Anda di halaman 1dari 11

1.

Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel
yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran. Prinsip kerjanya adalah berdasarkan adsorpsi dan partisi, dimana
sampel akan berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang
digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase
geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran
antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Fase diam contohnya silika gel, alumina, dan selulosa. Dari jenis fase diam tersebut,
yang paling banyak dipakai ialah silika gel. Silika gel ini menghasilkan perbedaan dalam
efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya. Fase gerak meliputi beberapa
variasi eluen. Eluen yang digunakan untuk proses elusi terdapat dua jenis yaitu eluen yang
lebih polar dan eluen yang kurang polar. Penggunaan eluen yang kurang polar dimaksudkan
untuk mengelusi ekstrak heksan dan ekstrak metanol, sedangkan eluen yang lebih polar
untuk mengelusi ekstrak jenuh air dan ekstrak metanol. Eluen yang digunakan merupakan
kombinasi dari dua macam pelarut, hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat
kepolaran sehingga eluen ini dapat mengangkat noda yang tingkat kepolarannya berbeda-
beda. Perbandingan jumlah eluen yang digunakan berdasarkan dapat menarik komponen
kimia yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda, belum diperoleh jumlah noda
yang maksimal atau posisi noda terlalu ke atas atau ke bawah maka perbandingan ini dapat
dikombinasikan kembali.
Prinsip eluen tersebut dalam melewati fase diam (terelusi naik ke atas) adalah
bergerak berdasarkan prinsip partisi dimana fase gerak akan teradsorpsi pada permukaan dan
mengisi ruang-ruang diantara sel penyerap, kemudian terpartisi.
Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan kepolarannya sehingga menghasilkan
kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi dan terjadilah pemisahan. Untuk memisahkan
noda dengan sebaik-baiknya maka digunakan kombinasi eluen non polar dengan polar.
Apabila noda yang diperoleh terlalu tinggi, maka kecepatannya dapat dikurangi dengan
mengurangi kepolaran. Namun apabila nodanya lambat bergerak atau hanya ditempat, maka
kepolaran dapat ditambah.
Pada praktikum ini digunakan fase diam berupa silika gel GF245 Dimana berasal
dari bahan gypsum yang dapat berfluoresensi pada panjang gelombang 245. Sifat dari fase
diam ini adalah polar disebabkan ikatan H pada permukaan yang terikat dengan dengan
gugus hidroksil. Dalam praktikum ini fase gerak yang kita gunakan ialah n-heksan dan etil
asetat dengan perbandingan 4:1. Sebelum, memasukan fase diam pada fase gerak, hal yang
dilakukan ialah memnjenuhkan dahulu fase gerak dengan tujuan agar proses lebih optimal.
Sebelumnya, terjadi juga proses pengenceran sampel dengan ketiga pelarut yg digunakan.
Tujuannya ialah menhindari dari tailing. Pengenceran ini juga dilakukan beriringan pada saat
proses penjenuhan pelarut.
Lalu untuk fase gerak yang kami gunakan ini dengan perbandingan 4:1 dikarenakan
n-heksan ini memiliki sifat yang lebih non-polar sedangkan etil asetat bersifat semi polar
sehingga ditujukan untuk menaikkan beberapa komponen yang berada pada silica, karena
silica ini sendiri termasuk bahan yang bersifat polar.
Pada praktikum ini kami juga melakukan proses pengecekan dibawa sinar UV
dengan Panjang gelombang 254 nm. Dengan range Rf yaitu sekitar 0,00 -1,00 akan
ditemukan bercaknya. Proses ini dilakukan untuk melihat zat mana yang tidak berfluoresensi
sehinggga dapat dilihat olehmata pengamat berupa bercak. Dilanjut dengan proses
penamabahan pereaksi Godin A dan Godin B dengan pemberian Godin A yang ditunggu
kering lalu dilanjutkan dengan pembahan godin B dan pemanasan di atas hot plate. Hal ini
bertujuan untuk menambah gugus kromofor sehingga dapat dilihat dengan mata agar bercak
yang tidak kelihatan pada saat UV dapat diperjelas dengan penambahan Godin A dan Godin
B. Namun, Teknik ini adalah Teknik destruktif yang dapat merusak senyawa asli. Maka dari
proses ini dilakukan setelah penyinaran UV dan dilakukan hanya beberapa detik saja, hingga
muncul bercak saja.
Dari hasil yang didapatkan kami melakukan 2 pengujian yaitu untuk menentukan
metode mana yang paling baik menghasilkan pemisahan noda. Lalu dari hasil tersebut.
Didapatkan bahwa diantara ketiga metode yang dilakukan yaitu sonikasi, perkolasi, dan juga
microwave didapatkan bercak yang paling terlihat jelas dengan metode microwave. Metode
ini juga lebih cepat dan efisien jika dibandingkan dengan 2 metode lainnya.
Sedangkan hasil kelompok kami untuk melihat ketiga hasil fraksi yang telah dibuat,
dengan perbandingan yang sama yaitu N-Heksan dan Etil Aseta tyang masih sama yaitu 4:1.
Didapatkan bercak yang dapat naik hanyalah berasal dari n-heksan setelah dilakukan
pengamatan dibawah lampu UV dengan Panjang gelompang 254 nm. Untuk memastikan
spot yang mungkin akan muncul ditambahkan pereaksi godin a dan godin b, kemudian
dipanaskan hingga muncul warna pink hingga ungu pada sampel. Namun hasil tersebut.
Hanya terdapat pada noda pada sampel fraksi n-heksan dengan masing-masing nilai Rf yakni
0.2, 0,35, 0,5, 0,625, dan 0,75. Sedangkan fraksi lainnya tidak didapatkan noda yang naik,
hal ini kemungkinan terjadi 2 hal yaitu. Pada fraksi etil asetat dan methanol ini tidak tejadi
pemisahan yang cukup baik, karena kemungkinan ektrak etil pada masih terdapat methanol
dalam fraksi etil asetat. Kemungkina lainnya ialah perbandingan pelarut yang kami gunakan
kurang cocok dengan fraksi methanol dan etil asetat. Namun dikarenakan esktrak methanol
dan etil asetat kami sangat dikit, jadi kemarin untuk proses KLT belum bisa dilakukan
kembali. Hasil klt pada ekstraksi dengan menggunakan teknik mikrowave didapatkan hasil
yang lebih pekat dibandingkan dengan teknik ekstraksi dengan menggunakan sonikasi dan
perkolasi. Pada teknik sonikasi dan perkolasi didapatkan hasil yang lebih pekat pada teknik
sonikasi. Jarak Rf yang dihasilkan pada silika untuk pelarut n-heksana berjarak antara 0,2-
0,75.
2. Isolasi Senyawa Murni Dengan Metode Kromatografi Kolom

Pada praktikum kali ini, dilakukan pemisahan senyawa ekstrak n-heksan tanaman temu
hitam (Curcuma aeruginosa) menggunakan teknik kromatografi. Pemilihan ekstrak n heksan temu
hitam dipilih karena ekstrak n heksan yang didapat pada kelompok kami cukup banyak
dibandingkan ekstrak temu hitam dengan pelarut lain. Jenis kromatografi yang dipilih adalah
kromatografi kolom dengan fasa diam berupa serbuk silica dan fasa gerak berupa pelarut n-heksan
dan etil asetat. Perbandingan pelarut yang digunakan, diawali dari heksan 100%; heksan:etil asetat
(9:1); (4:1); (1:1); (1:4); (1:9) dan diakhiri dengan etil asetat 100% sekaligus untuk membilas
kolom yang digunakan. Prinsip kerja kromatografi kolom yaitu fasa gerak berupa pelarut akan
membawa cuplikan senyawa mengalir melalui fasa diam sehingga terjadi interaksi berupa adsorpsi
senyawa tersebut oleh padatan berupa kolom. Kecepatan bergerak suatu komponen dalam cuplikan
tergantung seberapa besar/lama komponen tersebut tertahan oleh padatan penyerap dalam kolom,
selain itu keberadaan gelembung dalam kolom dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan sampel
bahkan dapat mengakibatkan retaknya kolom, sehingga kolom tidak dapat digunakan. Faktor yang
mempengaruhi pemilihan fasa gerak dan fasa diam adalah polaritas dan kelarutan (Rubianto,2017).
Tujuan dari pemisahan kromatografi kolom adalah untuk mengelompokkan senyawa yang tingkat
kepolarannya mendekati sehingga mempermudah mendapatkan senyawa murni. Untuk
mengetahui pengelompokkan senyawa dilakukan pemeriksaan KLT dengan melihat tinggi Rf
untuk tiap vial sehingga mempermudah isolasi senyawa yang sejenis.

Pada proses pemisahan senyawa kolom dengan menggunakan pelarut n heksan 100% dan
nheksan-etilasetat (9:1) tidak ditampung dalam vial karena warna larutan setelah melewati kolom
tetap bening dan ekstrak pada bagian atas kolom masih turun sepertiga sehingga tidak ditampung
dalam vial. Warna yang timbul pada pemisahan senyawa temu hitam kromatografi kolom adalah
kuning dan beberapa kuning pucat bahkan bening. Kemudian didapatkan hasil fraksi kolom
sebanyak 40 vial dengan 1 sampai 10 vial untuk pelarut n-heksan-etil asetat(4:1) , vial ke-11
sampai 18 untuk nheksan-etil asetat(1:1), vial ke-19 sampai 28 untuk perbandingan 1:4, vial ke-
28 sampai 33 untuk perbandingan 1:9, dan vial ke-34 sampai 40 untuk fasa gerak etil asetat 100%.
Tiap vial yang diperoleh kemudian diuji dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), untuk
mengamati pola elusidasi atau spot yang terbentuk agar dapat menggabungkan fraksi-fraksi yang
pola elusidasi atau spot yang samaataumiripsatu vial dan vial lainnya. Pada pengujian pertama,
dilakukan uji vial dengan bilangan vial lompat 4 yaitu 1, 5, 9, 13, 17, 21, dan 25 pada KLT yang
sama menggunakan eluen n-heksana:etil asetat dengan perbandingan (4:1). Hasil yang diperoleh
karena kemungkinan terdapat spot yang sama walaupun dilakukan pada vial bilangan lompat 4
sehingga dapat menghemat plat silica, terdapat jumlah spot yang berbeda-beda dari fraksi pada
masing-masing vial yang diuji. Karena itu, kami melakukan pengujian ulang pada vial 1, 2, 3, 4,
5, 6 dan 7 menggunakan eluen yang sama. Ketika dilihat dengan lampu UV, terbentuk spot dengan
tinggi yang sama pada titik penotolan 1, 2, 3 dan 4 serta pada titik penotolan 5, 6 dan 7. Hal ini
berarti bahwa dari vial 1 hingga 4 dan 5 hingga 7 memiliki kepolaran yang mirip atau sama, karena
itu kami menggabungkan fraksi pada vial-vial tersebut pada satu wadah yang telah ditimbang
dalam bentuk kosong kemudian ditimbang kembali setelah terdapat campuran fraksi. Berat total
dari campuran fraksi dan vial 1 hingga 4 dan 5 hingga 7 berturut-turut sebesar sebesar 14,3299
gram dan 0,4843 gram.

Pada pengujian selanjutnya, dilakukan uji pada vial 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan 14 beturut-turut
menggunakan eluen yang sama, didapatkan hasil pola spot yang terbentuk dengan tinggi yang
sama pada fraksi di vial 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 dengan berat total fraksi dan vial ketika digabungkan
sebesar 0,5403 gram. Pada pengujian menggunakan prosedur yang sama, dilakukan uji kembali
pada vial 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 secara berturut-turut menggunakan eluen n-heksan:etil asetat
dengan perbandingan (1:1), karena pada percobaan KLT sebelumnya sifat kepolaran dari eluen
tidak begitu bisa mengelusidasi fraksi, karena itu digunakan eluen dengan tingkat kepolaran yang
lebih tinggi. Hasil yang didapatkan, terbentuk pola spot dengan tinggi yang sama pada fraksi di
vial 17 dan 18 dengan berat total fraksi ketika digabungkan dan vial sebesar 1,9818 gram dan vial
19, 20 dan 21 dengan berat sebesar 17,741 gram.

Pada pengujian selanjutnya, dilakukan uji pada vial 22, 23, 24 dan 25 menggunakan eluen
n-heksana : etil asetat dengan perbandingan (1:4), didapatkan hasil pembentukan spot dengan
tinggi yang sama pada semua vial tersebut. Ketika digabungkan, berat total fraksi dan vial sebesar
22,4629 gram. Kemudian dilanjutkan dengan pengujian pada vial 25, 29, 33 dan 37 dengan
menggunakan eluen yang sama pada pengujian sebelumnya. Bentuk pola atau spot yang dihasilkan
memiliki ketinggian yang berbeda-beda. Hal ini menandakan bahwa fraksi-fraksi pada vial yang
diuji ini memiliki senyawa kandungan yang berbeda-beda. Karena itu, dilakukan pengujian ulang
pada vial 26, 27 dan 28 serta 29, 30, 31, 32 dan 33. Didapatkan bentuk pola spot dengan ketinggian
dan jumlah yang sama pada vial 26, 27 dan 28 serta 29, 30, 31 dan 32 dengan berat total campuran
fraksi berturut-turut sebesar 0,5578 gram Dan 37,3694 gram. Selanjutnya, dilakukan pengujian
pada vial 32, 33, 34, 35, 36 dan 37, didapatkan ketinggian spot dan jumlah yang terbentuk sama
pada vial 33, 34 dan 35 dengan berat total sebesar 17,1192 gram dan pada vial 36 dan 37 dengan
berat total sebesar 17,6717 gram. Pengujian selanjutnya, pada vial 37, 38, 39 dan 40, didapatkan
hasil jumlah serta ketinggian pola spot yang terbentuk sama pada vial 38, 39 dan 40 dengan berat
total sebesar 18,6824 gram. Perbedaan berat pada masing-masing vial dikarenakan kecepatan
menguap pada tiap tabung berbeda akibat dari pelubangan alumunium voil yang tidak seragam.

Kesulitan dalam proses pengerjaan kromatografi kolom pada praktikum kali ini, yaitu
proses penjagaan kolom silica agar tidak pecah, tidak kering dan tidak muncul gelembung udara,
selain itu, pada kelompok kami hasil fraksi kromatografi kolom yang kami lakukan tidak maksimal
karena ekstrak pada temu hitam kemungkinan ada sebagian yang tidak turun yang ditunjukkan
oleh warna coklat pada bagian atas kolom, namun pada penambahan etilasetat 100% di vial
terakhir warna larutan yang terkumpul sudah bening. Selain itu, terdapat perbedaan teknis
pengerjaan pada pembuatan ekstrak yang akan diletakkan dalam kolom. Awalnya kelompok kami
akan menggunakan silica sebagai bahan pengadsorpsi ekstrak namun, ekstrak kelompok kami
cenderung encer sehingga ditambahkan n-heksan pada silica yang sudah dicampur ekstrak dan
akhirnya metode ekstrak yang dipakai adalah pelarutan.

Kemudian, dilakukan pengujian KLT pada vial yang telah digabungkan untuk selanjutnya
dilakukan uji KLT preparatif. Pengujian ini menggunakan eluen n-heksana : etil asetat (1:1) dan
didapatkan hasil fraksi yang akan dilanjutkan untuk uji KLT preparatif yaitu pada vial 2 (5 – 7),
gabungan vial 8 dan 9 (26 – 28 dan 29 – 32) dan Vial 11 (36 – 37).

3. KLT Preparatif

Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan


perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada kromatografi, komponen-
komponennya akan dipisahkan antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam
akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen
campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal, sedangkan
komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat.
Adsorpsi dan partisi berdasarkan pada jumlah dan cara penotolan cuplikan yang
berkesinambungan yang memberikan hasil elusi berupa pita.Kromatografi Lapis Tipis
Preparatif merupakan metode yang relatif sederhana, murah, cepat dan memiliki daya pisah
yang cukup baik. Metode ini tidak dianjurkan untuk pemisahan awal, tetapi digunakan untuk
pemurniaan akhir dalam prosedur isolasi senyawa (Harborne, 1987).
KLT Preparatif dapat digunkaan untuk memisahkan bahan dalam jumlah gram,
namun sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah milligram. Seperti halnya KLT secara
umum, KLT Preparatif juga melibatkan fase diam dan fase gerak. Dimana fase diamnya
adalah sebuah plat dengan ukuran ketebalan bervariasi. Untuk jumlah sampel 10-100 mg,
dapat dipisahkan dengan mengunakan KLT Preparatif dengan adsorben silika gel atau
aluminium oksida, dengan ukuran 20x20 cm dan tebal 0,5 - 2 mm. Seperti halnya KLT biasa,
adsorben yang paling umum digunakan pada KLT Preparatif adalah silika gel.
Kelebihan dari penggunaan KLT Preparatif adalah biaya yang digunakan murah
dan memakai peralatan paling dasar. Sementara kekurangannya antara lain : adanya
kemungkinan senyawa yang diambil dari plat adalah senyawa beracun, waktu yang
diperlukan dalam proses pemisahan cukup panjang, adanya pencemar setelah proses
ekstraksi senyawa dari adsorben.
Pada pengerjaan pertama, alat dan bahan yang akan digunakan siapkan agar dapat
meminimalisir dan memperlancar proses pengerjaan. selanjutnya penyiapan pelarut dari n-
heksan : etil . Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui apakah sampel dapat membentuk
fraksi yang baik atau terelusi dengan baik.
Sebelum ditotolkan pada plat KLT Preparatif, sampel dilarutkan terlebih dahulu
dalam sedikit pelarut. Pelarut yang baik adalah pelarut yang mudah menguap, misalnya n-
heksana, diklorometana atu etil asetat. Karena jika pelarut yang digunakan tidak mudah
menguap, maka akan terjadi pelebaran pita. Sampel yang ditotolkan harus berbentuk pita
yang sesempit mungkin karena baik tidaknya pemisahan juga bergantung pada lebarnya pita.
Sampel yang dipakai adalah ektrak temuhitam dari fraksi etil asetat yang telah
dipisahkan dengan metode kromatografi kolom dan penggabungan hasil vial berdasarkan
persamaan Rf yang dihasilkan, sesuai dengan hasil identifikasi dibawah sinar UV 254 nm
dan 365 nm. Vial yang dipilih adalah vial gabungan dari vial 8-13 (vial 1), gabungan vial
33-35 (vial 2), dan gabungan vial 36-37 (vial 3).
Selajutnya disiapkan peralatan klt preparatif yang telah dibuat sebelumnya dan
chamber yang dapat menampung klt preparative untuk membentuk pita noda, yang akan
diambil atau dikeruk untuk didapatkan kanisolatnya. Proses isolasi kromatografi lapis tipis
preparative terjadi berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari
komponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen, oleh karena daya serap
adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan
yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan.
Pengerjaannya sama dengan pengerjaan klt analitik, sampel yang telah dilarutkan
dalam sedikit pelarut (etil asetat) ditotolkan secara berkelanjutan dengan pipa kapiler
sesempit mungkin hingga membentuk pita yang sejajar. Penggunaan pelarut etil asetat
dikarenakan pelarut yang baik adalah yang mudah menguap, dikarenakan jika pelarut yang
digunakan tidak mudah menguap, maka akan terjadi pelebaran pita (Rohman, 2007). Untuk
membuat batas atas dan bawah klt tidak perlu menggunakan pensil karena 56 akan merusak
lapisan silicanya. Kemudian dimasukkan klt preparative kedalam chamber berisi eluen yang
telah dijenuhkan menggunakan kertas saring. Klt preparative diambil segera saat eluen
sampai dibatas atas klt preparative yang telah ditentukan, karena makin lama senyawa
kontak dengan adsorben, maka makin besar kemungkinan senyawa tersebut mengalami
peruraian (Roy, 1991). Dilihat dibawah sinar UV 254 nm dan 365 nm untuk melihat pita
yang terbentuk, kemudian ditandai dan selajutnya bagian pita tersebut dikerok untuk
mendapatkan isolatnya.
Penggunaan silica gel GF254 dimaksudkan agar klt menampakkan noda atau bercak
pada saat disinari dibawah UV 254 nm, jika disinari dengan sinar UV 366 nm, maka plat
akan Nampak gelap dan nodapun akan tampak gelap juga. Silika gel GF254 artinya silica
gel yang terdapat pada plat klt analitik atau preparative yaitu gypsum dengan flourosensi
pada panjang gelombang (λ) 254 nm karena adanya kromofornya dan bercak atau noda
tampak berwarna gelap.
Untuk pemisahan isolate dengan lapisan silica yang tebawa, larutkan silica dengan
etila setat, maka isolate yang berikatan dengan silica akan melarutkan etil asetat, kemudian
disaring. Dengan anggapan isolate telah larut pada larutan etil asetat, lapisan etil asetat
dipisahkan dengan penyaring dari pipet yang telah dilapisi kapas dibawahnya untuk
menyaring silica-silika halus yang terbawa. Isolat dikumpulkan dalam vial, kemudian
diperiksa kembali menggunakan klt analitik untuk memastikan bahwa isolate mengandung
senyawa yang diinginkan.
Pada vial yang telah ditotolkan pada KLT preparatif kemudian dilihat pada
spektrotometri pada panjang gelombang 254 nm dengan perbandingan eluen n-heksana : etil
asetat 1:1. Pada vial 1, 2, dan 3 banyak hasil pita yang didapatkan sebanyak 2. Pada vial 1
warna pita yang dihasilkan biru tua dan hijau gelap. Pada vial 2 warna pita yang dihasilkan
biru dan hijau gelap. Pada vial 3 warna pita yang dihasilkan biru dan jingga kecoklatan.
4. Rekristalisasi

Pada praktikum kali ini, dilakukan proses pemurnian sampel hasil dari kromatografi kolom
menggunakan metode rekristalisasi. Rekristalisasi adalah teknik pemurnian suatu zat padat dari
pengotornya dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut setelah dilarutkan dalam pelarut
yang sesuai. Prinsip dasar dari proses rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan antara zat yang
akan dimurnikan dengan zat pengotornya. Karena konsentrasi total pengotor biasanya lebih kecil
dari konsentrasi zat yang dimurnikan, dalam kondisi dingin, konsentrasi pengotor yang rendah
tetap dalam larutan sementara zat yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap. (Underwood,
1996). Pemilihan pelarut merupakan hal yang penting dalam rekristalisasi. Beberapa persyaratan
suatu pelarut dapat dipakai dengan proses rekristalisasi antara lain, memberikan perbedaan daya
larut yang cukup besar antara zat yang dimurnikan dengan zat pengotor, tidak meninggalkan
zat pengotor pada kristal, mudah dipisahkan dari kristal, bersifat inert tidak mudah bereaksi
dengan kristal.

Pada vial sampel kelompok kami, tidak ditemukan adanya kristal yang terbentuk. Karena
itu, kami melakukan rekristalisasi pada sampel yang sudah terbentuk kristal yaitu pada sampel
Temu kunci kelompok 2A. Kristal yang terbentuk karena penguapan pelarut yaitu etil asetat
berwarna kuning kecoklatan. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kristal
flavonoid yang terbentuk berwarna kuning. Diduga kristal ini adalah kristal flavonoid pada Temu
Kunci senyawa golongan flavanon yaitu 5-hidroksi-7-metoksi flavanon (Pinostrobin). Senyawa
pinostrobin memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan sel kanker payudara manusia dan
menghambat aktivitas enzim DNA Topoisomerase I (Sukardiman, 1999). Pinostrobin berpotensi
dikembangkan sebagai kemoterapi penyakit kanker. Pada vial sampel yang terdapat kristal
didalamnya, dilarutkan menggunakan pelarut etil asetat. Pelarut tersebut digunakan untuk
menghilangkan pengotor yang ikut mengkristal tanpa menarik kristal tersebut. Setelah dilarutkan
dengan etil asetat, pengotor yang terbawa dipisahkan ke vial lain dimana larutan ini dinamakan
larutan induk dan menyisakan kristal pada vial sebelumnya. Pada proses pelarutan terdapat
beberapa kristal yang ikut terlarut, karena itu kami menghentikan proses pelarutan. Kristal yang
sudah bersih dari pengotor, diambil kemudian dilarukan kembali dengan pelarut etil asetat. Untuk
menentukan senyawa apa yang terkandung dalam kristal tersebut, dilakukan penotolan larutan
kristal pada Kromatografi Lapis Tipis dan dielusidasi dengan eluen n-Heksana:etil dengan
perbandingan 4 : 1 tetapi senyawa tidak dapat terelusidasi sehingga kami menggunakan
perbandingan etil 100%. Pemilihan pelarut didasarkan pada sifat flavonoid yang mudah larut
dalam pelarut polar sehingga proses elusi akan menjadi lebih cepat. Kemudian dilakukan
pengamatan dibawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Namun, tidak
ditemukan noda yang terbentuk. Kemudian KLT di semprot dengan menggunakan pereaksi godin
lalu di panaskan diatas hot plate sampai timbulnya bercak noda yang terbentuk. Perhitungan Rf
dengan membagi jarak bercak dibagi dengan jarak fase gerak yang terelusi dan menghasilkan nilai
Rf pada sampel temu kunci yaitu sebesar 0,57.
Kesimpulan

Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang
ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan
kepolaran.Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase gerak yang
kami gunakan ialah n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 4:1. Semakin dekat kepolaran
antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Dari
hasil yang didapatkan kami melakukan 2 pengujian yaitu untuk menentukan metode mana yang
paling baik menghasilkan pemisahan noda. Didapatkan bahwa diantara ketiga metode yang
dilakukan yaitu sonikasi, perkolasi, dan juga microwave didapatkan bercak yang paling terlihat
jelas dan spot yang tidak terjadi tailing adalah dengan metode microwave. Metode ini juga lebih
cepat dan efisien jika dibandingkan dengan 2 metode lainnya. Selanjutnya dilakukan isolasi
senyawa murni dengan metode KLT. Warna yang timbul pada pemisahan senyawa temu hitam
kromatografi kolom adalah kuning dan beberapa kuning pucat bahkan bening. Kemudian
didapatkan hasil fraksi kolom sebanyak 40 vial dengan 1 sampai 10 vial untuk pelarut n-heksan-
etil asetat(4:1) , vial ke-11 sampai 18 untuk nheksan-etil asetat(1:1), vial ke-19 sampai 28 untuk
perbandingan 1:4, vial ke-28 sampai 33 untuk perbandingan 1:9, dan vial ke-34 sampai 40 untuk
fasa gerak etil asetat 100%. Fraksi yang dilanjutkan untuk KLT preparatif yaitu fraksi pada vial 2
( 5 – 7), gabungan vial 8 dan 9 (26 – 28 dan 29 – 32) dan Vial 11 (36 – 37). KLT preparatif
digunakan untuk pemurnian akhir dalam prosedur isolasi senyawa yang melibatkan fase diam yaitu
sebuah plat dengan ukuran ketebalan bervariasi dan fase gerak. Untuk jumlah sampel 10 – 100
mg, dapat dipisahkan dengan menggunakan KLT preparatif dengan adsorben silika gel atau
aluminium oksida ukuran 20 x 20 cm dengan tebal 0,5 – 2 mm. adsorben yang paling umum
digunakan pada KLT preparative adalah silika gel. Sampel yang dipakai adalah ekstrak Temu
Hitam dengan fraksi heksan yang telah dipisahkan dengan metode kromatografi kolom dan
penggabungan hasil vial berdasarkan persamaan Rf yang dihasilkan sesuai hasil identifikasi
dibawah sinar UV 254 nm dan 365 nm. Vial yang dipilih adalah vial gabungan dari vial 8-13 (vial
1), gabungan vial 33-35 (vial 2), dan gabungan vial 36-37 (vial 3) kemudian diamati pada
spektrotometer panjang gelombang 254 nm dengan perbandingan eluen n-heksana : etil asetat 1:1.
Pada vial 1, 2, dan 3 banyak hasil pita yang didapatkan sebanyak 2. Pada vial 1 warna pita yang
dihasilkan biru tua dan hijau gelap. Pada vial 2 warna pita yang dihasilkan biru dan hijau gelap.
Pada vial 3 warna pita yang dihasilkan biru dan jingga kecoklatan. Selanjutnya dilakukan proses
pemurnian sampel hasil dari kromatografi kolom menggunakan metode rekristalisasi. vial sampel
kelompok kami, tidak ditemukan adanya kristal yang terbentuk. Karena itu, kami melakukan
rekristalisasi pada sampel yang sudah terbentuk kristal yaitu pada sampel Temu kunci kelompok
2A. Kristal yang terbentuk karena penguapan pelarut yaitu etil asetat berwarna kuning kecoklatan.
Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kristal flavonoid yang terbentuk
berwarna kuning. Diduga kristal ini adalah kristal flavonoid pada Temu Kunci senyawa golongan
flavanon yaitu 5-hidroksi-7-metoksi flavanon (Pinostrobin).

Anda mungkin juga menyukai