Anda di halaman 1dari 8

Pemantauan Ektrak

Prosedur

Chamber dan fase gerak yang akan digunakan disiapkan. Lalu fase gerak dimasukkan
ke dalam bejana dan tutup rapat. Kertas saring dicelupkan kedalam bejana dan bejana
dibiarkan jenuh dengan uap fase gerak. Kemudian sambil ditunggu bejana jenuh, plat silika
gel GF 254 analitik disiapkan dan diaktivasi selama 10 menit pada oven. Ekstrak kental
dilarutkan dalam beberapa ml pelarut sampel lalu diperoleh ekstrak tidak kental. Kemudian
ekstrak yang telah dilarutkan ditotolkan ke plat silika menggunakan pipa kapiler, totolan
ekstrak dibiarkan mengering. Lalu plat yang sudah ditotolkan dimsukkan ke dalam chamber
yang berisi fase gerak yang telah jenuh. Kemudian fase gerak dibiarkan naik kurang lebih 1
cm sebelum tinggi plat. Plat diangkat dan dibiarkan mengering, kemudian dilihat dibawah
sinar tampak  254 nm dan  365 nm.

Data Pengamatan

DATA PENGAMATAN GAMBAR

1. Etil asetat : etanol : n-heksana = 2 : 1 : 30 dalam 10 mL

Etil asetat: 2/33 x 10 mL = 0,6 mL

Etanol: 1/33 x 10 mL = 0,3 mL

n-heksana: 30/33 x 10 mL = 0,1 mL

2. Kloroform : aseton : metanol = 20 : 3 : 2 dalam 10 mL

Kloroform: 20/25 x 10 mL = 8 mL

Aseton: 3/25 x 10 mL = 1,2 mL

Metanol: 2/25 x 10 mL = 0,8 mL

3. Etil asetat : metanol : air = 6 : 4 : 2 dalam 10 mL

Etil asetat: 6/12 x 10 mL = 5 mL

Metanol: 4/12 x 10 mL = 3,3 mL

Air: 2/12 x 10 mL = 1,6 mL

4. Kloroform : etil asetat = 60 : 40 dalam 10 mL


Kloroform: 60/100 x 10 mL = 6 mL

Etil asetat: 40/100 x 10 mL = 4 mL

5. Toluen : etil asetat : asam asetat = 5 : 4 : 2 dalam 10 mL

Toluen: 5/10 x 10 mL = 5 mL

Etil asetat: 4/10 x 10 mL = 4 mL

Asam asetat: 2/10 x 10 mL = 2 mL

6. Etil asetat : n-heksana = 2 : 3 dalam 5 mL

Etil asetat = 2/5 x 5 mL = 2 mL

n-heksana = 3/5 x 5 mL = 3 mL

7. Kloroform : metanol = 6 : 4 dalam 5 mL

Kloroform: 6/10 x 5 mL = 3 mL

Metanol: 4/10 x 5 mL = 2 mL

8. Metanol : etil asetat = 7 : 3 dalam 5 mL

Metanol: 7/10 x 5 mL = 3,5 mL

Etil asetat: 3/10 x 5 mL = 1,5 mL

jarak bercak 0,8 cm


Rf = = = 0,18
jarak eluen 4,5 cm

9. Kloroform : metanol = 8 : 2 dalam 10 mL

Kloroform: 8/10 x 10 mL = 8 mL

Metanol: 2/10 x 10 mL = 2 mL

jarak bercak 3,2 cm


Rf = = = 0,71
jarak eluen 4,5 cm

10. Kloroform : etil asetat = 7 : 3 dalam 5 mL


Kloroform: 7/10 x 5 mL = 3,5 mL

Etil asetat: 3/10 x 5 mL = 1,5 mL

jarak bercak 2,5 cm


Rf = = = 0,625
jarak eluen 4 cm

Dilakukan pemantauan ekstrak menggunakan KLT analisis sekaligus pemilihan eluen


yang paling baik dalam pemisahan ekstrak
- Etil Asetat 5 mL dengan jarak elusi 4 cm

Jarak spot1 = 0,7 cm

Rf1 = (0,7 cm)/(4 cm)=0,175

Jarak spot2 = 1,4 cm

Rf2 = (1,4 cm)/(4 cm)=0,35

- Etil Asetat : Metanol dalam 5 mL (4:1) dengan jarak elusi 4 cm

Jarak spot1 = 1 cm

Rf1 = (1 cm)/(4 cm)=0,25

Jarak spot2 = 2 cm

Rf2 = (2 cm)/(4 cm)=0,50

Berdasarkan data diatas, eluen yang cocok untuk digunakan dalam pemishan
yaitu etil asetat : metanol (1:4).

Pembahasan

Pemantauan ekstrak dilakukan bertujuan agar mengetahui komponen apa saja yang
terdapat dalam ekstrak bunga rosella. Metode yang dilakukan dalam pemantauan ekstrak
dapat menggunakan metode kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Kromatografi
lapis tipis termasuk juga sistem kromatografi padat cair dimana fase diamnya berupa silica
gel dan fase geraknya berupa cairan, sedangkan pada kromatografi kertas fase diamnya
berupa air dan fase geraknya berupa eluen berbentuk cairan, sehingga dapat dikatakan bahwa
kromatografi kertas membentuk sistem kromatografi cair-cair. Pemilihan metode
kromatografi lapis tipis dalam pemantauan ekstrak karena ditujukan dalam pemantauan
ekstrak yang relatif mudah dan praktis dibanding kromatografi kertas. KLT digunakan secara
luas untuk analisis solute-solute organic terutama dalam bidang biokimia, farmasi, klinis,
forensic, baik untuk analisis kualitatif dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan
nilai Rf senyawa baku atau untuk analisis kualitatif. Kromatografi lapis tipis merupakan salah
satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang akan diidentifikasi dengan memisahkan
komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran dengan melihat harga Rf atau
perbandingan jarak rambat yang dicapai oleh senyawa dengan jarak rambat yang dicapai oleh
fase gerak. Prinsip kerjanya berdasarkan adsorpsi, desorpsi, dan elusi, dimana sampel akan
berpisah karena perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik
ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan
dengan jenis sampel yang akan dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan
eluen makan sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Penggunaan umum KLT
adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa,
memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektifitas pemurnian, menentukan kondisi
yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta untuk memantau kromatografi kolom,
melakukan screening sampel untuk obat (Gandjar IG, 2008).
Berdasarkan data pengamatan, eluen yang dipakai dalam pemisahan fraksi nanti akan
digunakan eluen etil asetat : metanol (4:1), karena Rfnya masuk rentang yang baik untuk di
amati. Rentang yang baik untuk diamati adalah spot berada pada rentang Rf 0,2-0,8.
Pada rentang dibawah 0,2 kurang baik dalam pengamatan karena spot terlalu bawah
dan bisajadi kurang akurat, sehingga untuk menghindari hal-hal tersebut dapat mengubah
komposisi eluen untuk mendapatkan Rf yang baik (masuk rentang), begitu juga dengan diatas
0,8 terlalu atas sehingga lebih baik mengganti komposisi eluen yang lain dengan cara
menambahkan kepolaran eluen atau mengurangi kepolaran eluen.

2. Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel
yang akan diidentifikasi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran dengan melihat harga Rf atau perbandingan jarak rambat yang dicapai
oleh senyawa dengan jarak rambat yang dicapai oleh fase gerak. Prinsip kerjanya berdasarkan
adsorpsi, desorpsi, dan elusi, dimana sampel akan berpisah karena perbedaan kepolaran
antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam
dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang akan
dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen makan sampel akan
semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.

Hal yang pertama kali harus dilakukan sebelum proses pemisahan dengan
kromatografi lapis tipis adalah menjenuhkan chamber dengan eluen yang akan digunakan.
Penjenuhan chamber bertujuan untuk membuat uap eluen memenuhi ruang dari chamber
sehingga nantinya eluen tersebut dapat bekerja dengan baik dalam proses pemisahan. Jika
eluen tidak memenuhi chamber, maka distribusi dari fase diam tidak akan berjalan dengan
baik dan membuat proses pemisahan tidak sempurna sehingga hasil yang diperoleh tidak
akan tepat ketelitiannya. Proses penjenuhan ini dilakukan dengan memasukkan eluen yang
akan digunakan kedalam chamber dan dimasukkan juga kertas saring sebagai indikator, lalu
chamber harus ditutup rapat agar uap dari eluen tidak keluar dan proses penjenuhan yang
dilakukan sempurna. Chamber dinyatakan telah jenuh oleh uap fase gerak ketika kertas
saring tersebut telah terbasahi seluruhnya oleh eluen.

Selain penjenuhan chamber, hal yang perlu dilakukan sebelum proses pemisahan
adalah aktivasi plat KLT selama 15 menit dengan memanaskan plat didalam oven pada suhu
115C. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan air dan pengotor dari plat yang akan
digunakan, nantinya air yang terkandung dalam plat tersebut akan menguap karena proses
pemanasan. Plat yang digunakan adalah plat silika gel GF 254, plat ini mengandung pengikat
(gypsum) dan indikator fluoresensi anorganik yang dapat berfluoresensi pada  254 nm.
Gypsum berfungsi untuk memperkuat pelapisannya pada pendukung. Penggunaan plat jenis
ini bertujuan agar saat disinari dengan sinar UV, plat dapat berfluoresensi dengan
menghasilkan warna hijau sehingga bercak yang terbentuk dapat terlihat dengan jelas.

Setelah chamber dinyatakan jenuh dan plat telah diaktivasi, ditotolkan ekstrak pada
plat KLT menggunakan pipa kapiler. Terlebih dahulu ekstrak yang ditotolkan dilarutkan
dengan pelarut, pelarut yang digunakan yaitu etanol yang memiliki sifat kepolarannya semi
polar. Penggunaan etanol yang bersifat semi polar ini bertujuan agar senyawa dalam ekstrak
yang bersifat non-polar dan polar juga dapat ikut terlarut bersamaan dengan senyawa yang
berifat semi polar sehingga semua senyawa dengan sifat kepolaran yang berbeda dapat
terdeteksi. Kemudian lakukan proses pemisahan dengan memasukkan plat yang telah
ditotolkan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan tinggi eluen dalam chamber harus
lebih rendah daripada totolan bercak atau plat tidak tenggelam dalam fase gerak agar totolan
bercak tidak terhapus oleh eluen.

Selama proses pemisahan terdapat 3 proses yang terjadi yaitu adsorpsi, desorpsi,
hingga elusi. Adsorpsi terjadi saat ekstrak atau senyawa berkompetisi dengan eluen untuk
terjerap atau menempel pada fase diam. Fase diam adalah plat KLT yang bersifat polar
sehingga yang menempel atau terjerap dalam fase diam adalah senyawa yang bersifat polar
pula. Setelah proses adsorpsi dilanjutkan dengan desorpsi yaitu lepasnya senyawa dari fase
diam. Lalu senyawa yang lepas tersebut akan terelusi oleh fase gerak. Proses pemisahan ini
dilakukan hingga fase gerak naik sampai 1 cm sebelum pinggir plat. Kemudian setelah
selesai, keluarkan plat dan dibiarkan plat mengering hingga fase gerak yang memenuhi plat
menguap.

Agar bercak hasil pemisahan dapat terlihat jelas maka plat dilihat dibawah sinar
ultraviolet  254 nm dan  365 nm. Pemilihan sinar UV ini karena telah mampu mewakili
kedua jenis UV dekat. Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel
akan tampak berwarna gelap. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar
ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan
energi. Sedangkan pada UV 365 bercak yang tampak lebih terang karna silika gel yang
digunakan tidak berflouresensi pada sinar UV 365 nm. Penampakan bercak yang timbul
disebabkan karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat
ausokrom yang terdapat dalam bercak.

Selanjutnya dilakukan juga perhitungan Rf (faktor retensi) yaitu dengan menghitung


jarak yang ditemuh oleh bercak dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen atau fase
gerak. Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut
dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Nilai Rf
yang baik berkisar antara 0,2-0,8. Senyawa yang memiliki Rf yang besar maka sifat
kepolarannya rendah, begitu juga senyawa yang memiliki Rf yang kecil maka sifat
kepolarannya tinggi. Hal tersebut dikarenakan fase diam bersifat polar sehingga senyawa
yang lebih polar akan tertahan dalam fase diam dan menghasilkan Rf yang rendah.
Penggunaan eluen yang tepat juga dapat menentukan besar kecilnya harga Rf. Jika eluen
yang digunakan terlalu polar maka Rf yang dihasilkan akan besar atau bahkan Rf tidak dapat
dihitung karena fase gerak akan menempati fase diam yang juga bersifat polar dan senyawa
akan terelusi dengan cepat, begitu pula sebaliknya.

Dari hasil percobaan yang dilakukan didapatkan nilai Rf ekstrak batang Brotowali
sebesar 0,625 dengan eluen yang digunakan adalah kloroform dan etil asetat dengan
perbandingan 7 : 3. Kloroform bersifat non-polar sedangkan etil asetat bersifat semi polar
sehingga campuran pelarut yang digunakan bersifat semi polar menuju non-polar karena
pemakaian kloroform yang lebih banyak. Sehingga didapatkan nilai Rf yang cukup baik yaitu
0,625 dan dapat disebut juga bahwa senyawa atau bercak tersebut memiliki sifat kepolaran
yang rendah dan bersifat semi polar menuju non-polar. Menurut beberapa sumber percobaan
lain, dikatakan bahwa senyawa-senyawa yang terkandung dalam Brotowali bersifat non-polar
seperti contohnya alkaloid. Eluen ini nantinya dapat digunakan untuk pemisahan dengan
metode KLT Preparatif. Sebelumnya dilakukan juga pemantauan menggunakan eluen
metanol dan etil asetat dengan perbandingan 7 : 3 dan nilai Rf yang dihasilkan sebesar 0,18,
nilai ini terlalu rendah yang menandakan bahwa sifat kepolaran campuran kedua eluen
tersebut kurang polar. Eluen lain yang dicoba adalah campuran kloroform dan metanol
dengan perbandingan 8 : 2 dan menghasilkan nilai Rf yang besar yaitu 0,71. Hal ini
disebabkan oleh campuran eluen keduanya menghasilkan sifat kepolaran yang polar sehingga
kepolarannya harus diturunkan.

Dalam penentuan eluen yang tepat juga dilakukan percobaan hingga lebih dari 10
kali. Hal ini dikarenakan beberapa faktor seperti terbentuknya ekor (tailing) yang disebabkan
karena penotolan yang berulang-ulang dan letaknya tidak tepat atau kandungan senyawa yang
terlalu asam atau basa. Faktor lain juga terjadi dengan tidak nampaknya bercak, bercak yang
terbentuk tidak membulat, dan harga Rf yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.

Kesimpulan

Berdasarkan uji pemantauan ekstrak dari batang Brotowali menggunakan metode


pemisahan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) didapatkan keberadaan suatu senyawa yang
memiliki sifat kepolaran yang rendah dengan nilai Rf yang didapatkan 0,625. Eluen atau fase
gerak yang digunakan untuk proses pemisahan dengan KLT adalah campuran kloroform
dengan etil asetat dengan perbandingan 7 : 3.
Daftar pustaka

Alex Kimia, 2017, FKUI: Rotary Evaporatory, Laboratorium Sintesis Kimia Organik
Departemen Kimia Kedokteran: FK Universitas Indonesia pada laman:
http://research.fk.ui.ac.id/sisteminformasi/index.php/laboratorium-sintesis-kimia-
organik/database-alat-laboratorium-sintesis-kimia-organik/item/624-rotary-
evaporator diakses tanggal 5 november 2017 pukul 14.15
Ibnu Gholib Gandjar dan Abdul Rahman. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Hostettmann, K., Hostettmann, M. dan Marston, A. 2006. Cara Kromatografi Preparatif .
Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung : Penerbit ITB.
Laddha, G.S., dan Degaleesan, T.N., 1976, Transport Phenomena in Liquid Extraction, New
York.: Mc-Graw Hill Publishing, Co., Ltd
Leemensand. 1991. Plant Resourees of South East Asia 3 Dye and Tannin Production Plant.
Netherland:Pudoc Wagengan.
Harborne,J.B. 1987. Metode Fitokimia “Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan”.
Terbitan Kedua. Penerbit ITB. Bandung
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis : Spektrofotometri UV dan Tampak (visibel).
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rubiyanto, D., 2016, Teknik Dasar Pemisahan Kromatografi, Yogyakarta: Deepublish
Publisher
Saifudin, A., 2014, Senyawa Alam Metabolit Sekunder: Teori, Konsep dan Teknik
Pemurnian, Yogyakarta: Deepublish publisher.

Anda mungkin juga menyukai