NIM : 11171020000066
17AC
Tugas kosmet
Obat (Drug)
a. Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993
Obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi.
c. Menurut FDA
The FD&C Act defines drugs, in part, by their intended use, as "articles intended
for use in the diagnosis, cure, mitigation, treatment, or prevention of disease" and
"articles (other than food) intended to affect the structure or any function of the body
of man or other animals" [FD&C Act, sec. 201(g)(1)].
4. Melindungi kulit dan rambut dari sinar UV, polusi & faktor lingkungan lain
5. Mencegah penuaan
– Rias Wajah.
– Rias Rambut.
– Rias Kuku.
– Rias Bibir
– Rias Mata.
3. Kosmetika Pewangi/Parfum.
– Preparat cukur
– Parfum
3. Penggolongan kosmetik terbagi atas beberapa golongan, yaitu:
1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dan lain-lain.
2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, bath capsule, dan lain-lain.
8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi, mouth washes, dan lain-lain.
10. Preparat kuku, misalnya cat kuku, lotion kuku, dan lain-lain.
11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih, pelembab, pelindung, dan lain-lain.
13. Preparat untuk suntan dan sunscreen, misalnya sunsreen foundation, dan lain-lain.
(Tranggono, 2007: 7)
1. Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern.
2. Kosmetik tradisional:
– Betul-betul tradisional, misalnya mangir lulur, yang dibuat dari
bahan alam dan diolah menurut resep dan cara yang turun temurun.
tradisional.
Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk di
dalamnya:
Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga
psikologis yang baik, seperti percaya diri. Dalam kosmetik riasan, peran
zat warna dan pewangi sangat besar. Kosmetik dekoratif terbagi menjadi
(Tranggono, 2007: 8)
penandaan.
d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim dan
golongan I
4. Jenis efek samping yang terjadi dalam pemakaian kosmetika dapat berupa:
1. Reaksi iritasi: merupakan efek samping kosmetika yang paling sering dijumpai.
Reaksi ini bersifat non imunologis karena terjadinya proses radang lokal dan tidak
diperantarai oleh respon imun. Reaksi ini terjadi karena kulit kontak dengan bahan
kosmetika yang bersifat iritan yang secara fisik dapat menurunkan fungsi sawar kulit
sehingga terjadi kerusakan sel-sel kulit. Kelainan yang terjadi sangat bervariasi
tergantung dari jenis bahan, lama kontak dan cara pemakaian oleh penderita. Bahan
yang bersifat iritan kuat dapat menyebabkan reaksi iritasi pada kontak yang pertama,
sedangkan bahan yang bersifat iritan ringan (deterjen) dapat menyebabkan kelainan
kulit pada kontak yang berulang-ulang sehingga terjadi reaksi iritasi yang kumulatif.
Reaksi iritasi sering disebabkan oleh kosmetika anti jerawat, deodoran, anti aging,
pemutih. Gejala yang timbul akibat reaksi iritan dapat berupa rasa terbakar, rasa
seperti disengat atau gatal ringan yang disertai kelainan kulit berupa bercak
kemerahan, kulit kering dan bersisik.
2. Reaksi alergi: reaksi ini terjadi karena adanya respon imun, yang disebabkan karena
kontak dengan bahan-bahan yang bersifat alergen yaitu bahan yang dapat merangsang
timbulnya reaksi hipersensitifitas. Reaksi alergi pada umumnya terjadi setelah
pemakaian kosmetika yang berulang-ulang. Reaksi ini sering disebabkan oleh produk
perawatan kulit, produk kosmetika rambut (pewarna, pengeriting rambut), produk rias
wajah, dan produk pengharum.Sedangkan secara fungsional, bahan kosmetika
pengharum paling sering menimbulkan reaksi, diikuti oleh pengawet dan antioksidan,
pewarna rambut, cat kuku (resin dan akrilat). Manifestasi klinis pada reaksi alergi
berupa kulit kemerahan, bengkak, dan timbul bintik-bintik berair disertai rasa gatal
yang hebat.
3. Reaksi Fotosensitifitas: terjadinya reaksi ini karena kontak dengan bahan yang
bersifat fotosensitif. Pajanan sinar matahari menyebabkan bahan tersebut bersifat
fototoksik atau fotoalergi sehingga dapat terjadi reaksi alergi ataupun iritasi. Reaksi
fototoksik dapat mengenai semua orang tegantung dari dosis sinar ultraviolet dan
konsentrasi bahan yang bersifat fotoreaktif. Reaksi fotosensitivitas biasanya
didapatkan pada bagian tubuh yang terpajan sinar matahari seperti wajah, leher, dan
punggung tangan. Reaksi fotoalergi memerlukan waktu sensitisasi, reaksi biasanya
timbul setelah beberapa hari atau minggu. Masalah utama dari reaksi fotoalergi
adalah penderita dapat mengalami reaksi terhadap sinar matahari yang menetap untuk
beberapa tahun walaupun bahan kimia tersebut sudah tidak dipakai lagi. Gejalanya
tampak kulit kemerahan diikuti oleh hiperpigmentasi dan deskuamasi disertai rasa
perih dan gatal.
4. Urtikaria kontak: urtikaria kontak merupakan respon wheal and flare dalam 30
sampai 60 menit setelah pajanan kulit dengan bahan tertentu. Gejala yang timbul
bervariasi dari ringan (gatal, kesemutan, terbakar, dan kemerahan) hingga yang berat
(anafilaksis dan kematian). Urtikaria lokal dapat meluas menjadi urtikaria
generalisata walaupun jarang dan dapat juga diikuti oleh angioedema dan reaksi
anafilaksis. Mekanisme terjadinya urtikaria dapat melalui mekanisme imunologis dan
non-imunologis. Urtikaria kontak non-imunologik merupakan bentuk tersering yang
biasanya disebabkan oleh asam benzoat, asam sinamat, jarang dihubungkan dengan
reaksi sistemik. Sedangkan urtikaria kontak imunologik merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I yang timbul pada individu yang tersensitisasi dan biasanya
disebabkan oleh metilparaben, etilparaben, henna dan sering dihubungkan dengan
reaksi sistemik.
5. Akne (jerawat): timbulnya akne sering dikaitkan sebagai efek samping produk
kosmetik wajah (pelembab dan tabir surya) dan kosmetik rambut yang sering bersifat
aknegenik dan komedogenik. Produk kosmetika tersebut sering mengandung lanolin,
petrolatum, lauril alkohol, asam oleat dan zat pewarna. Akne terjadi karena iritasi
kimia dan peradangan epitel folikel sehingga terjadi hiperkeratosis longgar dengan
papul dan pustula. Akne dapat muncul dalam beberapa hari sedangkan pembentukan
komedo perlu waktu lebih lama.
6. Pigmentasi: Hiperpigmentasi pada wajah umumnya disebabkan oleh reaksi alergi
atau reaksi irtasi yang diakibatkan oleh bahan-bahan kosmetika dan biasanya terjadi
pada individu dengan kulit gelap. Bahan penyebab biasanya zat pewarna dan zat
pengharum. Leukoderma perioral sering dijumpai pada orang yang menggunakan
odol yang mengandung cinnamic aldehyde.
7. Perubahan pada rambut dan kuku: Glyseril thioglycol merupakan bahan yang
digunakan pada produk pengkeriting yang dapat mensensitisasi pemakainya dan
menjadi risiko pada penata rambut. Bahan-bahan pengkeriting dan pelurus rambut
memecahkan ikatan jembatan disulfida yang bertanggung jawab pada kekuatan
keratin rambut sehingga bentuk serat rambut dapat dirubah. Tahapan kedua dengan
netralisasi, dibentuk ikatan disulfida baru yang mempertahankan bentuk rambut yang
baru. Penggunaan yang salah atau netralisasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan
kerusakan rambut.
Efek samping penggunaan kosmetika pada kuku dapat berupa paronikia, onikolisis,
kerusakan kuku dan perubahan warna kuku. Reaksi alergi akibat resin dapat berupa
gatal dan timbul bintik-bintik berair tidak hanya disekitar kuku tetapi juga pada leher,
kelopak mata, dada atas, dan telinga.
Reaksi putus obat ini terjadi karena selama pengobatan telah berlangsung
adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek
farmakologik obat,sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama
makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsy terhadap
fenobarbital/fenitoin,sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap
terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan
pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-
angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis ang mempunyai aksi lebih
panjang atau kurang poten,dengan gejala putus obat yang lebih ringan.
3. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama
Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamnya,untuk sebagian
besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian
ang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien.
Efek-efek ini umumna dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bias cukup
tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-
laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas (lihat bagian IV).
Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku
standard,umumnya lengkap dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh
misalnya:
a. Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada
obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin,
rifampisin, dll.
b. Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti
mabok perjalanan (motion sickness).
c. Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.
d. Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh
diberikan pada wanita hamil.
e. Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin ,sehingga memperpanjang
waktu pendarahan.
f. Ototoksisitas karena kinin/kinidin,dsb.
b. Efek samping yang tidak dapat diperkirakan
1. Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping ang terjadi, dan
terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan
sebelumnya ,seringkali sama sekali tidak tergantung dosis dan terjadi pada
sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat
bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritama sampai yang paling
berat berupa sok anafilaksi yang bias fatal.
Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetic, suatu obat
mungkin member efek
Farmakologik ang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun
subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali
tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan
kesehatan rutin) sebagai contoh misalnya:
a. Pasien ang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak
dapat memetabolasime uksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila
diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang
berkepanjangan.
b. Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat
dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika
akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamide dan kinidin.
Kemampuan metabolism obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor
genetik . Contoh yang paling popular adalah perbedaan metabolism isoniazid,
hidralazin dan prokainamid karena adana peristiwa polimorfisme dalam proses
asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi
terbagi menjadi 2 kelompok akni individu-individu yang mampu mengasetilasi
secara cepat (aselitator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara
lambat (aselitator lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator
cepat, sedangkan 35% adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator
lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini
berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator
lambat dari pada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya:
a. Neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator
lambat.
b. Sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi
pada asetilator lambat.
Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok
asetilator cepat atau lambat
Sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan
kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaanya tidak sulit.dan dapat
dilakukan di laboratorium Farmakologi.
3. Reaksi idiosinkratik
1. www.slideshare.net/vianasofieana/pengantar-farmakologi .
2. Syamsudin.2011.Buku Ajar Farmakologi Efek Samping Obat.Jakarta.penerbit Salemba
Medika.
3. Wibowo,Samekto dan Gofir,Abdul.2001.farmakoterapi dalam Neurologi.Jakarta.penerbit
Salemba Medika.
4. PERMENKES RI NO 220/MEN.KES/PER/IX/76
5. PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993
6. The Federal Food, Drug, and Cosmetic Act [FD&C Act, sec. 201(i)].
7. Katzung,Bartram G.2001.Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta.penerbit Salemba Medika.
8. Katzung,Bartram G.2002.Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta.penerbit Salemba Medika.
6. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik, dr. Retno Iswari
Tranggono, SpKK-Cosmetodermatologist