Anda di halaman 1dari 7

Tugas UTS

Nama : Muhamad Taufik

Jurusan : Manajemen Pendidikan Islam

NIM : F.1810519

Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam

Sejarah Peradaban Islam Setelah Wafatnya Rasulullah SAW Sampai Masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib

A. Perkembangan Islam pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa AtTamimi. Di
zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi
Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena
pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelar Ash-Shiddiq
diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa,
terutama Isra’ Mi’raj.1
Seringkali mendampingi Rasulullah di saat penting atau jika berhalangan,
Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas
keagamaan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual di Madinah. Pilihan umat
terhadap tokoh ini sangatlah tepat. Hal menarik dari Abu Bakar, bahwa pidato yang
diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan
komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan Strategi meraih keberhasilan
tertinggi bagi umat sepeninggal Rasulullah. Di bawah ini adalah sebagian kutipan dari
pidato Abu Bakar yang terkenal itu: “Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk
mengendalikan urusanmu,padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu.
Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku,
tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku
pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang
yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya
kepadanya. Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak
perlu mematuhiku”.2
Kekuasaan yang dijalankannya sebagai khalifah pertama sebagaimana pada masa
Rasulullah saw. bersifat sentral: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang
terpusat di tangan khalifah. Masa kekuasaan Abu Bakar sangat singkat hanya dua
1
Marzuki, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: UNY, 2009), hlm. 130-131.
2
Sulthon Mas’ud, Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2014), hlm. 55.
tahun lebih lamanya, yang dipergunakan untuk mengatasi dan memberantas
permasalahan-permasalahan internal yang dilancarkan para pembangkang pasca
kemangkatan Rasulullah saw. yaitu orang-orang murtad, pembangkang zakat dan nabi-
nabi palsu.
Setelah menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri Abu Bakar r.a. sebagai
pengganti Nabi Muhammad Saw, mulai mengadakan perluasan wilayah dan kekuasaan
Islam ke semenanjung Arab. Abu Bakar memegang kendali pemerintahan selama dua
tahun lebih sedikit, namun masa yang begitu singkat itu dapat dipandang sebagai masa
yang menentukan bagi sejarah Islam. Pada masa itulah Abu Bakar telah menghadapi
saat-saat yang amat genting. Dalam keadaan yang demikian beliau dapat mengerahkan
kaum muslimin menghancurkan orang-orang musyrik dan memberantas keragu-raguan
bahkan beliau juga mampu mengerahkan mereka untuk menggulingkan singgasana
Kisra (raja persia) dan Kaisar (raja Rumawi). Ke daerah kekuasaan Persia, umat Islam
di bawah pimpinan Khalid bin Walid berhasil menguasai Hirah benteng terdepan Persia
di Mesopotamia, peperangan yang digencarkan oleh Amr bin al-Ash dibantu oleh
Khalid dapat menguasai dan menaklukkan Bizantium, Persia, Suriah, dan Mesir, yang
dianggap perang penaklukan brilian dalam sejarah.
Berita kemenangan Islam sampai ke Madinah pada saat Khalifah Abu Bakar
dalam keadaan sakit, sebelum meninggal Abu Bakar sempat berfikir tentang kondisi
umat Islam, tanpa ada pimpinan yang secara langsung menggantikan beliau akan
terjadilah perselisihan di kalangan kaum muslimin sendiri, dan akan menimbulkan
kekalahan bagi bala tentara umat Islam yang sedang bertempur. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka timbullah hasrat Abu Bakar untuk menunjuk
penggantinya, dengan dimusyawarahkan bersama kaum muslimin. Dalam musyawarah
itulah Abu Bakar menunjuk Umar ibn al-Khaththab sebagai calon. Dan beliaulah yang
disepakati menjadi calon oleh kaum muslimin. Karena itu merupakan kesepakatan
kaum muslimin maka Abu Bakar langsung menunjuk Umar sebagai pengganti beliau,
dan piagam penggantian itu ditulisnya sebelum beliau wafat. Setelah sakit selama
empat hari, tepat pada hari Selasa tanggal 22 Jumadil Akhir 13 H, bertepatan pada 23
Agustus 634 M, Abu Bakar wafat. 3

B. Perkembangan Islam pada masa Umar bin Khatab

Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khatthab
menjadi penerusnya. Rupanya masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar belumlah
cukup menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukkan ini dimaksudkan
untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umatnya: “Orang-
orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan
pengendara di mana jalan yang akan di lalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan
menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui.4

3
Salmah Intan, ”Islam Sebagai Adikuasa”, Jurnal Rihlah, Vol. V No. 2, 2016, hlm. 63-64.
4
Sulthon Mas’ud, Op.Cit., hlm. 59.
Pada masa Umar bin Khaththab ini keberhasilan dalam melakukan perluasan
wilayah selalu menyertai umat Islam, satu persatu daerah kekuasaan Bizantium
Romawi dan Persia jatuh ke tangan umat Islam. Ekspansi besar-besaran dilakukan oleh
Umar, ibu kota Syiria dan Damaskus jatuh pada tahun 635 M, selanjutnya Syiria
dijadikan pangkalan militer ekspansi dilanjutkan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin
‘Ash, sedangkan Sa’ad bin Abi Waaqas menuju Irak. Babilon dikepung pada tahun 640
M. sampai pada penaklukan Persia yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqas. Tentara
dikirim memukul kekuatan Bizantium di Palestina, yang jatuh ke tangan umat Islam
pada tahun 634 M. Selanjutnya Suriah tunduk di bawah pemerintah Islam yang
mengalami kekalahan tahun 635 M, kemudian daerah-daerah lain kekuasaan
Bizantium di Suria masuk ke dalam kekuasaan Islam. Selanjutnya, Mesir dikuasai
Islam pada tahun 640 M. Irak jatuh tahun 637 M dan Persia jatuh pada tahun itu juga.
Untuk selanjutnya Babilon dikuasai umat Islam tahun 641 M. Peperangan itu membuat
khalifah Umar ibn al-Khaththab menguasai seluruh Persia dan daerah kekuasaan
Bizantium, yaitu Irak, Suriah serta Palestina di Asia Barat, dan Mesir di Afrika Utara.
Dengan demikian Persia sebagai Adikuasa telah tidak ada lag dan kedudukannya
diganti oleh negara Madinah. Jadi sejak Khalifah ‘Umar bin Khaththab menguasai
daerah-daerah itu Negara Madinah telah menjadi imperium atau adikuasa yang berada
dalam keadaan perang dengan Bizantium sebagai adikuasa kedua.
Masa pemerintahan Umar bin Khaththab dinilai mencapai sukses besar dan
kemampuannya dalam menjalankan pemerintahan yang luas telah membentuk sejarah
baru dunia. Ia berhasil mengalahkan sebagian wilayah perbatasan imperum Romawi
dan Persia. Kebesaran kedua imperium ini runtuh di hadapan kekuatan pasukan muslim
di bawah pemerintahan Umar, dan bahkan ia berhasil menyatukan seluruh wilayah
Jazirah dan Mesir dalam pemerintahannya.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar bin Khaththab segera
mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia. Administrasi pemerintahan dibagi menjadi delapan wilayah
provinsi: Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Negara Islam yang masih bayi itu, pada masa Umar berubah menjadi suatu kekaisaran
yang besar dan kekuatan paling besar pada waktu itu. Karena wilayah kekuasaannya
yang demikian luas, pemerintahan Islam dapat dikatakan sebagai adikuasa dunia.
Karena itu ada yang mengatakan bahwa Khalifah Umarlah pendiri yang sebenarnya
dari pemerintahan Islam. Khalifah Umar bin Khaththab telah berhasil menyatukan
bangsa Arab dan melebur suku-suku Arab ke dalam suatu bangsa yang besar.
Beberapa departemen dipandang perlu segera dibentuk. Pada masanya mulai
diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pada masanya dibentuk
pula lembaga pengadilan (yudikatif) yang terpisah dari lembaga pemerintahan
(eksekutif). Untuk menjaga ketertiban umum, pemerintahan Umar bin Khaththab
membentuk jawatan kepolisian. Ia membentuk pula departemen pekerjaan umum.
Umar juga membentuk lembaga keuangan (Baitul Mal), sekaligus mencetak mata
uang. Jasa umar bin Khaththab yang sangat monumental dan tak terlupkan adalah
membuat penanggalan Islam yang dikenal dengan Kalender Hijriyah. 5
Umar memerintah selama sepuluh tahun. Masa jabatannya berakhir dengan
kematian. Umar dibunuh oleh seorang budak Persia yang bernama Abu Lu’luah. Untuk
menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh cara yang dilakukan Abu Bakar. Ia
menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah
seorang di antaranya untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah. Enam orang
tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair
bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah Umar
meninggal, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman bin Affan sebagai
khalifah selanjutnya.

C. Perkembangan Islam pada masa Usman bin Affan

Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses


pemilihan. Bedanya, Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Utsman
diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk
oleh Umar menjelang wafatnya.
Perluasan Islam di masa ‘Usman dapat disimpulkan pada dua bidang yaitu :
Pertama, menumpas pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa Negeri
yang telah masuk ke bawah kekuasaan Islam pada masa ‘Umar. Kedua, melanjutkan
kekuasaan Islam ke daerah-daerah yang sampai di sana telah terhenti perluasan Islam
pada masa ‘Umar. Namun masa ‘Usman perpecahan antar umat Islam mulai
menggangu stabilitas negara akibatnya Islam sebagai negara adikuasamengalami
kegoncangan sehingga perluasan Islam mengalami hambatan. Enam bulan setelah
wafatnya Umar, Kaisar Yazdigard berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar
mengadakan perlawanan terhadap Islam. Dengan tangan besinya Usman, berhasil
memusnahkan gerakan pemberontakan tersebut, bahkan pada masa Usman telah
berhasil memperluas penaklukan di wilayah Persia yang belum tersentuh pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab, antara lain kota Hisraf, Kabul, Gazna, Balkh, dan
Turkistan. Selain itu, juga berhasil menundukkan negeri Afganistan, Turkhistan, dan
Khurasan menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Islam.
Pada paruh terakhir atau enam tahun kedua dari masa kekhalifahannya mulai
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadap dirinya.
Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan pendahulunya.
Khalifah Umar bin Khaththab lebih memperlihatkan kehidupan yang sederhana. Tetapi
pada masa Khalifah Usman bin Affan, kehidupan yang beraroma kemewahan dan
kesenangan lebih nampak. Ini mungkin disebabkan karena faktor kehidupan Usman
yang sejak awal memang termasuk orang kaya.
Salah satu faktor yang menyebabkan kekecewaan sebagian umat Islam pada
paruh kedua dari kepemimpinannya adalah kebijaksanaannya yang bercorak nepotisme.

5
Marzuki, Op.Cit., hlm. 137.
Usman banyak mengangkat pejabat-pejabat tinggi negara yang berasal dari lingkungan
keluarganya. Di antaranya yang paling menonjol adalah peran yang dimainkan oleh
Marwan bin Hakam. Disebutkan bahwa sekalipun yang menjabat khalifah adalah
Usman, tetapi yang menjalankan roda pemerintahan adalah Marwan bin Hakam.
Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting
pemerintahan, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Usman tidak dapat
berbuat banyak dalam menghadapi ambisinya. Dia juga tidak bisa bersikap tegas
terhadap kesalahan bawahannya. Harta kekayaan negara dibagikan kepada segenap
anggota keluarganya tanpa dapat dikontrolnya.
Kekecewaan terhadap pemerintahan Usman bin Affan memuncak dengan adanya
gelombang protes dari beberapa wilayah yang menuju Madinah. Gelombang protes
yang datang dari Mesir berjumlah 500 orang, dipimpin oleh al-Ghafiqi bin Harrab al-
Akiki. Tujuan mereka adalah untuk meminta khalifah meletakkan jabatan. Gerakan
yang sama datang dari Kufah, dengan jumlah 500 orang, di bawah pimpinan Abdullah
bin Asham al-Amiri. Pada saat yang sama berangkat pula rombongan dari Basrah,
berjumlah 500 orang, di bawah pimpinan Hurkush bin Zuhair al-Saadi.
Ketika usaha untuk melakukan pendekatan dengan cara damai menemui jalan
buntu, dengan serta merta para demonstran ini menyerbu ke dalam rumah Usman bin
Affan. Dikatakan bahwa al-Ghafiqi memukul Khalifah Usman bin Affan dengan
sebilah besi mengenai kepalanya, sehingga mengalirkan darah. Pada waktu subuh
malam kejadian, Khalifah Usman akhinya menghembuskan nafasnya sambil memeluk
al-Quran. Peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan oleh kaum pemberontak dalam
sejarah Islam dikenal sebagai al-fitnah al-kubra.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan untuk pertama kalinya kewajiban
pembayaran zakat diserahkan kepada pribadi-pribadi dan tidak ditangani pemerintah.
Pada masanya pula untuk pertama kalinya mendahulukan khatbah daripada shalat baik
pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Akhirnya, yang monumental dari Usman bin
Affan adalah pembukuan al-Quran, sehingga al-Quran yang beredar sekarang dikenal
dengan sebutan Mushhaf Usmani.6

D. Perkembangan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib

Pemerintahan Ali bin Abi Thalib berlangsung selama enam tahun. Dalam masa
pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan dalam tubuh umat Islam.
Pergolakan ini merupakan akibat dari terbunuhnya Usman bin Affan. Tidak ada masa
sedikit pun selama pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Pada masa
pemerintahannya, pada tahun ke-36 Hijriyah (± 658 M), ibu kota pemerintahan
dipindahkan dari Madinah ke Kufah. Alasan Ali memindahkan pusat pemerintahan dari
Madinah ke Kufah adalah, karena ia tidak menginginkan kota suci ini terlibat terlalu
dalam dalam kancah politik. Ali tidak menghendaki peristiwa yang menimpa Usman,
yang dipandangnya telah menodai kesucian kota Madinah, terulang kembali di
kemudian hari.
6
Ibid, hlm. 140.
Tugas pertama yang dilakukan oleh Khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita
Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah hibah yang telah di bagikan oleh
Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara. Ali juga segera
menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman bin Hanif diangkat
menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke
Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur
Suriah, Muawwiyah, juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali,
bahkan ia tidak mengakui kekhalifahannya.7
Alasan penolakan Muawiyah untuk membai’at Ali bin Abi Thalib adalah karena:
pertama, tuntutan atas para pembunuh Usman harus lebih dahulu ditangkap dan
dihukum; kedua, tidak ada suara bulat di antara pemuka kaum Muslimin terhadap
kekhalifahan Ali. Di samping pemecatan-pemecatan tersebut, Ali juga menarik kembali
tanah-tanah yang telah dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan
hasil pendapatan kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan
di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Khalifah Umar bin
Khaththab.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan yang
dipimpin oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka memberontak adalah
karena Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak mau menghukum orang-orang yang terlibat
dalam pembunuhan Usman bin Affan. Mereka ingin menuntut bela terhadap darah yang
telah ditumpahkan secara zalim.
Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi
kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai.
Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakan lagi. Thalhah dan Zubair terbunuh
ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Peperangan
ini terkenal dengan nama “Perang Jamal” (Perang Unta), yang terjadi pada tahun 36 H,
karena dalam pertempuran tersebut Aisyah, istri Nabi SAW mengendarai unta. Dalam
pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslimin gugur.
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan Thalhah, Zubair,
dan Aisyah, kini Ali bin Abi Thalib menghadapi tantangan dari gubernur di Damaskus,
yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Seperti diketahui, Muawiyah sesungguhnya telah
dipecat oleh Ali bin Abi Thalib dari jabatannya sebagai gubernur di Damaskus, tetapi
Muawiyah tidak mau meletakkan jabatannya, bahkan ia telah memyiapkan pasukannya
untuk bertempur melawan Ali. Muawiyah dalam perang ini tidak sendirian, ia dibantu
oleh sejumlah pejabat yang telah dipecat oleh Ali bin Abi Thalib.
Sama seperti yang dilakukan kepada Thalhah, Ali bin Abi Thalib pun berusaha
keras utuk mengajak Muawiyah bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan
Usman, tetapi ajakannya ditolak. Karena tidak dapat diselesaikan dengan cara damai,
pertempuran di antara umat Islam pun kembali terjadi. Ali berangkat dari Kufah dengan
sejumlah besar tentaranya menuju ke Damamskus. Kedua pasukan yang berlawanan,
yaitu pasukan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, akhirya bertemu di
7
Sulthon Mas’ud, Op.Cit., hlm. 69.
Siffin. Karena itu pula perang ini kemudian disebut Perang Siffin, yang terjadi pada
tahun 657 M (37 H).
Perang ini diakhiri dengan diadakannya perjanjian untuk menyelesaikan
persoalan di antara kedua belah pihak yang dikenal dengan tahkim. Dalam perjanjian
itu masing-masing pihak harus mengirimkan satu orang wakilnya. Ali bin Abi Thalib
mewakilkan kepada Abu Musa al-Asy’ari, sedangkan Muawiyah diwakili oleh Amru
bin Ash. Abu Musa al-Asy’ari dikenal sebagai orang yang lurus dan jujur, sedangkan
Amru bin Ash adalah seorang yang dikenal cerdik dalam bersiasat.
Tahkim ini ternyata tidak menyelesaikan persoalan umat Islam. Tetapi bahkan
telah menambah perpecahan di antara umat Islam. Akibat dari diadakannya tahkim ini,
tentara Ali bin Abi Thalib terpecah. Sebagian tentara Ali menyatakan keluar dan
mereka membentuk kelompok sendiri yang tidak memihak kepada siapa pun.
Kelompok yang keluar dari tentara Ali ini kemudian dikenal dengan sebutan kaum
Khawarij (orang-orang yang keluar). 8
Kaum Khawarij ini menyatakan permusuhannya baik kepada Ali bin Abi Thalib
maupun kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka pun bahkan berjanji akan
membunuh keempat tokoh yang telah menyebabkan umat Islam terpecah, yaitu Ali bin
Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amru bin Ash. Di
antara keempat tokoh ini, yang terbunuh adalah Ali bin Abi Thalib. Ali dibunuh oleh
anggota dari kaum Khawarij yang bernama Ibnu Muljam. Ali meninggal pada tanggal
19 Ramadlan 40 H (661 M). Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, penggantinya adalah
puteranya, yaitu Hasan bin Ali, dan kemudian Husein bin Ali, adik dari Hasan. Setelah
itu, kepemimpinan umat Islam berpindah tangan kepada keluarga Umayyah, yaitu
Muawiyah bin Abi Sufyan yang kemudian mendirikan Dinasti Bani Umayyah.

8
Marzuki, Op.Cit., hlm. 143.

Anda mungkin juga menyukai