Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan merupakan suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara


keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya
dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.1 Sumber daya alam hayati Indonesia
dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan.
Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling
tergantung satu sama lain sehingga kerusakan akan mengakibatkan terganggunya
ekosistem serta memberikan dampak pada konservasi lahan dan kelangkaan sumber
air maupun mata air.

Islam sebagai agama wahyu bukan hanya mengatur hubungan antara manusia
dengan Allah saja, atau hubungan manusia dengan manusia saja, namun Islam juga
mengatur hubungan manusia dengan alam. Hal ini untuk mewujudkan hubungan yang
harmonis antara manusia dengan alam dan mendorong untuk saling memberi manfaat
sehingga terwujud lingkungan alam yang makmur. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Ar-Rum ayat 41 yang Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).”

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan etika Islam

2. Apa yang dimaksud dengan ilmu Kehutanan?

3. Bagainama etika Islam dalam penerapan ilmu Kehutanan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan etika 1Islam

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu Kehutanan

3. Untuk mengetahui bagainama etika Islam dalam penerapan ilmu Kehutanan?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika Islam

Persoalan etika sangat erat berhubungan dengan agama, bahkan seringkali


perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari dilandasi oleh motivasi agama. Orang
perbuatan didasari keyakinan bahwa perbuatan tersebut diperintahkan atau dilarang
oleh agama. Tentu saja landasan perbuatan dan tingkah laku manusia itu tidak hanya
dilandasi oleh ketentuan-ketentuan dalam agama saja, tetapi landasan-landasan
berperilaku ini bisa berasal dari banyak sumber seperti pemikiran filsafat dan adat-
istiadat. Namun demikian pandanganpandangan dari ajaran agama memiliki peran
yang cukup besar dalam pembentukan tingkah laku manusia. Perbuatan manusia yang
sesuai dengan perintah Tuhan atau agama dipandang sebagai perbuatan yang baik dan
dikatakan beretika, bermoral atau berakhlak, sedangkan perbuatan yang melanggar
larangan-larangan dalam agama akan dinilai sebagai perbuatan yang buruk dan
disebut tidak beretika, immoral atau akhlak yang buruk. Agama memberi tuntunan
bagi manusia menjalani kehidupan ini dalam bentuk acuan tingkah laku dan
perbuatan.

Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai penggunaan kata etika, moral, dan
akhlak. Istilah-istilah tersebut seringkali dianggap sama maknanya, sehingga
kadangkala dipergunakan secara tumpang tindih dan rancu. Hal ini sangat mungkin
terjadi karena pada dasarnya istilah-istilah tersebut sama-sama berhubungan dengan
perbuatan manusia dan penilaian atas perbuatan tersebut, yakni baik atau buruk.
Namun sebenarnya istilah-istilah tersebut memiliki sisi pandang yang berbeda dalam
melihat perbuatan manusia. Menurut K. Bertens, etika berasal dari kata ethos dari
bahasa Yunani yang artinya tempat tinggal yang biasa; adat istiadat; watak, sikap dan
cara berfikir.

Menurut pendapat para ahli bahasa Indonesia, istilah


2
dengan akhiran – 69 “ika”
harus dipakai untuk menunjukan ilmu, maka istilah etika berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaaan. (Bertens, 2002 : 4) Atau
menurut Franz Magnis Suseno, etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilai-nilai, kebiasaankebiasaan
pandangan moral secara kritis. (Suseno, 1993 : 14)

B. Pengertian Ilmu Kehutanan

Ilmu kehutanan adalah ilmu-ilmu  yang membahas berbagai hal berkenaan


dengan pengelolaan, pembangunan  dan pengkonservasian hutan secara
berkelanjutan. Hutan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah manusia dan
kepentingan masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian tentang ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan kehutanan.

Hutan yang ada sekarang ini merupakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui (renewable natural resources) secara langsung ataupun tidak langsung
berpengaruh terhadap pembangunan nasional. Penelitian-penelitian yang terarah perlu
dilakukan untuk mencegah kerugian yang tidak diinginkan.

Beberapa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kehutanan, antara lain:

1. Ilmu Tanah Hutan

Ilmu ini sangat dibutuhkan di dalam mempelajari keadaan lantai hutan, dimana
serasah yaitu sampah-sampah organik yang berupa tumpukan dedaunan kering,
rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan yang sudah
mengering dan berubah dari warna aslinya, merupakan bagian penting bagi kehidupan
pohon dan kesuburan tanah.

2. Dendrologi

Ilmu ini merupakan perpaduan antara taksonomi, ekologi dan geologi di mana
harus mengenal pohon-pohon dengan ciri-cirinya serta memberi nama dan
menggolongkan dengan dibantu ilmu morphologi dalam
3 menafsirkan bentuk dan
strukturnya.

3. Ekologi Hutan
Ilmu ini mirip dengan ilmu silvika yang mempelajari tentang vegetasi dengan
lingkungannya terhadap pengaruh bentuk dan struktur tanaman. Ilmu silvika
mempelajari faktor lingkungan terhadap jenis tanaman yang terbatas dan ekologi
mempelajari hutan secara menyeluruh.

4. Silvika

Ilmu ini mirip atau equivalen dengan ilmu ekologi hutan. Sebab, silvika
merupakan cabang ilmu ekologi yang mempelajari kehidupan dari pohon dalam hutan
dan sejarah hidup serta sifat-sifat umum dari pohon-pohon dan tegakan terhadap
faktor-faktor lingkungan. Jadi, ilmu silvika adalah ilmu yang mempelajari sejarah
hidup dan ciri-ciri umum pohon beserta tegakan hutan dalam kaitannya dengan
faktor-faktor lingkungan.

Ahli silvika memandang hutan sebagai suatu bentuk kompleks yang tersusun atas
unit-unit vegetasi yang terkait dengan faktor habitat yang berbeda. Seorang ahli
silvika akan selalu menghubungkan vegetasi hutan dengan pengaruhnya terhadap
lingkungan. Hutan secara menyeluruh dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang
mewujudkan suatu kualitas tempat tumbuh dari kapasitas berproduksi wilayah hutan.

5. Silvikultur

Merupakan suatu ilmu dan seni menghasilkan serta memelihara hutan dengan
menggunakan pengetahuan silvika untuk memperlakukan hutan serta mengendalikan
susunan dan pertumbuhannya. Ilmu silvikultur analog dengan ilmu agronomi dan
hortikultura di bidang pertanian karena membicarakan cara-cara membudidayakan
tumbuhan. Silvikultur dibagi rnenjadi dua bagian, yakni silvika dan silvikultur, di
mana silvika sebagai dasar teori dan silvikultur sebagai pelaksanaan di lapangan.
Seperti suatu pohon akan mampu hidup dan berkembang apabila ditanam dalam tapak
4
yang telah dipilih serta harus ditanam secara vegetatif ataupun generatif.

6. Ilmu Ukur Kayu


Merupakan ilmu yang mempelajari besar massa kayu yang masih berdiri dan
banyaknya kayu yang dapat ditebang, agar tidak membahayakan asas kelestarian.

7. Inventarisasi

Merupakan ilmu untuk mengetahui potensi hutan yang bersangkutan dan berbagai
arti ekonomi, lingkungan dan fungsi sosial serta nilai sumber dayanya sebagai
perencanaan hutan yang baik dan lestari.

8. Penafsiran Potret Udara

Suatu ilmu yang khusus mengumpulkan data penting bagi inventarisasi dan
perencanaan hutan. Dari survei ini dapat diperoleh gambaran kasar mengenai keadaan
dan penyebaran setiap tipe vegetasi, terutama penyebaran dan luas hutan, massa
tegakan atau kerapatannya, dan perkiraan jenis-jenis tumbuhan penting.

9. Pengelolaan DAS

Suatu ilmu yang mempelajari manfaat hutan yang berkaitan dengan sifat-sifat
mikro dan makro kayu seperti cacat, sifat fisika, dan kimia kayu.

C. Etika Islam dalam Penerapan Ilmu Kehutanan

Berikut ini adalah etika atau aturan Islam dalam penerapan ilmu kehutanan.

1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau


negara.
Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan
(al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum,
1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW :
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan],
dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar,
hal. 1140). 5

Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena
sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni
menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Termasuk milik umum
adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan
sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak.
(Ali as-Salus, 2002:37).
2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain
(misalnya swasta atau asing).
Zallum (1983:81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum
:
Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara
langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung.
Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan
tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya.
Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara
langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk
memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah --sebagai
wakil kaum muslimin-- yang berhak untuk mengelolanya.
Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan
oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah
dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana,
atau dana yang besar.
Sabda Rasulullah SAW :
"Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap
gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim)
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara
langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas
di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau
penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu
hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini
dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain
untuk turut memanfaatkan hutan.
3. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan6keuangan bersifat sentralisasi,
sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan
propinsi/wilayah).
Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak
berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah).
Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan,
dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin
pemerintah pusat.
Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam
pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi). Misalnya
pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai
kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya.
Dalil untuk ketentuan ini adalah kaidah fikih yang menyatakan : al- ashlu fi al-
af'aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah
boleh).
Jadi pada dasarnya urusan administrasi itu adalah boleh bagi Khalifah untuk
menetapkannya sendiri, dan boleh juga Khalifah mendelegasikannya untuk ditetapkan
dan ditangani oleh Wali (Gubernur) di daerah.
4. Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas
Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor
hukum-hukum syariah.
Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul
Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak
terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil
hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai
syariah Islam. Kaidah fikih menyebutkan :
"Tasharruf al-Imaam ‘alaa al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah."
(Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas
kemaslahatan) (Lihat Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Al-Furu’)
5. Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu
kepentingan khusus.
Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk
suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah.
Dalil bolehnya negara melakukan hima adalah hadits bahwa Rasulullah SAW telah
melakukan hima atas Naqii’ (nama padang gembalaan
7 dekat Madinah) untuk kuda-

kuda perang milik kaum muslimin (HR Ahmad dan Ibnu Hibban) (Athif Abu Zaid
Sulaiman Ali, Ihya` al-Aradhi al-Amwat fi Al-Islam, h. 105) .
Maka dari itu, negara boleh melakukan hima atas hutan Kalimantan misalnya,
khusus untuk pendanaan jihad fi sabilillah. Tidak boleh hasilnya untuk gaji dinas
kehutanan, atau untuk membeli mesin dan sarana kehutanan, atau keperluan apa pun
di luar kepentingan jihad fi sabilillah.
6. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.
Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan,
yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya
hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib misalnya
menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan.
Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib
dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian
Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi
Baitul Mal (Zallum, 1983).
7. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.
Dalam kaidah fikih dikatakan, "Adh-dlarar yuzal", artinya segala bentuk
kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi SAW bersabda, "Laa dharara
wa laa dhiraara." (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri
sendiri maupun membahayakan orang lain.
Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis
yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat
menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia).
Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati
(biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.
7. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang
merusak hutan.
Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar
batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib
diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).
Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati,
tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus
sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan
8 perusakan hutan tidak terjadi

lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging,
misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional.
Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang,
atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-
undang ta’zir yang khusus.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ajaran Islam yang termaktub dalam Alquran dan Hadits sesungguhnya memiliki
concern yang cukup mendalam dan luas tentang korelasi antara manusia dan
alam/lingkungan. Korelasi itu dibentuk dalam sebuah etika religius, yang mengikat
manusia untuk terus menjaga kelestarian lingkungannya, sebagai upaya untuk
menjaga sumber daya alam untuk menopang hidup manusia.

Kesalehan terhadap alam dalam bentuk etika tersebut, dalam Islam dianggap
sebagai manifestasi rasa keberimanan manusia kepada Allah SWT. Muaranya adalah
bahwa manusia dikatakan sebagai orang yang beriman manakala lingkungannya
terjaga dengan baik.

B. Saran

Sebagai mahasiswa yang mempelajari ilmu kehutanan, alangkah baiknya kita


mengetahui secara jelas serta mencari referensi mengenai etika Islam dalam
penerapan ilmu kehutanan agar apa yang kita perbuat sesuai dengan etika yang
berlaku dalam Islam itu sendiri.

10
DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, Fikih Sumber Daya Alam ,


http://www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php?
article_id=70528
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya` al-Aradhi al-Amwat fi Al-Islam, (Makkah al-
Mukarramah : Rabitah ‘Alam Islami, 1416 H).
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, (Beirut : Darul Ummah,
1990)
As-Salus, Ali Ahmad, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyyah Al-Mu’ashirah wa Al-
Iqtshadi a-Islami, (Qatar : Dar ats-Tsaqafah, 2002)
Baasir, Faisal, Mengamankan Kekayaan Hutan dan Industri Kayu, 5 Juli 2006
www.suarakarya-online.com/news.html?id=148492
Heilbroner, Robert L, Hakikat dan Logika Kapitalisme (The Nature and Logic of
Capitalism), Penerjemah Hartono Hadikusumo, (Jakarta : LP3S, 1991).
Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000) 1139-1140
Irawan, Bambang, "Pembenahan Sistem Silvikultur Hutan Produksi di
Indonesia", dalam Ahmad Erani Mustika (Ed.), Menjinakkan Liberalisme :
Revitalisasi Sektor Pertanian & Kehutanan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005)
Nurrochmat, Dodik Ridho, "Desentralisasi dan Reformasi Kebijakan Kehutanan",
dalam Ahmad Erani Mustika (Ed.), Menjinakkan Liberalisme : Revitalisasi
Sektor Pertanian & Kehutanan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005)
Sunarto, Paradoks Kekayaan Hayati Indonesia Kaya tapi Sengsara,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/21/ipt02.html
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul ‘Ilmi lil
Malayin, 1983

Haryanto, Etika Islam tentang Pemberitaan,


http://eprints.walisongo.ac.id/87/10/Haryanto_Tesis_Bab3.pdf

Imam al-Ghazali, Ihya al-‘Ulum al-Din, al-Masyhad al-Husain, Kairo, tt.. J.


Sudarminta, “Filsafat Organisma Whitehead dan Etika Lingkungan Hidup”, dalam
Majalah Driyarkara, No. 1 Tahun XIX.

11

Anda mungkin juga menyukai