Anda di halaman 1dari 17

DIAGNOSIS LABORATORIK β THALASSEMIA

Oleh :
Mohamad Rosyid Anwari

Pembimbing :
Prof. Dr. Sultana M. Hussein Faradz., Ph.D
Dr. Purwanto AP., SpPK-K

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS – I PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

0
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Thalassemia merupakan kelainanan gen tunggal (single gene disorders)

yang bersifat autosomal recessive, jenis dan frekuensinya terbanyak di dunia.

Persebaran penyakit thalassemia ini mulai Mediterania, Afrika utara, Timur Tengah,

India, Burma serta daerah antara Cina selatan, Thailand, semenanjung Malaysia,

Indonesia dan kepulauan Pasifik.1-4 Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah

sabuk thalassemia dengan prevalensi thalassemia berkisar 2,515%.5 Tahun 1994

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa tidak kurang dari 250 juta

penduduk dunia ( 4,5% total penduduk dunia ) adalah pembawa sifat ( bentuk

heterozigot ).6 Dari jumlah tersebut sebanyak 80-90 juta adalah pembawa sifat

thalassemia β dan sisanya adalah pembawa sifat thalassemia α.1,2,7,8

Thalassemia adalah kelainan akibat kelemahan dan mudah rusaknya sel darah

merah yang disebabkan oleh gangguan pada pembentukan struktur hemoglobin pada

sel darah merah ( protein yang berfungsi sebagai pembawa oksigen ). Pada penderita

thalassemia hemoglobin yang dibentuk serta jumlah sel darah merah yang beredar

lebih sedikit daripada orang normal, sehingga penderita nampak sebagai penderita

anemia dengan berbagai dampaknya. Pengobatan yang dilakukan adalah pemberian

transfusi secara rutin. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah adanya penumpukan

zat besi, deformitas tulang dan gangguan kardiovaskuler.

Kelainan genetik yang paling sering ditemukan di Indonesia. Angka

pembawa sifat thalassemia adalah 3-5%, bahkan di beberapa daerah mencapai

1
10%,9,10 Berdasar hasil di atas dan dengan memperhitungkan angka kelahiran

serta jumlah penduduk Indonesia, maka diperkirakan jumlah pasien thalassemia

baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 2.500 anak.

Sementara biaya pengobatan suportif seperti transfusi darah dan kelasi besi

seumur hidup pada pasien thalassemia sangat besar, yakni berkisar 200-300 juta

rupiah/anak/tahun, diluar biaya pengobatan jika terjadi komplikasi. Selain itu, ada

beban psikologis yang juga harus ditanggung oleh pasien dan keluarganya.10

Thalassemia sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Pengobatan satu-

satunya bagi pasien adalah bersifat suportif dengan melakukan transfusi darah ( rata-

rata 1 bulan sekali seumur hidup ), terapi kelasi besi untuk mengeluarkan

kelebihan besi dalam tubuh akibat transfusi darah rutin perlu dilakukan.

Komplikasi seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, dan

lainnya umumnya muncul pada dekade kedua, dengan tatalaksana yang baik usia

pasien dapat diperpanjang. Data Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan

Anak, FKUI-RSCM, mencatat usia tertua pasien mencapai 40 tahun dan bisa

berkeluarga dan memiliki keturunan. Jumlah pasien terdaftar di Pusat Thalassaemia,

sampai bulan Agustus 2009 mencapai 1.494 pasien dengan rentang usia terbanyak

antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat setiap tahunnya mencapai

100 orang/tahun.10

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa program pencegahan thalassemia

akan lebih menguntungkan daripada mengobati penderita yang terus bertambah. 10

Berdasar gambaran masalah seperti di atas, maka program pengelolaan penyakit

thalassemia harusnya lebih ditujukan pada upaya pencegahan bertambahnya pasien

thalassemia baru. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan melakukan skrining

2
thalassemia terutama pada pasangan usia subur yang dilanjutkan dengan diagnosis

pranatal. Biaya pemeriksaan skrining thalassemia sekitar 350-400 ribu rupiah/orang.

Jumlah ini tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya penanganan satu

orang pasien selama setahun. Jika penanganan seorang pasien sekitar 300 juta rupiah

maka biaya tersebut setara dengan biaya pemeriksaan skrining thalassemia untuk

sekitar 750 orang. Lebih lanjut WHO menyatakan besarnya biaya tahunan program

nasional pencegahan thalassemia sama dengan besarnya biaya yang dibutuhkan

untuk penanganan medis 1 orang pasien selama 1 tahun. Biaya program pencegahan

thalassemia ini relatif konstan, sementara biaya penanganan medis cenderung terus

meningkat dari tahun ke tahun. Meski dampak ekonomi dan psikososial yang

diakibatkan cukup berat, namun sampai saat ini belum ada kebijakan nasional dalam

hal pencegahan thalassemia di Indonesia.10

Tujuan Penulisan

Penulisan tinjauan pustaka ini dimaksudkan untuk menambah wawasan

penulis mengenai penyakit thalassemia dengan berbagai manifestasi klinis serta

komplikasi yang mungkin terjadi selama pengelolaan pasien. Termasuk di dalamnya

adalah penyebab dan patofisiologi penyakit tersebut.

Pembahasan tinjauan pustaka ini disusun dengan diawali pengungkapan latar

belakang pengambilan judul, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai

penyakit thalassemia dengan membahas penyebab dan kelainan genetik yang ada

berikut kelainan klinis, laboratoris serta komplikasi yang dapat terjadi. Di bagian

akhir tulisan akan dirangkum semua bahasan yang telah diutarakan sebelumnya.

3
BAB 2

β THALASSEMIA

Pengertian

β Thalassemia merupakan kelainan sel darah merah akibat kegagalan

produksi dalam membentuk rantai β pada hemoglobin ( dikenal dengan β0

thalassemia ) atau produksi rantai β berkurang (β + thalassemia ).1,2,3,4

Patologi β thalassemia

Gen ß globin terletak pada lengan pendek kromosom 11 ( gambar 1 ), di

daerah yang mengandung gen δ, ε, Gγ, A


γ dan pseudogene ß (ψß) ( gambar 2.).2,11

Semua gen globin pada manusia mempunyai 3 coding sequences ( exons ) dan 2 non

coding sequences ( intervening sequences / intron ( 5’ dan 3’ ) yang dipisahkan oleh

area yang tidak tertranslasi . Coding yang tejadi tergantung pada 3 susunan nukeotide

yang dikenal sebagai codon dan akan mengkode ( menghasilkan ) asam amino yang

spesifik. 5’ pada tiap gen merupakan promoter yang mengikat RNA polymerase dan

faktor transkripsi untuk menginisiasi proses transkripsi. 11 Pada daerah ini terdapat

beberapa polimorfik dasar yang dapat saling menggantikan dan menghasilkan

panjang fragmen polimorfik terbatas, pengkombinasian terbatas pada haplotypes

berhubungan dengan mutasi ß thalassemia. Analisa Haplotype memberi keterangan

yang relevan untuk populasi genetis dari hemoglobinopathi.2

4
Gambar 1.11
Lokasi gen ß globin pada lengan pendek
dari kromosom 11

(Dikutip dari Bain Barbara J., Hemoglobinopathy


diagnosis, 2nd edition, Blackwell Publishing)

Gambar 2.11
Representasi secara diagramatis dari kluster gen ß globin
(Dikutip dari Bain Barbara J., Hemoglobinopathy diagnosis, 2 nd edition, Blackwell Publishing)

Ekspresi di jaringan eritroid karena perbedaan gen ß-like globin selama

perkembangan bergantung pada daerah pengatur utama yang disebut daerah kontrol

lokus ( LCR/Locus control Region ) di 5 sampai 25 kb arah hulu dari gen ε globin

(gambar 2). Lima DNAase HSs ada pada daerah ini dan masing-masing HS

mengandung satu atau lebih motif keterikatan pada transcriptional-spesific erythroid

activator ( GATA-1 dan nuclear factor-erythroid 2 ) dan untuk protein pengikat

DNA. LCR penting untuk mengontrol ekspresi gen ß globin seperti telah ditunjukkan

oleh penghapusan total atau parsial secara alami menghilangkan HS dan

mengakibatkan inaktivasi penyalinan gen ß globin yang utuh.2,11

Mutasi gen ß globin akan menghasilkan tidak terbentuknya rantai ß globin

sama sekali ( ß0 thalassemia ) atau terjadinya pengurangan sebagian struktur ß globin

( ß+ thalassemia ). Lebih dari 200 mutasi berbeda yang menghasilkan ß thalassemia

telah dijumpai, terbesar adalah mutasi pada urutan fungsional dari gen ß globin.

5
Berbeda dengan α thalassemia, penghapusan gen adalah jarang pada ß thalassemia.2

Secara singkat mutasi gen ß globin yang menyebabkan terjadinya ß thalassemia

dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.2
Mutasi yang menyebabkan ß thalassemia
(Dikutip dari Pignati Caterina B., Galanello Renzo, Thalassemia and related disorder : quantitative
disorder of hemoglobin synthesis, In : Wintrobe’s clinical hematology, 11 th edition, Lippincott
Williams & Wilkins)

Lokasi proses Lokasi Fenotip Jumlah mutasi


Transkripsi Promoter Silent 2
Mild 5
ß+ 12
5’ UTR Silent 4
Mild 1
ß+ 1
RNA processing Splice junction ß0 24
Consencus splice site Silent 1
Mild 1
ß0 1
ß+ 8
Cryptic splice sites in introns ß0/ ß+ 1
ß0 1
ß+ 3
Cryptic splice sites in exons Mild 2
B+ 3
3’ UTR RNA cleavage : poly A Mild 4
signal B+ 2
Others Silent 1
Mild 1
ß+ 1
Translasi RNA Initial codon ß0 7
Nonsense codon ß0 14
Frameshift ß0 64
Delesi ß0 17
Dominan ß thalassemia Missense mutations ß0 8
Deletion or insertionof intact codon ß0 7
Nonsense mutations ß0 2
Frameshift or aberrant splicing ß0 14

Pembagian β thalassemia

Perbedaan kondisi klinis yang kemudian terdiagnosa sebagai β thalassemia

menyebabkan penamaan yang berbeda pada penyakit ini, sebagai contoh untuk β

thalassemia dengan anemia berat dan perlu transfusi terus menerus disebut sebagai β

6
thalassemia major atau Cooley’s anemia. Ada yang tanpa gejala sama sekali dan

merupakan carrier β thalassemia dan β thalassemia minor. Karena variabilitas

keadaan hemoglobin yang luas pada β thalassaemia maka perlu dijelaskan perbedaan

fenotip berdasar temuan klinis pada carrier β thalassemia termasuk kadar HbA2.

Umumnya β thalassaemia heterozygot berhubungan dengan peningkatan kadar

HbA2. Secara ringkas variasi β thalassaemia berdasar fenotip dapat dilihat pada tabel

2 di bawah.14

Tabel 2.1
Pembagian β thalassemia berdasar perbedaan klinis
(Dimodifikasi dari Pignati Weatherall, DJ., Clegg JB., The thalassaemia syndromes, 4th edition,
Blackwell Sciences)

β thalassemia major β0 thalassemia


β+ thalassemia
β thalassemia intermedia
β thalassemia minor ( trait ) Dengan peningkatan kada HbA2
 Kadar HbF normal atau naik ringan
 Kadar HbF naik
 Kadar HbA2 naik
Kadar HbA2 normal
 β thalassemia dan δ thalassemia
 Mild β thalassemia
 Silent β thalassemia
Dominan β thalassemia
β thalassemia dengan determinan genetik
tidak terikat pada lokus gen β globin

β thalassemia major umumnya merupakan hasil dari gabungan 2 mutasi gen β

globin yang berbeda atau mutasi homozygot yang sama pada populasi dengan

frekwensi perkawinan antar keluarga yang tinggi. β thalassemia umumnya

disebabkan oleh mutasi pada lokus gen β globin dan menyebabkan rantai β globin

tidak terbentuk ( β0 thalassemia ) atau berkurangnya rantai β globin yang terbentuk

(β+ thalassemia ).1

7
Manifestasi Klinis β Thalassemia

Gejala utama dari β thalassemia adalah anemi berat berhubungan dengan

erythropoeisis tidak efektif, terjadinya hemolisis dan hipersplenisme. Prekursor

penghancuran eritrosit intrameduler menyebabkan penurunan pelepasan eritrosit

dalam aliran darah. Aktivitas Hemolitik pada sistem retikulo endotelial ( RES )

meningkat berhubungan dengan badan inklusi dalam eritrosit matang yang rusak

yang akan menyebabkan hiperplasi RES, sistem eritroid dan hemopoeisis

ekstrameduler. Hemopoeisis ekstrameduler terjadi pada hati dan limpa akan

menyebabkan splenomegali dan hepatomegali ( gambar 3 ). Splenomegali akan

bertambah seiring dengan peningkatan fungsinya dalam mendestruksi eritrosi matur.

Splenomegali terjadi akibat pelebaran pulpa limpa dan peningkatan pooling eritrosit

akan menurunkan sel darah pada sirkulasi. Waktu sel darah berada di pulpa proses

fagositik berlangsung. Hipersplenisme menyebabkan anemi berat dan memprakarsai

terjadinya leukopenia dan/atau trombositopenia.3,14

Gambar 3.1
Splenomegali dan hepatomegali pada penderita
thalassemia
(Dikutip dari Weatherall, DJ., Clegg JB., The
thalassaemia syndromes, 4th edition, Blackwell Sciences)

8
Perluasan jaringan hemopoeisis ekstrameduler selain di hepar dan limpa juga

meluas hingga ke jaringan tulang dan menyebabkan perluasan cavum meduler

tulang. Perluasan tersebut merubah struktur tulang mengalami perubahan bentuk

luar, sehingga pada kondisi tersebut dapat terjadi facies Cooley dimana tulang

frontal/dahi menjadi lebar dan tulang maksila menonjol ( gambar 4a dan 4b ).

Perluasan jaringan hemopoeisis pada tulang tersebut selain merubah bentuk luar

tulang juga mengakibatkan kerapuhan pada tulang, karena lapisan tulang yang

kompak akan berkurang dan tergantikan oleh struktur meduler ( gambar 5 ). Akibat

kerapuhan ini tulang yang panjang akan mudah mengalami fraktur. 1-5,11

Gambar 4.1
Facies Cooley pada β thalassemia berat
(Dikutip dari Weatherall, DJ., Clegg JB., The thalassaemia syndromes, 4 th edition, Blackwell
Sciences)

9
Gambar 5.1
Gambar X ray tulang penderita β
thalassemia berat.
(Dikutip dari Weatherall, DJ., Clegg JB.,
The thalassaemia syndromes, 4th edition,
Blackwell Sciences)

10
BAB 3

PEMERIKSAAN LABORATIUM β THALASSEMIA

Pemeriksaan Laboratorium Klinis

β thalassemia yang merupakan penyakit pada eritrosit (sel darah merah),

maka diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan spesimen darah dari penderita.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa penyakit ini mengenai struktur

hemoglobin yang berada di dalam eritrosit sehingga pemeriksaan lebih mendalam

terhadap eritrosit perlu dilakukan baik untuk kepentingan penegakan diagnosis

maupun untuk kepentingan skrining terhadap carrier penyakit ini. Secara singkat

pemeriksaan laboratorium klinis pada spesimen darah pasien dapat digunakan untuk

kepentingan diagnosis dan perkembangan penyakit, tetapi dapat pula digunakan

untuk skrining penyakit guna kepentingan yang lebih luas.

Pemeriksaan darah rutin dengan mengunakan alat hematology analizer pada

penderita β thalassemia menegakkan diagnosis meliputi pemeriksaan darah tepi

lengkap antara lain penurunan kadar Hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit , nilai

indeks eritrosit rerata seperti MCV (mean corpuscular volume) dan MCH (mean

corpuscular haemoglobin).1-5,10,13

Evaluasi sediaan apus darah tepi, didapatkan gambaran anemia hipokrom

mikrositik, populasi eritrosit berinti ( eritroblast ) meningkat ( > 2 % ) dan ditemukan

bentuk target sel pada eritrosit ( gambar 6 ).1-5,14 Jika dilakukan pemeriksaan tes

fragilitas osmotik terhadap eritrosit, maka akan nampak bahwa eritrosit pada

penderita β thalassemia lebih mudah lisis dibanding eritrosit normal. Kefragilan

11
eritrosit ini disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara rantai α dan β globin

dalam eritrosit.13,15

Gambar 6.1
Gambar preparat apus darah tepi pasien pasien homozigot β thalassemia
(Dikutip dari Weatherall, DJ., Clegg JB., The thalassaemia syndromes, 4 th edition, Blackwell
Sciences)

Pemeriksaan feritin atau besi serum digunakan untuk menyingkirkan

diagnosis anemi karena defisiensi besi. Diagnostik akurat dilakukan dengan

pemeriksaan elektroforesis otomatis untuk Hb typing. Pemeriksaan dengan

elektroforesis memberi nilai diagnostik yang akurat dengan angka spesifisitas dan

sensitivitas yang tinggi. 1-5,10

Pemeriksaan DNA

Pemeriksaan analisis DNA digunakan untuk diagnosis pranatal, teknik

pengambilan sampel janin yang paling aman dan efektif adalah metode

chorionic villi sampling yang dilakukan antara usia gestasi 10-12 minggu dan

dapat mengkonfirmasi diagnosis thalassemia β pada kasus-kasus yang belum

konklusif dengan pemeriksaan hematologi lengkap dan Hb typing. Saxena dkk

12
(1998) melaporkan hasil analisis mutasi DNA dengan menggunakan metode

Amplification Refractory Mutation System (ARMS) pada diagnosis pranatal

terhadap 415 kehamilan dan bahwa ARMS dapat mengkonfirmasi diagnosis pada

98,3% kasus. Pemeriksaan ini relatif murah dan dapat digunakan untuk diagnosis

pranatal. Analisis DNA ini dapat juga digunakan untuk mendiagnosis carrier β

thalassemia, terutama untuk pasangan yang akan menikah guna keperluan edukasi. 10

13
RANGKUMAN

β Thalassemia merupakan kelainan sel darah merah akibat kegagalan

produksi dalam membentuk rantai β pada hemoglobin (β0 thalassemia ) atau produksi

rantai β berkurang (β+ thalassemia ). Lebih dari 200 mutasi berbeda yang

menghasilkan ß thalassemia telah dijumpai, terbesar adalah mutasi pada urutan

fungsional dari gen ß globin. Perbedaan klinis β thalassemia menjadi dasar

pembagian atau klasifikasi penyakit ini. Tanda klinis dan laboratoris β thalassemia

adalah anemia, hepatomegali, splenomegali, perluasan jaringan hemopoeisis, facies

Cooley, Penurunan indeks eritrosit ( MCV, MCH ), peningkatan fragilitas eritrosit

serta peningkatan kadar HbA2 dan HbF. Analisis DNA digunakan untuk digunakan

untuk mendiagnosis janin dengan β thalassemia dan edukasi pasangan yang akan

menikah.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Weatherall, DJ., Clegg JB., The thalassaemia syndromes, 4th edition, Blackwell

Sciences, 2001, 287-357

2. Pignati Caterina B., Galanello Renzo, Thalassemia and related disorder :

quantitative disorder of hemoglobin synthesis, In : Wintrobe’s clinical

hematology, 11th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Vol. 1., December

2003, 2646-702

3. Weatherall, DJ., The Thalassemias. In : Williams Hematology, 8th edition, Mc-

Graw Hill, 2010, 828-64.

4. Weatherall, DJ., The Thalassemias, In : ABC of clinical haematology, 2nd

edition, BMJ books, 2003, 11

5. Forget, BG. Thalassemia Syndromes in : Hoffman Hematology, basic principles

and practice. 3rd edition. Churchill Livingstone 2000

6. World Health Organization/Thalassaemia International Federation. Prosiding

dari: Joint meeting on the prevention and control of haemoglobinopathies.

Nicosia-Cyprus: World Health Organization/Thalassaemia International

Federation, 1994:20

7. Weatherall DJ, Clegg JB. Inherited haemoglobin disorders: an increasing global

health problem. Bull World Hlth Org. 2001;79:704-12

8. Weatherall, DJ., Hemoglobin and the inherited disorder of globin synthesis, In :

Post graduate haematolgy, 5th edition, Blackwell Publishing, 2005, 88-94

9. Sofro ASM., Molecular pathology of beta-thalassemia in Indonesia, South East

Asian J Trop Med Public Health 1995;26:221-2214

15
10. Dirjen Bina Pelayanan Medik DepKes RI, Pencegahan thalassemia ( Hasil kajian

Health Technology Assessment Indonesia tahun 2009 ), Juni 2010

11. Bain Barbara J., Hemoglobinopathy diagnosis, 2nd edition, Blackwell Publishing,

2006, 89-116

12. Mehta Atul B., Hoffbrand A. Victor, Hematology at a glance, Blackwell

Sciences, 2000, 48-49

13. Turgeon Mary L., Clinical hematology, theory & procedures, 5 th edition,

Lippincott Williams & Wilkins, 2012, 220-23

14. Wirawan Riadi, Setiawan Santy, Gatot Djajadiman, Peripheral blood and

hemoglobin electrophoresis pattern in beta thalassemia major patients receiving

repeated blood transfusion, Med J Indones, Vol. 13, No. 1, January-March 2004

15. Singh SP., Gupta SC., Effectiveness of red cell osmotic fragility test with

varying degrees of saline concentration in detecting betathalassaemia trait,

Singapore Med J., 2008, 49 (10), 823-26

16

Anda mungkin juga menyukai