Anda di halaman 1dari 6

1.

Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang Faktor Risiko Abortus


Risiko abortus spontan meningkat dengan paritas serta dengan usia ibu dan ayah.
Frekuensi abortus yang diakui secara klinis meningkat 12% pada wanita yang lebih muda
dari 20 tahun menjadi 26% pada mereka yang lebih dari usia 40 tahun (Gbr. 9-2). Untuk
usia ayah yang juga sama, frekuensinya meningkat dari 12% menjadi 20%.

Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko abortus euploid. Untuk
wanita yang merokok lebih dari 14 batang sehari, risikonya sekitar dua kali lipat lebih
besar. Armstrong dan rekan pada tahun 1992 menghitung bahwa risiko abortus meningkat
secara linear untuk setiap 10 rokok yang dihisap per hari.
Selain itu, abortus spontan dan anomali janin dapat terjadi akibat penggunaan
alkohol yang sering selama 8 minggu pertama kehamilan. Tingkat abortus spontan
meningkat bahkan ketika alkohol dikonsumsi dalam jumlah sedang. Kline dan rekan kerja
(1980) melaporkan bahwa tingkat aborsi meningkat dua kali lipat pada wanita yang minum
dua kali seminggu dan tiga kali lipat pada wanita yang mengonsumsi alkohol setiap hari
dibandingkan dengan wanita yang bukan peminum. Armstrong dan rekan (1992)
menghitung bahwa risiko aborsi meningkat rata-rata 1,3 untuk setiap minuman per hari.
Armstrong dan rekannya (1992) juga melaporkan bahwa wanita yang
mengonsumsi setidaknya 5 cangkir kopi per hari menunjukkan risiko abortus yang sedikit
meningkat, dan bagi mereka yang minum di atas ambang batas 5 cangkir harian ini, risiko
tersebut berkorelasi dengan jumlah cangkir yang dikonsumsi per hari. Demikian pula,
Cnattingius dan rekan (2000) mengamati peningkatan risiko abortus yang signifikan hanya
pada wanita yang mengonsumsi setidaknya 500 mg kafein sehari, atau kira-kira setara
dengan 5 cangkir kopi. Klebanoff dan rekan (1999) mencatat bahwa wanita hamil yang
kadar paraxanthine (metabolit caffeine) sangat tinggi mengalami risiko yang hampir dua
kali lipat untuk abortus spontan.
Kontrasepsi oral atau agen spermisida yang digunakan dalam krim dan jeli
kontrasepsi tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian aborsi. Akan tetapi, ketika alat
kontrasepsi gagal mencegah kehamilan, risiko abortus, dan khususnya abortus septik,
meningkat secara substansial.
Radiasi dikenal sebagai abortifasien, Rowland dan rekan (1995) melaporkan
peningkatan risiko aborsi spontan di antara asisten gigi yang terpapar 3 jam atau lebih nitro
oksida per hari di kantor tanpa peralatan pemulung gas, tetapi tidak di kantor yang
menggunakan peralatan tersebut. Dalam meta-analisis data dari era prescavenging, Boivin
(1997) menyimpulkan bahwa wanita yang terpapar gas anestesi menunjukkan peningkatan
risiko aborsi spontan.
(William Obstetrics : 22nd Edition)
2. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskna Kriteria Diagnosis Abortus
Gejala umum yang merupakan keluhan utama berupa perdarahan pervaginam
derajat sedang sampai berat disertai dengan kram pada perut bagian bawah,  bahkan sampai
ke punggung. Janin kemungkinan sudah keluar bersama-sama  plasenta pada abortus yang
terjadi sebelum minggu ke-10, tetapi sesudah usia kehamilan 10 minggu, pengeluaran janin
dan plasenta akan terpisah. Bila  plasenta, seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal dalam
uterus, maka pendarahan cepat atau lambat akan terjadi dan memberikan gejala utama
abortus inkompletus. Sedangkan pada abortus dalam usia kehamilan yang lebih lanjut,
sering  pendarahan berlangsung amat banyak dan kadang-kadang masif sehingga terjadi
hipovolemik berat.
(Novak's Gynaecology Edisi 13, 2002)
Kriteria Diagnosis berdasarkan Jenisnya :
a. Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik
dalam kandungan. Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan
pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas
sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri
masih tertutup besarnya uterus sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin
masih positif. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan
melihat kadar hormone hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan tanpa
pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin keduanya masih positif maka
prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negative maka prognosisnya
dubia ad malam. Pemeriksaan USG untuk mengetahui pertumbuhan janin dan keadaan
plasenta apakah sudah terlepas atau belum. Diperhatikan ukuran biometri/ kantong gestasi
apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT, denyut jantung janin, dan
gerakan janin, ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa diberi
spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormone progesterone atau
derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Penderita boleh dipulangkan setelah terjadi
perdarahan dengan pesan tidak boleh  berhubungan seksual dulu sampai kurang lebih 2
minggu.
b. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan
ostium uteri telah membuka tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam
proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat,
perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan.
Besar uterus masih sesuai umur kehamilan dan tes urin kehamilan masih positif. Pada
pemeriksaan USG akan didapati pembesaran masih normal sesuai dengan umur kehamilan,
gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal,
biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada atau
tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan  perubahan
keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran
hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan  banyak. Pada umur kehamilan di
atas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa, tindakan evakuasi dan
kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian
disusul dengan kuretase sambil diberikan uretonika untuk mencegah terjadinya perforasi
dinding uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian uretonika, dan
antibiotika profilaksis.
c. Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit, besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7  – 10 hari setelah abortus.
Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan, biasanya
diberi roboransia atau hematenik bila keadaan  pasien memerlukan.
d. Abortus Inkompletus
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang
tertinggal dengan umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di mana pada
pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba  jaringan dalam kavum
uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi
jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang
menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus.
Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan
konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan
umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan
tindakan kuretase. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi
sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yang bentuknya tidak
beraturan.
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan  pengeluaran sisa
hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus
segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung  baik dan perdarahan bisa berhenti.
Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Pascatindakan perlu diberikan uretonika
parenteral ataupun peroral dan antibiotika.
e. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan
sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam
kandungan.
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apapun kecuali
merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di
atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil
dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada  payudara mulai menghilang.
Kadangkala missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian
merasa sembuh tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan
biasanya negatif setelah satu minggu dari terhentinya  pertumbuhan kehamilan. Pada
pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil,
dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Bila missed abortion  berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan
kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia
sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan
secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus
memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu
dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi
terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis servikalis. Beberapa
cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai
dari dosis 10 unit dalam 500 cc dekstrose 5 % tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi
sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya
retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian
induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil
keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
Kemungkinan penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat
jaringan plasenta yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila
terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfuse darah segar atau fibrinogen.
f. Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih  berturut-
turut. Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya
dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast
cross reactive.Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi
abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfuse leukosit atau heparinisasi.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu
keadaan di mana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup
setelah kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka
(inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran
janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya,
misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang
luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar.
Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis
dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester ke
dua.
g. Abortus Infeksiosus, Abortus Septik
Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus
septik adalah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritoneum (septicemia atau peritonitis).
Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan aborotus yang  paling
sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan
abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda
panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan  pervaginam yang berbau,
uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda
infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak
lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun.
 (Ilmu Kebidanan Edisi 5, 2002)

Daftar Pustaka :

Wibowo B. Wiknjosastro GH. Kelainan dalam Kehamilan. Dalam : Wiknjosastro GH, Saifuddin
AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo ; 2002 : hal. 302 - 312.
Stovall TG. Early Pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy. In : Berek JS, et all.  Novak's
Gynaecology. 13th ed. Philadelphia; 2002 : p. 507 - 9.
Cunningham, F.G. Et all. 2005. William Obstetrics, 22nd edition. Chapter 21 Disorders of Aminic
Fluid Volume. USA: McGRAW-HILL . 2006. Obstetri William. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai