Anda di halaman 1dari 6

Nama : Arif Ramadhan

Nim : 8111418382
Mata Kuliah : Hukum Ketenagakerjaan
KONTROVERSIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG
OMNIBUS LAW CIPTA LAPANGAN KERJA

PENDAHULUAN
Belakangan ini publik di gegerkan oleh rencana pembahasan RUU Omnibus Law
Cipta Lapangan Kerja yang menuai pro dan kontra, pemerintah mengeklaim RUU ini
bertujuan untuk menciptakan ekosistem investasi serta kemudahan dan perlindungan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan 11 klaster yang akan diselesaikan, sedangkan
menurut para buruh RUU tersebut mengancam kesejahteraan buruh. Apakah RUU Omnibus
Law Cipta Lapangan Kerja merupakan solusi terbaik tumpang tindih hukum saat ini?.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan,
“Omnibus ini akan membahas ekosistem penyederhanaan perizinan dan investasi, di sini juga
akan dimasukan terkait dengan kemudahan berusaha terkait juga yang terkait dengan
dorongan untuk riset dan inovasi. Termasuk di dalamnya bagaimana membuat inovasi ini
menjadi bagian dari pada peningkatan daya saing,”. (Safitri, 2020:1) Namun RUU Omnibus
Law Cipta Lapangan Kerja ini menua kecaman keras dari pihak buruh, karena dalam draf
RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ada beberapa poin yang dianggap merugikan dan
mengancam kesejahteraan buruh. Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI) menilai RUU omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan
investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sedikitnya ada 6 poin dalam RUU Omnibus Law
yang dianggap KSPI dapat mengancam kesejahteraan para buruh yaitu: menghilangkan upah
minimum, menghilangkan pesangon, fleksibilitas penggunaan outsourcing dan buruh kontrak
diperluas, kemudahan TKA untuk masuk di Indonesia, jaminan sosial terancam hilang,
menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
PEMBAHASAN
Definisi daripada Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal
dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya, dimana artinya berkaitan dengan atau
berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus, termasuk banyak hal atau memiliki
berbagai tujuan. (Busro, 2017:242) Bila digandeng dengan kata Law yang maka dapat
didefinisikan sebagai hukum untuk semua.
Di dalam hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia
sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, belum memasukkan konsep Omnibus Law
sebagai salah satu asas dalam sumber hukum. Sehingga penempatan Omnibus Law tersebut
di samakan dengan undang-undang sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang no 12 Tahun 2011.
Tetapi harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia terus menerus dilakukan
untuk meminimalkan konflik peraturan perundang-undangan.
Dari permasalahan harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka
pemerintah perlu mengambil suatu upaya terobosan hukum untuk membenahi konflik
regulasi. (Busro, 2017:242) Tuntutan perbaikan dan pembenahan tumpang tindih peraturan
perundang-undangan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu
gagasan Omnibus Law berkemungkinan untuk diterapkan di Indonesia asalkan diberikan
ruang dan fondasi hukum.
Omnibus Law bukanlah hal baru di dunia ilmu hukum secara global, hanya saja untuk
di Indonesia sudah sangat diperlukan untuk membenahi tumpang tindih peraturan perundang-
undangan. Proses harmonisasi peraturan perundang-undangan selain hambatan diatas juga
memakan waktu yang lama. Dengan konsep Omnibus Law maka peraturan yang dianggap
tidak relevan atau bermasalah dapat diselesaikan secara cepat.
Akan tetapi beberapa kalangan akademisi juga ada yang menilai bila konsep Omnibus
Law diberlakukan maka bertentangan dengan asas demokrasi, karena konsep Omnibus Law
sebagian kalangan menilainya anti demokratis. (Busro, 2017:242) Pemerintah perlu
melakukan terobosan hukum agar mampu menyelesaikan permasalahan tumpang tindih
beberapa peraturan perundang-undangan tersebut.
Protes yang dilakukan oleh buruh berdasakan naskah rekomendasi yang berasal dari
situs resmi pemerintahan, karena naskah akademik maupun draft RUU belum diterma oleh
DPR untuk dibahas.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang beberapa kali mengatakan bahwa
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan saat ini tidak mendukung
iklim investasi dan sudah tidak relevan. (Safitri, 2020:1) APINDO menganggap bahwa
undang-undang ini harus direvisi, terutama aturan tentang upah pekerja, pesangon, dan tenaga
kerja outsorcing yang ketat. Menurut mereka, peraturan tersebut memberatkan pemberi kerja.
Menghilangkan upah minimum
Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah
minimum. Hal ini, terlihat dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah
per jam. (Safitri, 2020:1) Dimana pekerja yang bekerja dibawah 40 jam dalam seminggu
maka digaji dengan upah perjam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam
seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum. Hal tersebut akan
membuka celah bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerjanya dibawah 40 jam dalam
seminggu untuk menggaji pekerjanya lebih rendah, dan penerapan yang berbeda seperti ini
adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, pengusaha dilarang membayar upah
lebih rendah dari upah minimum. Dapat dikatakan bahwa pemberian upah per jam adalah
mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan
yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari, untuk menghindari beban
menggaji pekerjanya sesuai dengan upah minimum.
Menghilangkan pesangon
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menggunakan
istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.
(Safitri, 2020:1) Sedangkan dalam Pasal 156 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan sudah diatur secara jelas dan rinci mengenai masalah pesangon bagi
buruh yang terkena PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2
untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan
penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen
dari total pesangon atau penghargaan masa kerja. Dapat dikatakan bahwa wacana tunjangan
PHK dapat mengakibatkan pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan justru akan dihilangkan dan
digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal
sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih.
Fleksibilitas penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas
Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. (Safitri, 2020:1)
istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap
(PKWTT). Jika di Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan outsourcing hanya dibatasi pada beberapa jenis pekerjaan yaitu:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa
depan buruh tidak jelas. Hubungan pekerjaan antara perusahaan dan pekerja dibuat fleksibel
yang artinya sangat mudah di PHK. Dengan menggunakan tenaga kerja outsourcing,
perusahaan tidak perlu repot menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan,
hingga asuransi kesehatan/BPJS Kesehatan. Sebab, yang bertanggung jawab adalah
perusahaan outsourcing itu sendiri.
dengan keuntungan tersebut buruh atau pekerja outsourcing yang harus menanggung
resikonya. Selain tak ada jenjang karier, terkadang gaji mereka dipotong oleh perusahaan
induk. Presentase potongan gaji para pekerja bisa mencapai 30 persen, sebagai jasa bagi
perusahaan outsourcing. Tetapi tidak semua karyawan outsourcing mengetahui berapa besar
potongan gaji yang diambil oleh perusahaan outsourcing atas jasanya memberi pekerjaan di
perusahaan lain itu. Maka wacana fleksibilitas tersebut dapat mengancam kesejahteraan
buruh. Selain kesejahteraan jaminan sosial buruh juga terancam hilang, Jaminan sosial yang
hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa
mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya
jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
Lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengatur secara
ketat perizinan penggunaan tenaga kerja asing seperti dalam Pasal 42 yang berbunyi
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku
bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai
pegawai diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya
habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Selain hal tersebut penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara
lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang
tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di
Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian
khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional,
maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional. Waktu
mempekerjakan tenaga kerja asing pun dibatasi, dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun,
dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja
lokal. Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job dan transfer of knowledge, sehingga
pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan sang TKA . Dalam
omnibus law terdapat wacana, semua persyaratan yang sudah diatur akan dihapus. Sehingga
TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. (Safitri, 2020:1) Hal ini, tentu saja
akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang
mestinya bisa diempati oleh orang lokal dapat diisi oleh TKA. Dengan kenyataan bahwa
lapangan pekerjaan saat ini masih kurang untuk warga negara indonesia, wacana tersebut
akan membuat masyarakat pencari kerja makin sengsara.
Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha
Dalam omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi
pengusaha. (Safitri, 2020:2) Dalam  Pasal 183-188 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan mengatur, disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak
membayar hak-hak buruh. Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah di bawah upah
minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, bisa
jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.
Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada
ancaman pidana bila pengusaha tidak memenuhi hak-hak buruh.
KESIMPULAN
Kesejahteraan buruh merupakan sebuah keniscayaan pada saat ini, dengan pengaturan
yang sudah jelas yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
sebagai satu-satunya payung hukum untuk kesejahteraan buruh. Dengan wacana Rancangan
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang bocor kepada publik ditemukan
beberapa point yang dianggap akan menambah kesengsaraan para buruh, walaupun catatan
rekomendasi tersebut belum berbentuk draft dan belum dikeluarkan secara resmi oleh
pemerintah, sudah membuat para buruh resah dengan wacana tersebut. Pemerintah
mengklaim wacana Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja untuk
penyederhanaan perizinan dan investasi demi kemajuan industri indonesia, tetapi dengan
adanya beberapa point seperti yang sudah dibahas diatas. wacana Rancangan Undang-
Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terlihat bersahabat dengan pengusaha dan
mencekik para buruh. Dengan segala protes dari para buruh selayaknya pemerintah meninjau
ulang apabila benar rekomendasi tersebut akan dimasukkan dalam wacana Rancangan
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Pemerintah diharapkan melibatkan
secara aktif para buruh untuk merumuskan wacana Rancangan Undang-Undang tersebut.
REFRENSI
Busro, Firman Freaddy. 2017. Konseptualisasi Omnibus Law Dalam Menyelesaikan
Permasalahan Regulasi Pertanahan. Arena Hukum. Vol. 10: 227-250.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Yang Mengatur Tentang
Ketenagakerjaan. Lembar Negara RI Tahun 2003, No. 39. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2011. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Yang Mengatur
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembar Negara RI Tahun
2011, No. 82. Sekretariat Negara. Jakarta.
Safitri, Kiki. 2020. Ini Alasan Buruh Tolak Omnibus Law, diakses dari
https://money.kompas.com/read/2020/01/07/112743426/ini-6-alasan-buruh-tolak-
ruu-omnibus-law?page=all, Pada 8 Januari 2020.

Anda mungkin juga menyukai