Pada praktikum kali ini, dilakukan pemisahan senyawa ekstrak n-heksan tanaman temu
hitam (Curcuma aeruginosa) menggunakan teknik kromatografi. Pemilihan ekstrak n heksan temu
hitam dipilih karena ekstrak n heksan yang didapat pada kelompok kami cukup banyak
dibandingkan ekstrak temu hitam dengan pelarut lain. Jenis kromatografi yang dipilih adalah
kromatografi kolom dengan fasa diam berupa serbuk silica dan fasa gerak berupa pelarut n-heksan
dan etil asetat. Perbandingan pelarut yang digunakan, diawali dari heksan 100%; heksan:etil asetat
(9:1); (4:1); (1:1); (1:4); (1:9) dan diakhiri dengan etil asetat 100% sekaligus untuk membilas
kolom yang digunakan. Prinsip kerja kromatografi kolom yaitu fasa gerak berupa pelarut akan
membawa cuplikan senyawa mengalir melalui fasa diam sehingga terjadi interaksi berupa adsorpsi
senyawa tersebut oleh padatan berupa kolom. Kecepatan bergerak suatu komponen dalam cuplikan
tergantung seberapa besar/lama komponen tersebut tertahan oleh padatan penyerap dalam kolom,
selain itu keberadaan gelembung dalam kolom dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan sampel
bahkan dapat mengakibatkan retaknya kolom, sehingga kolom tidak dapat digunakan. Faktor yang
mempengaruhi pemilihan fasa gerak dan fasa diam adalah polaritas dan kelarutan (Rubianto,2017).
Tujuan dari pemisahan kromatografi kolom adalah untuk mengelompokkan senyawa yang tingkat
kepolarannya mendekati sehingga mempermudah mendapatkan senyawa murni. Untuk
mengetahui pengelompokkan senyawa dilakukan pemeriksaan KLT dengan melihat tinggi Rf
untuk tiap vial sehingga mempermudah isolasi senyawa yang sejenis.
Pada proses pemisahan senyawa kolom dengan menggunakan pelarut n heksan 100% dan
nheksan-etilasetat (9:1) tidak ditampung dalam vial karena warna larutan setelah melewati kolom
tetap bening dan ekstrak pada bagian atas kolom masih turun sepertiga sehingga tidak ditampung
dalam vial. Warna yang timbul pada pemisahan senyawa temu hitam kromatografi kolom adalah
kuning dan beberapa kuning pucat bahkan bening. Kemudian didapatkan hasil fraksi kolom
sebanyak 40 vial dengan 1 sampai 10 vial untuk pelarut n-heksan-etil asetat(4:1) , vial ke-11
sampai 18 untuk nheksan-etil asetat(1:1), vial ke-19 sampai 28 untuk perbandingan 1:4, vial ke-
28 sampai 33 untuk perbandingan 1:9, dan vial ke-34 sampai 40 untuk fasa gerak etil asetat 100%.
Tiap vial yang diperoleh kemudian diuji dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), untuk
mengamati pola elusidasi atau spot yang terbentuk agar dapat menggabungkan fraksi-fraksi yang
pola elusidasi atau spot yang samaataumiripsatu vial dan vial lainnya. Pada pengujian pertama,
dilakukan uji vial dengan bilangan vial lompat 4 yaitu 1, 5, 9, 13, 17, 21, dan 25 pada KLT yang
sama menggunakan eluen n-heksana:etil asetat dengan perbandingan (4:1). Hasil yang diperoleh
karena kemungkinan terdapat spot yang sama walaupun dilakukan pada vial bilangan lompat 4
sehingga dapat menghemat plat silica, terdapat jumlah spot yang berbeda-beda dari fraksi pada
masing-masing vial yang diuji. Karena itu, kami melakukan pengujian ulang pada vial 1, 2, 3, 4,
5, 6 dan 7 menggunakan eluen yang sama. Ketika dilihat dengan lampu UV, terbentuk spot dengan
tinggi yang sama pada titik penotolan 1, 2, 3 dan 4 serta pada titik penotolan 5, 6 dan 7. Hal ini
berarti bahwa dari vial 1 hingga 4 dan 5 hingga 7 memiliki kepolaran yang mirip atau sama, karena
itu kami menggabungkan fraksi pada vial-vial tersebut pada satu wadah yang telah ditimbang
dalam bentuk kosong kemudian ditimbang kembali setelah terdapat campuran fraksi. Berat total
dari campuran fraksi dan vial 1 hingga 4 dan 5 hingga 7 berturut-turut sebesar sebesar 14,3299
gram dan 0,4843 gram.
Pada pengujian selanjutnya, dilakukan uji pada vial 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan 14 beturut-turut
menggunakan eluen yang sama, didapatkan hasil pola spot yang terbentuk dengan tinggi yang
sama pada fraksi di vial 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 dengan berat total fraksi dan vial ketika digabungkan
sebesar 0,5403 gram. Pada pengujian menggunakan prosedur yang sama, dilakukan uji kembali
pada vial 17, 18, 19, 20, 21 dan 22 secara berturut-turut menggunakan eluen n-heksan:etil asetat
dengan perbandingan (1:1), karena pada percobaan KLT sebelumnya sifat kepolaran dari eluen
tidak begitu bisa mengelusidasi fraksi, karena itu digunakan eluen dengan tingkat kepolaran yang
lebih tinggi. Hasil yang didapatkan, terbentuk pola spot dengan tinggi yang sama pada fraksi di
vial 17 dan 18 dengan berat total fraksi ketika digabungkan dan vial sebesar 1,9818 gram dan vial
19, 20 dan 21 dengan berat sebesar 17,741 gram.
Pada pengujian selanjutnya, dilakukan uji pada vial 22, 23, 24 dan 25 menggunakan eluen
n-heksana : etil asetat dengan perbandingan (1:4), didapatkan hasil pembentukan spot dengan
tinggi yang sama pada semua vial tersebut. Ketika digabungkan, berat total fraksi dan vial sebesar
22,4629 gram. Kemudian dilanjutkan dengan pengujian pada vial 25, 29, 33 dan 37 dengan
menggunakan eluen yang sama pada pengujian sebelumnya. Bentuk pola atau spot yang dihasilkan
memiliki ketinggian yang berbeda-beda. Hal ini menandakan bahwa fraksi-fraksi pada vial yang
diuji ini memiliki senyawa kandungan yang berbeda-beda. Karena itu, dilakukan pengujian ulang
pada vial 26, 27 dan 28 serta 29, 30, 31, 32 dan 33. Didapatkan bentuk pola spot dengan ketinggian
dan jumlah yang sama pada vial 26, 27 dan 28 serta 29, 30, 31 dan 32 dengan berat total campuran
fraksi berturut-turut sebesar 0,5578 gram Dan 37,3694 gram. Selanjutnya, dilakukan pengujian
pada vial 32, 33, 34, 35, 36 dan 37, didapatkan ketinggian spot dan jumlah yang terbentuk sama
pada vial 33, 34 dan 35 dengan berat total sebesar 17,1192 gram dan pada vial 36 dan 37 dengan
berat total sebesar 17,6717 gram. Pengujian selanjutnya, pada vial 37, 38, 39 dan 40, didapatkan
hasil jumlah serta ketinggian pola spot yang terbentuk sama pada vial 38, 39 dan 40 dengan berat
total sebesar 18,6824 gram. Perbedaan berat pada masing-masing vial dikarenakan kecepatan
menguap pada tiap tabung berbeda akibat dari pelubangan alumunium voil yang tidak seragam.
Kesulitan dalam proses pengerjaan kromatografi kolom pada praktikum kali ini, yaitu
proses penjagaan kolom silica agar tidak pecah, tidak kering dan tidak muncul gelembung udara,
selain itu, pada kelompok kami hasil fraksi kromatografi kolom yang kami lakukan tidak maksimal
karena ekstrak pada temu hitam kemungkinan ada sebagian yang tidak turun yang ditunjukkan
oleh warna coklat pada bagian atas kolom, namun pada penambahan etilasetat 100% di vial
terakhir warna larutan yang terkumpul sudah bening. Selain itu, terdapat perbedaan teknis
pengerjaan pada pembuatan ekstrak yang akan diletakkan dalam kolom. Awalnya kelompok kami
akan menggunakan silica sebagai bahan pengadsorpsi ekstrak namun, ekstrak kelompok kami
cenderung encer sehingga ditambahkan n-heksan pada silica yang sudah dicampur ekstrak dan
akhirnya metode ekstrak yang dipakai adalah pelarutan.
Kemudian, dilakukan pengujian KLT pada vial yang telah digabungkan untuk selanjutnya
dilakukan uji KLT preparatif. Pengujian ini menggunakan eluen n-heksana : etil asetat (1:1) dan
didapatkan hasil fraksi yang akan dilanjutkan untuk uji KLT preparatif yaitu pada vial 2 (5 – 7),
gabungan vial 8 dan 9 (26 – 28 dan 29 – 32) dan Vial 11 (36 – 37).
3. KLT Preparatif
Pada praktikum kali ini, dilakukan proses pemurnian sampel hasil dari kromatografi kolom
menggunakan metode rekristalisasi. Rekristalisasi adalah teknik pemurnian suatu zat padat dari
pengotornya dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut setelah dilarutkan dalam pelarut
yang sesuai. Prinsip dasar dari proses rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan antara zat yang
akan dimurnikan dengan zat pengotornya. Karena konsentrasi total pengotor biasanya lebih kecil
dari konsentrasi zat yang dimurnikan, dalam kondisi dingin, konsentrasi pengotor yang rendah
tetap dalam larutan sementara zat yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap. (Underwood,
1996). Pemilihan pelarut merupakan hal yang penting dalam rekristalisasi. Beberapa persyaratan
suatu pelarut dapat dipakai dengan proses rekristalisasi antara lain, memberikan perbedaan daya
larut yang cukup besar antara zat yang dimurnikan dengan zat pengotor, tidak meninggalkan
zat pengotor pada kristal, mudah dipisahkan dari kristal, bersifat inert tidak mudah bereaksi
dengan kristal.
Pada vial sampel kelompok kami, tidak ditemukan adanya kristal yang terbentuk. Karena
itu, kami melakukan rekristalisasi pada sampel yang sudah terbentuk kristal yaitu pada sampel
Temu kunci kelompok 2A. Kristal yang terbentuk karena penguapan pelarut yaitu etil asetat
berwarna kuning kecoklatan. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kristal
flavonoid yang terbentuk berwarna kuning. Diduga kristal ini adalah kristal flavonoid pada Temu
Kunci senyawa golongan flavanon yaitu 5-hidroksi-7-metoksi flavanon (Pinostrobin). Senyawa
pinostrobin memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan sel kanker payudara manusia dan
menghambat aktivitas enzim DNA Topoisomerase I (Sukardiman, 1999). Pinostrobin berpotensi
dikembangkan sebagai kemoterapi penyakit kanker. Pada vial sampel yang terdapat kristal
didalamnya, dilarutkan menggunakan pelarut etil asetat. Pelarut tersebut digunakan untuk
menghilangkan pengotor yang ikut mengkristal tanpa menarik kristal tersebut. Setelah dilarutkan
dengan etil asetat, pengotor yang terbawa dipisahkan ke vial lain dimana larutan ini dinamakan
larutan induk dan menyisakan kristal pada vial sebelumnya. Pada proses pelarutan terdapat
beberapa kristal yang ikut terlarut, karena itu kami menghentikan proses pelarutan. Kristal yang
sudah bersih dari pengotor, diambil kemudian dilarukan kembali dengan pelarut etil asetat. Untuk
menentukan senyawa apa yang terkandung dalam kristal tersebut, dilakukan penotolan larutan
kristal pada Kromatografi Lapis Tipis dan dielusidasi dengan eluen n-Heksana:etil dengan
perbandingan 4 : 1 tetapi senyawa tidak dapat terelusidasi sehingga kami menggunakan
perbandingan etil 100%. Pemilihan pelarut didasarkan pada sifat flavonoid yang mudah larut
dalam pelarut polar sehingga proses elusi akan menjadi lebih cepat. Kemudian dilakukan
pengamatan dibawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Namun, tidak
ditemukan noda yang terbentuk. Kemudian KLT di semprot dengan menggunakan pereaksi godin
lalu di panaskan diatas hot plate sampai timbulnya bercak noda yang terbentuk. Perhitungan Rf
dengan membagi jarak bercak dibagi dengan jarak fase gerak yang terelusi dan menghasilkan nilai
Rf pada sampel temu kunci yaitu sebesar 0,57.
Kesimpulan
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang
ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan
kepolaran.Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase gerak yang
kami gunakan ialah n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 4:1. Semakin dekat kepolaran
antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Dari
hasil yang didapatkan kami melakukan 2 pengujian yaitu untuk menentukan metode mana yang
paling baik menghasilkan pemisahan noda. Didapatkan bahwa diantara ketiga metode yang
dilakukan yaitu sonikasi, perkolasi, dan juga microwave didapatkan bercak yang paling terlihat
jelas dan spot yang tidak terjadi tailing adalah dengan metode microwave. Metode ini juga lebih
cepat dan efisien jika dibandingkan dengan 2 metode lainnya. Selanjutnya dilakukan isolasi
senyawa murni dengan metode KLT. Warna yang timbul pada pemisahan senyawa temu hitam
kromatografi kolom adalah kuning dan beberapa kuning pucat bahkan bening. Kemudian
didapatkan hasil fraksi kolom sebanyak 40 vial dengan 1 sampai 10 vial untuk pelarut n-heksan-
etil asetat(4:1) , vial ke-11 sampai 18 untuk nheksan-etil asetat(1:1), vial ke-19 sampai 28 untuk
perbandingan 1:4, vial ke-28 sampai 33 untuk perbandingan 1:9, dan vial ke-34 sampai 40 untuk
fasa gerak etil asetat 100%. Fraksi yang dilanjutkan untuk KLT preparatif yaitu fraksi pada vial 2
( 5 – 7), gabungan vial 8 dan 9 (26 – 28 dan 29 – 32) dan Vial 11 (36 – 37). KLT preparatif
digunakan untuk pemurnian akhir dalam prosedur isolasi senyawa yang melibatkan fase diam yaitu
sebuah plat dengan ukuran ketebalan bervariasi dan fase gerak. Untuk jumlah sampel 10 – 100
mg, dapat dipisahkan dengan menggunakan KLT preparatif dengan adsorben silika gel atau
aluminium oksida ukuran 20 x 20 cm dengan tebal 0,5 – 2 mm. adsorben yang paling umum
digunakan pada KLT preparative adalah silika gel. Sampel yang dipakai adalah ekstrak Temu
Hitam dengan fraksi heksan yang telah dipisahkan dengan metode kromatografi kolom dan
penggabungan hasil vial berdasarkan persamaan Rf yang dihasilkan sesuai hasil identifikasi
dibawah sinar UV 254 nm dan 365 nm. Vial yang dipilih adalah vial gabungan dari vial 8-13 (vial
1), gabungan vial 33-35 (vial 2), dan gabungan vial 36-37 (vial 3) kemudian diamati pada
spektrotometer panjang gelombang 254 nm dengan perbandingan eluen n-heksana : etil asetat 1:1.
Pada vial 1, 2, dan 3 banyak hasil pita yang didapatkan sebanyak 2. Pada vial 1 warna pita yang
dihasilkan biru tua dan hijau gelap. Pada vial 2 warna pita yang dihasilkan biru dan hijau gelap.
Pada vial 3 warna pita yang dihasilkan biru dan jingga kecoklatan. Selanjutnya dilakukan proses
pemurnian sampel hasil dari kromatografi kolom menggunakan metode rekristalisasi. vial sampel
kelompok kami, tidak ditemukan adanya kristal yang terbentuk. Karena itu, kami melakukan
rekristalisasi pada sampel yang sudah terbentuk kristal yaitu pada sampel Temu kunci kelompok
2A. Kristal yang terbentuk karena penguapan pelarut yaitu etil asetat berwarna kuning kecoklatan.
Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kristal flavonoid yang terbentuk
berwarna kuning. Diduga kristal ini adalah kristal flavonoid pada Temu Kunci senyawa golongan
flavanon yaitu 5-hidroksi-7-metoksi flavanon (Pinostrobin).