Anda di halaman 1dari 5

1.

Kejernihan
Kejernihan pasta merupakan salah satu parameter penting dalam
menentukan kualitas pasta pati disamping viskositas pasta, terutama berdasarkan
penampakan visual terkait pada sifat jernih atau buram dari pasta yang dihasilkan.
Pada sebagian jenis makanan, pasta pati diharapkan berwujud jernih seperti untuk
bahan pengisi kue. Namun ada pula makanan yang menghendaki pasta pati
berwujud buram (opaque) seperti pada salad dressing (Winarno 1982).
Kejernihan pasta terkait dengan sifat dispersi dan retrogradasi. Winarno (1982)
menyatakan bahwa pati alami yang memiliki swelling power tinggi dan
kecenderungan retrogradasinya rendah memiliki kejernihan pasta yang lebih
tinggi. Pasta pati (1%) disiapkan dengan cara mensuspensikan 50 mg sampel
dalam 5 ml air (digunakan tabung reaksi berulir). Campuran dicelupkan dalam air
mendidih selama 30 menit, kemudian tabung dikocok setiap 5 menit. Sampel
didinginkan hingga suhu kamar. Nilai transmitan (%T) dibaca pada spektrometer
dengan 650 nm. Akuades digunakan sebagai blanko.
Winarno (1982) menyatakan bahwa pasta pati bukan berupa larutan
melainkan berupa granula pati bengkak tak terlarut yang memiliki sifat seperti
partikel gel elastis. Apabila granula pati dipanaskan hingga suhu gelatinisasinya,
granula akan membentuk pasta pati yang kental. Kejernihan pasta terkait dengan
sifat dispersi dan retrogradasi, yaitu pati alami yang memiliki swelling power
tinggi dan kecenderungan retrogradasinya rendah memiliki kejernihan pasta yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pati termodifikasi. Kejernihan pasta pati sangat
tergantung dari sifat dispersi dan sifat retrogradasi bahan.
Winarno (1982) menambahkan bahwa pada saat terjadi gelatinisasi akibat
panas, maka suspensi pati yang mula-mula buram berangsur-angsur berkurang
dan akhirnya menjadi jernih. Tingkat kejernihan pasta berhubungan langsung
dengan pengembangan granula pati. Makin besar kemampuan granula pati
mengembang maka pasta yang diperoleh lebih jernih.
Pati yang mengandung amilopektin memiliki keunggulan yaitu tingkat
kejernihan yang tinggi sehingga dapat memperbaiki sifat dan penampakan produk
akhirnya. Pati yang ada pada umbi-umbian akan membentuk penampakan yang
jernih, cair, dan tekstur yang dimilikinya kohesif. Pengujian tingkat kejernihan
pasta dilakukan untuk melihat seberapa jauh larutan pati dapat ditembus oleh
cahaya. Pengujian ini dilakukan dengan mengukur nilai transmisi cahaya yang
dilewatkan pada sampel pasta pati. Alat yang digunakan untuk mengetahui nilai
persen transmisinya adalah spektrofotometer. Persen transmisi adalah banyaknya
cahaya yang dilewatkan pada suatu sampel. Semakin tinggi nilai persen transmisi
maka sampel semakin jernih. Seharusnya pirodekstrin memiliki tingkat kejernihan
pasta yang paling tinggi karena pada pembuatan pirodekstrin, telah terjadi
hidrolisis sebagian oleh asam sehingga menghasilkan pati termodifikasi dengan
kemampuan gelatinisasi yang rendah.
Proses pemanasan yang dilakukan berulang-ulang dapat mempengaruhi
kejernihan pasta. Semakin banyak pemanasan yang terjadi menyebabkan
kejernihan pasta pati cenderung menurun (Winarno 1982). Pati dengan warna
buram dapat digunakan untuk produk sejenis salad dressing. Winarno (1982)
menyatakan bahwa suspensi pati alami dalam air berwarna buram (opaque),
namun proses gelatinisasi pada granula pati dapat meningkatkan transparansi

larutan tersebut. Kelarutan merupakan berat pati yang terlarut dan dapat diukur
dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan supernatan. Semakin
tinggi nilai kelarutan bahan menunjukkan bahwa bahan tersebut semakin mudah
larut dalam air.
Berdasarkan hasil praktikum, nilai persen transmitan untuk pati pre
gelatinisasi -starch, pati pre gelatinisasi 50 0C, pati pre gelatinisasi 60 0C, pati
quick rice, pati heat moisture treated starch, dan pati pirodekstrin berturut-turut
adalah 74,3 ; 75,1 ; 75,9 ; 29,8 ; 0,5 ; dan 77,4. Persen transmisi adalah banyaknya
cahaya yang dilewatkan pada suatu sampel. Menurut Winarno (1982) , semakin
tinggi nilai persen transmisi maka sampel semakin jernih. Hal ini menunjukkan
bahwa pati pirodekstrin merupakan pati yang paling jernih karena mempunyai
nilai persen transmisi yang paling tinggi, yaitu 77,4. Pirodekstrin memiliki tingkat
kejernihan pasta yang paling tinggi karena pada pembuatan pirodekstrin, telah
terjadi hidrolisis sebagian oleh asam sehingga menghasilkan pati termodifikasi
dengan kemampuan gelatinisasi yang rendah (Winarno 1982). tingkat kejernihan
pati tertinggi selanjutnya adalah pati pre gelatinisasi 600C dengan nilai persen
transmisi sebesar 75,9 , kemudian pati pre gelatinisasi 50 0C dengan nilai persen
transmisi sebesar 75,1 , pati pre gelatinisasi -starch dengan nilai persen
transmitan sebesar 74,3 , pati quick rice dengan nilai persen transmisi sebesar 29,8
, dan pati heat moisture treated starch dengan nilai persen transmisi sebesar 0,5.
Menurut Winarno (1982), proses pemanasan yang dilakukan berulang-ulang dapat
mempengaruhi kejernihan pasta. Semakin banyak pemanasan yang terjadi
menyebabkan kejernihan pasta pati cenderung menurun. Berdasarkan tinjauan
pustaka tersebut, seharusnya pati pre gelatinisasi 60 0C memiliki nilai transmitan
yang lebih rendah dibandingkan dengan pati pre gelatinisasi 500C karena suhu
pemanasan yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena pada saat praktikum,
Praktikan mengalami kesulitan dalam pengaturan suhu pasta pati karena
pemanasan menggunakan hot plate yang sulit diatur suhunya dengan tepat. Salah
satu yang membuat pati menjadi lebih jernih adalah kandungan amilopektin pada
pati. Kejernihan pasta terkait dengan swelling power dan kecenderungan
retrogadasi. Swelling power yang tinggi pada pati akan menghasilkan pasta yang
jernih (Winarno 1982).
2. Uji Iod
Pati yang berikatan dengan (I2) akan menghasilkan warna biru. Sifat ini
dapat digunakan untuk menganalisis adanya pati. Hal ini disebabkan oleh struktur
molekul iodin dan terbentuklah warna biru. Bila pati dipanaskan, spiral
merenggang, molekul-molekul iodin terlepas sehingga warna biru menghilang.
Berdasarkan percobaan-percobaan didapat bahwa pati akan merefleksikan warna
biru bila berupa polimer glukosa yang lebih besar dari dua puluh, misalnya
molekul-molekul amilosa. Bila polimernya kurang dari dua puluh seperti
amolopektin, maka akan dapat dihasilkan warna merah. Sedangkan dekstrin
dengan polimer 6,7 dan 8 membentuk warna cokelat. Polimer yang lebih kecil
dari lima tidak memberikan warna dengan iodin (Winarno 2002).
Prinsip uji iodin yaitu polisakarida akan membentuk reaksi dengan iodin
dan memberikan warna spesifik tergantung jenis karbohidratnya. Amilosa dan

iodin berwarna biru, amilopektin merah cokelat, glikogen dan dextrin berwarna
merah cokelat. Caranya adalah larutan contoh diasamkan dengan HCl. Sementara
itu dibuat larutan iodin dalam larutan KI. Larutan contoh sebanyak satu tetes
ditambahkan ke dalam larutan iodin. Timbulnya warna biru menunjukkan adanya
pati dalam contoh, sedangkan warna merah menunjukkan adanya glikogen.
Berdasarkan data hasil praktikum uji iod yang dilakukan pada pati pre
gelatinisasi -starch memberikan warna ungu kebiruan, pati pre gelatinisasi 50 0C
berwarna ungu kebiruan, pati pre gelatinisasi 600C berwarna ungu kebiruan, pati
quick rice berwarna ungu kehitaman, pati heat moisture treated starch berwarna
ungu kehitaman pekat, dan pati pirodekstrin berwarna ungu kehitaman sedang.
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa pati pre gelatinisasi -starch,
pati pre gelatinisasi 500C dan pati pre gelatinisasi 600C mengandung amilopektin
yang memiliki kandungan polimer glukosa lebih besar dari dua puluh. Timbulnya
warna biru menunjukkan adanya pati dalam contoh (Winarno 2002). Sedangkan
hasil uji iodin pada pati quick rice, pati heat moisture treated starch, dan pati
pirodekstrin tidak sesuai dengan tinjauan pustaka yang disampaikan oleh Winarno
(2002), yaitu dekstrin dengan polimer 6,7 dan 8 membentuk warna cokelat. Hal
tersebut dapat terjadi karena kesalahan paralaks Praktikan pada saat melihat
warna yang terbentuk pada pati saat dilakukan uji iod. Selain itu dapat
ditimbulkan karena Praktikan memberikan jumlah tetesan contoh lebih dari satu
tetes ke dalam larutan iodin. Hal ini akan mempengaruhi kepekatan warna yang
diperoleh.
3. Suhu gelatinisasi
Winarno (1988) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses
pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak
larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas.
Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati.
Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula
pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible
(dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati,
pembengkakan granula pati menjadi irreversible atau tidak dapat kembali ke
bentuk awal. Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini
disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut
dengan suhu gelatinisasi.
Winarno (1988) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan fenomena
kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase amilosa, bobot
molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula. Pada
umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat sehingga mempunyai
suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula yang besar. Makin besar
bobot molekul dan derajat kristalisasi dari granula pati, pembentukkan gel
semakin lambat. Menurut Winarno (1988), tidak semua granula pati tergelatinisasi
pada titik yang sama, tetapi terjadi pada suatu kisaran suhu tertentu. Proses
gelatinisasi melibatkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut: hidrasi dan swelling
granula, hilangnya sifat birefringent; peningkatan kejernihan, peningkatan
konsistensi dan pencapaian viskositas puncak, pemutusan molekul-molekul linier
dan penyebarannya dari granula yang telah pecah.

Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi dan pH larutan pati. Makin


kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai. Bila pH terlalu tinggi,
pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Pembentukan gel
optimum pada pH 4-7. Selain itu, penambahan gula juga berpengaruh terhadap
kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan, hal ini
disebabkan karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir
pati menjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya
gula akan menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno
1988).
Berdasarkan data hasil praktikum suhu gelatinisasi pati pre gelatinisasi starch pada suhu 350C, pati pre gelatinisasi 500C pada suhu 290C, pati pre
gelatinisasi 600C pada suhu 350C, pati quick rice 15 menit menjadi nasi, pati heat
moisture treated starch pada suhu 700C, dan pati pirodekstrin pada suhu lebih dari
1000C. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pati pirodekstrin memiliki suhu
gelatinisasi yang paling tinggi, yaitu lebih dari 1000C. Menurut Winarno (1988),
semakin tinggi suhu gelatinisasi semakin banyak amilosa dan amilopektin yang
terlepas dari granulanya untuk membentuk struktur jaringan yang elastis.

SIMPULAN bagian Tiara Putri


Kejernihan pasta merupakan salah satu parameter penting dalam
menentukan kualitas pasta pati disamping viskositas pasta, terutama berdasarkan
penampakan visual terkait pada sifat jernih atau buram dari pasta yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil praktikum, pati pirodekstrin merupakan pati yang paling jernih
karena mempunyai nilai persen transmisi yang paling tinggi, yaitu 77,4.
Pirodekstrin memiliki tingkat kejernihan pasta yang paling tinggi karena pada
pembuatan pirodekstrin, telah terjadi hidrolisis sebagian oleh asam sehingga
menghasilkan pati termodifikasi dengan kemampuan gelatinisasi yang rendah
Uji iodin dilakukan untuk mengetahui kandungan pati dalam suatu bahan.
Timbulnya warna biru menunjukkan adanya pati dalam contoh, sedangkan warna
merah menunjukkan adanya glikogen. Berdasarkan hasil praktikum, pati pre
gelatinisasi -starch, pati pre gelatinisasi 500C dan pati pre gelatinisasi 600C
mengandung amilopektin yang memiliki kandungan polimer glukosa lebih besar
dari dua puluh.
Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible disebut
dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa itu disebut dengan suhu
gelatinisasi. Berdasarkan hasil praktikum, pati pirodekstrin memiliki suhu
gelatinisasi yang paling tinggi, yaitu lebih dari 100 0C. Semakin tinggi suhu
gelatinisasi semakin banyak amilosa dan amilopektin yang terlepas dari
granulanya untuk membentuk struktur jaringan yang elastis.
DAFTAR PUSTAKA
Winarno, F.G. 1982. Kimia Pangan. Pusbangtepa - IPB. Bogor.
Winarno, F.G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. Jakarta: PT Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai