Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biji Buah Pinang (Areca catechu.L)

Gambar 2.1 Biji buah pinang (Farmakope Herbal, hal 77)


2.1.1 Klasifikasi
Kingdom : plantae
Divisi : spermatophyte
Class : monocotyledonae
Ordo : arecales
Famili : arecaceae/palmae
Genus : areca L
Spesies : Areca catechu L.
2.1.2 Morfologi
Pinang (Areca catechu L.) merupakan tanaman famili Arecaceae yang
dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15
cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian
mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan
batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun
tergantung keadaan tanah (Chamima, 2012).
Bagian-bagian dari tanaman pinang antara lain: (a). Akar: berakar
serabut, putih kotor. (b). Batang: tegak lurus dengan tinggi 10-30 meter,
bergaris tengah 15cm, tidak bercabang dengan bekas daun yang lepas. (c).
Daun: majemuk menyirip tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk
roset batang. (d). Bunga: tongkol bunga dengan seludang panjang yang

4
5

mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan
tangkai pendek bercabang rangkap. (f). Biji: biji satu, bentuknya seperti
kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu
lekukan dangkal, panjang 15-30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan
sampe coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan warna
yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat
tua dengan lipatan tidak beraturan (Chamima, 2012).
Pinang memiliki nama daerah seperti pineng, pineung (Aceh), pinang
(Gayo), batang mayang (Karo), pining (Toba), batang pinang (Minangkabau),
dan jambe (Sunda, Jawa).Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim
hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah berwarna kecoklatan
sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna yang lebih
muda (Chamima, 2012).
2.1.3 Kandungan dan Manfaat .
Biji pinang mengandung senyawa flavonoid dan saponin yang
berguna sebagai antimikroba, selain sebagai antimikroba flavonoid berupa
katekin berfungsi sebagai antiinflamasi. Biji pinang mengandung senyawa
proantosianidin. Proantosianidin berupa tanin terkondensasi yang tergolong
flavonoid yang berkhasiat sebagai antibakteri, antivirus, anti karsinogenik,
antiinflamasi, antialergi, dan agen vasodilator
2.2 Katekin

Gambar 2.2 Struktur Katekin (Farmakope Herbal, hal 77)


Katekin memiliki struktur umum C6-C3-C6 dengan dua cincin aromatik dan
beberapa gugus hidroksil. Katekin diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu
katekin bebas dan katekin esterifikasi. Katekin bebas adalah katekin,
gallocatechin, epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), sedangkan katekin
6

esterifikasi adalah epigallocatechin gallat (EGCG), epicatechin gallate (ECG),


gallocatechin gallate (GCG), dan catechin gallate (CG). Katekin yang
diesterifikasi berkontribusi substansial dan memiliki rasa pahit,sedangkan katekin
bebas jauh lebih sedikit dan memiliki rasa sedikit manis.
Katekin tidak berwarna dan larut dalam air dan pelarut polar organik namun,
kelarutan katekin individu bervariasi dan tergantung pada suhu ekstraksi, durasi
dan pada jenis pelarut yang digunakan. Menunjukan bawah pelarut EC dan EGC
tergantung pada durasi ekstraksi, sedangkan kelarutan EGCG dan ECG tergantung
pada durasi ekstraksi dan suhu. Menurut Hu et al. Juga melaporkan bahwa
meskipun dampak dari jenis pelarut, durasi ekstraksi dan suhu pada pelarut EC
dan ECG tidak signifikasi, faktor-faktor ini penting untuk larutan EGCG dan
EGC. (Young et al., 2006). Katekin termasuk dalam flavonoid tidak bewarna, dan
dalam kondisi murni sedikit larut dalam air dingin mudah larut dalam air panas,
larut dalam alkohol dan etil asetat.
Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Kimia Katekin
Sifat Fisika Sifat Kimia
1. Kenampakan : putih 1. Sensitif terhadap oksigen.
2. BM : 362,33 2. Sensitif terhadap cahaya
3. Melting point : 104-106º C 3. Berfungsi sebagai antioksidan
4 Boiling point : 245º C 4. Substandi yang dihindari :
unsur oksidasi, asam klorida,
asam anhidrat, basa dan asam
nitrat.
5. Tekanan uap : 1 mmHg 5. Larut dalam air hangat
6. Densitas uap : 3,8 g/m³ 6. Stabil dalam kondisi agak
asam atau netral (pH optimum
4-8)
7. Flash point : 137º C
(Syah, 2006)

2.3 Metode Ekstraksi

2.3.1 Pengertian Ekstraksi


Ekstrak merupakan sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan atau hewan yang
diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat,
menggunakan menstrum yang cocok, uapkan semua atau hampir semua dari
pelarutnya dan sisa endapan atau serbuk diatur untuk ditetapkan standarnya (Ansel,
1989).
7

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan


menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi
dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan
penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik pemisahan tunggal untuk
mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke
dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang sama.

2.3.2 Metode Soklet


Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilarutkan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Biomasa
ditempatkan dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui alat ini
pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya ke dalam labu
dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut segar melewati
alat ini melalui pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat efisien dan senyawa
dari bioasa secara efektif ditarik ke dalam pelarut karena konsentrasi awalnya
rendah dalam pelarut (Depkes RI, 2000).

Prinsipnya adalah penyarian yang dilakukan berulang - ulang sehingga penyarian


lebih sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila penyarian telah
selesai maka pelarutnya dapat diuapkan kembali dan sisanya berupa ekstrak yang
mengandung komponen kimia tertentu. Penyarian dihentikan bila pelarut yang
turun melewati pipa kapiler tidak berwarna dan dapat diperiksa dengan pereaksi
yang cocok.

Ekstraksi yang dilakukan menggunakan metoda sokletasi, yakni sejenis ekstraksi


dengan pelarut organik yang dilakukan secara berulang-ulang dan menjaga jumlah
pelarut relatif konstan, dengan menggunakan alat soklet. Minyak nabati merupakan
suatu senyawa trigliserida dengan rantai karbon jenuh maupun tidak jenuh. Minyak
nabati umumnya larut baik dalam pelarut organik, seperti benzen dan heksan. Untuk
mendapatkan minyak nabati dari bagian tumbuhan dapat dilakukan metode
sokletasi dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Hamdani, 2009).

Proses sokletasi digunakan untuk ekstraksi lanjutan dari suatu senyawa dari
material atau bahan padat dengan pelarut panas. Alat yang digunakan adalah labu
didih, ekstraktor dan kondensor. Sampel dalam sokletasi perlu dikeringkan sebelum
disokletasi. Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengilangkan
kandungan air yang terdapat dalam sample sedangkan dihaluskan adalah untuk
mempermudah senyawa terlarut dalam pelarut. Didalam sokletasi digunakan
pelarut yang mudah menguap. Pelarut itu bergantung pada tingkatannya, polar atau
non polar.
8

2.3.3 Keuntungan dan Kerugian Metode Soklet


a. Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan
terhadap pemanasan secara langsung. b. Digunakan pelarut yang lebih sedikit c.
Pemanasannya dapat diatur Kelemahan metode ini antara lain: a. Tidak cocok untuk
senyawa- senyawa yang tidak stabil terhadap panas (senyawa termobil), contoh :
Beta karoten.

b. Cara mengetahui ekstrak telah sempurna atau saat sokletasi harus dihentikan
adalah : Pelarutnya sudah bening atau tidak berwarna lagi  Jika pelarut bening,
maka diuji dengan meneteskan setetes pelarut pada kaca arloji dan biarkan
menguap. Bila tidak ada lagi bercak noda, berarti sokletasi telah selesai.  Untuk
mengetahui senyawa hasil penyarian (kandungannya) , dapat dilakukan dengan tes
identifikasi dengan menggunakan beberapa pereaksi.

2.3.4 Macam-macam Ekstraksi


1. Ekstraksi secara dingin
a. Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari
selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari
cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia
yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam
9

cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin


(Sudjadi, 1988).
b. Soxhletasi adalah penyarian simplisia secara berkesinambungan,
cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan
penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh
pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong
dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon (Sudjadi, 1988). Metode ini terbatas pada
ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran azeotropik dan
tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut,
misalnya heksan : diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yang
diasamkan atau dibasakan, karena uapnya akan mempunyai
komposisi yang berbeda dalam pelarut cair di dalam
wadah (Sudjadi, 1988).
c. Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari
melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi.Keuntungan
metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu
sampel padat telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah
kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas
dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi
dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan
komponen secara efisien (Sutriani,L . 2008).
2. Ekstraksi secara panas
a. Metode refluks Keuntungan dari metode ini adalah digunakan
untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur
kasar dan tahan pemanasan langsung.. Kerugiannya adalah
membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah
manipulasi dari operator (Sutriani,L . 2008).
b. Metode destilasi uap adalah metode yang popular untuk
ekstraksi minyak-minyak menguap (esensial) dari sampel
tanaman. Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk
menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau
10

mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih


tinggi pada tekanan udara normal (Sutriani,L . 2008).

2.4 Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan komponen-
komponen atas dasar perbedaan adsorbsi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut
pengembang atau pelarut pengembangan campur. Teknik Kromatografi Lapis
Tipis dikembangkan tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schaiber. Adsorben
dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fase diam. Fase
bergerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram.
Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahan dan sensitif. Kecepatan pemisahan
tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali senyawa-senyawa yang terpisahkan
(Mulya & Suharman, 1995).
Pada KLT pemisahan yang terjadi berlangsung secara adsorbsi. Fase diam
atau penyerap yang bisa digunakan sebagai pelapis plat adalah silika gel (SiO2),
selulosa, alumina (Al2O3) dan kieselgur (tanah diatome). Kebanyakan penyerap
yang digunakan adalah silika gel, dimana telah tersedia plat yang siap pakai
(Gritter, 1991). Pelarut sebagai fasa gerak atau eluen merupakan faktor yang
menentukan gerakan komponen-komponen dalam campuran. Pemilihan pelarut
tergantung pada sifat kelarutan komponen tersebut terhadap pelarut yang
digunakan. Fase gerak yang lebih polar digunakan untuk mengelusi
senyawasenyawa yang adsorbsinya kuat, sedangkan fasa gerak yang kurang polar
digunakan untuk mengelusi senyawa yang adsorbsinya lemah (Sastrohamidjojo,
1996).
Kromatogram pada KLT merupakan noda-noda yang terpisah setelah
visualisasi dengan cara fisika atau kimia. Visualisasi secara fisika yaitu dengan
melihat noda kromatogram yang mengabsorpsi radiasi ultraviolet atau
berfluoresensi dengan radiasi ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm dan
365 nm. Visualisasi dengan cara kimia adalah dengan mereaksikan kromatogram
dengan pereaksi warna yang memberikan warna atau fluoresensi yang spesifik.
Visualisasi cara kimia ini dilakukan dengan cara penyemprotan dengan atomizer
11

atau memberikan uap zat kimia pada kromatogram atau dengan cara pencelupan
ke dalam pereaksi penampak warna (Mulya & Suharman, 1995).
Analisis sutu senyawa dalam KLT biasanya dilakukan dengan
membandingkan kromatogram yang dihasilkan dengan kromatogram senyawa
standarnya. Pengamatan biasanya dilakukan berdasarkan pada kedudukan dari
noda relatif terhadap batas pelarut yang dikenal sebagai harga Rf (Retardation
factor) (Cahya, 2003). Harga Rf dinyatakan sebagai berikut (Sastrohamidjojo,
1996) :

Dimana :
Rf = Retardation faktor
Rs = Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik awal
Rp = Jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik awal

2.5 Kulit

Gambar 2.5 Lapisan-lapisan dan apendiks kulit. Diagram lapisan kulit


memperlihatkan saling hubung dan lokasi apendiks dermal (folikel
rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea). Sumber: Mescher A.L,
2010.
Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena posisinya
yang terletak di bagian  paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m 2 dengan berat kira-
12

kira 15% berat badan. Fungsi kulit diantaranya adalah untuk melindungi tubuh
dari tekanan, gesekan, tarikan, kimiawi (iritan), panas (radiasi, dan sinar UV), dan
infeksi luar oleh jamur atau bakteri.
Lapisan kulit terbagi menjadi Epidermis (Lapisan Luar atau Kulit Ari),
Dermis (Lapisan Dalam atau Kulit Jangat) , dan Hipodermis (Lapisan pengikat
Bawah kulit atau Lapisan Lemak kulit).
A. Lapisan Epidermis
1. Stratum Korneum
Lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak
berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk).
2. Stratum Lusidum
Terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti,
protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini
lebih jelas tampak pada telapak tangan dan kaki.
3. Stratum Granulosum
Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar
dan terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa
biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
4. Stratum Spinosum
Terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena
banyak mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng bila semakin
dekat ke permukaan. Di antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar
sel (intercellular bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau
keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga terdapat pula
sel Langerhans.
5. Stratum Basale
Terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada
perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel basal
bermitosis dan berfungsi reproduktif.
B. Lapisan Dermis
13

Terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa pada dengan elemen-elemen selular
dan folikel rambut.
1. Pars Papilare
Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah.
2. Pars Retikulare
Bagian bawah yang menonjol ke subkutan. Terdiri dari serabut
penunjang seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan
ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, dibagian
ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas,
selanjutnya membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin
dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat elastin, seiring bertambahnya
usia, menjadi kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda.
Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, dan mudah
mengembang serta lebih elastis.
C. Lapisan Hipodermis
Lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel lemak
yang bulat, besar, dengan inti mendesak ke pinggir sitoplasma lemak yang
bertambah. Sel ini berkelompok dan dipisahkan oleh trabekula yang fibrosa.
Lapisan sel lemak disebut dengan panikulus adiposa, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat saraf tepi, pembuluh darah, dan
getah bening. Lapisan lemak berfungsi juga sebagai bantalan, ketebalannya
berbeda pada beberapa kulit. Di kelopak mata dan penis lebih tipis, di perut
lebih tebal.

2.6 Luka pada Kulit


Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patologis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu.
Luka juga dapat didefinisikan sebagai kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa
membran dan tulang atau organ tubuh lainnya. Ketika luka muncul, beberapa efek
akan muncul seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respron stress
simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, dan kematian sel
(Perry and Potter, 2006).
14

2.6.1 Macam-macam Luka


Macam-macam luka berdasarkan lama waktu penyembuhannya,
luka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
a. Luka Akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasa segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak
terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak
dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.
Contohnya adalah luka sayat, luka bakar dan luka tusuk.
b. Luka Kronik
Luka kroni adalah luka yang berlangsung lama atau sering
timbul kembali atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan
yang biasanya disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita.
Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi),
penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus, neuropati perifer ulkus
dekubitus.
Menurut Suriadi (2004) jenis-jenis luka berdasarkan derajat
kontaminasi adalah sebagai berikut :
a. Luka Bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan
infeksi, yang merupakan luka sayat selektif dan steril dimana luka
tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan
orofaring, traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius.
Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaaan bersih.
Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1-5%.
b. Luka Bersih Terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan
dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih
lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan
timbulnya infeksi luka sekitar 3-11%.
c. Luka Terkontaminasi
15

Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinkfeksi


saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka
menunjukkan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka
terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur
terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10-17%.
d. Luka Kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung
jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen.
Luka ini bisa sebagai 8 akibat pembedahan yang sangat
terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan
trauma lama.
Menurut Suriadi (2004) macam-macam luka berdasarkan
penyebabnya adalah sebagai berikut :
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores
adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan
dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak
dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas,
terjatuh maupun benturan berda tajam atau tumpul.
b. Vulnus scissum
adalah luka sayat atau iris yang ditandai dengan tepi luka
berupa galis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai
pada aktivitas sehari-hari terkena pisau dapur, sayatan benda tajam
(seng, kaca), dimana bentuk luka teratur.
c. Vulnus laseratum atau luka robek
adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang-
camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka
ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana
bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa
menembus lapisan muskulus .
d. Vulnus morsum
adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang
16

menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan hewan


tersebut.
e. Vulnus combutio
adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun
sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang
tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit
yang menghitam. Biasanya juga disertaipula karena kerusakan
epitel kulit dan mukosa.

2.7 Sediaan Salep


Sediaan yang akan dibuat dalam penelitian ini adalah salep. Menurut
Farmakope Indonesia Edisi III: Salep adalah sediaan setengah padat berupa massa
lunak yang mudah dioleskan dan digunaka untuk pemakaian luar. Salep tidak
boleh berbau tengik. Kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep yang
mengandung obat keras atau narkotik adalah 10 % (Anief, 2006). Terapi topikal
merupakan salah satu metode pengobatan yang sering digunakan dalam bidang
dermatologis. Contohnya salep, salep merupakan sediaan semi solid yang dapat
digunakan pada kulit maupun mukosa. Kelebihan dari sediaan salep ini adalah
mempunyai bentuk yang lunak, halus, homogen, dan mudah dioleskan, sehingga
dapat digunakan untuk kulit yang teriritasi, inflamasi dan ekskoriasi, sebagai
bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit, sebagai bahan pelumas
pada kulit, sebagai pelindung untuk kulit (mencegah kontak permukaan kulit
dengan larutan berair) dan sebagai obat luar. Maka praktikum ini tertarik
membuat sediaan salep dari ektrak etanol biji pinang dengan judul “Formulasi
Sediaan Salep Dari Ektrak Biji Pinang (Areca Cathecu L.) Untuk Pengobatan
Luka Sayat’’

2.7.1 Fungsi Salep


Salep memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
a. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit
b. Sebagai bahan pelumas pada kulit
17

c. Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan


kulit dengan larutan berair dan rangsang kulit (Anief, 2006).

2.7.2 Persyaratan Salep


Menurut Farmakope Indonesia ed III, persyaratan sediaan salep
diataranya:
a. Pemerian tidak boleh berbau tengik.
b. Kadar, kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung
obat keras atau narkotik, kadar bahan obat adalah 10 %.
c. Dasar salep
d. Homogenitas, jika salep dioleskan pada sekeping kaca atau bahan
transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang
homogen.
e. Penandaan,pada etiket harus tertera “obat luar” (Syamsuni, 2006).

2.7.3 Sifat Salep


Salep yang baik memiliki sifat – sifat sebagai berikut :
a. Stabil
Baik selama distribusi, penyimpanan, maupun pemakaian.
Stabilitas terkait dengan kadaluarsa, baik secara fisik (bentuk, warna,
bau, dll) maupun secara kimia (kadar/kandungan zat aktif yang
tersisa). Stabilitas dipengaruhi oleh banyak factor, seperti suhu,
kelembaban, cahaya, udara, dan lain sebagainya.
b. Lunak.
Walaupun salep pada umumnya digunakan pada daerah/wilayah
kulit yang terbatas, namun salep harus cukup lunak sehingga mudah
untuk dioleskan.
c. Mudah digunakan
Supaya mudah dipakai, salep harus memiliki konsistensi yang tidak
terlalu kental atau terlalu encer. Bila terlalu kental, salep akan sulit
dioleskan, bila terlalu encer maka salep akan mudah mengalir/meleleh
ke bagian lain dari kulit.
18

d. Protektif
Salep – salep tertentu yang diperuntukkan untuk protektif, maka
harus memiliki kemampuan melindungi kulit dari pengaruh luar misal
dari pengaruh debu, basa, asam, dan sinar matahari.
e. Memiliki basis yang sesuai
Basis yang digunakan harus tidak menghambat pelepasan obat dari
basis, basis harus tidak mengiritasi, atau menyebabkan efek samping
lain yang tidak dikehendaki.
f. Homogen
Kadar zat aktif dalam sediaan salep cukup kecil, sehingga
diperlukan upaya/usaha agar zat aktif tersebut dapat
terdispersi/tercampur merata dalam basis.

2.7.4 Penggolongan Salep


Salep dapat digolongkan berdasarkan:
a. Berdasarkan sifat farmakologi atau terappeutik dan penetrasi
1. Salep Epidermik ( epidermic ointment, salep penutup)
Salep ini berguna untuk melindungi kulit, menghasilkan efek
lokal dan untuk meredakan rangsangan / anestesi lokal; tidak
diabsorbsi; kadang-kadang ditambahkan antiseptik atau astringent.
Dasar salep yang baik untuk jenis salep ini adalah senyawa
hidrokarbon. 
2. Salep Endodermik
Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam tubuh melalui
kulit, tetapi tidak melalui kulit ; terabsorbsi sebagian dan digunakan
untuk melunakkan kulit atau selaput lendir. Dasar salep yang
terbaik adalah minyak lemak.
3. Salep Diadermik
Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam tubuh melalui
kulit untuk mencapai efek yang diinginkan. Misalnya, salep yang
mengandung senyawa merkuri iodida atau belladona.
b. Berdasarkan basis salepnya
1. Dasar Salep Hidrofobik
19

Salep yang tidak suka air atau salep yang dasar salepnya
berlemak (greassy bases): tidak dapat dicuci dengan air. Misalnya,
campuran lemak-lemak , minyak lemak, malam.
2. Dasar Salep Hidrofilik.
Salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya
mempunyai dasar salep tipe o/w.

Anda mungkin juga menyukai