Anda di halaman 1dari 41

ACARA I

KADAR AMILOSA SEREALIA, DAYA SERAP AIR TEPUNG TERIGU,


UJI GLUTEN TEPUNG TERIGU, UJI BLEACHING PADA TEPUNG
TERIGU, DAN SWELLING POWER BERAS

A. Tujuan
Tujuan dari Acara I “Kadar Amilosa Serealia, Daya Serap Air Tepung
Terigu, Uji Gluten Tepung Terigu, Uji Bleaching pada Tepung Terigu, dan
Swelling Power Beras” antara lain:
1. Mengetahui kadar amilosa berbagai jenis tepung serealia
2. Mengetahui daya serap air tepung terigu
3. Mengetahui kadar gluten tepung terigu
4. Mengetahui kadar bleaching pada tepung terigu
5. Mengetahui swelling power beras
B. Tinjauan Pustaka
Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan
homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa.
Amilopektin merupakan komponen utama dari pati dan menjadi polisakarida
terbesar. Amilopektin adalah polimer yang memiliki ikatan α-(1,4) pada rantai
lurusnya serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Amilopektin secara
dominan berperan terhadap kristalinitas pati (Aini, 2013).
Kadar amilosa bahan pangan dapat dipengaruhi oleh komposisi antara
kandungan kandungan amilosa dan amilopektin pada pati dalam bahan pangan.
Pada pengujian kadar amilosa, proses pragelatinisasi atau gelatinisasi dapat
menurunkan kadar amilosa pati. Hal tersebut dapat terjadi karena pada proses
pemanasan, granula pati akan mengembang, strukturnya hancur (tergelatinasi),
kemudian amilosa serta amilopektin lepas dan larut dalam suspensi. Sehingga
suhu penyimpanan bahan berpati dapat mempengaruhi hasil kadar amilosa
dalam bahan pangan (Lukman dkk., 2013).
Tepung gandum atau terigu pada umumnya berwarna krem, karena
adanya zat warna xantofil. Warna tepung akan memutih selama penyimpanan,
tetapi ini merupakan proses yang lambat. Karena konsumen lebih menyukai
tepung yang berwarna putih, maka digunakan bahan pemutih tepung. Bahan
pemutih tepung yang paling sering digunakan adalah Benzil Peroksida (Buckle
et al, 1985).
Bleaching pada tepung terigu dilakukan sebagai upaya mengurangi atau
melarutkan Pada tepung terigu murni terkandung pigmen yang menyebabkan
tepung yang dihasilkan dari proses penggilingan gandum berwarna
kekuningan. Warna kekuningan pada tepung terigu dihasilkan dari karotenoid
dan pigmen xanthophylls. Proses bleaching dilakukan pada tepung terigu untuk
memperoleh tepung terigu yang berwarna putih yang banyak diinginkan
konsumen (Saunders et al, 2008). Warna tepung yang baru selesai digiling
masih kekuningan. Bleaching dapat dilakukan secara alami dengan
penyimpanan tepung dalam waktu beberapa bulan, namun kurang efisien.
Penyimpanan tersebut dimaksudkan agar kontak dengan O2 dapat memudarkan
warna tepung (Cahyana, 2005).
Tepung terigu yang bermutu baik diperoleh dengan masa pemeraman,
yaitu penyimpanan hingga enam minggu setelah gandum melalui proses
penggilingan menjadi terigu. Bahan-bahan yang menyebabkan sifat lekat pada
terigu dan pigmen karotenoid akan teroksidasi selama masa pemeraman,
sehingga warna tepung terigu menjadi putih serta memiliki daya kembang yang
baik. Cara praktis yang lebih cepat untuk mendapatkan warna tepung terigu
agar putih dapat dilakukan dengan pemberian zat pemucat sebagai oksidator.
Ikatan rangkap karotenoid, yaitu xantofil akan teroksidasi oleh zat pemucat,
sehingga degradasi pigmen karotenoid menghasilkan senyawa yang tidak
berwarna (Winarno, 2004).
Pada pengujian daya serap air pada tepung terigu sangat perlu
dilakukan. Hal ini karena dalam penyusunan formula adonan, penambahan air
harus sesuai dengan jenis dari tepung terigu. Penetapan daya serap air tepung
terigu juga dapat digunakan untuk menilai mutu tepung terigu. Daya serap air
sekitar 60% dianggap baik. Makin rendah daya serap air terigu, makin rendah
mutu terigu tersebut (Mucthadi, 2010).
Kemampuan penyerapan air pada pati dipengaruhi oleh adanya gugus
hidroksil yang terdapat pada molekul pati. Bila jumlah gugus hidroksil dalam
molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar.
Dimana gugus hidroksil terletak pada salah satu ujung rantai amilosa dan pada
ujung rantai pokok amilopektin berperan dalam penarikan air oleh pati karena
gugus hidroksil dari pati akan tarik menarik dengan gugus hidrogen dari air.
Semakin rendah amilosa dan amilopektin pada pati maka gugus hidroksilnya
akan turun sehingga akan menyebabkan gaya tarik-menarik antara pati dengan
air menjadi kecil (Pangesti, 2014).
Gluten merupakan kumpulan protein kompleks yang tidak larut dalam
air. Struktur kerangka protein pembentuk gluten terdiri dari dua fraksi, yaitu
glutein dan gliadin. Gliadin menyebabkan adonan semakin kuat, menahan gas
dan membentuk struktur pada produk yang dipanaskan. Gluten mempunyai
sifat mudah bergabung dengan karbohidrat, lemak, dan protein sehingga
merupakan zat aditif untuk pembuatan berbagai makanan dari tepung yang
kandungan proteinnya sedang (Aristawati, 2013).
Tepung terigu harus mampu menyerap air dalam jumlah banyak untuk
mencapai konsistensi adonan yang tepat, dan memiliki elastisitas yang baik untuk
menghasilkan roti dengan remah yang halus, tekstur lembut dan volume yang
besar. Tepung yang demikian disebut tepung keras (hard wheat). Tepung keras
mengandung 12-13 % protein dan cocok untuk pembuatan roti. Sebaliknya tepung
terigu yang kecil kemampuannya menyerap air, menghasilkan adonan yang kurang
elastis sehingga menghasilkan roti yang padat serta tekstur yang tidak sempurna.
Tepung terigu demikian disebut tepung lunak (soft wheat), mengandung protein
sekitar 7,5-8 %, bisa digunakan untuk biskuit, bolu, kue kering,dan crakers. Gluten
ini berasal dari protein tepung terigu. Protein tersebut tidak larut dalam air tetapi
mengikat air membentuk gluten. Gluten tersebut berfungsi menahan gas yang
dihasilkan selama proses fermentasi dengan ragi. (Koswara, 2009).
C. Metodologi
1. Alat
a. Kadar Amilosa Serealia
 Labu takar 100 ml
 Neraca analitik
 Penangas air
 Penjepit kayu
 Pipet ukur 1 ml
 Pipet ukur 5 ml
 Pipet ukur 10 ml
 Propipet
 Spektrofotometer
 Tabung reaksi
b. Daya Serap Air Tepung Terigu
 Buret
 Baskom
 Gelas beker
 Neraca analitik
 Sendok
 Statif
c. Uji Gluten Tepung Terigu
 Baskom
 Gelas beker
 Kain blacu
 Neraca analitik
 Oven
 Pipet volume 5 ml
 Propipet
 Sendok
d. Uji Bleaching pada Tepung Terigu
 Gelas beker
 Neraca Analitik
 Pengaduk
 Pipet volum
 Propipet
e. Swelling Power Beras
 Loyang
 Rice cooker
 Baskom
 Neraca analitik
2. Bahan
a. Kadar Amilosa Serealia
 Amilosa murni
 Aquades
 Asam asetat 1 N
 Etanol 95%
 Iod
 NaOH 1 N
 Tepung beras merah
 Tepung garut
 Tepung kentang
 Tepung tapioka
 Tepung terigu
 Tepung ubi jalar putih
b. Daya Serap Air Tepung Terigu
 Aquades
 Tepung terigu kunci biru
 Tepung terigu segitiga biru
 Tepung terigu cakra
 Tepung terigu mila serbaguna
c. Uji Gluten Tepung Terigu
 Aquades
 NaCl 1%
 Tepung terigu cakra kembar
 Tepung terigu kunci biru
 Tepung terigu mila serbaguna
 Tepung terigu segitiga biru
d. Uji Bleaching pada Tepung Terigu
 Petroleum ether
 Tepung terigu merek Cakra Kembar
 Tepung terigu merek Kunci Biru
 Tepung terigu merek Mila
 Tepung terigu merek Segitiga Biru
e. Swelling Power Beras
 Air Mineral
 Beras Merah
 Beras Hitam
 Beras Pandan Wangi
 Beras Menthik Wangi
 Beras C4
3. Cara Kerja
a. Kadar Amilosa Serealia
 Pembuatan Larutan Iod
200 mg iod dan 2 g
KI

Aquades Pelarutan hingga volume 100


ml

Larutan iod

Gambar 1.1 Diagram Alir Pembuatan Larutan Iod


 Pembuatan Kurva Standar Amilosa

40 mg amilosa murni

Penimbangan

Pemasukan dalam tabung reaksi

1 ml etanol
95% + 9 ml Penambahan
NaOH 1 N

Pemanasan dalam air mendidih selama 5-10


menit hingga semua bahan terlarut

Pendinginan

2 ml larutan iod +
asam asetat 1 N Pemindahan ke labu takar masing-masing 1, 2,
berturut-turut 0,2; 3, 4, dan 5 ml
0,4; 0,6; 0,8; dan
1 ml
Penambahan

Aquades Penambahan hingga tanda tera

Penggojogan

Pendiaman 20 menit

Pengukuran absorbansi pada panjang


gelombang 625 nm

Pembuatan kurva standar hubungan antara


kadar amilosa dengan absorbansinya

Gambar 1.2 Diagram Alir Pembuatan Kurva Standar Amilosa


 Penentuan Kadar Amilosa

Gambar 1.3 Diagram Alir Pengujian Kadar Amilosa Tepung


b. Daya Serap Air Tepung Terigu
50 gram tepung

Pemasukkan dalam baskom

Penambahan sedikit demi sedikit


Air dari buret

Pengulenan sampai adonan kalis


(tidak lengket)

Pencatatan jumlah air yang


diperlukan
Gambar 1.4 Diagram Alir Pengujian Daya Serap Air pada Tepung
c. Uji Gluten Tepung Terigu
10 gram tepung terigu

NaCl 1% Penambahan sebanyak 5 ml

Pengulenan sampai adonan kalis

Pengulenan sambil dicuci sampai


air cuciannya jernih

Penimbangan sisa adonan (berat


gluten basah)

Pengeringan dalam oven pada


suhu 105oC

Penimbangan

Penghitungan kadar gluten tepung


Gambar 1.5 Diagram Alir Pengujian Kadar Gluten pada Tepung
d. Uji Bleaching pada Tepung Terigu

Tepung Terigu Merek


Cakra Kembar 1,4 gram

Larutan
petroleum ether Gelas Bekker
5 ml
Pengadukan

Pendiaman

tepung yang tidak mengalami tepung yang mengalami


bleaching ditandai dengan bleaching ditandai dengan
warna kuning yang timbul tidak ada warna kuning yang
pada supernatannya timbul pada supernatannya

Gambar 1.6 Diagram Alir Pengujian Bleaching Pada Tepung Terigu


e. Swelling Power Beras

Beras Merah

Penimbangan 100 gram

Pencucian sebanyak 3 kali

Air mineral
275 ml Penanakan beras pada rice cooker

Penimbangan nasi

Gambar 1.7 Diagram Alir Penentuan Swelling Power Beras


D. Hasil dan Pembahasan
Pengukuran kadar amilosa umumnya dilakukan berdasarkan prinsip
iodine binding (pengikatan iodin), dimana amilosa akan berikatan dengan iodin
pada pH rendah (4,5-4,8) dan pada panjang gelombang 620 nm menghasilkan
kompleks berbentuk heliks yang berwarna biru. Intensitas warna biru ini
kemudian diukur menggunakan spektrofotometer. Semakin tinggi intensitas
warna yang terukur, maka kadar amilosa akan semakin tinggi. Metode ini
terdiri dari dua tahap yaitu tahap pembuatan kurva standar dan tahap penetapan
sampel. Pembuatan kurva standar dilakukan dengan menggunakan amilosa
murni dan diperoleh nilai hubungan antara konsentrasi amilosa dengan
absorbansinya. Pengujian kadar amilosa bertujuan untuk mengetahui seberapa
banyak kandungan amilosa yang menyusun pati dalam bahan pangan
berkarbohidrat (Masniawati dkk., 2013).
Pembuatan kurva standar diawali dengan penimbangan amilosa murni
sebanyak 40 mg, lalu pemasukan ke labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml
etanol 95% serta 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian didiamkan selama
24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan aquades. Selanjutnya larutan
tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml, lalu dimasukkan
ke labu takar 100 ml, serta ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Dalam
setiap labu takar tersebut ditambahkan juga asam asetat 0,5 N masing-masing
sebanyak 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai
tanda tera dengan aquades dan dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit.
Larutan kemudian diukur intensitas warna dengan spektrofotometer. Kurva
standar menggambarkan hubungan antara konsentrasi amilosa dan absorbansi
(Masniawati dkk., 2013).
Cara pengujian amilosa melalui tahap standarisasi amilosa yang
dilakukan untuk mendapat kurva standar hubungan antara nilai penyerapan
cahaya dengan konsentrasi amilosa. Bahan dimasukkan dalam labu ukur,
ditambah etanol 95% dan NaOH 1 N, dibiarkan 23 jam atau dipanaskan dalam
penangas air 100oC selama 10 menit, ditambahkan asam asetat 1 N dan larutan
I2 2%, lalu diencerkan, absorban ditera absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm, kemudian hasilnya dirata-
rata. Selanjutnya tahap pengukuran kadar amilosa dengan memasukkan sampel
ke labu ukur, diberi etanol 95% dan NaOH 1 N, dibiarkan 23 jam atau
dipanaskan dalam penangas air 100oC selama 10 menit, diencerkan, diambil ke
labu ukur berisi sejumlah air, ditambahkan asam asetat 1 N dan larutan I2 2%,
lalu diencerkan, dikocok kemudian didiamkan selama waktu tertentu, absorban
ditera absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 620 nm, dihitung kadar amilosanya (Aliawati, 2003).
Pada praktikum ini digunakan sampel berupa tepung kentang, tepung
tapioka, tepung terigu, tepung beras merah, tepung ubi jalar putih, dan tepung
garut. Tahap uji kadar amilosa silakukan dengan penimbangan sampel masing-
masing 100 gram, pemasukan ke tabung reaksi dengan penambahan 1 ml
etanol 95% dan 9 ml NaOH, lalu pemanasan selama 10 menit hingga
membentuk gel, kemudian pendinginan selama beberapa menit. Berikutnya
pemasukan sampel yang telah mengalami pendinginan tersebut dengan aquades
ke labu takar 100 ml hingga tanda tera, lalu pengambilan 5 ml dengan pipet
ukur 10 ml ke labu takar lain, penambahan 1 ml asam asetat 1%, 2 ml Iod, dan
aquades, kemudian pendiaman selama 20 menit, selanjutnya pengukuran
absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm, diukur
kadar amilosanya.
Manfaat dan tujuan proses pemanasan perlu dilakukan dalam uji
amilosa untuk memanaskan kondisi lingkungan sampel pati. Pemanasan
memiliki manfaat dapat menyebabkan kandungan pati dalam bahan terurai
menjadi amilosa dan amilopektin pada suhu gelatinisasi pati bahan. Hal
tersebut bertujuan agar memudahkan pengujian kadar amilosa pada tahap
berikutnya. Selain itu, pada pengujian ini juga dilakukan pemanasan yang
bertujuan untuk meningkatkan kelarutan lemak pada alkohol dan NaOH
(Haryanti dkk., 2014).
Menurut Aini (2013), pati tersusun dari amilosa dan amilopektin.
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur
cincin piranosa. Amilopektin merupakan komponen utama dari pati dan
menjadi polisakarida terbesar. Amilopektin adalah polimer yang memiliki
ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan β-(1,6) pada titik
percabangannya. Amilopektin secara dominan berperan terhadap kristalinitas
pati. Berikut struktur dan beberapa sifat amilosa serta amilopektin:

Gambar 1.4 Struktur Kimia (i) Amilosa dan (ii) Amilopektin


Tabel 1.1 Beberapa Sifat Amilosa dan Amilopektin
Sifat Amilosa Amilopektin
Struktur molekul Linear (α-1,4) Cabang (α-1,4; -1,6)
Berat molekul ~106 Dalton ~108 Dalton
Derajat polimerisasi 1.500-6.000 3x105 - 3x106
Kompleks helix Kuat Lemah
Pewarnaan iod Biru Merah-ungu
Larutan encer Tidak stabil Stabil
Retrogradasi Cepat Lambat
Sifat pembentuk gel Kaku, tidak dapat balik Lunak, reversible
Sifat pembentuk film Kuat Lemah, mudah patah
Sumber: Aini (2013)
Menurut Teja dkk.,(2008), penggunaan asam asetat dalam pengujian
amilosa sebagai reagen. Selain itu, penambahan asam asetat dan NaOH
berfungsi sebagai simultan. Penambahan alkohol seperti metanol atau etanol
berfungsi sebagai pelarut kandungan nutrisi dalam bahan pangan yang dapat
larut dalam senyawa alkohol agar diperoleh amilosa murni untuk memudahkan
pengujian kadar amilosa bahan pangan. Penambahan Iod berfungsi memberi
warna pada amilosa karena amilosa akan bereaksi dengan Iod membentuk
warna biru yang dapat ditera absorbansinya menggunakan spektrofotometer
(Suhery dkk., 2015).
Tabel 1.2 Kurva Standard Amilosa
V Amilosa (ml) Konsentrasi Absorbansi
1 0,4 0,099
2 0,8 0,187
3 1,2 0,241
4 1,6 0,356
5 2,0 0,468
Sumber: Laporan Sementara

Kurva Standard Amilosa


0.5
0.45 y = 0.2268x - 0.0019
R² = 0.9844
0.4
0.35
0.3
0.25 Absorbansi
0.2 Linear (Absorbansi)
0.15
0.1
0.05
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5

Gambar 1.5 Kurva Standard Amilosa


Sebelum dilakukan pengujian kadar amilosa, terlebih dahulu dilakukan
pembuatan kurva standar amilosa. Pembuatan kurva standar didapat dengan
menggunakan amilosa murni dan diperoleh nilai hubungan antara konsentrasi
amilosa dengan absorbansinya (Masniawati dkk., 2013). Pada praktikum ini
didapatkan persamaan kurva standar amilosa, yaitu: y = 0,2268x – 0,0019.
Berdasarkan pada Tabel 1.2 dan Gambar 1.4 diketahui hubungan antara
konsentrasi amilosa dengan absorbansinya berbanding lurus, yaitu semakin
tinggi konsentrasi amilosa, maka semakin tinggi pula nilai absorbansinya.
Tabel 1.3 Hasil Uji Amilosa Berbagai Jenis Tepung
Berat Absorbansi Kadar Kadar
Kel. Sampel
Sampel (mg) (y) Amilosa (x) Amilosa (%)
1 dan Tepung
100,6 0,331 1,452 28,867
2 kentang
3 dan Tepung
100,4 0,316 1,386 27,610
4 Tapioka
5 dan Tepung
100,5 0,219 0,974 19,046
6 Terigu
7 dan Tepung
100 0,238 1,058 21,164
8 beras merah
9 dan Tepung ubi
100,7 0,210 0,935 18,564
10 jalar putih
11 dan Tepung
100,2 0,210 0,935 18,643
12 garut
Sumber: Laporan Sementara
Pada Tabel 1.3 didapat kadar amilosa dari yang tertinggi hingga
terendah secara berturut-turut yaitu tepung kentang sebesar 28,867%; tepung
tapioka sebesar 27,61%; tepung beras merah sebesar 21,164%; tepung terigu
sebesar 19,046%; tepung garut 18,643%; dan tepung ubi jalar putih sebesar
18,564%. Menurut Herawati (2011), kadar amilosa tepung kentang menurut
sebanyak 21%. Kadar amilosa tepung tapioka seharusnya sebesar 17,41%
(Gumilar dkk., 2011). Kadar amilosa pada tepung terigu sebesar 25%
(Pratama dan Fithri, 2014). Kadar amilosa tepung beras merah sebesar 30,22-
39,41% (Winarsa dkk., 2013). Kadar amilosa tepung ubi jalar putih sebanyak
25% (Hidayat dkk., 2007). Menurut Wijayanti dan Harijono (2015), kadar
amilosa tepung garut sebesar 25,94%. Sehingga terdapat penyimpangan antara
hasil uji kadar amilosa berbagai tepung yang diujikan dengan teori yang ada.
Hal tersebut dapat disebabkan karena penggunaan jenis bahan tepung yang
digunakan berbeda antara praktikum dengan teori, suhu pengujian yang
berbeda, maupun kualitas bahan yang digunakan berbeda.
Kadar amilosa bahan pangan dapat dipengaruhi oleh komposisi antara
kandungan kandungan amilosa dan amilopektin pada pati dalam bahan
pangan. Pada pengujian kadar amilosa, proses pragelatinisasi atau gelatinisasi
dapat menurunkan kadar amilosa pati. Hal tersebut dapat terjadi karena pada
proses pemanasan, granula pati akan mengembang, strukturnya hancur
(tergelatinasi), kemudian amilosa serta amilopektin lepas dan larut dalam
suspensi. Sehingga suhu penyimpanan bahan berpati dapat mempengaruhi
hasil kadar amilosa dalam bahan pangan (Lukman dkk., 2013).
Uji amilosa pada tepung leguminosa dan umbi-umbian dapat
dimanfaatkan untuk memproduksi resistant starch (RS). RS didefinisikan
sebagai fraksi pati yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan amilase
dan perlakuan pulunase secara in vitro. Proses produksi RS umumnya
menggunakan menggunakan pati yang mengandung amilosa tinggi. Amilosa
yang tinggi didapat dengan cara memodifikasi pati dengan bantuan enzim
glukanotransferase yaitu mengubah struktur pati sehingga diperoleh pati yang
banyak mengandung amilosa. Enzim glukanotransferase mampu mengubah
struktur amilopektin sehingga menjadi lurus seperti struktur amilosa. Fragmen
amilosa tersebut selanjutnya dapat dikristalisasi untuk digunakan sebagai RS
(Herawati, 2011).
Aplikasi uji kadar amilosa saat ini dapat diterapkan untuk menentukan
kadar amilosa dalam tepung yang berpotensi sebagai pengganti terigu agar
lebih fungsional, seperti uji kadar amilosa pada tepung beras merah, tepung
beras hitam, pada beras analog, tepung modifikasi ganyong, dan lain-lain.
Pangan fungsional yang mengandung RS juga diperlukan uji kadar amilosa
karena membutuhkan kandungan amilosa yang cukup tinggi untuk dapat
menghasilkan RS (Herawati, 2011).
Kandungan amilosa yang tinggi dalam bahan pangan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan produk-produk instan. Semakin tinggi
kadar amilosanya, maka daya rehidrasi produk juga akan semakin tinggi
(Hidayat dkk., 2007). Pati dengan kadar amilosa rendah menyebabkan bahan
berpati, seperti tepung menjadi mudah mengalami pengembangan molekul
saat dipanaskan dengan suhu tertentu. Pati beramilosa tinggi mempunyai
struktur yang lebih rapat (tightly bound structure) sehingga lebih sukar untuk
mengembang (Lukman dkk., 2013). Contohnya pada produk mie, yaitu
dengan kisaran kadar amilosa antara 27-29%. Dari tepung dengan amilosa
yang tinggi akan dihasilkan mie yang keras. Sedangkan dari amilosa yang
rendah akan dihasilkan mie yang kurang baik yaitu patah-patah jika dimasak
(Muhandri dkk., 2012).
Tabel 1.4 Uji Daya Serap Air Tepung Terigu
Berat Volume Daya Serap
Kel Sampel Tepung Terigu
sampel (gr) air (ml) Air (%)
1 Segitiga biru 50 22 44
2 Cakra kembar 50 21,1 42,2
3 Kunci biru 50 21,3 42,6
4 Mila serbaguna 50 19,2 38,4
5 Segitiga biru 50 21,4 42,8
6 Cakra kembar 50 20 40
7 Segitiga biru 50 25 50
8 Cakra kembar 50 25 50
9 Kunci biru 50 27,3 54,6
10 Mila serbaguna 50 27 54
11 Segitiga biru 50 25,5 51
12 Cakra kembar 50 25 50
Sumber: Laporan Sementara
Pengujian daya serap air pada tepung terigu sangat perlu dilakukan.
Hal ini karena dalam penyusunan formula adonan, penambahan air harus
sesuai dengan jenis dari tepung terigu. Penetapan daya serap air tepung terigu
juga dapat digunakan untuk menilai mutu tepung terigu. Daya serap air
sekitar 60% dianggap baik. Makin rendah daya serap air terigu, makin rendah
mutu terigu tersebut (Mucthadi, 2010).
Menurut Menurut Pangesti (2014) daya serap air tepung menunjukkan
kemampuan tepung tersebut dalam menyerap air. Kemampuan penyerapan air
pada pati dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksil yang terdapat pada
molekul pati. Bila jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar,
maka kemampuan menyerap air sangat besar. Gugus hidroksil terletak pada
salah satu ujung rantai amilosa dan pada ujung rantai pokok amilopektin
berperan dalam penarikan air oleh pati karena gugus hidroksil dari pati akan
tarik menarik dengan gugus hidrogen dari air (Pangesti, 2014).
Prinsip pengamatan daya serap air yaitu berdasarkan penetapan daya
serap air tepung terigu dalam membuat adonan, dimana daya serap air 60%
dianggap baik, semakin rendah daya serap air tepung semakin rendah mutu
terigu tersebut. Berdasarkan Tabel 1.4 Uji Daya Serap Air Tepung Terigu
digunakan sampel tepung terigu yaitu gunung bromo, segitiga biru, kunci biru
dan cakra. Masing-masing sampel ditimbang untuk diuji kemudian
ditambahkan air dan dilihat daya serapnya pada sampel tepung terigu.
Banyaknya air yang ditambahkan ke dalam sampel berbeda-beda. Perbedaan
penambahan air inilah yang menyebabkan perbedaan daya serap air (%)
(Sihotang, 2015).
Terdapat tiga spesifikasi tepung terigu berdasarkan kandungan
proteinnya, yaitu tepung terigu dengan protein yang tinggi, sedang dan
rendah. Tepung terigu dengan kandungan protein yuang tinggi yaitu lebih dari
13% memiliki daya serap air tinggi misalnya tepung cakra kembar emas,
kereta kencana dll. Tepung terigu dengan kandungan protein sedang yaitu 8-
10% memiliki daya serap air sedang misalnya, tepung segitiga biru, gunung
bromo, segitiga merah,dll. Tepung terigu dengan kandungan protein rendah
yaitu 6-8% memiliki daya serap air yang rendah misalnya tepung kunci biru,
roda biru, lencana emas. Praktikum uji daya serap air tepung terigu
menggunakan sampel tepung terigu dengan merk yaitu segitiga biru, cakra
kembar, kunci biru dan mila serbaguna. Setiap sampel ditimbang 50 gram dan
ditempatkan pada suatu wadah kemudian diteteskan air setetes demi setetes
dari buret sampai adonan tidak lengket ditangan (kalis). Air yang dibutuhkan
agar adonan tidak lengket ditangan dicatat lalu dihitung kadar daya serap air
(%) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑎𝑖𝑟 (𝑚𝑙)
Daya Serap Air (%) = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 𝑥 100%

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh daya serap air tepung terigu


dari yang tertinggi ke terendah secara berturut-turut adalah kelompok 9
sampel kunci biru yaitu sebesar 54,6%, kelompok 10 sampel mila serbaguna
sebesar 54%, kelompok 11 sampel segitiga biru sebesar 51%, kelompok 7, 8,
12 dengan sampel segitiga biru dan cakra kembar daya serap air sebesar 50%,
kelompok 1 sampel segitiga biru sebesar 44, kelompok 5 sampel segitiga biru
sebesar 42,8, kelompok 3 sampel kunci biru sebesar 42,6, kelompok 2 sampel
cakra kembar sebesar 42,2, kelompok 6 sampel cakra kembar sebesar 40 dan
terendah pada kelompok 4 dengan sampel mila serbaguna yaitu sebesar
38,4%. Tepung terigu berprotein tinggi (hard wheat) mempunyai daya serap
lebih tinggi daripada tepung terigu berprotein rendah (soft wheat). Dengan
adanya uji daya serap air akan dapat mengidentifikasi jenis tepung terigu
yang digunakan apakah berprotein tinggi atau berprotein rendah. Menurut
www.bogasari.com (2015), kandungan protein tepung terigu cakra minimal
13% (protein tinggi), segitiga biru antara 11-12,5% (protein sedang), dan
kunci biru maksimal 11% (protein rendah).
Dari Tabel 1.4 diperoleh informasi daya serap air dengan berbagai
sampel yang dibandingkan dengan kadar protein yang terkandung. Terjadi
penyimpangan pada kelompok 2, 6, 12 dengan sampel tepung terigu cakra,
seharusnya daya serap airnya lebih tinggi dibandingkan sampel tepung terigu
yang lain. Penyimpangan tersebut terjadi karena penambahan air sudah
dihentikan sebelum adonan kalis. Hal tersebut tidak sesuai dengan penjelasan
Sihotang (2015), bahwa contoh tepung terigu berprotein tinggi adalah tepung
cakra kembar yang merupakan tepung terigu yang berprotein tinggi. Karena
daya serap air suatu tepung salah satunya dipengaruhi kadar protein tepung,
semakin tinggi kadar proteinnya maka semakin besar daya serap airnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya serap air pada tepung terigu
adalah jenis tepung terigu yang digunakan, banyaknya tepung (gram) dan
banyaknya air yang ditambahkan (ml). Tepung terigu berprotein tinggi
mempunyai daya serap air lebih tinggi daripada tepung terigu berprotein
rendah. Dan semakin banyak air yang ditambahkan, maka semakin tinggi
daya serap air tepung terigu (Husni, 2012).
Secara umum daya serap air tepung gandum tinggi, disebabkan oleh
kemampuan protein mengikat air sehingga semakin banyak kandungan
protein dari tepung gandum akan menyebabkan penyerapan air yang lebih
banyak pula terhadap tepung itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tepung
gandum dapat menyerap air dengan kapasitas besar. Variasi DSA (Daya
Serap Air) tidak hanya tergantung pada kualitas protein tetapi juga pada kadar
pati dan kerusakan tepung terigu. Daya serap air suatu tepung salah satunya
dipengaruhi kadar protein tepung (Sihotang, 2015).
Tabel 1.5 Uji Gluten Tepung Terigu
Berat (gram) Kadar
No. Sampel Gelas beker Tepung Basah Kering Gluten
(%)
1 Segitiga Biru 49,862 10,000 2,298 1,019 12,790
2 Cakra Kembar 63,286 10,000 3,394 1,888 15,060
3 Kunci Biru 62,764 10,160 2,056 0,876 12,195
4 Mila 34,995 10,000 2,822 1,473 13,487
5 Segitiga Biru 63,720 10,120 2,080 1,908 16,996
6 Cakra Kembar 34,796 10,011 3,407 1,885 15,203
7 Kunci Biru 36,468 10,003 2,582 1,481 11,001
8 Mila 36, 715 10,009 3,044 1,508 15,346
9 Segitiga Biru 36,700 10,000 1,800 0,698 11,021
10 Cakra Kembar 34,710 10,660 2,105 1,056 10,426
11 Kunci Biru 35, 821 10,007 2,572 1,281 12,903
12 Mila 35,504 10,002 3,240 1,728 15,116
Sumber: Laporan Sementara
Menurut Baslar (2011) gluten adalah komponen protein tepung yang
memberikan elastisitas adonan dan kekuatan. Gluten memainkan peran dalam
menentukan kualitas kue yang berhubungan kapasitas penyerapan air,
kekompakan, viskositas, dan elastisitas pada adonan. Umumnya, semakin
tinggi kandungan protein tepung ini, semakin tinggi pembentukan gluten.
Selama adonan pencampuran, tepung terigu terhidrasi dan protein gluten
diubah menjadi protein gluten viskoelastik kohesif. Menurut Aristawati (2013)
Gluten merupakan kumpulan protein kompleks yang tidak larut dalam air.
Struktur kerangka protein pembentuk gluten terdiri dari dua fraksi, yaitu
glutein dan gliadin. Gliadin menyebabkan adonan semakin kuat, menahan gas
dan membentuk struktur pada produk yang dipanaskan. Gluten mempunyai
sifat mudah bergabung dengan karbohidrat, lemak, dan protein sehingga
merupakan zat aditif untuk pembuatan berbagai makanan dari tepung yang
kandungan proteinnya sedang.
Menurut Fitasari (2009), protein dari tepung terigu membentuk suatu
jaringan yang saling berikatan (continous) pada adonan dan bertanggung
jawab sebagai komponen yang membentuk viscoelastik. Pada pembuatan
adonan yang mengalami pemanasan, gluten memiliki kemampuan sebagai
bahan yang dapat membentuk adhesive (sifat lengket), cohesive mass (bahan-
bahan dapat menjadipadu), films, dan jaringan 3 dimensi. Penggunaan gluten
dalam industri roti untuk memberi kekuatan pada adonan, mampu
menyimpan gas, membentuk struktur, dan penyerapan air. Gluten juga
digunakan untuk tujuan formulasi, binder, dan bahan pengisi. Menurut
Koswara (2009) gluten berfungsi menahan gas yang dihasilkan selama proses
fermentasi dengan ragi.
Pada praktikum uji gluten tepung terigu kali ini digunakan 4 jenis
merk tepung terigu yang biasa dijual di pasaran, yakni tepung terigu dengan
merk Cakra Kembar, Kunci Biru, Segitiga Biru, dan Mila. Uji Gluten
dilakukan dengan menimbang 10 gram tepung terigu dan ditambaahkan
larutan NaCl 1% sebanyak 5 ml. kemudian diuleni sampai terbentuk adonan
yang elastis. Adonan dibentuk seperti bola kemudian dicuci dengan air
mengalir sampai air cuciannya jernih. Adonan ditimbang sebagai gluten
basah dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC untuk memperoleh
gluten kering. Kemudian ditentukan persentase gluten yang terkandung dalam
setiap bahan.
Menurut Buckle (1985), uji gluten juga dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut: tepung terigu ditimbang, lalu ditambahkan air dan diuleni
sampai membentuk adonan yang elastis. Selanjutnya dibiarkan selama 1 jam,
lalu dicuci dengan air mengalir sampai air cuciannya jernih. Kemudian sisa
adonan yang merupakan gluten basah ditimbang. Selanjutnya dikeringkan
untuk memperoleh gluten kering. Berat gluten kering tersebut lalu ditimbang.
Menurut Tabel 1.5 data hasil pengamatan terhadap gluten tepung
terigu, berdasarkan persen rata-rata kadar gluten pada berbagai jenis tepung,
Kadar gluten tepung terigu Segitiga Biru sebesar 12,79%, 16,996%, 11,001%,
dan 12,903% (kelompok 1,5,7,dan 11) dengan rata-rata sebesar 13,422%.
Kadar gluten tepung terigu Cakra Kembar sebesar 15,06%, 15,203%,
15,346%, dan 15,116% (kelompok 2,6,8, dan 12) dengan rata-rata sebesar
15,181%. Kadar gluten tepung terigu Kunci Biru sebesar 12,195% dan
11,021% (kelompok 3 dan 9) dengan rata-rata sebesar 11,608%. Sedangkan
kadar gluten tepung terigu Mila sebesar 13,487% dan 10,426% (kelompok 4
dan 10) dengan rata-rata sebesar 11,956. Dari data tersebut urutan kadar
gluten tertinggi ke terendah yaitu Cakra Kembar (15,181%); Segitiga Biru
(13,422%); Mila (11,956%); dan Kunci Biru (11,608%).
Berdasarkan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Bogasari Flour Mill
untuk pasaran domestik tepung terigu dengan merk Cakra Kembar terbuat
dari 100% hard wheat sehingga kandungan proteinnya tinggi, minimal 13%.
Hal ini sesuai dengan praktikum yang didapatkan kadar gluten Cakra Kembar
(15,181%) lebih dari minimal kandungan protein hard wheat; Segitiga biru
merupakan tepung campuran hard wheat dan soft wheat dengan kandungan
protein sebesar 10,5-11,5%. Hasil praktikum Segitiga Biru (13,422%)
melebihi teori Iksanudin (2010). Tepung terigu Mila merupakan nama lain
Segitiga Biru maka merupakan tepung sedang. Hasil praktikum hampir
mendekati rentan kadar gluten yaitu sebesar 11,956%. Kunci biru merupakan
tepung terigu yang terbuat dari 100% soft wheat dengan kadar protein sebesar
8,55-10%. Hasil praktikum Kunci Biru (11,608%) masih melebihi teori
Iksanudin (2010). Penyimpangan ini dapat terjadi karena pencucian pati
untuk mendapatkan gluten yang belum benar-benar jernih sehingga dalam
penimbangan berat basah masih terdapat air didalamnya.
Menurut Koswara (2009) Garam juga mempunyai efek melunakkan
gluten. Fungsi garam memberikan rasa gurih pada roti, mengontrol waktu
fermentasi, dan menambah keliatan gluten. Garam membantu aktifitas
amilase dan menghambat aktifitas protease pada tepung. Adonan tanpa garam
akan menjadi lengket (agak basah) dan sukar dipegang. Garam adalah salah
satu bahan pengeras, bila adonan tidak memakai garam, maka adonan agak
basah. Garam memperbaiki pori-pori roti dan tekstur roti akibat kuatnya
adonan, dan secara tidak langsung berarti membantu pembentukan warna.
Tabel 1.6 Uji Bleaching Tepung Terigu
Kelompok Sampel Keterangan
1 Segitiga Biru +++
2 Cakra Kembar +
3 Kunci Biru +
4 Mila +
5 Segitiga Biru +
6 Cakra Kembar +++
7 Segitiga Biru ++
8 Cakra Kembar ++++
9 Kunci Biru +
10 Mila +++
11 Segitiga Biru ++
12 Cakra Kembar ++++
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan :
+ = jernih
++ = agak jernih
+++ = agak keruh
++++ = keruh
Pemucatan (bleaching) merupakan suatu proses yang bertujuan untuk
menghilangkan pigmen dan pengotor dalam bahan pangan. Bleaching adalah
suatu proses pemucatan pada bahan untuk memperoleh produk berupa bahan
dengan warna yang lebih cerah. Pemucatan adalah tahapan proses pemurnian
untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak diinginkan dalam bahan
pangan. Proses pemucatan dilakukan dengan adsorben yang memiliki aktivitas
permukaan yang tinggi untuk menyerap zat warna pada bahan pangan
(Suryani dkk., 2016).
Prinsip bleaching/pemucatan yaitu dengan oksidasi pigmen oleh zat
pemucat untuk mengurangi atau menghilangkan sejumlah pigmen dalam
bahan pangan agar dihasilkan warna yang lebih pucat atau putih, Pada uji
bleaching untuk tepung akan dihasilkan endapan tepung dan supernatannya
setelah larutan tepung dengan pelarut yang telah diaduk lalu didiamkan,
tepung yang tidak mengalami bleaching ditandai dengan warna kuning yang
timbul pada supernatannya (Muchtadi dkk., 2011). Hal tersebut terjadi karena
pelarut akan melarutkan sat pemucat dan pigmen dalam tepung sehingga
mengembalikan warna tepung seperti semula (kekuningan) dengan adanya
senyawa karotenoid yang terkandung secara alami dalam tepung. Ikatan
rangkap dalam karotenoid, yaitu xantofil akan dioksidasi oleh zat pemucat.
Degradasi pigmen karotenoid akan menghasilkan senyawa yang tidak
berwarna (Winarno, 2004).
Bleaching pada tepung terigu dilakukan sebagai upaya mengurangi atau
melarutkan Pada tepung terigu murni terkandung pigmen yang menyebabkan
tepung yang dihasilkan dari proses penggilingan gandum berwarna
kekuningan. Warna kekuningan pada tepung terigu dihasilkan dari karotenoid
dan pigmen xanthophylls. Proses bleaching dilakukan pada tepung terigu
untuk memperoleh tepung terigu yang berwarna putih yang banyak diinginkan
konsumen (Saunders et al, 2008).
Fungsi penambahan petroleum eter (PE) dalam proses bleaching tepung
terigu adalah sebagai zat pemucat. Terdapat berbagai macam jenis pelarut
yang dapat digunakan sebagai zat pemucat dalam proses bleaching pada bahan
pangan. Zat pemucat ditambahkan ke tepung terigu untuk melarutkan pigmen
karoten yang menyebabkan tepung terigu berwarna kuning (Winarno, 2004).
Karotenoid bersifat tidak larut dalam air, methanol, etanol dingin, larut
dengan baik dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfide, benzene,
chloroform, aseton, eter dan petroleum eter. Dengan memperhatikan tingkat
polaritas masing-masing pelarut dan efektivitasnya mengesktrak karotenoid,
maka pada umumnya digunakan 3 janis pelarut yaitu aseton, heksana dan
petroleum eter. Ketiga jenis pelarut tersebut dipilih dikarenakan memiliki sifat
eluen karena eluen relatif aman digunakan dalam industri, kurang berbahaya
terhadap resiko kebakaran dan ledakan (Purnamasari, 2013).
Cara mengatasi warna coklat-kehitaman yang telah dilakukan adalah
dengan perendaman dalam larutan pemutih yaitu larutan asam askorbat, dan
kalsium hidroksida, natrium metabisulfit dan natrium bisulfit. Asam askorbat
bersifat asam, kalsium hidroksida bersifat basa kuat, natrium metabisulfit dan
natrium bisulfit terbentuk dari asam lemah dan basa kuat kemungkinan besar
akan mengganggu kestabilan β-karoten dalam ubi jalar. β-karoten tidak stabil
pada lingkungan asam, stabil dalam lingkungan basa, tidak stabil dengan
adanya udara atau oksigen, cahaya dan panas. Diduga proses penepungan
yang memerlukan pemanasan dan pemucatan dalam pelarut asam dan basa
bereaksi dengan asam juga akan mempengaruhi kandungan β-karoten dalam
produk tepung. Natrium bisulfit sebagai agen pemucatan/pemudaran warna
pada prosedur pemurnian, karena dapat mereduksi agen oksidasi pewarna
dengan kuat dan akan berkonjugasi dengan senyawa alkena dan karbonil.
(Padmaningrum, 2009).
Pada praktikum ini digunakan empat sampel tepung terigu. Sampel
tersebut ditimbang masing masing sebanyak 1,4 gram. Setelah itu diletakkan
pada gelas beker dan ditambahkan 5 ml petroleum ether. Setelah itu diaduk
dan didiamkan hingga sampel mengendap. Setelah itu akan terlihat bahwa
tepung yang tidak mengalami bleaching ditandai dengan warna kuning yang
timbul pada supernatannya, dan sebaliknya apabila tepung di belaching maka
tidak terdapat warna kunign pada supernatanya. Pada Tabel 1.6 dapat
diketahui bahwa pada tepung terigu merek segitiga biru yang dilakukan oleh
kelompok 1 menghasilkan warna agak keruh pada supernatanya, yang
menunjukan bahwa pada produk ini tidak dibleaching. Sedangkan dengan
tepung yang sama yaitu merek segitiga biru tetapi dilakukan oleh kelompok 5,
warna supernatanya adalah bening, hal ini menunjukan bahwa tepung merek
segitiga biru melalui proses bleaching. Dan untuk kelompok 8 didapat bahwa
warna pada supernatanya adalah bening, maka menunjukan baha tepung terigu
segitiga biru mengalami proses bleaching. Berbeda dengan tepung terigu
merek cakra kembar yang dilakukan oleh kelompok 2, didapat bahwa warna
supernatanya adalah bening, berarti pada produk ini mengalami proses
bleaching. Sedangkan pada kelompok 6 didapat bahwa warna supernatanya
adalah agak keruh, yang berarti tepung ini tidak dibleaching. Hasil pada
kelompok 6 sama halnya denga hasil kelompok 10 di mana didapat warna
supernatanya adalah kerung yang menunjukan bahwa tepung tersebut tidak
dibelaching. Untuk tepung terigu merek kunci biru yang dilakukan oleh
kelompok 3, 7 dan 11 masing masing didapat baha warna supernatanya adalah
bening, agak jernih dan agak jernih. Hal ini menandakan bahwa produk ini
mengalami proses bleaching. Kemudian sampel terakhir adalah sampel tepung
terigu merek mila di mana hasil yang didapat berturut turut berdasarkan
kelompok 4, 8 dan 12 adalah bening, keruh, dan keruh. Hal ini menunjukan
bahwa hasil pada kelompok 4 adalah dibleaching sedangkan pada kelompok 8
dan 12 adalah tidak dibleaching.
Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan adalah warna putih
khas terigu (SNI, 2009). Sedangkan menurut Saunders et al (2008). pada
tepung terigu murni terkandung pigmen yang menyebabkan tepung yang
dihasilkan dari proses penggilingan gandum berwarna kekuningan. Warna
kekuningan pada tepung terigu dihasilkan dari karotenoid dan pigmen
xanthophylls. Maka pada proses pembuatan tepung terigu pasti mengalami
bleaching supaya dapat memenuhi standar SNI. Maka hasil praktikum ada
yang kurang sesuai. Hal ini dapat terjadi dikarenakan praktikan kurang paham
kekeruhan seperti apa yang terjadi pada pengujian belaching, sehingga
praktikan salah dalam mengambil keputusan.
Tabel 1.7 Penentuan Swelling power Beras
Rata rata
Massa % Swelling
Massa swelling
Kel Sampel setelah Swelling power
Awal (g) power
masak (g) power (gr/gr)
(gr/gr)
Beras
1 100 222,50 122,50 1,23
Hitam
1,515
Beras
7 100 280 180 1,80
Hitam
Beras
3 Pandan 100 324 224 2,24
Wangi
Beras
6 Pandan 100 316,70 216,70 2,17 2,437
Wangi
Beras
9 Pandan 100 389,91 289,91 2,90
Wangi
Beras
2 100 244,90 144,90 1,45
Merah
Beras
8 100 275 175 1,75 1,327
Merah
Beras
12 100 178,70 78,70 0,78
Merah
Beras
4 Menthik 100 259,10 159,10 1,59
Wangi
1,295
Beras
10 Menthik 100 200 100 1
Wangi
5 Beras C4 100 270 270 2,70
2,305
11 Beras C4 100 291,10 191,10 1,91
Sumber : Hasil Praktikum
Swelling power merupakan pengukuran dari kemapuan hidrasi dari
suatu tepung yang menyebabkan mengembangnya suatu bahan dan
ditunjukan dengan pembagian dari berat sesudah pengembangan dibagi
dengan berat sebelum pengembangan (Shimelis, 2006). Swelling power
terjadi bila produk tersebut berada pada lingkungan berair dengan
meningkatnya suhu, menyebabkan ikatan hidrogen molekul terganggu.
Molekul air akan terikat dengan gugus hidroksil pada amilosa dan
amilopektin, dan ruang ruang ikatan amilosa dan amilopektin akan berisi air,
dan akan membengkak produk tersebut (Indrastuti, 2012).
Berdasarkan penelitian Haklim (2010), swelling power dipengaruhi
oleh suhu. Swelling power semakin meningkat apabila suhu yang digunakan
untuk memanaskan meningkat. Maka hubungannya adalah berbanding lurus.
Selain itu swelling power dipengaruhi juga oleh jumlahnya komponen yang
terkandung didalamnya. Kandungan karbohidrat, protein dan lemak yang
tinggi dalam suatu bahan pangan dapat menurunkan swelling power karena
sifatnya yang hidrofobik, sehingga menurunkan kemampuan produk akan
mengikat air. Selain itu waktu pemanasan dapat mempengaruhi swelling
power. Lama waktu suhu pemanasan menyebabkan rantai pati tereduksi dan
cenderung lebih pendek dan mudah menyerap air. Namun bila pemanasan
yang berlebihan atau melebihi titik optimumnya menyebabkan rusaknya
granula sehingga swelling power menurun. Menurut Mandasaari, (2015),
swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai
salah satu komponen penyusun pati dan pengembangan granula pati yang
disebabkan tersubtitusinya gugus asetil pada pati yang dapat melemahnya
ikatan hidrogennya, maka semakin rendah jumlah amilosa maka semakin
meningkat selling power.
Sampel yang digunakan pada praktikum adalah beras Pandanwangi,
beras Menthik Wangi, beras C4, beras hitam dan beras merah. Pada masing
masing beras memiliki karakteristik masing masing. Pandan Wangi dan
Menthik Wangi termasuk dalam jenis beras aromatik yang memiliki aroma
yang lebih harum, serta memiliki tekstur pulen. Pada Pandan wangi dan
menthik wangi, konsumen lebih menyukai beras menthik wangi daripada
pandan wangi, karena menthik wangi memiliki aroma dan tingkat kepulenan
lebih tinggi dari pada pandan wangi. Tingkat kepulenan ini tergantung pada
kandungan amilosa Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin keras
teksturnya. Pada beras Pandan wangi memiliki kadar amilosa 19-25%,
sedangkan menthik wangi lebih rendah yaitu pada 15-17%
(Tarigan, 2011). Beras merah memiliki kadar amilosa dari 1% hingga 15%.
Beras merah yang memiliki kadar amilosa 15% apabila dimasak nasinya
kurang lengket, agak pulen, tidak mengembang dan tetap menggumpal
setelah dingin. Sedangkan beras merah yang memiliki kadar amilosa 1 %
maka mempunyai tekstur yang lunak, agak basah, sangat lengket
(Masniawati, 2012). Sedangkan kadar amilosa pati pada beras jenis C4 yaitu
21-23% dengan kadar pati resisten sebesar 13,9% (Dewi, 2013). Menurut
Febriana (2014), kadar amilosa beras hitam adalah 9,05%.
Swelling power adalah salah satu karakteristik yang dibutuhkan dalam
industri bakery. Dengan mengetahui swelling power dari suatu tepung maka
dapat mengetahui daya penyerapan air dan pengembangan roti (Hartanti,
2013). Selain dapat digunakan dalam industri bakery swelling power sangat
diperlukan dalam proses pembuatan mie instan atau nasi instan. Dikarenakan
dengan mengetahui swelling power dapat mengtahui berapa banyak air dan
produk untuk mengembang seperti semula seperti sebelum dikeringkan
(Koswara, 2009)
Pada hasil praktikum diketahui bahwa pengujian swelling power pada
beras hitam yang dilakukan oleh kelompok 1 dan 7 memiliki rata-rata sebesar
1,515 g/g. Berbeda dengan Beras Pandan Wangi yang dilakukan oleh
kelompok 3,6 dan 9 memiliki rata-rata swelling power sebesar 2,437 g/g.
Sedangkan beras merah yang dilakukan oleh 3 kelompok memiliki rata-rata
swelling power sebesar 1,327 g/g. Kemudian pada beras Menthik wangi
memiliki rata rata swelling power sebesar 1,295 g/g. Dan terakhir adalah
beras C4 yang memiliki rata-rata swelling power sebesar 2,305 g/g. Hal ini
menunjukan bahwa urutan swelling power dari terbesar hingga terkecil adalah
beras pandan wangi, beras C4, beras hitam, beras merah, dan terakhir adalah
beras menthik wangi. Karena menurut Mandasaari, (2015), hubungan antara
amilosa dan swelling power adalah berkebalikan. Maka ururtan beras yang
memiliki kadar amilosa yang paling banyak hingga yang paling sedikit
berdasarkan praktikum adalah beras menthik wangi, beras merah, beras
hitam, beras C4 dan terakhir adalah beras pandan wangi. Sedangkan menurut
teori urutan kandungan amilosa yang paling banyak hingga paling sedikit
adalah beras pandan wangi (19-25%), beras C4 (21-23%), beras menthik
wangi (15-17%), beras merah (1% hingga 15%.), dan terakhir adalah beras
hitam (9,05%). Hal ini terjadi dikarenakan pada praktikum penggunaan air
yang digunakan untuk merendamkan berbeda beda. Selain itu dapat
disebabkan oleh kandungan lipida, karena amilosa akan membentuk
kompleks dengan lipida yang dapat menghambat masuknya air yang berbeda
pada setiap sampel (Rahman, 2007). Seperti pada kandungan lipida antara
menthik wangi 0,23% lebih tinggi daripada pandan wangi 0,22% (Tarigan
dan Kusbiantoro, 2011). Kadar lemak untuk beras hitam yaitu paling tinggi
0,275%, beras merah 0,146% (Febriana dkk, 2014).
Pada praktikum penentuan swelling power dilakukan dengan cara
memanaskan beras menggunakan rice cooker. Beras ditimbang 100 gram
kemudian dilakukan pencucian 3 kali. Setelah itu dimasukan dalam wadah
rice cooker dan ditambah air 400 ml. Setelah itu rice cooker dimasukan
dalam mode rice cooking kemudian ditunggu hingga tanak. Setelah selesai
ditimbang berat nasinya. Setelah itu dibandingkan berat nasi akhir dengan
berat beras awal. Kelemahan pada metode ini tidak dapat mengetahui suhu
yang digunakan secara pasti, bisa saja dengan perbedaan penggunaan rice
cooker memiliki suhu yang sedikit lebih tinggi dibandingkan yang lainnya,
yang akan mengakibatkan nilai swelling power berbeda beda. Sedangkan
kelebihannya adalah mudah dilakukan, dan membutuhkan biaya yang lebih
sedikit.
Karakteristik fisik yang yang memiliki hubungan dengan swelling
power adalah kemampuan dari granula pati untuk menyerap air. Semakin
besar swelling power maka semakin besar air yang akan diserap (Koswara,
2009). Swelling power adalah kekuatan tepung untuk mengembang,
pengujian Swelling power (Zulaidah, 2008) dilakukan dengan cara tepung
dilarutkan dalam aquadest 10 ml. Larutan dipanaskan menggunakan dengan
temperatur 60OC selama 30 menit. Supernatan dipisahkan menggunakan
centrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit. Swelling power
ditentukan dengan menimbang berat endapan, membagi berat endapan
dengan berat pati kering sebelum dipanaskan (g/g).
E. Kesimpulan
Berdasarkan pada praktikum yang telah dilakukan, maka dapat
diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Didapat kadar amilosa dari yang tertinggi hingga terendah secara berturut-
turut yaitu tepung kentang sebesar 28,867%; tepung tapioka sebesar
27,61%; tepung beras merah sebesar 21,164%; tepung terigu sebesar
19,046%; tepung garut 18,643%; dan tepung ubi jalar putih sebesar
18,564%.
2. Daya serap air tertinggi adalah pada kelompok 9 sampel kunci biru yaitu
sebesar 54,6% dan terendah pada kelompok 4 dengan sampel mila
serbaguna yaitu sebesar 38,4%. Tepung terbaik adalah tepung cakra kembar
karena tepung cakra kembar memiliki daya serap air yang tinggi sehingga
kadar proteinnya juga tinggi.
3. Gluten merupakan bagian protein yang tidak larut air. Urutan kadar gluten
tertinggi ke terendah yaitu Cakra Kembar (15,181%); Segitiga Biru
(13,422%); Mila (11,956%); dan Kunci Biru (11,608%).
4. Tepung yang dapat dikatakan mengalami bleaching adalah tepung merek
Segitiga Biru dan Kunci Biru. Sedangkan tepung yang dapat dikatakan tidak
mengalami proses bleaching adalah tepung merek Mila dan tepung terigu
merek Cakra Kembar.
5. Sampel yang memiliki swelling power dari tertinggi sampai terendah adalah
beras Pandan Wangi dengan rata-rata swelling power (2,347 g/g), beras C4
(2,305 g/g), beras Hitam (1,515 g/g), beras Merah (1,327 g/g), beras Mentik
Wangi (1,295 g/g.).
DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur. 2013. Teknologi Fermentasi pada Tepung Jagung. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Aliawati, Gusnimar. 2003. Teknik Analisis Kadar Amilosa dalam Beras. Buletin
Teknik Pertanian 8(2): 82-84.
Aristawati, Ria W. dkk. 2013. Subtitusi Tepung Tapioka (Manihot Esculenta)
Dalam Pembuatan Takoyaki. Jurnal Teknosains Pangan Vol. 2 No 1 ISSN:
2302-0733.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan.
Badan Standarisasi Nasional. Jakarta
Baslar, Mehmet and Mustafa Fatih Ertugay. 2011. Determination of Protein and
Gluten Quality-Relatedparameters of Wheat Flour using Near-Infrared
Reflectance Spectroscopy (NIRS). Turki Journal Agriculture Vol. 35 Hal
139-144
Buckle, K.A, R.A Edwards, G.H Fleet, M. Wotton. 1985. Ilmu Pangan. UI Press.
Jakarta.
Cahyana, Herry. 2005. Studi Awal Pemanfaatan Jamur Tiram Putih (Pleurotus
ostreatus) sebagai Biokatalis Pembentukan Senyawa Antioksidan. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Pangan 3(2): 1-8.
Dewi, Afsika Prima. 2013. Pengaruh Nasi Putih Baru Matang dan Nasi Putih
Kemarin (Teretrodegradasi) Terhadap Kadar Glukosa Darah Postprandial
Pada Subjek Wanita Pra Diabeter. Artikel Penelitian.
Febriana, Ana., Rachmaati, Dian dan Anam, Choirul. 2014. Evaluasi Kualitas
Gizi Sifat Fungsional, dan Sifat Sensoris Sala Lauak dengan Variasi Tepung
Beras Sebagai Alternative Makanan Sehat. Jurnal Teknosains Pangan, vol.
3, no. 2: 28-38.
Fitasari, Eka. 2009. Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Terigu Terhadap
Kadar Air, Kadar Lemak, Kadar Protein, Mikrostruktur, Dan Mutu
Organoleptik Keju Gouda Olahan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak Hal 17-29 Vol. 4 No. 2
Gumilar, Jajang, Obin Rachmawan, dan Winda Nurdyanti. 2011. Kualitas
Fisikokimia Naget Ayam yang Menggunakan Filer Tepung Suweg
(Amorphophallus Campanulatus B1). Jurnal Ilmu Ternak 11(1): 1-5.
Haklim, Azafilmi., Sistihapsari, Faresti. 2010. Modifikasi Fisik-Kimia Tepung
Sorgum Berdasarkan Karakteristik Sifat Fisikokimia Sebagai Substitusi
Tepung Gandum. Jurnal Teknik Kimia.
Hartanti, Feny Di., Amanto, Bambang Sigit., Rahadian Dimas. 2013. Kajian
Karakteristik Fisikokimia Tepung Sukun Termodifikasi Dengan Variasi
Konsentrasi dan Lama Perendaman Asam Laktat. Jurnal Teknosains Pangan
Vol 2 No. 4.
Haryanti, Pepita, Retno Setyawati, dan Rumpoko Wicaksono. 2014. Pengaruh
Suhu dan Lama Pemanasan Suspensi Pati serta Konsentrasi Butanol
Terhadap Karakteristik Fisikokimia Pati Tinggi Amilosa dari Tapioka.
Jurnal Agritech 34(3): 308-315.
Herawati, Heny. 2011. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai
Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian 30(1): 31-39.
Hidayat, Beni, Adil Basuki Ahza, dan Sugiyono. 2007. Karakterisasi Tepung Ubi
Jalar (Ipomoea batatas L.) Varietas Shiroyutaka serta Kajian Potensi
Penggunaannya sebagai Sumber Pangan Karbohidrat Alternatif. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan 13(1): 32-39.
http://www.bogasari.com/product/tepung-terigu. 2016. 2011. diakses pada 14 Mei
2016 pukul 22.00 WIB.
Husni, Happinessa Brilliant. 2012. Serealia dan Kacang-Kacangan. Fakultas
TEknik Universitas Pasundan Bandung.
Indrastuti, Erning., Harijono., Susilo, Bambang. 2012. Karakteristik Tepung Uwi
Ungu (Dioscorea alta L.) yang Direndam dan Dikeringkan Sebagai Bahan
Edible Paper. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 133, No. 3.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Beras (Teori dan Praktek).
eBookPangan.com.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Roti (Teori Dan Praktek).
eBookPangan.com.
Lukman, Anita, Deni Anggraini, Noveri Rahmawati, dan Nani Suhaeni. 2013.
Pembuatan dan Uji Sifat Fisikokimia Pati Beras Ketan Kampar yang
Dipragelatinasi. Jurnal Penelitian Farmasi 1(2): 67-71.
Mandasari, Rika., Amanto, Bambang Sigit., Ridwan, Achmad. 2015. Kajian
Karakteristik Fisik, Kimia, Fisikokimia dan Sensori Tepung Kentang Hitam
(Coleus tuberosus) Termodifikasi Menggunakan Asam Laktat. Jurnal
Teknosains Pangan Vol 4, No. 3.
Masniawati, A., Eva Johannes 1, Andi Ilham Latunra 1, dan Novita Paelongan.
2013. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Beras Merah pada Beberapa Sentra
Produksi Beras di Sulawesi Selatan. Jurnal Industri Pangan 1(1): 1-10.
Masniawati, A., Johanes, Eva., Latunra, Andi dan Paelongan, Novita. 2012.
Karakteristik Sifat Fisikokimia Beras Merah pada Beberapa Sentra
Produksi Beras di Sulawesi Selatan. Artikel Penelitian Biologi. Universitas
Hasanuddin.
Muchtadi, Tien R. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Penerbit Alfabeta.
Bandung.
Mudiarti, Agnes dan Amaliah. 2013. Panduan Penyiapan Pangan Sehat untuk
Semua. Kencana. Jakarta.
Muhandri, Tjahja, Hamigia Zulkhaiar, Subarna, dan Budi Nurtama. 2012.
Komposisi Kimia Tepung Jagung Varietas Unggul Lokal dan Potensinya
untuk Pembuatan Mi Jagung Menggunakan Ekstruder Pencetak. Jurnal
Sains Terapan 2(1): 16–31.
Padmaningrum, Regina Tutik dan M. Pranjoto Utomo. 2009. Perubahan Warna
Dan Kadar β - Karoten Dalam Tepung Ubi Jalar (Ipomea batatas, L)
Akibat Pemutihan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan
dan Penerapan MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Pangesti, Yunita Dian, Nur Her Riyadi Parnanto, Achmad Ridwan A. 2014.
Kajian Sifat Fisikokimia Tepung Bengkuang (Pachyrhizus erosus)
Dimodifikasi Secara Heat Moisture Treatment (HMT) Dengan Variasi
Suhu. Jurnal Teknosains Pangan Vol 3 No. 3 Juli 2014
Pratama, Israzul Aji dan Fithri Choirun Nisa. 2014. Formulasi Mie Kering dengan
Subsitusi Tepung Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) dan Penambahan
Tepung Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Jurnal Pangan dan
Agroindustri 2( 4): 101-112.
Purnamasari, Nestri., M.A,M.Andriani, dan Kawiji. 2013. Pengaruh Jenis Pelarut
dan Variasi Suhu Pengering Spray Dryer Terhadap Kadar Karotenoid
Kapang Oncom Merah (Neurospora sp.). Jurnal Teknologi Pangan
2(1):107-110.
Rahman, Adie. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka
dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang pada
Produk Kacang Salut. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Richana, Nur. 2013. Menggali Potensi Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Nuansa
Cendekia. Bandung.
Saunders, J.A., K.A.Rosentrater, dan P.G.Krishan. 2008. Potential Bleaching
Techniques for Corn Distillers Grain. Journal of Food Technology 6(6):
242-252.
Shimelis, Emire Admassu., Meaza, Mersha., Rakshit, Sudip Kumar. 2006.
Pshyco-chemical Properties, Pasting Behavior and Functional
Characteristics of Flours and Starches from Improved Bean (Phaseolus
vulgaris L.) Varieties Grown in East Africa. Ejournal Manuscript Vol 8.
Sihotang, Siti Nur Janna, Zulkifli Lubis, Ridwansyah. 2015. Karakteristik
Fisikokimia dan Fungsional Tepung Gandum yang Ditanam di Sumatera
Utara. J.Rekayasa Pangan dan Pertanian Vol.3 No.3.
Sollars, W.F. 1972. Water Retention Properties of Wheat Flour Fractions.
Journal of Cereal Chemist Vol. 50.
Suhery, Wira Noviana, Deni Anggraini, dan Novtafia Endri. 2015. Pembuatan
dan Evaluasi Pati Talas (Colocasia esculenta Schoot) Termodifikasi
dengan Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus sp). Jurnal Sains Farmasi dan
Klinis 1(2): 207-214.
Suryani, Eni, Wahono Hadi Susanto, dan Novita Wijayanti. 2016. Karakteristik
Fisik Kimia Minyak Kacang Tanah (Arachis hypogaea) Hasil Pemucatan
(Kajian Kombinasi Asdorben dan Waktu Proses). Jurnal Pangan dan
Agroindustri 4(1): 120-126.
Syarief, Rizal dan Anies Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri
Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Tarigan, Elsera Br., Kusbiantoro, Bram. 2011. Pengaruh Derajat Sosoh dan
Pengemas Terhadap Mutu Beras Aromatik Selama Penyimpanan. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 30, No. 1.
Teja , Albert W., Ignatius Sindi P., Aning Ayucitra, dan Laurentia E.K.Setiawan.
2008. Karakteristik Pati Sagu dengan Metode Modifikasi Asetilasi dan
Cross-Linking. Jurnal Teknik Kimia Indonesia 7(3): 836-843.
Wijayanti, Atik dan Harijono. 2015. Pemanfaatan Tepung Garut (Marantha
Arundinaceae L ) sebagai Bahan Pembuatan Edible Paper dengan
Penambahan Sorbitol. Jurnal Pangan dan Agroindustri 3(4): 1367-1374.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarsa, Tan Tandyo, Ricky Jan Kimarga, Angga Kurnia Artha, Paini Sri
Widyawati, Anita Maya Suteja, dan Thomas Indarto Putut Suseno. 2013.
Pengaruh Perbedaan Varietas Beras Organik Lokal terhadap Profil
Gelatinisasi Granula Pati. Jurnal Pertanian Trunojoyo 1(1): 811-819.
Yu, Shifeng, Jing Xu, Yongchun Zhang, dan Narasimha Kumar Kopparapu. 2014.
Relationship between Intrinsic Viscosity, Thermal, and Retrogradation
Properties of Amylose and Amylopectin. Czech Journal Food Science
32(5): 514-520.
Zulaidah, Agustien. 2008. Modifikasi Ubi Kayu Dengan Kombinasi Proses
Penggaraman dan Proses Biologi Untuk Subtitusi Terigu.
LAMPIRAN

1. Perhitungan Kadar Amilosa


Sampel Kelompok 12: Tepung garut
Massa Sampel = 100,2 mg
fp = 20
Perhitungan x:
y = 0,2268x – 0,0019
0,210 = 0,2268x – 0,0019
0,210 + 0,0019 = 0,2268x
0,2119 = 0,2268x
x = 0,934
Perhitungan Kadar Amilosa:
x . fp
Kadar Amilosa = massa sampel x 100%
0,934 . 20
= x 100%
100,2

= 18,643%
2. Perhitungan Swelling Power
Kelompok 12.
Berat Awal = 100 g
Berat Akhir (setelah dimasak) = 178,70 gram
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
% Swelling power = 𝑥 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
178,70−100
= x 100%
100

= 78,70 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
Swelling power (g/g) = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

178,70−100
= 100
= 0,78
Swelling power (g/g) kelompok 2 = 1,45 dan kelompok 8 = 1,75
0,78+1,45+1,75
Rata-rata Swelling power (g/g) = = 1,327
3
3. Dokumentasi Praktikum

Gambar 1.6 Penimbangan tabung Reaksi Gambar 1.7 Pemanasan Sampel


menggunakan neraca analitik

Gambar 1.8 Sampel Tepung Gambar 1.9 Uji Kadar Amilosa Tepung
Garut
Gambar 1.10 Penetesan air pada tepung

Gambar 1.11 Pengulenan Tepung Hingga Kalis

Gambar 1.12 Penambahan NaCl pada Gambar 1.13 Pengulenan Tepung


Tepung Terigu Terigu hingga Kalis
Gambar 1.14 Adonan Tepung Terigu Gambar 1.14 Gluten yang Terkandung
yang telah kalis dalam Tepung Terigu

Gambar 1.16 Sampel Tepung Terigu Gambar 1.17 Sampel Tepung Terigu
Merek Cakra Kembar Merk Cakra Kembar +
PE Setelah Diaduk
Gambar 1.18 Keenam Sampel + PE Terbentuk Endapan Setelah Pengadukan dan
Pendiaman

Gambar 1.19 Hasil Pemasakan Beras Gambar 1.20 Penimbangan Beras


Merah

Gambar 1.21 Penimbangan Setelah dimasak

Gambar 1.22 Beras Hitam

Anda mungkin juga menyukai