3.Pemeriksaan Diagnostik
Seri GI atas menunjukkan massa padat
Acan CT abdomen menunjukkan massa padat
Pemeriksaan endoskopi memberi visualisasi langsung terhadap lesi dan memungkinkan
pengambilan spesimen untuk biopsi dan pemeriksaan sitologi
JDL menunjukkan anemia.
4.Kaji perasaan dan masalah pasien dan orang terdekat tentang penyakit.
5.Kaji pemahaman pasien dan orang terdekat tentang penyakit, pemeriksaan diagnostik,
dan tindakan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa keperawatan utama pasien dapat
mencakup yang berikut ini :
1. Nyeri berhubungan dengan adanya sel epitel abnormal
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan syok atau hemoragi.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit dan pengobatan yang diantisipasi.
5. Berduka diantisipasi dengan diagnosis kanker.
1. D.P 1 : Nyeri berhubungan dengan adanya sel epitel abnormal
Data Penunjang Tujuan
Subyektif : Tidak mengalami atau mengurangi nyeri
Menyatakan nyeri yang ada.
Objektif : Kriteria :
Merintih dan meringis. Melaporkan nyeri berkurang, tak ada
merintih, ekspresi wajah relaks.
INTERVENSI
2. D.P 2 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan syok atau hemoragi.
Data Penunjang Tujuan
Subyektif : Tidak mengalami kekurangan volume
Haus cairan.
Objektif : Kriteria :
Penurunan tekanan darah, penurunan Tidak mengalami hemoragi, tanda vital
tekanan nadi, penurunan turgor kulit, dalam batas normal, memberi tahu
penurunan keluaran urine, kulit membran perawat tentang adanya tanda perdarahan,
mukosa mengering, hematokrit meningkat, dan memberi tahu perawat tentang adanya
suhu tubuh meningkat, frekuensi nadi pusing, peningkatan frekuensi jantung,
meningkat. kekacauan mental, kelelahan yang
berlebihan, dan kulit lembab.
INTERVENSI
3. D.P 3 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Data Penunjang Tujuan
Subyektif : Mendapatkan dan mempertahankan status
Keluhan kelelahan menetap nutrisi yang optimal.
Objektif : Kriteria :
Penurunan berat badan tidak berlanjut,
Penurunan berat badan progresif pemeriksaan kimia serum dalam rentang
Kemungkinan disfagia normal, keluhan kelelahan berkurang.
Kelemahan dan anemia
INTERVENSI
1. Pantau :
INTERVENSI
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Kerperawatan Medikal Bedah Vol.1.Jakarta :
EGC
Mansjoer, Arief, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3, Cet. 1. Jakarta : Media
Aesculapius
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8
Vol.3. EGC : Jakarta.
Tjay, tan Joan dan Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan,
dan Efek Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo
Xipemia. Makalah Kesehatan Tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Keganasan Lambung.Available from : http://xipemia.wordpress.com. Akses pada 22
September 2008
ASKEP CA LAMBUNG
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit Ca lambung.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan untuk penyakit Ca lambung.
1.4 METODE
1. Metode kajian pustaka
2. Metode penelusuran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Kanker lambung atau kanker lambung merupakan bentuk neoplasma maligna gastrointestinal.
Karsinoma lambung merupakan bentuk neoplasma lambung yang paling sering terjadi dan
menyebabkan sekitar 2,6% dari semua kematian akibat kanker (Cancer Facts and Figures,
1991)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Kanker lambung terus berkurang di Amerika Serikat. Namun, ini masih menjadi masalah
serius dengan jumlah 14.700 kematian setiap tahunnya, kebanyakan pada individu dengan
usia lebih dari 40 tahun dan kadang-kadang pada individu yang lebih muda. Kebanyakan
kanker lambung terjadi pada kurvatura kecil atau antrum lambung dan adenokarsinoma.
Insiden kanker lambung lebih banyak di Jepang, yang telah menyababkan diadakannya
skriningmassa untuk diagnosis awal di negara ini. Diet tampaknya menjadi faktor yang
signifikan. Diet tinggi makanan asap dan kurang buah-buahan dan sayuran dapat
meningkatkan resiko terhadap kanker lambung. Faktor lain yang berhubungan dengan insiden
kanker lambung mencakup inflamasi lambung, anemia pernisiosa, aklorhidria ( tidak adanya
asam hidroklorida ), ulkus lambung, bakteri H. pylori, dan keturunan.
2.3 ETIOLOGI
Penyebab dari kanker lambung masih belum diketahui, akan tetapi sejumlah faktor
dihubungkan dengan penyakit tsb. Juga dipercaya bahwa faktor eksogen dalam lingkungan
seperti bahan kimia karsinogen, virus onkogenik mungkin mengambil bagian penting dalam
karsinoma lambung. Karena lambung mempunyai kontak yang lama dengan makanan, bahan-
bahan makanan sudah dikaitkan. Ada yang timbul sebagai hubungan dengan konsumsi gram
yang meningkat. Ingesti nitrat dan nitrit dalam diet tinggi protein telah memberikan
perkembangan dalam teori bahwa senyawa karsinogen seperti nitrosamine dan nitrosamide
dapat dibentuk oleh gerak pencernaan.
Penurunan kanker lambung di USA pada decade lalu dipercaya sebagai hasil pendinginn
yang meningkat yang mnyebabkan terjadinya bermacam-macam makanan segar termasuk
susu, sayuran, buah, juice, daging sapi dan ikan, dengan penurunan konsumsi makanan yang
diawetkan, garam, rokok, dan makanan pedas. Jadi dipercaya bawha pendinginan dan vit C
(dalam buah segar dan sayuran) dapat menghambat nitrokarsinogen.
Faktor genetik mungkin memainkan peranan dalam perkembangan kanker lambung.
Frekuensi lebih besar timbul pada individu dengan gol.darah A. Riwayat keluarga
meningkatkan resiko individu tetapi minimal, hanya 4% dari organ dengan karsinoma
lambung mempunyai riwayat keluarga.
2.5 PATOFISIOLOGIS
Beberapa faktor dipercaya menjadi pemicu kanker yang mungkin yaitu polip, anemia
pernisiosa, prostgastrektomi, gastritis atrofi kronis dan ulkus lambung. Diyakini bahwa ulkus
lambung tidak mempengaruhi individu menderita kanker lambung, tetapi kanker lambung
mungkin ada bersamaan dengan ulkus lambung dan tidak ditemukan pada pemeriksaan
diagnostic awal.
Kanker lambung adalah adenokarsinoma yang muncul paling sering sebagai massa irregular
dengan penonjolan ulserasi sentral yang dalam ke lumen dan menyerang lumen dinding
lambung. Tumor mungkin menginfiltrasi dan menyebabkan penyempitan lumen yang paling
sering di antrum. Infiltrasi dapat melebar keseluruh lambung, menyebabakan kantong tidak
dapat meregang dengan hilangnya lipatan normal dan lumen yang sempit, tetapi hal ini tidak
lazim. Desi polipoid juga mungkin timbul dan menyebabkan sukar untuk membedakan dari
polip benigna pada X-ray.
Kanker lambung mungkin timbul sebagai penyebaran tumor superficial yang hanya
melibatkan prmukaan mukosa dan menimbulkan keadaan granuler walupun hal ini jarang.
Kira-kira 75% dari karsinom ditemukan pada 1/3 distal lambung, selain itu menginvasi
struktur lokal seperti bag.bawah dari esophagus, pancreas, kolon transversum dan
peritoneum. Metastase timbul pada paru, pleura, hati, otak dan lambung.
2.6 KLASIFIKASI
Ada 3 bentuk umum karsinoma atau kanker lambung, yaitu :
1. Karsinoma ulseratif merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan harus dibedakan dari
ulkus peptikum jinak.
2. Karsinoma polipoid, tampak seperti kembang kol yang menonjol ke dalam lumen dan
dapat berasal dari polip adenomatosa
3. Karsinoma infiltratif, dapat menembus seluruh ketebalan dinding lambung dan dapat
menyebabkan terbentuknya ” lambbung botol kulit ” (linitis plastica ) yan tidak lentur.
2.10 PROGNOSIS
Prognosisnya buruk, kebanyakan pasien telah mengalami metastase pada waktu
didiagnosis.
Faktor-faktor yang memperburuk penyakit ini antara lain:
1. Keterlibatan lesser curvature dari lambung
2. Ukuran tumor yang besar
3. Stadium lanjut (advanced stage)
Catatan:
1. Kanker Lambung Ganas (malignant gastric cancer) kedua yang paling banyak
dijumpai setelah adenocarcinoma.
2. Hanya meliputi 5% dari semua kanker lambung (gastric tumors).
3. Risiko lebih tinggi 5X pada HIV (Human Immunodeficiency Virus)
4. Rasio pria:wanita = 1,7 : 1. Berarti lebih banyak dialami oleh pria.
2.12 PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang berhasil menangani karsinoma lambung kecuali mengangkat
tumornya. Bila tumor dapat diangkat ketika masih terlokalisasi di lambung, pasien dapat
sembuh. Bila tumor telah menyebar ke area lain yang dapat dieksisi secara bedah,
penyembuhan tidak dapat dipengaruhi. Pada kebanyakan pasien ini, paliasi efektif untuk
mencegah gejala seperti obstruksi, dapat diperoleh dengan reseksi tumor.
Bila gasterktomi subtotal radikal dilakukan, puntung lambung dianastomosiskan pada
jejunum, seperti pada gastrektomi untuk ulkus. Bila gastrektomi total dilakukan kontinuitas
gastrointestinal diperbaiki dengan anastomosis diantara ujung esofagus dan jejunum. Bila ada
metastasis pada organ vital lian, seperti hepar, pembedahan dilakukan terutama untuk tujuan
paliatif dan bukan radikal. Pembedahan paliatif dilakukan untuk menghilangkan gejala
obstruksi atau disfagia.
Untuk pasien yang menjalani pembedahan namun tidak menunjukkan perbaikan, pengobatan
dengan kemoterapi dapat memberikan kontrol lanjut terhadap penyakit atau paliasi. Radiasi
digunakan untuk paliasi pada kanker lambung.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Nyeri b/d adanya sel epitel abnormal
2.Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia
3.Berduka b/d diagnosisi Ca
4.Ansietas b/d penyakit dan pengobatan yang diantisipasi
5.Kekurangan volume cairan b/d syok/hemoragi
6.Resiko infeksi b/d insisi bedah.
3. INTERVENSI
Dx1. Nyeri b/d adanya sel epitel abnormal.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan nyeri berkurang , terkontrol.
Kriteria hasil :
-Pasien tidak tampak meringi
-Skala nyeri 0 ( tidak nyeri)
-Pasien tampak lebih rileks
Intervensi :
- Kaji karakteristik nyeri dan ketidaknyamanan; lokasi, kualitas frekuensi, durasi,dsb.
R: memberikan dasar untuk mengkaji perubahan tingkat nyeri dan mengevaluasi intervensi.
- Tenangkan pasien bahwa anda mengetahui bahwa nyeri yang dirasakan adalah nyata dan
bahwa anda kan membantu pasien dalam mengurangi nyeri tsb.
R: Rasa takut dapat meningkatkan ansietas dan mengurangi toleransi nyeri.
- Kolaborasi dalam pemberian analgesik untuk meningkatkan peredaran nyeri optimal dalam
batas resep dokter.
R: Cenderung lebih efektif ketika diberikan dini pada siklus nyeri.
- Ajarkan pasien strategi baru untuk meredakan nyeri dan ketidaknyamnan dengan distraksi,
imajinasi, relaksasi.
R: Meningkatkan strategi pereda nyeri alternative secara tepat.
Intervensi :
- Dorong pengungkapan ketakutan, kekhawatiran, pertanyaan mengenai penyakit, pengobatan
dan implikasinya dimasa mendatang.
R: dasar pengetahuan yang akurat dan meningkat akan mengurangi ansietas dan meluruskan
miskonsepsi.
- Berikan dorongan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga dalam keputusan perawatan dan
pengobatan.
R: partisipasi aktif akan mempertahankan kemandirian dan control pasien.
- Kunjungi keluarga untuk menetapkan dan memelihara hubungan dan kedekatan fisik.
R: meningkatkan rasa saling percaya dan keamanan serta mengurangi perasaan takut.
- Berikan dorongan ventilasi perasan-perasaan negative, termasuk marah yang meluap-
meluap, didalam batasan yang dapat diterima.
R: untuk ekspresi emosional tanpa kehilangan harga diri.
- Sisihkan waktu untuk periode menangis dan mengekspresikan kesedihan.
R: perasaan ini diperlukan untuk terjadinya perpisahan dan kerenggangan.
Intervensi :
- Kaji luka terhadap tanda dan gejala infeksi seperti kemerahan, bengkak, demam, nyeri
tekan, dan kehilangan fungsi.
R: luka harus bersih, karena jika keadaan luka kotor akan lebih rentan terjadi infeksi.
- Kaji abdomen terhadap tanda peritonitis, nyeri tekan, kekakuan, distensi.
R: peritonitis dapat terjadi sekunder akibat bedah lambung.
- Kolaborasi pemberian antibiotic profilaktik sesuai program.
R: antibiotic sering diberikan pada klien setelah bedah abdomen untuk mencegah infeksi.
4. EVALUASI
Dx1.Mencapai peredaan gangguan rasa nyaman.
a. Melaporkan peredaan rasa nyeri (skala nyeri 0)
b. Pasien tidak tampak meringis
c. Pasien tampak lebih rileks
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi kanker lambung adalah bentuk neoplasma maligna dalam gastrointestinal.
Penyebab dari kanker lambung masih belum diketahui.
Kanker lambung dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :
1. Karsinoma ulseratif merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan harus dibedakan dari
ulkus peptikum jinak.
2. Karsinoma polipoid, tampak seperti kembang kol yang menonjol ke dalam lumen dan
dapat berasal dari polip adenomatosa
3. Karsinoma infiltratif, dapat menembus seluruh ketebalan dinding lambung dan dapat
menyebabkan terbentuknya ” lambbung botol kulit ” (linitis plastica ) yan tidak lentur.
Tidak ada pengobatan yang berhasil menangani karsinoma lambung kecuali mengangkat
tumornya. Bila tumor dapat diangkat ketika masih terlokalisasi di lambung, pasien dapat
sembuh. Bila tumor telah menyebar ke area lain yang dapat dieksisi secara bedah,
penyembuhan tidak dapat dipengaruhi. Pada kebanyakan pasien ini, paliasi efektif untuk
mencegah gejala seperti obstruksi, dapat diperoleh dengan reseksi tumor.
DAFTAR PUSTAKA