Industri pesawat terbang sudah dimulai sejak Indonesia belum merdeka. Kegiatan penerbangan di Indonesia dimulai satu tahun setelah Wright bersaudara menerbangkan pesawat pertamanya. Ir. Onnen, seorang insinyur berkebangsaan Belanda, membuat pesawat eksperimental dari bambu di Sukabumi. Selanjutnya, pada tahun 1914, Belanda mendirikan sebuah lembaga penguji penerbangan yang bertugas dalam pengkajian kinerja pesawat Eropa untuk pengoperasian di daerah Asia. Lalu, pada tahun 1923, dibangunlah Departemen Penerbangan Pelayanan Teknis di Sukamiskin, Bandung. Karena perkembangannya yang pesat, Departemen ini dipindahkan ke Lanud Husein Sastranegara, yang dulu masih bernama Lanud Andir. Fasilitas tersebut kemudian dikembangkan untuk perakitan pesawat pembom yang mengatasi ancaman Jepang. Tahun 1935, pusat pengembangan ini berhasil membuat pesawat PW1 bermesin tunggal dan PW2 bermesin ganda pesanan seorang pengusaha roti yang ingin mendirikan industri pesawat terbang. Pesawat itu mengejutkan dunia, karena berhasil terbang dari Batavia ke Amsterdam, London dan China. Ini membuktikan bahwa Indonesia mempunyai potensial memiliki industri pesawat terbang yang berani bersaing. Bahkan pelopor produsen pesawat asal Belanda, Fokker yang didirikan oleh A.H.G Fokker, lahir di Kediri. Pasca kemerdekaan, TRI mengambil alih semua fasilitas penerbangan dari Belanda. Fasilitas-fasilitas penerbangan pada masa itu difokuskan untuk mempertahankan kemerdekaan. Pesawat-pesawat rampasan dimodifikasi menjadi pesawat serang. Pada tahun 1946, dibuatlah 6 unit pesawat layang yang disponsori oleh Wiweko Supono, Sumarsono dan yang terakhir, Nurtanio Pringgoadisurjo, yang merupakan bapak perintis industri pesawat terbang Indonesia. Pesawat ini digunakan untuk menarik minat para pemuda untuk menjadi calon pilot, yang elanjutnya akan dikirim ke pelatihan di India. Pada tahun 1948, dibuatlah pesawat WEL-1 yang menggunakan mesin motor Harley Davidson bertenaga 28 tenaga kuda. Dari tahap desain sampai tes penerbangan, pesawat ini dibangun hanya dengan waktu 5 minggu. Berdasarkan desain-desain Nurtanio, lahirlah pesawat- pesawat Si Kumbang, Belalang 89 yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Belalang 90, dan Kunang 25 yang bermesin Volkswagen. Hal ini dilakukan untuk menarik minat generasi muda pada dunia dirgantara. Kemudian, Nurtanio dan 3 orang Indonesia lainnya, dikirim ke Filipina guna menambah pengetahuan dalam bidang industri penerbangan. Pada 1960, dibentuklah LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan) yang bertugas menyiapkan pembangunan industri pesawat terbang. Kemudian, LAPIP bekerjasama dengan CEKOP, produsen pesawat Polandia, yang meliputi pembangunan pabrik, pelatihan karyawan dan pembuatan pesawat STOL (Short Take Off and Landing) bernama Gelatik, atau PZL-104 Wilga. Pada 1965, Presiden Soekarno membentuk KOPELAPIP (Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang) dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari. Pada Maret 1966, Nurtanio meninggal karena kecelakaan saat pengujian pesawat. Untuk menghormati jasanya, kedua lembaga itu digabung menjadi LIPNUR (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio). Berdasarkan keputusan presiden, didirikanlah Teknik Penerbangan ITB, yang saat itu dibawah naungan dari Departemen Mesin. Semua hal diatas, dikerjakan sendiri tanpa adanya bantuan dana dari pemerintah. Sebelumnya, sejumlah mahasiswa Indonesia dikirim ke luar negeri. B.J Habibie merupakan salah satu mahasiswa yang dikirimkan ke luar negeri pada gelombang ke 2. Pada 1976, seluruh fasilitas penerbangan diambil alih untuk mendirikan IPTN, dengan B.J Habibie sebagai direktur utama. Personel angkatan udara dieliminasi dan pada 1985, nama Nurtanio diganti menjadi Nusantara. Pada era Gus Dur, paradigma IPTN diubah dari high cost menjadi competitive industry yang bersaing di pasar internasional. Nama PT IPTN pun diubah menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI). PT DI diminta untuk tidak membuat pesawat maupun helikopter, namun hanya sebagai pemasok suku cadang pesawat dari produsen-produsen seperti Boeing, British Airspace, dan Airbus. Berbagai masalah telah menimpa industri ini. Pada tahun 1995, pesawat Gatot Kaca (N250) terbang perdana. Pesawat ini mengusung teknologi turboprop, glass cockpit, kapasitas penumpang 50 orang, dan teknologi yang paling canggih di jamannya adalah : Fly by Wire. Teknologi pesawat ini dirancang untuk 30 tahun ke depan. Pesawat ini sudah tidak mengalami Dutch Roll (pesawat oleng berlebihan). N250 merupakan satu-satunya pesawat turboprop dengan teknologi Fly by Wire sampai saat ini. IPTN membangun pabrik khusus N250 di Amerika dan Eropa, namun tiba-tiba presiden memutuskan untuk menutup IPTN dan industri strategis lainnya (krisis moneter 1997). B.J Habibie meminta uang 500 juta dollar dan meyakinkan presiden bahwa Indonesia tidak akan bergantung pada produsen pesawat luar negeri. Namun, permintaan itu ditolak presiden. Sampai saat ini, bekas karyawan IPTN yang ditutup itu dipekerjakan pada produsen-produsen pesawat terbang internasional kelas dunia seperti Boeing, Airbus, dan lain- lain. Pada saat itu IPTN mempunyai 16.000 lebih karyawan dan sekarang PT DI sekarang hanya mempunyai 4.000 karyawan.