Anda di halaman 1dari 10

Laporan Praktikum Pengolahan Pati

GELATINISASI DAN RETROGRADASI PATI JAGUNG


(Zea Mays)

Oleh:

Saidatul Wulya; 1705105010005


Sri Muliani; 1705105010041
Fathurrahman Luthfi; 1705105010055

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2020
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pati menjadi komponen yang penting dalam pengolahan makanan karena
memiliki sifat fungsional yang baik dan dapat diamati. Pengolahan jagung menjadi
pati mempunyai prospek dalam meningkatkan nilai tambah pada jagung. Indonesia
membutuhkan pati sebanyak 1,5-2 juta ton setiap tahunnya. Namun hal ini belum
tercukupi dari produksi dalam negeri, sehingga Indonesia harus impor pati baik
dalam bentuk alami maupun modifikasi (Suarni dkk., 2008).
Pati umumnya tersusun dari tiga komponen utama yaitu, amilosa,
amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein. Komponen yang
terkandung ini dapat mempengaruhi sifat fungsional dan amilografi dari tepung
jagung. Dalam proses pengolahan makanan dibutuhkan perhatian pada kestabilan
pH, kekentalan, sifat emulsi, integritas dan penampakan yang baik. Untuk dapat
mempertimbangkan sifat-sifat tersebut dapat dilakukan dengan pemilihan pati yang
diinginkan sesuai karakteristik.
Semakin bervariasi makanan yang ingin dihasilkan, maka semakin bervariasi
pula sifat-sifat fungsional yang dibutuhkan. Penggunaan pati sebagai pengental
perlu memperhatikan faktor yang memperngaruhinya seperti suhu gelatinisasi, pola
gelatinisasi, retrogradasi serta viskositas yang dihasilkan. Sebagai contoh
penggunaan pati jagung sebagai bahan yang dapat memperbaiki tekstur serta
menurunkan kadar minyak.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari praktikum adalah untuk dapat mempelajari dan
menjelaskan perbedaan gelatinisasi dan retrogradasi pati, mengetahui perbedaan suhu
gelatinisasi dan suhu pembentukan pasta dari beberapa jenis pati. Untuk mempelajari
peranan jumlah amilosa dan amilopektin pada granula pati dari sumber pati yang
berbeda dan peranannya pada viskositas dan kekuatan gel pati serta untuk
membandingkan sifat dan penampakan pasta pati yang dihasilkan.
BAB II. METODE PRAKTIKUM

2.1 Bahan dan Alat


Adapun bahan yang digunakan adalah biji jagung yang disortasi sebanyak
500 gr, larutan Na-Bisulfit 0,2%, larutan NaOH 0,1 N, gula, garam, air, telur ayam,
minyak goring, bawang putih, pati jagung, air destilata, Na2CO3 anhidrat, asam sitrat,
CuSO4.5H2O, K2CrO7, HCl, NaOH, asam asetat, H2SO4, KI, Na2S2O3, indikator kanji,
indikator PP, amilosa murni, etanol, larutan Luff Schoorl, larutan iod, buffer pH, dan
heksana. Sedangkan alat yang digunakan adalah Brabender amilograph OHG
Duisburg, neraca Brabender, Rapid Visco Analyzer (RVA), hot plate (IKA C-MAG
HS 7), spektrofotometer, neraca analitik, pH meter, alat soxhlet, moisture balance
O’Hous MB-35 Halogen, Stable Micro Systems Texture Analyzer (model TA-XT
Plus, nomor seri 11752, 100-240 V), shieve shaker (AS 200 Control, Retsch), dan
alat gelas.

2.2 Prosedur Kerja


Pada dasarnya proses pembuatan pati untuk semua komoditi sama, yaitu
penghancuran sel-sel untuk memisahkan butir-butir dari komponen lainnya dengan
pengekstrak air. Tahapannya meliputi proses: biji dihancurkan, ekstrak pati,
penyaringan, pengendapan dan sentrifugasi, selanjutnya proses pengeringan,
kemudian gumpalan pati dihaluskan dan diayak (Suarni dkk., 2013). Sampel
sebanyak 3-4 g (kadar air diketahui) disuspensikan dalam ±25 mL air destilata. Berat
sampel dan air yang ditambahkan dihitung oleh instrumen RVA. Suspensi
dipanaskan hingga suhu 50oC (dipertahankan selama 1 menit), kemudian dipanaskan
lagi mencapai suhu 95oC (kecepatan pemanasan 6oC/menit, dipertahankan selama 5
menit). Setelah itu dilakukan pendinginan hingga mencapai suhu 50 oC (kecepatan
pendinginan 6oC/menit, dipertahankan selama 5 menit). Informasi dari kurva
viskograf yang dihasilkan adalah suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum,
viskositas (Wulandari dkk., 2016).
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Ulyarti (2013), dengan
campuran 26% amilosa dan 74% amilopektin lalu dicampurkan dengan 465 ml air
destilat dan dimasukkan dalam mangkok amilograph untuk dianalisis. Cara yang
sama juga dilakukan pada pati jagung untuk dianalisis. Berbeda pada jurnal Priyanta
et al., (2011) yang melakukan analisis dengan pembuatan amilum termodifikasi
dengan cara difermentasi alami menggunakan bakteri Lactobacilus acidophilus.
Selanjutnya pati jagung dianalis menggunakan masing-masing alat untuk
mendapatkan karakteristik; bentuk granula, densitas kamba, absorpsi air dan minyak,
kelarutan dan swelling power, viskositas, organoleptik dan pH.
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Pengamatan


Tabel 1. Gelatinisasi dan Retrogradasi.
Jenis Bahan Suhu Penampakan
Pola Gelatinisasi Retrogradasi
Baku Gelatinisasi Pasta
Beras Gelatinisasi tipe B dimana pasta pati yang Retrogradasi saat Viskositas tinggi
memiliki karakter pembengkakan sedang semakin tinggi nilai viskositas balik Gel dan
70,8˚C
dengan memperlihatkan viskositas puncak maka semakin tinggi kemampuan pati kental
yang lebih rendah dan lebih tidak encer untuk mengalami retrogradasi
Jagung Tipe B, dimana puncak pasta lebih rendah Viscositas retrogradasi
dan pengenceran yang tidak terlalu besar 74,50oC 2071 cP, tidak mudah mengalami Jernih
selama pemanasan retrogradasi.
Sagu Tipe A. Memiliki kemampuan viskositas setback mempengaruhi
pengembangan yang besar, ditunjukkan retrogradasi, semakin tinggi amilosa
dengan tingginya viskositas semakin tinggi pembentukan gel.
70-75oC Keruh
puncak/maksimum dan mengalami Viskositas setelah retrogradasi
penurunan yang drastis selama pemanasan. (viskositas balik) adalah 1364-1524
bu, mudah mengalami retrogradasi
Ubi Jalar Tipe B, dimana viskositas puncak pati Tingginya nilai viskositas balik
lebih rendah dan pengenceran tidak terlalu menandakan tingginya kecenderungan
78oC Buram
besar saat pemanasan untuk terjadinya retrogradasi.

Singkong Tipe B, dimana viskositas pati tidak terlalu 69oC Ubi kayu mengalami retrogradsi pada Gel, putih
besar dan pengencerab pasta tidak terlalu suhu 55-60oC keruh
besar pada saat pemanasan
3.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa setiap jenis pati memiliki
pola gelatinisasi yang berbeda-beda. Pola gelatinisasi pati dikelompokkan menjadi
empat yaitu Tipe A, tipe B, tipe C, dan tipe D. Pola gelatinisasi tipe A terjadi pada
pati yang memiliki ukuran granula yang lebih besar seperti pada sagu dan
singkong karena memiliki kemampuan mengembang yang tinggi, sehingga
viskositas puncaknya tinggi dan pengenceran yang cepat selama pemasakan. Pola
gelatinisasi tipe B terjadi pada pati yang memiliki ukuran granula yang kecil
seperti pada beras dan jagung yang termasuk kedalam golongan serelia. Pola
gelatinisasi tipe B ini memiliki viskositas maksimum yang lebih rendah dan
pengenceran yang tidak terlalu besar selama pemanasan.

Gambar 1. Kurva Amilograf Beberapa Jenis Pati.


Kurva diatas menunjukkan viskosistas maksimum dari beberapa pati,
dapat dilihat bahwa pati jagung memiliki viskositas maksimum yang paling
rendah dibandingkan dengan jenis pati yang lain. Menurut Wulandari dkk (2016),
viskositas maksimum yang tinggi pada pati kentang menunjukkan daya ikat air
yang tinggi sehingga pembengkakannya lebih baik selama pemasakan.
Berdasarkan data hasil pengamatan dapat dililihat bahwa pola gelatinisasi
berhubungan dengan suhu gelatinisasi pati dan pembentukan larutan yang
dihasilkan selama pemasakan. Dimana pola gelatinisasi tipe A memiliki suhu
gelatinisasi yang lebih tinggi dan lebih cepat encer selama pemasakn. Sedangkan
pola gelatinisasi tipe B memiliki suhu gelatinisasi yang lebih rendah dan lebih
tidak encer.
Setiap jenis pati memiliki karakteristik gelatinisasi yang berbeda-beda.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari berat granula pati, dan
jumalah fraksi amilosa dan amilopektinnya. Pati yang mengandung amilopektin
lebih tinggi akan membengkak lebih cepat dengan suhu gelatinisasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan pati yang mengandung tinggi amilosa. Berat granula
pati yang berbeda juga mempengaruhi suhu gelatinisasi. Semakin besar berat
molekul, maka gelatinisasi akan terjadi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan
dengan yang berat molekulnya lebih rendah. Contoh, pati serealia memiliki berat
molekul yang lebih rendah dibandingkan dengan pati umbi-umbian, sehingga
suhu terjadinya gelatinisasi tepung beras lebih rendah dibandingkan dengan
tepung tapioka (Salim dkk., 2019).
Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain komposisi
amilosa dan amilopektin, pH, lemak, bentuk granula. Pati yang memiliki
kandungan amilosa tinggi sangat sukar tergelatinisasi karena molekul amilosa
cenderung berada dalam posisi sejajar, sehingga gugus-gugus hidroksilnya dapat
berikatan dengan bebas dan pati akan membentuk kristal agregat yang kuat,
sehingga menyebabkan suhu gelatinisasinya tinggi. Sebaliknya, pati yang
memiliki komponen amilopektin tinggi sangat sukar untuk berikatan sesamanya
karena rantainya bercabang, sehingga pati yang amilopektinnya tinggi sangat
mudah mengalami gelatinisasi yang menyebabkan suhu gelatinisasi menjadi
rendah. Menurut Suarni dkk (2013), nilai pH dan lemak pada pati berpengaruh
terhadap pembentukan gel. Gel optimum terjadi pada pH 4-7 karena suasanan
asam dapat memutus ikatan amilosa menjadi lebih pendek sehingga kemampuan
gelatinisasinya menurun. Sedangkan lipid dapat menghambat hidrasi granula dan
pengembangan granula terutama akibat jumlah amilopektin yang tinggi dapat
membentuk kompleks amilosa-lipid yang akan menghambat pengembangan
granula pati, sehingga suhu gelatinisasinya semakin rendah. Bentuk granula pati
yang lebih besar akan mudah menyerap air sehingga membuat proses gelatinisasi
semakin cepat dan suhunya semakin rendah.
Gambar 2. Granula Pati Jagung.
Retrogradasi adalah kemampuan pati untuk membentuk gel setelah proses
gelatinisasi karena mengikatnya kembali gugus hidroksil. Menurut Wulandari dkk
(2016). Kemampuan retrogradasi pati dipengaruhi oleh viskositas setback, pati
yang memiliki viskositas setback yang tinggi cenderung mengalami retrogradasi
yang lebih tinggi. Pada pati jagung memiliki viskositas setback 2071 cP dimana
memiliki kemampuan retrogradasi yang rendah dibandingkan dengan pati sagu
yang viskositas setback nya 1364-1524 cP yang mudah mengalami retrogradasi.
Selain itu retrogradasi juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin
dalam pati. Dimana pati yang memiliki kandungan amilosa lebih tinggi akan lebih
cepat mengalami retrogradasi karena lebih mudah berikatan kembali dengan
ikatan hidrogen.

Tabel 2. Sifat Amilograf Beberapa Jenis Pati.


BAB IV. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kali ini adalah :
1. Suhu gelatinisasi setiap pati berbeda-beda dipengaruhi oleh ukuran granula
pati, pH, kandungan amilosa dan amilopektin dan lemak.
2. Pati yang memiliki kandungan amilosa lebih tinggi akan lebih cepat mengalami
retrogradasi dan gel yang terbentuk lebih kuat.
3. Pati dengan kandungan amilopektik lebih tinggi memiliki viskositas yang lebih
tinggi.
4. Pati yang mengandung amilopektin lebih tinggi akan membengkak lebih cepat
dengan suhu gelatinisasi yang lebih rendah.
5. Semakin besar berat molekul, maka gelatinisasi akan terjadi pada suhu yang
lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Salim, C., V. Artina dan A. S. Ayu. 2019. Pengolahan Tepung Bayam sebagai
Substitusi Tepung Beras Ketan dalam Pembuatan Klepon. Jurnal
Pariwisata. 6(1):56-70.
Suarni, I. U. Firmansyah dan M. Aqil. 2013. Keragaman Mutu Pati Beberapa
Varietas Jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 32(1):50-56.
Ulyanti. 2013. Pengaruh Amilosa dan Amilopektin terhadap Sifat Pasta Pati
Jagung. Jurnal Sainmatika. 7(1):1-6.
Wulandari, N., R. H. Imam dan U. Syarifah. 2016. Pengaruh Substitusi Pati
Jagung, Pati Kentang, dan Tapioka terhadap Kekerasan dan Sifat
Berminyak Pilus. Jurnal Mutu Pangan. 3(2):87-94.

Anda mungkin juga menyukai