Anda di halaman 1dari 13

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Zat gizi mikro merupakan salah satu komponen pangan berupa vitamin
dan mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi memiliki peranan
penting di dalam tubuh. Kekurangan asupan dan absorbsi zat gizi mikro dapat
mengakibatkan gangguan pada kesehatan, pertumbuhan mental dan fungsi lainnya
di dalam tubuh. Kekurangan zat gizi mikro yaitu yodium, besi dan vitamin A
secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Defisiensi vitamin A
dan zat besi dapat menyebabkan risiko kematian pada bayi dan ibu hamil karena
anemia. Keberadaan vitamin A dapat membantu zat besi untuk membentuk sel
darah merah di dalam tubuh (Asterini dkk., 2016).
Di negara berkembang, presentase kekurangan vitamin A pada anak-anak
di bawah usia lima tahun masih cukup besar. Sekitar 1 juta anak meninggal setiap
tahun karena kekurangan vitamin A. kasusu kekurangan vitamin A (KVA) pada
anak-anak menyebabkan seroftalmia, diare, campak, malaria, dan infeksi lainnya
(WHO, 2011). Pada ibu hamil kekurangan mikronutrien dapat menyebabkan
morbiditas dan kematian ibu (WHO, 2006).
Intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat
mengandung cukup zat gizi mikro merupakan salah satu cara yang dilakukan
pemerintah. Menurut WHO (2001) desisiensi zat gizi mikro dapat ditanggulangi
dengan melakukan fortifikasi zat gizi mikro tersebut ke dalam produk pangan.
Fortifikasi makanan terbukti efektif untuk menanggulangi kekurangan gizi
penduduk dengan menggunakan makanan yang umum dikonsumsi dan didukung
strategi perbaikan diet (yakni kampanya Pendidikan gizi).
Fortifikasi merupakan penambahan zat gizi mikro tertentu ke dalam bahan
pangan secara sengaja untuk meningkatkan kualitas bahan pangan yang
bermanfaat bagi kesehatan dengan resiko minimal. Fortifikasi pangan umumnya
digunakan untuk mengatasi masalah gizi mikro pada jangka menengah dan
panjang. Tujuan utama fortifikasi adalah untuk meningkatkan status gizi
masyarakat melalui penambahan zat gizi yang dibutuhkan (Asterini dkk., 2016).
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Defisiensi besi atau sering disebut juga anemia gizi besi (AGB) yaitu suatu
kondisi dimana seseorang mengalami ketidak cukupan jumlah besi untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. anemia gizi besi terutama disebabkan oleh makanan
yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi terutama dalam bentuk besi-heme,
dan adanya gangguan absorpsi. Selain itu juga diakibatkan oleh kenaikan
kebutuhan besi seperti pada masa pertumbuhan, kehilangan darah yang berlebihan
(menstruasi, melahirkan), dan terinfeksi parasit kronis seperti malaria, cacing
tambang (Darlan, 2012).
Kekurangan Vitamin A akan mempengaruhi berbagai fungsi penting
tubuh, antara lain system imunitas, penglihatan, sisitem reproduksi dan
pembelahan sel, sehingga dapat diperkirakan risiko terhadap pencapaian
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal dari seorang anak. Pemerintah
indonesi telah mengupayakan berbagai program untuk mengatasi kekurangan
vitamin A, terutama pada anak-anak, antara lain melalui program suplementasi
kapsul vitamin Auntuk anak balita setiap 6 bulan, penganekaragaman makanan,
pemanfaatan pekarangan dan fortifikasi (Achadi dkk., 2010).
Vitamin D juga merupakan salah satu zat gizi yang penting untuk tulang.
Apabila tubuh kekurangan (defisiensi) vitamin D baik yang berasal dari asupan
makanan maupun dari dalam tubuh dengan bantuan sinar matahari maka absorpsi
kalsium dapat terganggu dan kemudian terganggu pula proses mineralisasi
(pembentukan) tulang (Prasetya dkk., 2015).
Berkurangnya asam folat dan vitamin B12 juga dapat mengganggu proses
metabolisme keduanya dalam tubuh, menimbulkan berbagai kelainan saraf,
berkurangnya memori dan mempengaruhi perkembangan fetus pada wanita hamil.
Asam folat memiliki berbagai peran penting bagi tubuh, terutama dalam
pembentukan DNA dan pembentukan sel-sel baru (Primavera, 2016).
Gangguan akibat kekurangan iodium adalah gangguan tubuh yang
disebabkan oleh kekurangan iodium sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan
hormone tiroid. Salah satu cara penanggulangannya adalah dengan fortifikasi
garam dapur dengan iodium (Permatasari dkk., 2017).
BAB III. PEMBAHASAN

Adapun untuk mengatasi permasalahan akibat kekurangan zat gizi mikro


maka dilakukannya fortifikasi zat gizi mikro pada makanan yang sering
dikonsumsi. Berikut adalah jenis-jenis fortifikan yang sering ditambahkan untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi mikro.

3.1 Zat Besi


Zat besi merupakan fortifikan yang penting bagi tubuh manusia. Zat besi
yang sering ditambahakan yaitu ferro Fe2+ dan ferri Fe3+ . Penambahan zat besi ke
dalam bahan pangan merupakan jenis yang paling sulit untuk ditambahakan
dibandingkan dengan fortifikasi mineral lainnya. Fortifikasi zat besi pada pangan
pembawa yang tidak sesuai dapat mempengaruhi sifat sensori dan organoleptik
pangan pembawanya. Hal ini disebabkan karena zat besi ini bersifat reaktif yang
dapat berinteraksi dengan komponen-komponen lain didalam bahan pangan yang
dapat merubah rasa, aroma, dan warna. Sedagkan syarat dari fortifikasi yaitu tidak
boleh mempengaruhi atau menyebabkan perubahan organoleptik pangan
pembawa.
Berdasarkan sifatnya fortifikasi zat besi dapat dikelompokkan menjadi tiga
jenis yaitu :
1. Fortifikasi Zat Besi Larut Air
Jenis fortifikan zat besi yang larut air cenderung memiliki bioavaibilitas
yang tinggi. Cocok digunakan untuk fortifikasi tepung-tepungan, serelia, atau
makanan kering seperti pasta atau susu bubuk. Jenis fortifikasi zat besi larut air
yang paling sering digunakan adalah ferro sulfat.

2. Fortifikasi Zat Besi yang Sulit Larut dalam Air, tetapi Mudah Larut dalam
Larutan Bersifat Asam
Jenis fortifikan ini mudah diserap tubuh karena larut dalam asam.
Fortifikasi zat besi dari jenis ini yang paling banyak digunakan adalah ferro
fumarate dan ferri saccharate.
3. Fortifikasi Zat Besi yang Tidak Larut Air dan Sulit Larut dalam Larutan
Bersifat Asam
Jenis fortifikan ini memiliki daya serap yang relatif rendah. Fortifikan zat
besi jenis ini yang paling umum digunakan adalah kelompok ferri phospat (ferri
ortophospat dan ferri pyrophospat.

Tabel 1. Senyawa Zat Besi yang Digunakan Sebagai Fortifikan.

Sumber : Asterini dkk., 2016

3.2 Zink
Sebagai zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, zink juga sering
digunakan sebagai fortifikan. Salah satu fortifikasi zink pernah dilakukan pada
susu fermentasi, yang ditambahakan yaitu Zink Glukonat, Zink aspartate, Zink
Sulfat.
Berdasarkan sifatnya fortifikasi zink dapat dikelompokkan menjadi tiga
jenis yaitu :
1. Larut air (Zink Asetat, Zink glukonat, Zink sulfat)
2. Tidak larut air tapi larut asam (Zink Oksida)
3. Sangat larut air (Zink klorida)
Tabel 2. Senyawa Zink yang Digunakan Sebagai Fortifikan.
3.3 Vitamin A
Jenis fortifikan vitamin A utama untuk fortifikasi adalah :
- Retinil asetat
- Retinil palmitat
- Provitamin A (β-karoten )
Retinil asetat dan retinil palmitat merupakan bentuk sterifikasi vitamin A
komersial yang biasa digunakan sebagai bahan fortifikasi makanan.
 Provitamin A berwarna kuning kemerahan sehingga banyak digunakan untuk
fortifikasi margarin atau minuman berwarna serupa.
 Umumnya vitamin A difortifikasikan ke bahan makanan berbasis lemak karena
sifat vitamin A merupakan vitamin yang larut lemak.
 Bentuk fortifikan vitamin A dapat berupa vitamin A bentuk kering yang dapat
dicampurkan ke bahan makanan kering ataupun dilarutkan dalam bahan
makanan berbasis air.
 Vitamin A bentuk lemak dapat dicampurkan ke bahan makanan berbasis lemak
seperti minyak, margarin atau susu.
 Untuk bahan makanan yang berbasis air atau berbentuk kering, vitamin A
dapat ditambahkan dalam bentuk terenkapsulasi.
Berdasarkan hal tersebut fortifikan vitamin A dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu :
1. Dalam komponen lemak (oily form) sehingga dapat ditambahkan langsung
pada makanan berbasis lemak atau diemulsikan dengan bahan berbasis air dan
2. Bentuk kering (terenkapsulasi).

Tabel 3. Contoh Produk Makanan yang Difortifikasi Vitamin A


Tabel 4. Jenis-Jenis Fortifikasi Vitamin A, Karakteristik dan Penggunaannya.

3.4 Vitamin D
Bentuk vitamin D2 (ergokalsiferol) maupun D3 (kolekalsiferol) dapat
digunakan untuk fortifikasi vitamin D pada makanan. Keduanya mempunyai
kesamaan yaitu :
- Aktivitas biologis yang sama
- Sensitif terhadap oksigen dan kelembapan
- Mudah bereaksi dengan mineral.
Vitamin D3 lebih banyak digunakan untuk fortifikasi pada serealia dengan
level fortifikasi sebanyak 100.000 IU atau 25 mg D 3 per gram. Bentuk kering
fortifikan vitamin D biasanya mengandung tokoferol sebagai pelindung dari
reaksi oksidasi atau interaksi dengan mineral lainnya. Makanan yang difortifikasi
dengan vitamin D :
- Sereal untuk sarapan
- Yoghurt
- Margarin dan minyak sayur
Tabel 5. Fortifikasi Wajib Margarin dengan Vitamin A dan D.

3.5. Yodium
Yodium merupakan salah satu unsur mineral makro yang sangat
dibutuhkan tubuh dalam jumlah relatif kecil. Terdapat dua bentuk kimiawi dari
yodium yang dapat digunakan untuk fortifikasi bahan makanan, yaitu iodida dan
iodat. Kalium iodida (KI) ditambahkan ke garam meja. Kalium iodat (KIO3)
adalah bentuk lain untuk makanan fortifikasi. Bentuk iodat memiliki kelarutan
dalam air lebih rendah daripada bentuk iodida. Iodida biasanya tidak berwarna
tapi menjadi kuning setelah berada di udara karena iodida dioksidasi menjadi
Iodium.
Tabel 6. Kecukupan Yodium yang Dianjurkan (Per Orang Dewasa).

Tabel 7. Kandungan Yodium dalam Bahan Makanan dari Beberapa Kajian.


3.5 Asam Folat
Asam folat adalah vitamin yang penting untuk pembentukan sel darah
merah normal. Folat dalam makanan terdapat sebagai Poliglutamat. Fortifikasi
asam folat banyak dilakukan pada tepung terigu dan beras Fungsi asam folat yaitu
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan tubuh. Ciri-ciri dan sifat asam
folat yaitu berwarna kuning cerah, tidak berpengaruh pada sensoris makanan, larut
dalam air, mudah dioksidasi dalam larutan asam, penambahan berkisar 1,5-2,4
ppm, dilakukan bersamaan dengan vitamin b1, vit b2, zat besi dan zink. Sumber
pangan yang tinggi asam folat adalah sayur-sayuran hijau dan hati.
BAB IV. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah :


1. Fortifikasi zat besi pada pangan pembawa yang tidak sesuai dapat
mempengaruhi sifat sensori dan organoleptik pangan pembawanya.
2. Berdasarkan sifatnya fortifikasi zink dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis
yaitu larut air, tidak larut air tapi larut asam, dan sangat larut air.
3. Fortifikasi vitamin A difortifikasikan ke bahan makanan berbasis lemak karena
sifat vitamin A merupakan vitamin yang larut lemak.
4. Vitamin D lebih banyak digunakan untuk fortifikasi pada serealia.
5. Terdapat dua bentuk kimiawi dari yodium yang dapat digunakan
untuk fortifikasi bahan makanan, yaitu iodida dan iodat.
DAFTAR PUSTAKA

Achadi, E. S. Arifah dan S. Muslimatun. 2010. Efectivitas Program Fortifikasi


Minyak Goreng dengan Vitamin A terhadap Status Gizi Anak Sekolah di
Kota Makasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 4(6):255-261.
Adriani, M dan B. Wijatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Kencana,
Jakarta.
Allen, L., B. Benoist., O. Dary and R. Hurrel. (Eds) 2006. Guidelines of
Fortification of Food with Micronutrient. WHO and FAO.
Asterini, W., Sugiyono dan E. Prangdimurti. 2016. Peluang Aplikasi
Mikroenkapsulasi Vitamin A dan Zat Besi Sebagai Fortifikan. Pangan.
25(1):51-60.
Darlan, A. 2012. Fortifikasi dan Ketersediaan Zat Besi pada Bahan Pangan
Berbasis Kedelai dengan Menggunakan Fortifikan FeSO4 .7 H2O Campuran
FeSO4 .7 H2O dan NaFeEDTA. Tesis. Departemen Kimia FMIPA-
Universitas Indonesia, Depok.
Hemyati, S., E. Yuliati, N. P. Pamungkas dan N. Y. Hendarta. 2018. Fortifiasi
Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi Masalah
Defisiensi Zat Gizi Mikro Diindonesia. UGM Press, Yogyakarta.
Prasetya, D., B. Wirjatmadi dan M. Adriani. 2015. Pengaruh Pemberian Susu
yang Difortifikasi (Kalsium dan Vitamin D) dan Senam Osteoporosis
terhadap Kepadatan Tulang pada Wanita Pra Lansia di Wilayah Kerja
Puskesmas Banyuanyar Kabupaten Sampang. Jurnal Ilmiah Kedokteran.
4(1):25-37.
Permatasari, S. M., S. Helmiyati dan S. Iskandar. 2017. Stabilitas Kadar Iodium
dalam Garam Fortifikasi Kalsium Iodida (KI) Menggunakan NaFeEDTA.
Darussalam Ntrition Journal. 1(1):8-15.
Primavera, N. 2016. Fortifikasi Ganda Zat Gizi Mikro (Iodium dan Asam Folat)
pada Produk Mie Kering Tepung Sukun. Artikel. Program Studi Teknologi
Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Bandung.
Wijayanti, N. 2017. Fisiologi Manusia dan Metabolisme Zat Gizi. UB Press,
Malang.
World Health Oerganization. 2001. Iron Deficiency Anaemia Assesment,
Prevention, and Control. A Guide for Programme Managers.
World Health Oerganization. 2006. WHO Global Database on Vitamin A
Deficiency Vitamin and Mineral Nutrition Information System (VMNIS).
World Health Oerganization. 2011. Guidelines : Vitamin A Suplementation in
Infants and Children 6-59 Months of Age.

Anda mungkin juga menyukai