Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA PANGAN
“Pati”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Kimia Pangan

Disusun Oleh :
Dyfa Khoirunnisa 4444220107

Asisten Praktikum :
Azahra Wibi Kusuma

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2023
Pati
Dyfa Khoirunnisa1

1
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa. Jalan Raya Jakarta Km. 4 Pakupatan, Serang, Banten
E-mail: 4444220107@untirta.ac.id

ABSTRAK
Pati adalah karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Pati merupakan
sumber utama karbohidrat dalam pangan. Pati merupakan bentuk penting
polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa butiran dalam
kloroplas daun serta dalam amilopektin sebagai pada biji dan umbi. Pati merupakan
jenis polisakarida yang tersusun dari 2 fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin.
Keduanya berperan dalam pembedaan struktur granula pati dan karakteristik fisik
bahan pangan yang mengandung pati. Gelatinisasi merupakan proses yang terjadi
pada bahan-bahan yang mengandung pati dimana granula menyerap terlalu banyak
air saat dipanaskan sehingga granula pecah dan bentuknya menjadi tidak beraturan
dan tidak dapat kembali lagi ke bentuk semula (irreversible). Secara fisik,
perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi ini dapat dilihat secara
kasat mata, meliputi waktu tanak; pemanjangan butir nasi; penyerapan air;
kepulenan; kelengketan; aroma; warna; kilap; kelunakan; warna/kekeruhan air.
Hasil gelatinisasi yang didiamkan terlalu lama juga akan mengalami proses
pengeringan dan pembentukan struktur kembali. Proses tersebut disebut
retrogradasi. Praktikum ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenomena gelatinisasi
pati, membandingkan karakteristik mutu jenis beras yang berbeda yang dilakukan
pemasakan dengan cara sama, mengamati fenomena gelatinisasi dan retrogradasi.
Pada percobaan ini, sampel bahan yang digunakan yaitu tepung tapioka, tepung
terigu, tepung maizena, tepung kentang, beras, beras ketan.

Kata kunci : Pati, Gelatinisasi, Amilosa, Amilopektin.

PENDAHULUAN
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh yang menyediakan
4 kalori energi pangan per gram. Klasifikasi karbohidrat terdiri dari monosakarida,
disakarida dan polisakarida. Menurt Ardista dan Yolla (2020), Monosakarida
merupkan jenis karbohidrat sederhana yang secara hidrolisis dalam kondisi lunak
akan berubah menjadi karbohidrat lain. Disakarida merupakan suatu karbohidrat
yang tersusun dari dua monosakarida yang bersatu dalam ikatan glikosida. Untuk
polisakarida sendiri tersusun atas banyak unit monosakarida yang saling berikatan
melalui ikatan glikosidik. Senyawa polisakarida berwarna putih, tidak berbetuk
kristal, tidak mmiliki rasa manis da tidak memiliki sifat mereduksi. Dalam

2
kehidupan sehari-hari, kebanyakan karbohidrat dijumpai dan dikonsumsi dalam
bentuk polisakarida, yaitu amilum/pati. Zat ini secara alami ada pada biji-bijian dan
umbi-umbian sebagai cadangan makanan hasil fotosintesis. Pati merupakan bahan
utama dalam pembuatan tepung. Tepung beras mengandung pati beras, protein,
vitamin, dan komponen-komponen lainnya. Untuk mendapatkan komponen pati
pada tepung, kita dapat mengekstraknya dengan cara memanaskannya. Secara
mikroskopis pati akan memiliki bentuk seperti granula dimana, granula pati akan
memiliki struktur pembangun dan komposisi yang berbeda-beda, namun umumnya
mengandung 2 fraksi utama yaitu fraksi amilosa dan amilopektin (Fennema, 1996).
Kadar amilosa dan amilopektin pada suatu pati sangat berpengaruh terhadap
struktur dan penampakan dari granula pati.
Secara mikroskopis, pati akan memiliki bentuk seperti granula. Granula pati
akan memiliki struktur pembangun dan komposisi yang berbeda-beda, namun
umumnya mengandung 2 fraksi utama yaitu fraksi amilosa dan amilopektin. Fraksi
amilosa merupakan polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan dengan
ikatan α(1,4)-D-glukosa. Umumnya amilosa terdiri dari 50 hingga 300 unit glukosa.
Fraksi lainnya, yaitu fraksi amilopektin. Fraksi amilopektin merupakan komponen
yang terdiri dari α-D-glukosa yang kemudian dihubungkan dengan ikatan α(1,4)-
D-glukosa. Selain itu amilopektin juga memiliki cabang dengan ikatan α(1,6)-D-
glukosa. Amilopektin bisa terdiri dari 300-500 unit glukosa namun glukosa yang
dihubungkan dengan ikatan α-1,4 hanya sekitar 25-30 unit (Fennema, 1996). Kedua
fraksi amilosa dan amilopektin ini akan mempengaruhi penamapakan granula pati
dan proses gelatininasi pada pati. Molekul pati mempunyai beberapa gugus
hidrofilik yang dapat menyerap air. Bagian yang bersifat amorf dapat menyerap air
dingin hingga 30%. Sedangkan apabila pati dipanaskan hal ini dapat meningkatkan
daya serap air pati hingga 60%. Penyerapan air ini akan menyebabkan pecahnya
ikatan hydrogen penyusun pati yang bersifat amorf. Pada awalnya perubahan
volume dan penyerapan air masih bersifat reversible. Namun demikian, pada suhu
tertentu, pecahnya bagian amorf ini akan diikuti dengan pecahnya granula. Suhu
dimana granula pati pecah ini akan disebut suhu gelatinisasi. Apabila suhu
gelatinisasi sudah tercapai maka proses perubahannya irreversible (Fennema,
1996).

3
Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa yang dapat terdispersi
dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke
dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pasta pati yang telah
mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak yang
tersuspensi ke dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi ke
dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati
tersebut dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki
kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut
kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan
kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul
amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang
amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian mereka
menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut menjadi semacam jaring-
jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno, 2002).
Menurut Swinkels (1985) dalam Amin (2013), retrogradasi pasta pati atau
larutan pati memiliki beberapa efek sebagai berikut: (1) peningkatan viskositas; (2)
terbentuknya kekeruhan; (3) terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas; (4)
terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut; (5) terbentuknya gel; dan (6)
terjadinya sineresis pada pasta pati. Retrogradasi adalah proses yang kompleks dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur
pemasakan, suhu, waktu peyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan keberadaan
komponen lain.
Berdasarkan kadar amilosa dan amilopektinnya, sifat fisik yang dimiliki
bahan pangan yang mengandung pati juga dapat dibedakan dengan jelas melalui
proses pemanasan dan gelatinisasi pati. Berdasarkan hal tersebut, maka praktikum
berjudul “Pati’ ini dirasa perlu dilakukan dengan tujuan, Adapun tujuan dari
praktikum yang berjudul “Pati” yaitu:
1. Mengidentifikasi fenomena gelatinisasi pati
2. Membandingkan karakteristik mutu jenis beras yang berbeda yang
dilakukan pemasakan dengan cara sama
3. Mengamati fenomena gelatinisasi dan retrogradasi

4
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum Pati, yaitu beaker glass, hotplate,
thermometer, rice cooker atau magic com, penggaris. Sedangkan bahan yang
digunakan, yaitu air, tepung tapioka, tepung terigu, tepung maizena, tepung
kentang, beras, beras ketan.

Cara Kerja
1. Gelatinisasi Pati
1.1 Sebelum Gelatinisasi

50 ml air dingin Dilarutkan 5 gram tepung/pati

Diamati warna, kekeruhan,


kekentalan, fase

Diamati kenampakan granula pati


dan ditentukan gambar mana
yang merupakan gambar granula
sebelum gelatinisasi

1.2 Setelah gelatinisasi dalam keadaan panas

campuran tepung/pati
dengan air

Dipanaskan sambil dipasang


thermometer

***

5
Ditentukan suhu gelatinisasi di awal
pembentukan yaitu saat suspensi
jernih

Diamati kenampakan granula pati


dan tentukan gambar mana yang
merupakan gambar granula setelah
gelatinisasi

2. Pengaruh Amilosa dan Amilopektin pada Mutu Nasi Selama Pemasakan

400 ml air 200 gram beras

Tanaklah beras dan beras ketan


dengan menggunakan rice
cooker/magic com

Perubahan yang terjadi selama


pemasakan diamati, meliputi:
waktu tanak; pemanjangan butir
nasi; penyerapan air; kepulenan;
kelengketan; aroma; warna;
kilap; kelunakan;
warna/kekeruhan air

6
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Hasil Pengamatan Gelatinisasi Pati
Sampel Gambar Warna Kekeruhan/ Suhu Gambar Warna Kekeruhan/ Kekentalan
Kejernihan Gelatinisasi Kejernihan
Tepung Putih - 67℃ Putih ++ Sangat
Tapioka susu bening kental

Tepung Putih - Putih +++ Agak


Terigu susu keruh kental
79℃

8
Tepung Putih - 79℃ Putih ++ Sangat
Maizena susu agak kental
keruh

Tepung Putih - 79℃ Putih +++ Agak


Kentang susu agak kental
keruh

Tabel 2. Hasil Pengamatan Granula Pati


Sampel Sebelum Gelatinisasi Sesudah Gelatinisasi

Tepung
Tapioka

9
Tepung
Kentang

Tepung
Maizena atau
Jagung

Tepung
Terigu

Tabel 3. Hasil Pengamatan Mutu Nasi Selama Pemasakan


Beras Biasa Beras Ketan
Indikator (Waktu masak : menit detik) (Waktu masak : menit detik)
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

10
Panjang 0,7 cm - - 1 cm 1 cm 0,7 cm - - 1 cm 1,1 cm
Penyerapan
480 mL - Habis - - 480 mL - - Habis -
air
Kepulenan - + ++ +++ ++++ - ++ +++ ++++ ++++
Kelengketan - + ++ +++ ++++ - +++ ++++ ++++ ++++
Warna nasi + ++ ++ +++ +++ + ++ ++ +++ ++++
Kilap + ++ +++ ++ ++ + ++ +++ ++++ ++++
Rasa - + ++ +++ ++++ - + ++ +++ ++++
Warna air + ++ - - - + ++ - - -
Kerekatan + + ++ +++ +++ + ++ +++ ++++ +++++
Aroma + ++ + +++ ++++ + ++ ++ +++ +++
Kelunakkan - ++ +++ ++++ +++++ - + ++ ++++ ++++

11
12
Pembahasan
Pada praktikum kali ini membahas tentang “Pati” dengan dilakukan dua
prosedur percobaan. Percobaan pertama, yaitu gelatinisasi pati. Pati yang
digunakan adalah pati yang terkandung dalam tepung sampel, yaitu tepung kentang,
tepung terigu, tepung maizena, dan tepung tapioka. Pati merupakan salah satu jenis
polisakarida yang tersusun dari unit-unit glukosa. Secara mikroskopis, pati
memiliki bentuk seperti granula-granula yang bentuknya berbeda-beda tergantung
dengan kadar fraksi penyusunnya. Fraksi utama penyusun pati adalah amilosa dan
amilopektin. Gelatinisasi sendiri merupakan proses dimana granula pati pecah saat
dipanaskan dan menyerap terlalu banyak air sehingga bentuknya menjadi tidak
beraturan dan tidak dapat kembali lagi ke bentuk semula (irreversible). Pendapat
ini diperkuat oleh pernyataan Pomeranz (1991) bahwa gelatinisasi merupakan
proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati
tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas.
Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati.
Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati
dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat
kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan
granula pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali). Menurut Fennema (1996)
juga menyatakan bahwa molekul pati mempunyai beberapa gugus hidrofilik yang
dapat menyerap air. Bagian yang bersifat amorf dapat menyerap air dingin hingga
30%. Sedangkan apabila pati dipanaskan hal ini dapat meningkatkan daya serap air
pati hingga 60%. Penyerapan air ini akan menyebabkan pecahnya ikatan hydrogen
penyusun pati yang bersifat amorf. Pada awalnya perubahan volume dan
penyerapan air masih bersifat reversible. Namun demikian, pada suhu tertentu,
pecahnya bagian amorf ini akan diikuti dengan pecahnya granula. Suhu dimana
granula pati pecah ini akan disebut suhu gelatinisasi. Apabila suhu gelatinisasi
sudah tercapai maka proses perubahannya irreversible. Secara fisik, perubahan
selama terjadinya proses gelatinisasi ini dapat dilihat secara kasat mata. Mula-mula
suspense pati yang keruh akan mulai menjadi jernih pada suhu tertentu yang disebut
suhu gelatinisasi tergantung jenis pati yang digunakan (Ningrum, 2017). Pada
prosedur percobaan gelatinisasi yang telah dilakukan, sifat fisik dan perubahan-

13
perubahan yang terjadi diamati dan hasilnya telah dipaparkan di Tabel 1. dan Tabel
2. Pada tabel ke-1 dan ke-2, didapatkan hasil pengamatan pati sebelum dan sesudah
gelatinisasi dari keempat sampel yang digunakan, yaitu tepung kentang, tepung
terigu, tepung maizena, dan tepung tapioka. Dari keempat sampel tersebut,
didapatkan beberapa perbedaan dari masing-masing tepung, meliputi bentuk
granula pati, warna, kekeruhan, kekentalan larutan, bentuk granula serta fasenya
(ada endapan/tidak). Pada tabel 1, terlihat bahwa sebelum gelatinisasi, larutan
tepung tapioka berwarna putih susu, tidak ada keruh dan tidak kental, sedangkan
untuk granula patinya terlihat seperti bulatan-bulatan kecil yang beraturan dan
terpisah antar satu granula dengan granula lainnya. Terlihat, ada sedikit endapan
juga dalam larutan. Setelah proses gelatinisasi, warnanya berubah menjadi putih
bening, kekeruhannya berubah menjadi sedikit keruh, tingkat kekentalan sedikit
meningkat (cenderung sangat kental kental), dan fase endapan sudah tidak ada.
Granula patinya juga sudah pecah sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan.
Berdasarkan hasil yang didapat pada tabel 2, gelatinisasi sampel tepung tapioka
terjadi pada suhu 67°C, sedangkan Nita (2011), menyebutkan dalam penelitiannya
bahwa suhu gelatinisasi pati tapioka alami itu terjadi pada suhu 58-66°C. Berarti
pada praktikum kali ini, suhu gelatinisasi tepung tapioka sudah cukup sesuai dengan
literatur yang telah ada. Pada tabel 1, terlihat bahwa sebelum gelatinisasi, larutan
tepung terigu berwarna putih susu, tidak ada keruh dan tidak kental, sedangkan
untuk granula patinya terlihat seperi bulatan-bulatan kecil yang beraturan dan
terpisah antar satu granula dengan granula lainnya. Setelah proses gelatinisasi,
warnanya berubah menjadi putih kekeruhan, tingkat kekeruhannya agak keruh,
tingkat kekentalan sedikit meningkat (namun tetap cenderung agak kental), dan fase
endapannya sudah tidak ada. Granula patinya juga sudah pecah sehingga bentuknya
menjadi beraturan. Berdasarkan hasil yang didapat pada tabel 2, gelatinisasi sampel
tepung terigu terjadi pada suhu 79°C, sedangkan Immaningsih (2012) menyebutkan
dalam peneltiannya bahwa suhu gelatinisasi tepung terigu itu tepat pada suhu
82,38°C. Berarti pada praktikum kali ini, terjadi perbedaan suhu yang cukup
signifikan antara suhu yang digunakan untuk proses gelatinisasi tepung terigu
dengan literatur yang telah ada. Pada tabel 1, terlihat bahwa sebelum gelatinisasi,
larutan tepung maizena berwarna putih susu, tidak ada keruh, dan tidak kental,

14
sedangkan untuk granula patinya terlihat seperti bulatan-bulatan kecil yang
beraturan dan cenderung terpisah antar satu granula dengan granula lainnya, namun
ada beberapa granula yang saling bertumpukan/bertempelan. Terlihat, ada sedikit
endapan juga dalam larutan. Setelah proses gelatinisasi, warnanya berubah menjadi
lebih bening, tingkat kekeruhan sedikit berkurang, kekentalan sudah meningkat,
dan fase endapan ssudah tidak ada. Granula patinya juga sudah pecah sehingga
bentuknya mejadi tidak beraturan. Berdasarkan hasil yang didapat pada tabel 2,
gelatinisasi sampel tepung maizena terjadi pada suhu 70°C, sedangkan Aini et al.
(2016), menyebutkan dalam penelitiannya bahwa suhu gelatinisasi tepung maizena
itu tepat pada suhu 82°C. Berarti pada praktikum kali ini, terjadi perbedaan suhu
yang cukup signifikan antara suhu gelatinisasi tepung maizena dengan literatur
yang telah ada. Pada tabel 1, terlihat bahwa sebelum gelatinisasi, larutan tepung
kentang berwarna putih susu, tidak ada keruh, dan tidak kental, sedangkan untuk
granula patinya terlihat seperti bulatan-bulatan kecil yang beraturan dan cenderung
bertumpukan/bertempelan antar granula satu dengan granula lainnya. Terlihat, ada
sedikit endapan juga dalam larutan. Setelah proses gelatinisasi, warnanya berubah
menjadi putih agak keruh, tingkat kekeruhan agak keruh, kekentalan meningkat
(cenderung agak kental), dan fase endapan sudah tidak ada. Granula patinya juga
sudah pecah sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan. Berdasarkan hasil yang
didapat pada tabel 2, gelatinisasi sampel tepung tapioka terjadi pada suhu 70°C,
sedangkan Immaningsih (2012), menyebutkan dalam penelitiannya bahwa suhu
gelatinisasi tepung kentang itu tepat pada suhu 69,56°C dan Menurut Pomeranz,
(1991) suhu gelatinisasi tepung tapioka berada pada kisaran 52-64°C. Berarti pada
praktikum kali ini, suhu gelatinisasi tepung tapioka sudah cukup sesuai dengan
literatur yang telah ada. Jumlah fraksi amilosa dan amilopektin sangat berpengaruh
dalam proses gelatinisasi. Amilosa memiliki ukuran yang lebih kecil dengan
struktur yang tidak bercabang, sedangan amilopektin memiliki uuran yang besar
dengan strukturnya yang becabang dan membentuk dobel helix. Maka dari itu saat
fraksi dipanaskan fraksi amilopektin akan mengaami perenggangan dan terputus
dari ikatan hidrogen, jika ikatan hidrogen banyak yang terputus, maka maka
menyebabkan air akan terserap dan masuk kedalam pati. Bersamaan dengan itu
molekul amilosa juga akan terlepas ke fase air yang menyelimuti graanula dan

15
struktur granula pati menjadi terbuka sehingga menyebabka pembengkakan.
(Immaningsih, 2012). Hal inilah yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan
bentuk granula pada saat sebelum gelatinisasi dan sesudah gelatinisasi. Prosedur
percobaan yang kedua adalah “Pengaruh Amilosa dan Amilopektin pada Mutu Nasi
Selama Pemasakan”. Pada percobaan ini, perubahan nasi selama pemasakan
meliputi waktu tanak, pemanjangan butir nasi, penyerapan air, kepulenan,
kelengketan, aroma, warna, kilap, kelunakan, dan warna air/kekeruhannya diamati
dan hasil pengamatannya sudah dipaparkan pada Tabel 2 di sub-bab sebelumnya.
Beras yang digunakan dalam pemasakan nasi ini adalah beras putih biasa dan beras
ketan. Nasi merupakan pangan yang menjadi sumber karbohidrat. Karbohidrat yang
terkandung dalam nasi merupakan polisakarida berjenis pati. Pati tersusun dari dua
fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin
pada beras akan memengaruhi karakteristik fisik dari nasi yang dihasilkan. Sampel
yang digunakan, nyaitu beras ketan memiliki perbandingan amilopektin lebih
banyak dibanding sampel lainnya, beras biasa sehingga akan didapatkan perbedaan
karakteristik nasi yang dihasilkan Pada Tabel 3, didapatkan data perbandingan
perbedaan karakteristik beras dengan beras ketan. Perbandingan pertama adalah
waktu tanak. Nasi membutuhkan 35 menit 07 detik untuk proses pematangannya
sedangkan ketan membutuhkan 25 menit 12 detik. Berdasarkan pengamatan
tersebut, nasi membutuhkan waktu yang lebih lama hingga matang dibanding ketan.
Hal tersebut karena nasi memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibanding
ketan. Semakin tinggi suhu gelatinisasi maka akan semakin lama waktu
pemasakannya. Menurut Haryadi (2008), peningkatan suhu gelatinisasi akan
memperlama waktu pemasakan beras menjadi nasi. Beras yang memiliki suhu
gelatinisasi rendah akan menyerap air dan mengembang pada suhu yang lebih
rendah dibandingkan beras yang memiliki suhu gelatinisasi tinggi. Pernyataan ini
mungkin menjelaskan sebagian keyakinan bahwa beras dengan kandungan amilosa
yang tinggi atau suhu gelatinisasi yang tinggi menyerap air lebih sedikit, atau
memerlukan lebih lama waktu pemasakan dan sebaliknya. Karakteristik selanjutnya
yang diamati perubahannya adalah pemanjangan beras. Saat dalam kedaan mentah,
panjang beras adalah 0,7 cm, ketika matang sempurna panjang beras yang sudah
menjadi nasi tersebut bertambah menjadi 1 cm. Setelah didiamkan selama 15 menit

16
pada suhu ruang panjang beras kembali tetap sama menjadi 1 cm. Perubahan
dengan pola yang sama terjadi pada beras ketan. Saat mentah beras ketan adalah
0,7 cm, setelah matang sempurna, panjang ketan bertambah menjadi 1 cm. Akan
tetapi, setelah didiamkan di suhu ruang selama 15 menit, panjang ketan kembali
tetap sama menjadi 1 cm. Hal tersebut terjadi karena saat matang sempurna, proses
gelatinisasi telah terjadi. Air sudah diserap oleh granula pati sehingga granula pati
membengkak/membesar. Bahkan saking banyaknya, air yang terserap, granula
menjadi pecah. Berdasarkan hal tersebut maka setelah matang beras menjadi
bertambah ukurannya. Berkurangnya panjang ukuran nasi dan ketan setelah
didiamkan selama 15 menit di suhu ruang tersebut disebabkan oleh proses
retrogradasi yang mulai terjaadi. Menurut Haryadi (2008), saat proses gelatinisasi,
molekul-molekul amilosa terdispersi ke dalam air. Molekul-molekul amilosa
tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut dalam kondisi panas. Dalam
kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak
kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup
tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu
kembali.
Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya adalah penyerapan air.
didapatkan data bahwa pada kedua sampel, di awal memasak, air belum terserap
sedangkan di akhir memasak, air telah terserap dengan sangat baik. Hal tersebut
terjadi karena penyerapan air pada proses gelatinisasi akan lebih baik jika bahan
dipanaskan. Di akhir memasak, suhu nasi dan ketan sudah sangat tinggi karena
proses pemanasan sudah berlangsung lama dibanding awal memasak sehingga
penyerapan air juga lebih baik. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Fennema
(1996) bahwa molekul pati mempunyai beberapa gugus hidrofilik yang dapat
menyerap air. Bagian yang bersifat amorf dapat menyerap air dingin hingga 30%.
Sedangkan apabila pati dipanaskan hal ini dapat meningkatkan daya serap air pati
hingga 60%. Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya adalah
kepulenan. Pada Tabel 3. didapatkan data bahwa pada saat sampel nasi dan ketan
dalam keadaan setengah matang, nasi tidak pulen sedangkan ketan sudah mulai
pulen. Di akhir memasak, ketika nasi dan ketan sudah matang sempurna, nasi pulen
sedangkan ketan sangat pulen. Hal tersebut terjadi karena perbandingan kadar

17
amilopektin ketan yang lebih tinggi dibanding nasi biasa. Manurut Priyanto (2015),
kelengketan (stickness) dan kelunakan (softness), kepulenan dan nilai rasa nasi
berkorelasi negatif dengan kadar amilosa beras. Menurut Damardjati dan Harahap,
(1983) dalam Utomo (1999), ketika dimasak, nasi dengan kadar amilosa tinggi
relatif kering, keras dan kurang empuk Karakteristik selanjutnya yang diamati
perubahannya adalah kelengketan. Pada Tabel 3. didapatkan data bahwa pada saat
sampel nasi dan ketan dalam keadaan setengah matang, nasi tidak lengket
sedangkan ketan sudah mulai lengket. Di akhir memasak, ketika nasi dan ketan
sudah matang sempurna, keduanya sama-sama lengket, namun setelah didiamkan
di suhu ruang selama 15 menit nasi berkurang kelengketannya. Hal tersebut terjadi
karena perbandingan kadar amilopektin ketan yang lebih tinggi dibanding nasi
biasa. Amilopektin berkorelasi positif dengan kelengketan. Menurut Priyanto
(2015), kelengketan (stickness) dan kelunakan (softness), kepulenan dan nilai rasa
nasi berkorelasi negatif dengan kadar amilosa beras. Menurut Damardjati dan
Harahap, (1983) dalam Utomo (1999), ketika dimasak, nasi dengan kadar amilosa
tinggi relatif kering, keras dan kurang empuk.
Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya adalah aroma. Pada
Tabel 3. didapatkan data bahwa pada saat sampel nasi dalam keadaan matang
sempurna hampir tidak beraroma khas sedangkan ketan sangat beraroma khas. Data
pengamatan tersebut bertentangan dengan pernyataan Haryadi (2008) yang
menyatakan bahwa kandungan amilosa berkorelasi positif dengan aroma nasi dan
penyerapan air dan berkorelasi negatif dengan tingkat kelunakan, kelekatan, warna
dan kilap karena sifat-sifat tersebut berkorelasi dengan kandungan amilopektin.
Menurut saya, pengamat menilai aroma ketan sangat khas karena pengamat
jarang/tidak sesering itu mencium aroma ketan sehingga pengamat merasa aroma
ketan sangat khas. Sedangkan nasi yang merupakan makanan pokok pengamat
sehari-hari hampir tidak memiliki aroma khas karena pengamat sudah sangat
terbiasa dengan aromanya sehingga tidak ada kekhasan yang ditangkap oleh
pengamat. Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya adalah warna.
Pada Tabel 3. didapatkan data bahwa pada saat sampel nasi dan ketan dalam
keadaan matang sempurna memiliki warna yang jauh lebih putih dan menarik
setelah matang. Nasi berubah warnanya menjadi sangat putih pekat. Menurut

18
Rohmah (1997), beras yang mempunyai kadar amilosa tinggi mempunyai warna
lebih putih dan cerah. Sedangkan beras ketan warnanya berubah menjadi sangat
putih mengkilap. Efek kilap yang ditimbulkan juga berasal dari warna bening yang
terlihat cukup jelas pada hasil gelatinisasi pati dengan kandungan amilopektin yang
tinggi. Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya adalah kilap. Pada
Tabel 3. didapatkan data bahwa pada saat sampel nasi dan ketan dalam keadaan
matang sempurna setelah didinginkan di suhu rauang selama memiliki warna yang
jauh lebih putih dan menarik setelah matang. Nasi berubah warnanya menjadi
sangat putih pekat. Menurut Rohmah (1997), beras yang mempunyai kadar amilosa
tinggi mempunyai warna lebih putih dan cerah. Sedangkan beras ketan warnanya
berubah menjadi sangat putih mengkilap. Efek kilap yang ditimbulkan juga berasal
dari warna bening yang terlihat cukup jelas pada hasil gelatinisasi pati dengan
kandungan amilopektin yang tinggi.
Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya adalah kelunakan.
Pada Tabel 3. didapatkan data bahwa pada saat sampel nasi dan ketan dalam
keadaan matang sempurna setelah didinginkan di suhu rauang selama memiliki
kelunakan yang jauh lebih lunak dibanding dalam kedadaan mentah. Pada data
tersebut juga didapatkan bahwa ketan memiliki tekstur yang lebih lunak dibanding
nasi. Hal tersebut dikarenakan amilopektin berkorelasi positif dengan kelunakan
sehingga data pengamatan tersebut sesuai dengan literatur yang telah ada
sebelumnya, yaitu penelitian Haryadi (2008) yang menyatakan bahwa kelunakan,
kelekatan, warna dan kilap. Sifat-sifat tersebut berkorelasi dengan kandungan
amilopektin. Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya adalah
kekeruhan air. Pada Tabel 3. didapatkan data bahwa pada saat sampel nasi dan ketan
dalam keadaan mentah air pada beras cukup keruh sedangkan air pada beras ketan
tidak keruh, pada saat matang, air sudah semuanya terserap karena beras dan beras
ketan sudah terglatinisasi, Karakteristik selanjutnya yang diamati perubahannya
adalah keretakan di permukaan butir beras. Pada Tabel 3. didapatkan data bahwa
keretakan pada butir beras ketan lebih banyak dibanding beras biasa. Hal tersebut
mungkin terjadi karena amilopektin berkorelasi positif dengan kelunakan bahan
pangan sehingga struktur patinya benar-benar retak/tidak kokoh lagi. Karakteristik

19
selanjutnya yang diamati perubahannya adalah rasa. Rasa yang diamati oleh
pengamat adalah nasi dan ketan yang memiliki rasa manis di mulut.

KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pati
merupakan jenis polisakarida sumber karbohidrat yang fraksi utama penyusunnya
adalah amilosa dan amilopektin. Gelatinisasi merupakan proses yang terjadi pada
bahan-bahan yang mengandung pati dimana granula pati pecah saat dipanaskan dan
menyerap terlalu banyak air sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan dan tidak
dapat kembali lagi ke bentuk semula (irreversible). Karakteristik mutu beras dan
beras ketan dapat berbeda walaupun dilakukan pemasakan dengan cara yang sama.
Perbedaan karakteristik yang diamati, meliputi waktu tanak; pemanjangan butir
nasi; penyerapan air; kepulenan; kelengketan; aroma; warna; kilap; kelunakan;
warna/kekeruhan air. Perbedaan karakteristik ini didasari oleh perbandingan
penyusunnya, beras mengandung amilosa dengan perbandingan yang lebih besar
daripada amilopektinnya sehingga berkolerasi positif dengan berbagai karakteristik
bahan, beigutpun sebaliknya. Setelah gelatinisasi, nasi dan ketan yang sudah
tergelatinisasi jika didiamkan atau didinginkan mulai mengalami pembentukan
ulang strukturnya (walaupun tidak beraturan).

DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nur, Gunawan W. Dan Budi Sustriawan, 2016. Sifat Fisik, Kimia, Dan
Fungsional Tepung Jagung Yang Di Proses Melalui Proses Ferementasi.
Jurnal Agritech. Vol. 36(2): 160-165.
Amin, Nurazizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi terhadap Sifat Fisikokimia Pati
Tapioka Termodifikasi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian Universitas
Hasanuddin Makassar.
Ardhista, Fitri S. dan Yolla Arinda N. 2020. Analisis Senyawa Kimia Pada
Karbohidrat. Jurnal Sainteks. Vol. 17(1): 45-52.
Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. New York.
Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: UGM Press.

20
Immaningsih, Nelis. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-
tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan (Gelatinisation Profile Of
Several Flour Formulations For Estimating Cooking Behaviour). Penelitian
Gizi dan Makanan. Vol. 35(1): 13-22.
Ningrum, A., F. 2017. Pengaruh Fasilitas Kantor, Motivasi Kerja Dan Disiplin Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai Kantor Camat Pace Kabupaten Nganjuk. Simki-
Economic, 1(3).
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press,
Inc. New York.
Priyanto, Andy Agus. 2015. Evaluasi Mutu Nasi Hasil pemasakan Beras Varietas
Ciherang dan IR-66 dengan Rasio Beras dan Air yang Berbeda. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Jember
Rohmah, A.M. 1997. Evaluasi fisikokimia Bersa dan Kaitannya dengan Mutu
Tanak dan Mutu Rasa. Bogor: Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumber daya Manusia.
Utomo, B. 1999. Perbandingan Mutu Tanak Beras dan Ketan. Skripsi. Bogor:
Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. IPB.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

21
LAMPIRAN

Gambar 1. Dilarutkan Gambar 2. Diukur suhu Gambar 3. Dipanaskan


tepung maizena menggunakan thermometer tepung maizena dengan
air sambil dipasang
thermometer

Gambar 4. Rice cooker Gambar 5. Penimbangan tepung Gambar 6. Beras biasa


Atau magic com maizena

Gambar 7. Tepung terigu Gambar 8. Tepung tapioka Gambar 9. Tepung kentang

Gambar 10. Tepung Gambar 11. Penuangan Gambar 12. Diukur


Maizena 50 mL ke dalam 50 mL air dingin
beaker glass

22

Anda mungkin juga menyukai